BAB II PEMBAHASAN
2.1. Latar Belakang Konsepsi Pembuatan dan Fungsi Arca Perwujudan
Arca Perwujudan adalah arca yang mewujudkan seorang Dewa. Dalam bahasa Sanskerta istilah arca berarti “Perwujudan jasmani” yaitu perwujudan dari seorang dewa yang disembah
para penganutnya untuk tujuan pemujaan, jadi bukan merupakan arca dewa Ayatrohaedi, 1981 : 10. Arca ini menggambarkan seorang raja dalam wujud kedewaannya. Jadi arca perwujudan
demikian tidaklah lain dari para pemberian wujud kepada sang raja yang telah wafat dan rohnya menyatu dengan Dewa penitisnya Soekmono, 1977 : 102.
Di Indonesia seorang raja yang telah wafat, misalnya akan diarcakan dalam wujud seorang dewa sesuai dengan agama yang dianut semasa hidupnya. Kecuali tanda-tanda kedewaan
yang dibawanya, arca perwujudan pada umumnya digambarkan dengan dua tangannya ditekuk setinggi pinggang, dengan telapak tangan menghadap ke atas berisi salah satu atau keduanya
kuncup teratairoset Ayatrohaedi, 1981 : 10. Adanya kepercayaan bahwa seorang raja merupakan inkarnasi dari dewa, juga dikenal di
Bali. Sebagai contoh dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu, disebutkan bahwa raja Anak Wungsu sebagai inkarnasi dari dewa Hari saksat niran harimurti. Pernyataan Anak
Wungsu sebagai inkarnasi dari dewa Hari dewa Wisnu, kemungkinan dihubungkan dengan sifat-sifat dewa Wisnu sebagai pelindung dunia Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975 : 191.
Pernyataan bahwa raja adalah inkarnasi dari dewa juga disebutkan dalam prasasti no. 554 Bwahan C yang dikeluarkan oleh raja Jayasakti, disebutkan “….swabhawani kadi sira prabhu
saksat ira Wisnumurti…” sebagai seorang raja semata-mata perwujudan Wisnulah baginda.
Ungkapan seperti itu mungkin tidak semata-mata menyatakan agama yang dianut oleh raja Jayasakti bahkan mungkin lebih cenderung dilandasi oleh suatu pandangan tentang adanya
keserupaan fungsi antara dewa Wisnu sebagai penguasa sthiti yang berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung dunia. Sangat sesuai dengan kewajiban seorang raja yaitu sebagai pelindung
Negara dan rakyatnya Team Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Bali, 1978 : 51. Dalam perkembangan berikutnya diawali dengan adanya pengaruh Hindu di Indonesia
mulai sekitar abad ke-4 M. Kemudian di Jawa Barat masuknya pengaruh Hindu dibuktikan dari penemuan prasasti Ciaruton menguraikan kerajaan Tarumanegara, di bawah kekuasaan raja
Purnawarman. Malah dalam prasasati ini ada bait kalimat yang menyebutkan raja Purnawarman menyatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki yang disamakan dengan
telapak kaki dewa Wisnu Poerbatjaraka, 1951 : 13. Dari pernyataan di atas jelas di sini terjadi penyatuan pandangan terhadap roh leluhur
dengan pandangan terhadap dewa, dan bila meninggal akan kembali kepada dewa penitisnya. Oleh karena itu bila seorang mengadakan upacara atau pemujaan terhadap roh leluhur
sebenarnya juga memuja dewa. Sebagai sarana pemujaan maka dibuatkanlah arca-arca perwujudan dari seorang raja yang telah meninggal, agar tetap memberikan perlindungan bagi
masyarakat dan Negara. Pemujaan terhadap roh leluhur nampaknya masih berkelanjutan mentradisi sampai saat ini sejalan dengan kebudayaan Hindu. Arca-arca perwujudan pun banyak
juga ditemukan di beberapa daerah dan pura di Bali. Di Bali jumlah dan jenis arcanya cukup banyak yang diperkirakan bukan saja perwujudan raja, tetapi juga tokoh ini diwujudkan
mengingat peranannya yang juga tak kalah pentingnya dengan raja dalam kehidupan social budaya maupun dalam kehidupan keagamaan. Misalnya, peranan pendeta yang cukup penting
dalam kehidupan masyarakat Bali, terutama yang berhubungan dengan bidang keagamaan,
sehingga sebagai tanda penghormatan dibuat arca perwujudan, yang akhirnya menjadi sarana pemujaan bagi masyarakat pendukungnya.
Seperti halnya dengan pembuatan arca perwujudan di Jawa Timur yang berkembangan pada zaman Singosari dan Majapahit adalah rangkaian upacara Cradha, maka demikian pula
halnya dengan pendirian atau pembuatan arca-arca perwujudan yang kini tersebar luas di Bali. Sehubungan dengan pembuatan arca perwujudan ini, diuraikan dalam kitab Negarakertagama.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa upacara Cradha yang menyangkut tentang pembuatan pratista arca perwujudan diadakan pada tahun 1362 M, yang merupakan upacara Cradha terbesar pada
masa jayanya kerajaan Majapahit. Pelaksanaan upacara cradha ini dimaksudkan untuk menghormati nenek raja Hayam Wuruk yaitu Cri Rajapatni. Dalam hubungan upacara Cradha
ini, didirikanlah pedharman atau dharma beserta arca perwujudan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur Slamet Mulyana, 1979 : 139.
Oleh karena itu penghormatan maupun pemujaan terhadap leluhur, merupakan latar belakang yang melandasi pembuatan arca-arca perwujudan maupun bangunan suci sebagai
sthananya. Agar dapat dihayalkan menurut fantasi manusia, maka untuk tujuan pemujaan diimajinasikan dalam bentuk arca perwujudan. Arca perwujudan yang diletakan pada bangunan
suci itu berfungsi sebagai sarana atau media pemujaan bagi masyarakat pendukungnya.
2.2. Kesejajaran Konsepsi Arca Perwujudan Di Kamboja