Pengaturan Tanah Ulayat di Indonesia and
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat
terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi
saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai multiple
value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk
menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan
tanah yang berdaulat.
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup
seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki karaakteristik yang
bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.
Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari hak ulayat. Jauh sebelum
terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),
masyarakat hukum kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang
konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu
meninggalkan atau menganugerahkan tanahyang bersangkutan kepada orang-orang yang
merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999). Hak ulayat itu sendiri bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat hukum adat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 secara ideologis mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan kaum petani Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak berlakunya UUPA, secara
yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk memfungsikan hukum agraria nasional
sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
masyarakat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, tanah merupakan
salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah merupakan salah satu sumber hidup
dan kehidupan mereka. di samping itu tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai kosmismagis-religius. Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga antar
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam hubungan dengan hak
ulayat.
Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat
penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang
pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan (Soerejo Wignjodipoero, dalam Aminuddin
Salle 2007) .
Pada garis besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah
yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. Para anggotapersekutuan hukum
berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan
hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah
serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai objek (Aminuddin Salle,
2007).
Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat
gotong royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama
kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena, itu biarpun sifatnya pribadi,
dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan
hak-hak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah
terkandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para
anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat.
(Boedi Harsono, 1999).
Seiring perkembangan zaman, pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat
Indonesia dari pola-pola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern
mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat.
Dewasa ini masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir
individualistik.
Saat ini meskipun Indonesia telah memiliki unifikasi hukum pertanahan yang berpuncak
di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya
UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan, dimana hukum yang berlku
didasarkan pada golongan masing-masing namun penting untuk diingat bahwa hukum adat dan
termasuk pula didalamnya ada hak ulayat adalah merupakan dasa hukum Tanah Nasional.
Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak
ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan menyajikan bahasan mengenai tanah ulayat dengan
rumusan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan tanah ulayat
2. Bagaimana pengaturan tanah ulayat di Indonesia dan di Australia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tanah
Sampai kini hanya ada satu bumi yang mampu mendukung kehidupan umat manusia.
Walaupun orang sudah sampai ke dan dapat hidup di ruang angkasa dan bulan, namun belum
ditemukan tempat lain yang dapat mendukung kehidupan secara wajar, kebutuhan mereka masih
tetap dipasok dari tanah yang ada di bumi.
Tanah dalam makna hukum adalah bahagian dari dan melengket pada permukaan bumi.
Untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum dapat
melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan :
1. tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat berburu, memungut
hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb.
2. tempat berdirinya persekutuan hukum adat, kabupaten/kota. Propinsi dan negara serta
merupakan tempat tinggal dan tempat mencari kehidupan warganya
3. harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun
yang terjadi padanya tidak akan mengalami perubahan
4. salah satu alat pemersatu persekutuan, bangsa dan negara
5. harga diri dari suatu persekutuan, bangsa dan negara serta warganya
6. tempat dikebumikannya warga yang telah meninggal
7. tempat bermukimnya roh-roh pelindung persekutuan
8. dsb.
B. Masyarakat Hukum Adat
Istilah masyarakat hukum adat sebetulnya masih sering menjadi topik perdebatan hingga
kini. Sebahagian kalangan memandang masyarakat hukum adat mengandung kerancuan antara
”Masyarakat-Hukum Adat” dengan ”Masyarakat Hukum-Adat”. .Istilah Masyarakat-Hukum
Adat menekankan pada ”Masyarakat hukum”, dan istilah Masyarakat Hukum-Adat menekankan
pada Hukum Adat.
Dilain pihak ada juga yang berpendapat bahwa Masyarakat Hukum Adat hanya
mereduksi masyarakat adat dalam dimensi hukum saja . Padahal masyarakat adat juga
bergantung pada dimensi lainnya, seperti dimensi sosial, politik, agama, budaya,ekologi dan
ekonomi. Secara sederhana, tidak semua masyarakat adat memiliki instrumen yang bisa
dikualifikasikan sebagai hukum tetapi mereka tetap memiliki hak-hak tradisional atau hak-hak
adat yang didasarkan pada hubungan kesejarahan dan norma-norma lokal yang luhur dari
interaksi yang panjang. Sehingga seharusnya konstitusi negara tidak membeda-bedakan antara
Masyarakat Adat dengan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 3 UUPA menyebut tentang Masyarakat Hukum Adat, tanpa memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai pengertiannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan dalam memori
Penjelasan sering digunakan istilah Masyarakat Hukum, yang dimaksud adalah masyarakat
Hukum Adat yang disebut secara eksplisit dalam Pasal 3 tersebut.
Secara teoretis, pengertian Masyarakat Hukum dan masyarakat Hukum Adat adalah
berbeda. Kusumadi Pujosewojo (1971) mengartikan masyarakat hukum sebagai suatu
masyarakat yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan
Masyarakat Hukum Adat adalah Masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang
berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya, dengan atau solidaritas yang sangat besar diantara para anggotanya, yang memandang
bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.. Pemanfaatan oleh orang
luar harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu berupa rekognisi dan lain-lain.
Masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat (komunal, ikatan batin
yang kuat antar anggota baik yang dikarenakan faktor geneologis, teritorial dan geneologis
teritorial.) itulah yang disebut masyarakat hukum adat.
Menurut Maria SW Sumardjono (2001;hal 56), beberapa ciri pokok masyarakat hukum
adat adalah mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri
terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu dan mempunyai
kewenangan tertentu.
Masyarakat Hukum Adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang
hidupnya yaitu ”hak Ulayat” sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA; Dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 3 dinyatakan bahwa; pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan uu dan peraturan lain
yang lebih tinggi.
C. Hak Ulayat
Yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingrecht dalam kepustakaan hukum
adat. Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas
pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah
seisinya, dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Dengan demikian, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum
(subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak). Hak ulayat tersebut berisi wewenang
untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok
tanam dan lain-lain) persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dan lainlain) dan pemeliharaan tanah.
2. Mengatur dan menetukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan
hak tertentu pada subyek tertentu.
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan dan lain-lain).
Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan, bahwa hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik
sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945.
Dengan demikian UUPA memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat yaitu:
pertama, syarat eksistensinya (keberadaannya) yakni tanah hak ulayat diakui sepanjang menurut
kenyataannya masih ada. Artinya bahwa di daerah yang semula ada tanah hak ulayat, namun
dalam perkembangan selanjutnya , hak milik perorangan menjadi kuat, sehingga menyebabkan
hilangnya tanah hak ulayat, maka tanah hak ulayat tidak akan dihidupkan kembali. demikian
pula di daerah-daerah yang tidak pernah ada tanah hak ulayat , tidak akan dilahirkan tanah hak
ulayat yang baru. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Di samping itu UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu.
Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental tersebut di atas, dapat
dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal
yakni :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak
ulayat.
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu, sebagai lebensraum yang
merupakan obyek hak ulayat.
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu .
Dipenuhinya ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup obyektif
sebagai kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada
masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut
sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat
dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu
pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini
menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah
ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Di pihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada
maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut di samping pembebanan kewajibannya oleh
negara.
Menurut Maria SW Sumardjono, bahwa pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat akan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang seyogyanya memuat :
1. Kriteria penentu eksistensi hak ulayat.
2. Pihak-pihak yang terlibat dan berwenang dalam proses penentuan tersebut.
3. Mekanisme/tatacara penentu eksistensi hak ulayat .
4. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan
berdasarkan pasal 2 ayat (4) UUPA berikut kewenangannya.
5. Hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak pengelolaan.
UUPA sengaja tidak mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan
mengenai hak ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat
setempat. Mengatur hak ulayat menurut para perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat
menghambat perkembangan alamiah hak ulayat, yang pada kenyataannya memang cenderun
melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan membikin bertambah kuatnya hak-hak
individu, melalui pengaturannya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyelenggaraan
pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya. Melemahnya atau
bahkan menghilangnya hak ulayat, diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan hak
menguasai dari Negara, yang mencakup dan menggantikan peranan kepala adat dan para tetua
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang
sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
seperti halnya tanah-tanah di daerah-daerah lain (Boedi Harsono, 2005; 193).
Masyarakat yang selama ini menguasai tanah atas dasar hukum adat merasa bahwa tanah
yang dikuasai tersebut secara ulayat harus didaftar padahal hak ulayat pun tidak akan didaftar.
UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dalam PP No. 24 tahun 1997 hak ulayat secara
sadar tidak dimasukkan dalam golongan obyek pendaftaran tanah. Selama ini masyarakat tidak
memahami hak-hak apa saja yang didaftar dan bagaimana prosedur pendaftaran tanah.
Menurut Ter Haar (dalam Farida Patittingi) hak ulayat adalah hak untuk mengambil
manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan pantai,laut, tanaman-tanaman dan binatang
yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
D. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat
bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal
ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah
hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan
lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Pada Tanah Ulayat, ada pelekatan hak ulayat pada bidang tanah yang mana hak ulayat
tersebut berasal dari suatu persekutuan hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah
suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus
memperhatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan
hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun persekutuan
hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat
adalah sekelompok orang ( lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, termasuk yang akan lahir)
yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik karena faktor genealogis, teritorial maupn
kepentingan, mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan, mempunyai harta
kekekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tak berujud.
Dengan demikian ada tiga bentuk persekutuan hukum adat, yakni 1. genealogis, seperti
suku dan paruik di Minangkabau, marga di Tanah Batak, Klebu di Kerinci; 2. teritorial seperti
desa di Jawa dan Bali, dusun dan marga di Sumatera Selatan, dan 3. genealogis teritorial, seperti
nagari di Minangkabau.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Tanah Ulayat di Indonesia
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajban suatu
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya yang disebut dengan tanah ulayat.
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Tanah ulayat dikenal dengan beberapa
istilah sesuai dengan penggunaan dan pemanfatannya seperti pertuanan (Ambon – tanah wilayah
sebagai kepunyaan, panyampeto (Kalimantan – sebagai tempat yang memberi makan, pewatasan
(Kalimantan– sebagai daerah yang dibatasi), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali) atau, sebagai
tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan – Bolaang Mongondouw). Akhirnya dijumpai juga
istilah-istilah: Torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer
(Lombok) dan ulayat (Minangkabau). Dalam Surat Pengantar Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan Yang Dilaksanakan Oleh
Pemerintah Kabupaten Dan Kota; diberikan pengertian dari tanah ulayat sebagai berikut: “Tanah
ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.”
Sebelum Indonesia merdeka, pada prinsipnya menurut Agrarische Wet tanah ulayat telah
diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk Sumatera (sesuai Pasal 1
dari Stb No. 55 Tahun 1870). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960 maka Wet tersebut telah telah dicabut. Meskipun UU tersebut telah dicabut,
tanah ulayat masih tetap diakui hal ini sesuai yang tertera dalam Pasal 3 UUPA. Akan tetapi,
pengakuan tanah ulayat dalm UUPA tersebut disertai dengan 2 syarat yaitu mengenai
eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Tanah ulayat tersebut tetap diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dalam
artian sepanjang masyarakat hukum adat masih ada, meskipun hukum adat itu tidak tertulis.
Keberadaan masyarakat hukum adat dapat dibuktikan dengan melihat dari adanya kesepakatankesepakatan masyarakat secara adat setempat yang isinya mengenai kepentingan masyarakat
yang bersangkutan termasuk tanah ulayat. Sedangkan mengenai pelaksanaanya tanah ulayat
diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara karena kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan
nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hal ini dikarenakan ada kalanya
pelaksanaan hak ulayat oleh para penguasa/ kepala adat menghambat, bahkan merintangi usahausaha besar pemerintah dalam hal keperluan pembangunan. Tetapi dengan pendekatan secara
adat hambatan-hambatan yang ada pada umumnya dapat dicegah dan diatasi.
Pendekatan tersebut dapat dilakukan antara para penguasa adat dan warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menurut adat- istiadat setempat, yang hakikatnya mengandung
pengakuan adanya hak ulayat. Tetapi untuk instansi pemerintah atau pengusaha yang berusaha
memperoleh tanah ulayat hanya berdasarkan surat keputusan pejabat atau isntansi pemerintah
yang memberikan kepadanya, pasti akan menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya.
Untuk pengaturan tanah ulayat, oleh otoritas pertanahan (BPN) telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Penggunaan kata
‘hak ulayat’ dalam peraturan ini kiranya kurang tepat mengingat bahwa hak ulayat tidak hanya
meliputi tanah namun termasuk juga hutan, air, dan segala sesuatu yang ada di dalam wilayah
yang menjadi wilayah dari masyarakat adat tersebut, sebab di dalam hukum adat tanah tidak saja
diartikan sebagai permukaan bumi, tetapi juga udara, air, bahan galian, termasuk roh nenek
moyang.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan tersebut, Hak Ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama atau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui
dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; b.
terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c. terdapat tatanan
hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Untuk pengaturan lebih lanjut tentang hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 maka diterbitkan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 400-2626 tanggal 24 Juni 1999. Menurut ketentuan tersebut
maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1. penelitian dan pengesahan eksistensi hak ulayat di masing-masing daerah dengan
melibatkan pihak yang terkait;
2. pemetaan wilayah hak ulayat masing-masing;
3. pengesahan hak ulayat dari masyarakat hukum adat di tiap-tiap daerah oleh masingmasing daerah.
Beberapa hal seputar pengaturan tanah (hak) ulayat yang mengatur tentang eksistensi dan
perlindungan tanah (hak) ulayat yaitu Kabupaten Kampar Prov. Riau (Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat); Kabupaten Lebak Prov.
Banten (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak
Ulayat Masyarakat Baduy); dan Kabupaten Nunukan Prov. Kalimantan Timur (Peraturan Daerah
Kabupaten Nunukan No. 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh
Kabupaten Nunukan) tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
N
o
Perihal
Kampar
Lebak
Nunukan
1
Istilah
Hak tanah ulayat
2
Pengertian
Salah satu hak milik Bidang tanah yang di Bidang
bersama
Hak ulayat
Hak ulayat
tanah
yang
suatu atasnya terdapat hak berada dalam lingkup
masyarakat adat, yang ulayat
mencakup
kesatuan
dari
suatu masyarakat
suatu hak
hukum masyarakat
wilayah adat tertentu
berupa
ulayat
suatu
hukum
adat tertentu
lahan
pertanahan,
tumbuh
yang hidup secara liar
dan
binatang
yang
hidup liar di atasnya
3
Subyek
Tidak
diatur/
tidak Masyarakat Baduy
Masyarakat Lundayeh
jelas
4
Batas-batas
Tidak
(masyarakat adat)
diatur/
tidak Diatur/ batas alam
Diatur/ batas alam
jelas
5
Pengecualia
Tidak diatur
Telah terdaftar dan/ Telah terdaftar dan/
n
atau telah diperoleh/ atau telah diperoleh/
dibebaskan
6
Pengukuran/
Tidak diatur, hanya Dilakukan
pemetaan
akan
dibebaskan
Dilakukan
dilakukan
inventarisasi
7
Pendaftaran
Boleh
8
Penyelesaian
Tidak
sengketa
dibentuk
Tidak boleh
ada,
akan Tidak diatur
Tidak boleh
Diatur
Badan
Penyelesaian
Permasalahan
Pemutihan
dan
Tanah
Ulayat Desa
9
Ketentuan
Tidak diatur
Diatur
Tidak diatur
pidana
Sumber: Dimodifikasi dari Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat Kabupaten Kampar,
Lebak dan Nunukan.
Dari tabel di atas terlihat bahwa pengaturan hak (tanah) ulayat yang ada di Indoenesia
terdapat beberapa perbedaan. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang wajar mengingat
sejarah, budaya dan dinamika masyarakat yang berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten
yang lain, namun dalam hal-hal yang bersifat prosedural seperti tata cara pengakuan dan
perlindungan terhadap tanah ulayat seyogianya menunjukkan kesamaan.
Di Sumatera Utara pengaturan mengenai tanah ulayat juga telah diatur dalam Peraturan
Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemnanfaatannya. Tujuan dari pengaturan
tanah ulayat dan pemanfaatan tersebut adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat
menurut hukum adat minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya
alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar
masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.
B. Pengaturan Tanah Ulayat di Australia
Di Australia, upaya melindungi hak-hak penduduk pribumi Australia yang sudah ada
sebelum kolonisasi Inggris oleh Pemerintah Federal ditetapkan Native Title Act 1993 (Cth) .
Kemudian, kebijakan tersebut diikuti oleh Pemerintah Negara Bagian New South Wales dengan
menetapkan Native Title Act 1994 (NSW) .
Hak milik penduduk asli merupakan pengakuan oleh undang-undang Australia bahwa ada
antara penduduk asli yang mempunyai hak dan kepentingan atas tanahnya sendiri, dari hukum
adat dan adat istiadatnya. Hak-hak dan kepentingan ini mungkin termasuk:
Tinggal di kawasan tersebut;
Mengakses kawasan tersebut bagi tujuan tradisional, misalnya berkemah atau
upacara;
Berburu, memancing dan mengumpulkan sumber daya tradisional seperti air, kayu
atau oker, dan
Mengajar hukum dan adat istiadat di kawasan luar kota.
Dalam beberapa hal, hak milik penduduk asli mencakup hak untuk memiliki dan
menghuni bidang tanah, yang terbatas bagi semua orang lain.
Pengakuan hak milik penduduk asli akan memungkinkan pemegang hak milik penduduk
asli untuk terus menggunakan hak adatnya jika belum batal. Hak milik penduduk asli telah batal
untuk tanah milik swasta, perumahan, komersial dan beberapa sewa lain dan daerah di mana
jalan, sekolah, bor, jalan kereta api dan jembatan dan ‘prasarana umum’ lainnya dibangun pada
atau sebelum tanggal 23 Desember 1996.
Hak milik penduduk asli memberikan hak kepada para pemilik untuk tetap menggunakan
tanah dengan cara yang sama seperti sebelum kedatangan kaum Eropa, di mana hak tersebut
belum dibatalkan oleh pemerintah sebelumnya yang memberikan hak milik tanah kepada suatu
pihak ketiga sebelum Racial Discrimination Act 1975.
Native Title Act berlaku untuk seluruh Australia. Ada unsur-unsur tertentu dari undangundang ini yang relevan untuk eksplorasi dan pertambangan:
Menurut Native Title Act, tidak ada hak mutlak bagi pemilik tradisional untuk
menolak eksplorasi atau permohonan hak milik mineral. Namun, penuntut dan
pemegang hak milik penduduk asli memiliki hak prosedural yang mencakup ‘hak
negosiasi’. Umumnya, Dewan Tanah mewakili penuntut dan pemegang hak milik
penduduk asli dalam proses negosiasi untuk proyek eksplorasi dan pertambangan.
Perjanjian khusus diperlukan untuk eksplorasi maupun kegiatan pertambangan.
Ekslporasi umumnya kurang mungkin menggangu masyarakat atau kegiatan sosial
penduduk asli, tempat-tempat penting, atau melibatkan gangguan besar terhadap
tanah atau perairan. Di Northern Territory, permohonan untuk izin eksplorasi
dilakukan melalui prosedur ‘hak negosiasi yang dipercepat’, yang menyediakan cara
yang lebih cepat untuk pemberian hak eksplorasi;
Prosedur yang dipercepat dilaksanakan apabila proses pemberitahuan mencakup
pernyataan bahwa pemerintah “menganggap tindakan pemberian izin eksplorasi
sebagai tindakan yang layak menerima prosedur yang dipercepat”. Penuntut hak milik
penduduk asli terdaftar dapat menentang penyertaan pernyataan ini selama waktu
pemberitahuan 4 bulan. Jika tentangan tersebut tidak ditarik balik setelah periode
negosiasi, masalah ini harus dilanjutkan ke arbitrase. Jika tidak ada keberatan yang
diajukan, hak milik dapat segera diberikan tanpa kesepakatan. Namun, prosedur yang
dipercepat tidak berlaku untuk permohonan minyak bumi;
Di Northem Territory, Tribunal Nasional Hak Milik Penduduk Asli (NNTT)
merupakan lembaga arbitrase yang menangani penyelidikan untuk tentangan terhadap
prosedur yang dipercepat. Kesepakatan dapat dicapai pada mana-mana tahap selama
prosedur yang dipercepat, setelah negosiasi persyaratan yang layak. Native Title Act
mewajibkan negosiasi dilakukan dengan itikad baik. Pemerintah NT memainkan
peran aktif dalam menangani prosedur hak negosiasi. Jika pihak yang bernegosiasi
tidak dapat mencapai kesepakatan, perkara tersebut dapat dirujuk ke NNTT untuk
mediasi atau arbitrase;
Permohonan untuk segala jenis hak tanah pertambangan dan minyak bumi di mana
mungkin dilakukan pembangunan, juga diwajibkan mematuhi hak untuk prosedur
negosiasi dari undang-undang tersebut. Perjanjian yang meliputi kegiatan eksplorasi
dan produksi minyak bumi dinegosiasikan sekaligus. Negosiasi ini untuk persyaratan
yang diusulkan biasanya mengharuskan pelaksanaan dua persetujuan, ‘persetujuan
tambahan’ yang berisi aturan komersial, dan ‘surat hak milik tiga pihak’ (tripartite
deed). Pemerintah NT bukan penandatangan persetujuan tambahan.
Prosedur ini dimulai dengan proses pemberitahuan kepada umum di mana perincian
tentang permohonan hak tanah pertambangan atau minyak bumi diterbitkan dalam
sebuah koran Northern Territory dan koran penduduk asli. Jika tidak ada klaim hak
milik penduduk asli yang terdaftar, hak milik tanah dapat segera diberikan tanpa
kesepakatan
Nama UU
: Native Title Act
Sebutan hak Ulayat
: Native Title
Hak Ulayat Diakui
: Tahun 1992, setelah MA Australia mengabulkan gugatan Mabo seorang
tokoh masyarakat Aborigin, yang dianggap sebagai gebrakan hukum
yang mengakui “hak penduduk asli” atau “native Title” sebelumnya
tidak diakui oleh pemerintah Australia karena adanya doktrin terra
nulius, yaitu bahwa benua Australia tidak berpenghuni saat ditemukan
oleh orang Eropa.
Keberadaan Hak Ulayat diakui : oleh UU bahwa ada antara penduduk asli yang
mempunyai hak dan kepentingan atas tanahnya sendiri, dari hukum adat dan adat istiadatnya.
Hak-hak dan kepentingan ini mungkin termasuk:
1. Tinggal di kawasan tersebut;
2. Mengakses kawasan tersebut bagi tujuan tradisional, misalnya berkemah atau upacara;
3. Berburu, memancing dan mengumpulkan sumber daya tradisional seperti air, kayu atau
oker, dan
4. Mengajar hukum dan adat istiadat di kawasan luar kota
Sifat hak nya tidak bersifat mutlak bagi pemilik tradisional untuk menolak eksplorasi atau
menolak permohonan hak mineral
Tidak mengenal ganti rugi, yang dikenal adalah uang kompensasi atas tanahnya apabila
tanahnya akan diambil oleh pemerintah untuk kegiatan pembangunan.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Pada Tanah Ulayat, ada pelekatan hak ulayat pada bidang tanah yang mana hak
ulayat tersebut berasal dari suatu persekutuan hukum adat.
Sebelum Indonesia merdeka, pada prinsipnya menurut Agrarische Wet tanah ulayat telah
diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk Sumatera (sesuai Pasal 1
dari Stb No. 55 Tahun 1870). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960 maka Wet tersebut telah telah dicabut. Tanah ulayat tersebut tetap diakui
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dalam artian sepanjang masyarakat hukum adat
masih ada, meskipun hukum adat itu tidak tertulis.
Di Australia, upaya melindungi hak-hak penduduk pribumi Australia yang sudah ada
sebelum kolonisasi Inggris oleh Pemerintah Federal ditetapkan Native Title Act 1993 (Cth) .
Kemudian, kebijakan tersebut diikuti oleh Pemerintah Negara Bagian New South Wales dengan
menetapkan Native Title Act 1994 (NSW) . Hak milik penduduk asli merupakan pengakuan oleh
undang-undang Australia bahwa ada antara penduduk asli yang mempunyai hak dan kepentingan
atas tanahnya sendiri, dari hukum adat dan adat istiadatnya.
B. Saran
Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga
kelestariannya. Karena keberadaan hak ulayat ini sebagai dasar pegangan tanah ulayat itu sendiri.
Sehingga perlu dibuat kebijakan oleh pemerintah untuk mengatur tentang hak ulayat dan tanah
ulayat ini agar mempermudah pengelolaan dan pengaturannya.
Perlunya penguatan kelembagaan adat yang dapat memfasilitasi masyarakat hukum adat
dalam berpartisipasi pada pembangunan. Dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat sendiri,
diharapkan masarakat hukum adat mempunyai rasa memiliki infrastruktur yang telah di bangun.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, A. Bazar, 2007, Posisi Tanah UlayatMenurut Hukum Nasional, Yayasan Surya
Daksina, Jakarta.
Harsono, Boedi, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.
Harsono Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Salle Aminuddin, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total
Media, Yogyakarta.
Maria. S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.26 Maret 1996..
Patittingi Farida, www.asdarfh .wordpress. com, Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Sembiring, Julius, Tanah Adat, Masyarakat Adat Dan Desa Adat¸ dalam
http://pedulitanah.blogspot.com/2011/12/ketiga.html?m=1, diunduh pada tanggal 5
Nopember 2013 jam 08.00 wib.
MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM TANAH
“PENGATURAN TANAH ULAYAT DI INDONESIA DAN AUSTRALIA”
Disusun oleh Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.
Agus Andy Hariyanto
Achmad Taqwa Aziz
Mahenggar Paulina Puspita
Maria Padjo
Muhammad Solichin Ristiarto
:
:
:
:
:
10192474
10192473
10192483
10192484
10192488
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
\YOGYAKARTA
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat
terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi
saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai multiple
value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk
menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan
tanah yang berdaulat.
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup
seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki karaakteristik yang
bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.
Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari hak ulayat. Jauh sebelum
terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),
masyarakat hukum kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang
konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu
meninggalkan atau menganugerahkan tanahyang bersangkutan kepada orang-orang yang
merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999). Hak ulayat itu sendiri bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat hukum adat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 secara ideologis mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan kaum petani Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak berlakunya UUPA, secara
yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk memfungsikan hukum agraria nasional
sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
masyarakat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, tanah merupakan
salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah merupakan salah satu sumber hidup
dan kehidupan mereka. di samping itu tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai kosmismagis-religius. Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga antar
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam hubungan dengan hak
ulayat.
Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat
penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang
pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan (Soerejo Wignjodipoero, dalam Aminuddin
Salle 2007) .
Pada garis besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah
yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. Para anggotapersekutuan hukum
berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan
hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah
serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai objek (Aminuddin Salle,
2007).
Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat
gotong royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama
kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena, itu biarpun sifatnya pribadi,
dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan
hak-hak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah
terkandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para
anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat.
(Boedi Harsono, 1999).
Seiring perkembangan zaman, pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat
Indonesia dari pola-pola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern
mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat.
Dewasa ini masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir
individualistik.
Saat ini meskipun Indonesia telah memiliki unifikasi hukum pertanahan yang berpuncak
di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya
UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan, dimana hukum yang berlku
didasarkan pada golongan masing-masing namun penting untuk diingat bahwa hukum adat dan
termasuk pula didalamnya ada hak ulayat adalah merupakan dasa hukum Tanah Nasional.
Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak
ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan menyajikan bahasan mengenai tanah ulayat dengan
rumusan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan tanah ulayat
2. Bagaimana pengaturan tanah ulayat di Indonesia dan di Australia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tanah
Sampai kini hanya ada satu bumi yang mampu mendukung kehidupan umat manusia.
Walaupun orang sudah sampai ke dan dapat hidup di ruang angkasa dan bulan, namun belum
ditemukan tempat lain yang dapat mendukung kehidupan secara wajar, kebutuhan mereka masih
tetap dipasok dari tanah yang ada di bumi.
Tanah dalam makna hukum adalah bahagian dari dan melengket pada permukaan bumi.
Untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum dapat
melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan :
1. tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat berburu, memungut
hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb.
2. tempat berdirinya persekutuan hukum adat, kabupaten/kota. Propinsi dan negara serta
merupakan tempat tinggal dan tempat mencari kehidupan warganya
3. harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun
yang terjadi padanya tidak akan mengalami perubahan
4. salah satu alat pemersatu persekutuan, bangsa dan negara
5. harga diri dari suatu persekutuan, bangsa dan negara serta warganya
6. tempat dikebumikannya warga yang telah meninggal
7. tempat bermukimnya roh-roh pelindung persekutuan
8. dsb.
B. Masyarakat Hukum Adat
Istilah masyarakat hukum adat sebetulnya masih sering menjadi topik perdebatan hingga
kini. Sebahagian kalangan memandang masyarakat hukum adat mengandung kerancuan antara
”Masyarakat-Hukum Adat” dengan ”Masyarakat Hukum-Adat”. .Istilah Masyarakat-Hukum
Adat menekankan pada ”Masyarakat hukum”, dan istilah Masyarakat Hukum-Adat menekankan
pada Hukum Adat.
Dilain pihak ada juga yang berpendapat bahwa Masyarakat Hukum Adat hanya
mereduksi masyarakat adat dalam dimensi hukum saja . Padahal masyarakat adat juga
bergantung pada dimensi lainnya, seperti dimensi sosial, politik, agama, budaya,ekologi dan
ekonomi. Secara sederhana, tidak semua masyarakat adat memiliki instrumen yang bisa
dikualifikasikan sebagai hukum tetapi mereka tetap memiliki hak-hak tradisional atau hak-hak
adat yang didasarkan pada hubungan kesejarahan dan norma-norma lokal yang luhur dari
interaksi yang panjang. Sehingga seharusnya konstitusi negara tidak membeda-bedakan antara
Masyarakat Adat dengan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 3 UUPA menyebut tentang Masyarakat Hukum Adat, tanpa memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai pengertiannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan dalam memori
Penjelasan sering digunakan istilah Masyarakat Hukum, yang dimaksud adalah masyarakat
Hukum Adat yang disebut secara eksplisit dalam Pasal 3 tersebut.
Secara teoretis, pengertian Masyarakat Hukum dan masyarakat Hukum Adat adalah
berbeda. Kusumadi Pujosewojo (1971) mengartikan masyarakat hukum sebagai suatu
masyarakat yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan
Masyarakat Hukum Adat adalah Masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang
berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya, dengan atau solidaritas yang sangat besar diantara para anggotanya, yang memandang
bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.. Pemanfaatan oleh orang
luar harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu berupa rekognisi dan lain-lain.
Masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat (komunal, ikatan batin
yang kuat antar anggota baik yang dikarenakan faktor geneologis, teritorial dan geneologis
teritorial.) itulah yang disebut masyarakat hukum adat.
Menurut Maria SW Sumardjono (2001;hal 56), beberapa ciri pokok masyarakat hukum
adat adalah mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri
terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu dan mempunyai
kewenangan tertentu.
Masyarakat Hukum Adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang
hidupnya yaitu ”hak Ulayat” sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA; Dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 3 dinyatakan bahwa; pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan uu dan peraturan lain
yang lebih tinggi.
C. Hak Ulayat
Yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingrecht dalam kepustakaan hukum
adat. Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas
pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah
seisinya, dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Dengan demikian, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum
(subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak). Hak ulayat tersebut berisi wewenang
untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok
tanam dan lain-lain) persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dan lainlain) dan pemeliharaan tanah.
2. Mengatur dan menetukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan
hak tertentu pada subyek tertentu.
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan dan lain-lain).
Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan, bahwa hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik
sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945.
Dengan demikian UUPA memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat yaitu:
pertama, syarat eksistensinya (keberadaannya) yakni tanah hak ulayat diakui sepanjang menurut
kenyataannya masih ada. Artinya bahwa di daerah yang semula ada tanah hak ulayat, namun
dalam perkembangan selanjutnya , hak milik perorangan menjadi kuat, sehingga menyebabkan
hilangnya tanah hak ulayat, maka tanah hak ulayat tidak akan dihidupkan kembali. demikian
pula di daerah-daerah yang tidak pernah ada tanah hak ulayat , tidak akan dilahirkan tanah hak
ulayat yang baru. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Di samping itu UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu.
Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental tersebut di atas, dapat
dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal
yakni :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak
ulayat.
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu, sebagai lebensraum yang
merupakan obyek hak ulayat.
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu .
Dipenuhinya ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup obyektif
sebagai kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada
masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut
sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat
dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu
pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini
menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah
ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Di pihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada
maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut di samping pembebanan kewajibannya oleh
negara.
Menurut Maria SW Sumardjono, bahwa pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat akan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang seyogyanya memuat :
1. Kriteria penentu eksistensi hak ulayat.
2. Pihak-pihak yang terlibat dan berwenang dalam proses penentuan tersebut.
3. Mekanisme/tatacara penentu eksistensi hak ulayat .
4. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan
berdasarkan pasal 2 ayat (4) UUPA berikut kewenangannya.
5. Hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak pengelolaan.
UUPA sengaja tidak mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan
mengenai hak ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat
setempat. Mengatur hak ulayat menurut para perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat
menghambat perkembangan alamiah hak ulayat, yang pada kenyataannya memang cenderun
melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan membikin bertambah kuatnya hak-hak
individu, melalui pengaturannya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyelenggaraan
pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya. Melemahnya atau
bahkan menghilangnya hak ulayat, diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan hak
menguasai dari Negara, yang mencakup dan menggantikan peranan kepala adat dan para tetua
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang
sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
seperti halnya tanah-tanah di daerah-daerah lain (Boedi Harsono, 2005; 193).
Masyarakat yang selama ini menguasai tanah atas dasar hukum adat merasa bahwa tanah
yang dikuasai tersebut secara ulayat harus didaftar padahal hak ulayat pun tidak akan didaftar.
UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dalam PP No. 24 tahun 1997 hak ulayat secara
sadar tidak dimasukkan dalam golongan obyek pendaftaran tanah. Selama ini masyarakat tidak
memahami hak-hak apa saja yang didaftar dan bagaimana prosedur pendaftaran tanah.
Menurut Ter Haar (dalam Farida Patittingi) hak ulayat adalah hak untuk mengambil
manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan pantai,laut, tanaman-tanaman dan binatang
yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
D. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat
bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal
ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah
hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan
lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Pada Tanah Ulayat, ada pelekatan hak ulayat pada bidang tanah yang mana hak ulayat
tersebut berasal dari suatu persekutuan hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah
suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus
memperhatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan
hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun persekutuan
hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat
adalah sekelompok orang ( lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, termasuk yang akan lahir)
yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik karena faktor genealogis, teritorial maupn
kepentingan, mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan, mempunyai harta
kekekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tak berujud.
Dengan demikian ada tiga bentuk persekutuan hukum adat, yakni 1. genealogis, seperti
suku dan paruik di Minangkabau, marga di Tanah Batak, Klebu di Kerinci; 2. teritorial seperti
desa di Jawa dan Bali, dusun dan marga di Sumatera Selatan, dan 3. genealogis teritorial, seperti
nagari di Minangkabau.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Tanah Ulayat di Indonesia
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajban suatu
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya yang disebut dengan tanah ulayat.
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Tanah ulayat dikenal dengan beberapa
istilah sesuai dengan penggunaan dan pemanfatannya seperti pertuanan (Ambon – tanah wilayah
sebagai kepunyaan, panyampeto (Kalimantan – sebagai tempat yang memberi makan, pewatasan
(Kalimantan– sebagai daerah yang dibatasi), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali) atau, sebagai
tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan – Bolaang Mongondouw). Akhirnya dijumpai juga
istilah-istilah: Torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer
(Lombok) dan ulayat (Minangkabau). Dalam Surat Pengantar Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan Yang Dilaksanakan Oleh
Pemerintah Kabupaten Dan Kota; diberikan pengertian dari tanah ulayat sebagai berikut: “Tanah
ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.”
Sebelum Indonesia merdeka, pada prinsipnya menurut Agrarische Wet tanah ulayat telah
diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk Sumatera (sesuai Pasal 1
dari Stb No. 55 Tahun 1870). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960 maka Wet tersebut telah telah dicabut. Meskipun UU tersebut telah dicabut,
tanah ulayat masih tetap diakui hal ini sesuai yang tertera dalam Pasal 3 UUPA. Akan tetapi,
pengakuan tanah ulayat dalm UUPA tersebut disertai dengan 2 syarat yaitu mengenai
eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Tanah ulayat tersebut tetap diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dalam
artian sepanjang masyarakat hukum adat masih ada, meskipun hukum adat itu tidak tertulis.
Keberadaan masyarakat hukum adat dapat dibuktikan dengan melihat dari adanya kesepakatankesepakatan masyarakat secara adat setempat yang isinya mengenai kepentingan masyarakat
yang bersangkutan termasuk tanah ulayat. Sedangkan mengenai pelaksanaanya tanah ulayat
diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara karena kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan
nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hal ini dikarenakan ada kalanya
pelaksanaan hak ulayat oleh para penguasa/ kepala adat menghambat, bahkan merintangi usahausaha besar pemerintah dalam hal keperluan pembangunan. Tetapi dengan pendekatan secara
adat hambatan-hambatan yang ada pada umumnya dapat dicegah dan diatasi.
Pendekatan tersebut dapat dilakukan antara para penguasa adat dan warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menurut adat- istiadat setempat, yang hakikatnya mengandung
pengakuan adanya hak ulayat. Tetapi untuk instansi pemerintah atau pengusaha yang berusaha
memperoleh tanah ulayat hanya berdasarkan surat keputusan pejabat atau isntansi pemerintah
yang memberikan kepadanya, pasti akan menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya.
Untuk pengaturan tanah ulayat, oleh otoritas pertanahan (BPN) telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Penggunaan kata
‘hak ulayat’ dalam peraturan ini kiranya kurang tepat mengingat bahwa hak ulayat tidak hanya
meliputi tanah namun termasuk juga hutan, air, dan segala sesuatu yang ada di dalam wilayah
yang menjadi wilayah dari masyarakat adat tersebut, sebab di dalam hukum adat tanah tidak saja
diartikan sebagai permukaan bumi, tetapi juga udara, air, bahan galian, termasuk roh nenek
moyang.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan tersebut, Hak Ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama atau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui
dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; b.
terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c. terdapat tatanan
hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Untuk pengaturan lebih lanjut tentang hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 maka diterbitkan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 400-2626 tanggal 24 Juni 1999. Menurut ketentuan tersebut
maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1. penelitian dan pengesahan eksistensi hak ulayat di masing-masing daerah dengan
melibatkan pihak yang terkait;
2. pemetaan wilayah hak ulayat masing-masing;
3. pengesahan hak ulayat dari masyarakat hukum adat di tiap-tiap daerah oleh masingmasing daerah.
Beberapa hal seputar pengaturan tanah (hak) ulayat yang mengatur tentang eksistensi dan
perlindungan tanah (hak) ulayat yaitu Kabupaten Kampar Prov. Riau (Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat); Kabupaten Lebak Prov.
Banten (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak
Ulayat Masyarakat Baduy); dan Kabupaten Nunukan Prov. Kalimantan Timur (Peraturan Daerah
Kabupaten Nunukan No. 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh
Kabupaten Nunukan) tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
N
o
Perihal
Kampar
Lebak
Nunukan
1
Istilah
Hak tanah ulayat
2
Pengertian
Salah satu hak milik Bidang tanah yang di Bidang
bersama
Hak ulayat
Hak ulayat
tanah
yang
suatu atasnya terdapat hak berada dalam lingkup
masyarakat adat, yang ulayat
mencakup
kesatuan
dari
suatu masyarakat
suatu hak
hukum masyarakat
wilayah adat tertentu
berupa
ulayat
suatu
hukum
adat tertentu
lahan
pertanahan,
tumbuh
yang hidup secara liar
dan
binatang
yang
hidup liar di atasnya
3
Subyek
Tidak
diatur/
tidak Masyarakat Baduy
Masyarakat Lundayeh
jelas
4
Batas-batas
Tidak
(masyarakat adat)
diatur/
tidak Diatur/ batas alam
Diatur/ batas alam
jelas
5
Pengecualia
Tidak diatur
Telah terdaftar dan/ Telah terdaftar dan/
n
atau telah diperoleh/ atau telah diperoleh/
dibebaskan
6
Pengukuran/
Tidak diatur, hanya Dilakukan
pemetaan
akan
dibebaskan
Dilakukan
dilakukan
inventarisasi
7
Pendaftaran
Boleh
8
Penyelesaian
Tidak
sengketa
dibentuk
Tidak boleh
ada,
akan Tidak diatur
Tidak boleh
Diatur
Badan
Penyelesaian
Permasalahan
Pemutihan
dan
Tanah
Ulayat Desa
9
Ketentuan
Tidak diatur
Diatur
Tidak diatur
pidana
Sumber: Dimodifikasi dari Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat Kabupaten Kampar,
Lebak dan Nunukan.
Dari tabel di atas terlihat bahwa pengaturan hak (tanah) ulayat yang ada di Indoenesia
terdapat beberapa perbedaan. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang wajar mengingat
sejarah, budaya dan dinamika masyarakat yang berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten
yang lain, namun dalam hal-hal yang bersifat prosedural seperti tata cara pengakuan dan
perlindungan terhadap tanah ulayat seyogianya menunjukkan kesamaan.
Di Sumatera Utara pengaturan mengenai tanah ulayat juga telah diatur dalam Peraturan
Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemnanfaatannya. Tujuan dari pengaturan
tanah ulayat dan pemanfaatan tersebut adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat
menurut hukum adat minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya
alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar
masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.
B. Pengaturan Tanah Ulayat di Australia
Di Australia, upaya melindungi hak-hak penduduk pribumi Australia yang sudah ada
sebelum kolonisasi Inggris oleh Pemerintah Federal ditetapkan Native Title Act 1993 (Cth) .
Kemudian, kebijakan tersebut diikuti oleh Pemerintah Negara Bagian New South Wales dengan
menetapkan Native Title Act 1994 (NSW) .
Hak milik penduduk asli merupakan pengakuan oleh undang-undang Australia bahwa ada
antara penduduk asli yang mempunyai hak dan kepentingan atas tanahnya sendiri, dari hukum
adat dan adat istiadatnya. Hak-hak dan kepentingan ini mungkin termasuk:
Tinggal di kawasan tersebut;
Mengakses kawasan tersebut bagi tujuan tradisional, misalnya berkemah atau
upacara;
Berburu, memancing dan mengumpulkan sumber daya tradisional seperti air, kayu
atau oker, dan
Mengajar hukum dan adat istiadat di kawasan luar kota.
Dalam beberapa hal, hak milik penduduk asli mencakup hak untuk memiliki dan
menghuni bidang tanah, yang terbatas bagi semua orang lain.
Pengakuan hak milik penduduk asli akan memungkinkan pemegang hak milik penduduk
asli untuk terus menggunakan hak adatnya jika belum batal. Hak milik penduduk asli telah batal
untuk tanah milik swasta, perumahan, komersial dan beberapa sewa lain dan daerah di mana
jalan, sekolah, bor, jalan kereta api dan jembatan dan ‘prasarana umum’ lainnya dibangun pada
atau sebelum tanggal 23 Desember 1996.
Hak milik penduduk asli memberikan hak kepada para pemilik untuk tetap menggunakan
tanah dengan cara yang sama seperti sebelum kedatangan kaum Eropa, di mana hak tersebut
belum dibatalkan oleh pemerintah sebelumnya yang memberikan hak milik tanah kepada suatu
pihak ketiga sebelum Racial Discrimination Act 1975.
Native Title Act berlaku untuk seluruh Australia. Ada unsur-unsur tertentu dari undangundang ini yang relevan untuk eksplorasi dan pertambangan:
Menurut Native Title Act, tidak ada hak mutlak bagi pemilik tradisional untuk
menolak eksplorasi atau permohonan hak milik mineral. Namun, penuntut dan
pemegang hak milik penduduk asli memiliki hak prosedural yang mencakup ‘hak
negosiasi’. Umumnya, Dewan Tanah mewakili penuntut dan pemegang hak milik
penduduk asli dalam proses negosiasi untuk proyek eksplorasi dan pertambangan.
Perjanjian khusus diperlukan untuk eksplorasi maupun kegiatan pertambangan.
Ekslporasi umumnya kurang mungkin menggangu masyarakat atau kegiatan sosial
penduduk asli, tempat-tempat penting, atau melibatkan gangguan besar terhadap
tanah atau perairan. Di Northern Territory, permohonan untuk izin eksplorasi
dilakukan melalui prosedur ‘hak negosiasi yang dipercepat’, yang menyediakan cara
yang lebih cepat untuk pemberian hak eksplorasi;
Prosedur yang dipercepat dilaksanakan apabila proses pemberitahuan mencakup
pernyataan bahwa pemerintah “menganggap tindakan pemberian izin eksplorasi
sebagai tindakan yang layak menerima prosedur yang dipercepat”. Penuntut hak milik
penduduk asli terdaftar dapat menentang penyertaan pernyataan ini selama waktu
pemberitahuan 4 bulan. Jika tentangan tersebut tidak ditarik balik setelah periode
negosiasi, masalah ini harus dilanjutkan ke arbitrase. Jika tidak ada keberatan yang
diajukan, hak milik dapat segera diberikan tanpa kesepakatan. Namun, prosedur yang
dipercepat tidak berlaku untuk permohonan minyak bumi;
Di Northem Territory, Tribunal Nasional Hak Milik Penduduk Asli (NNTT)
merupakan lembaga arbitrase yang menangani penyelidikan untuk tentangan terhadap
prosedur yang dipercepat. Kesepakatan dapat dicapai pada mana-mana tahap selama
prosedur yang dipercepat, setelah negosiasi persyaratan yang layak. Native Title Act
mewajibkan negosiasi dilakukan dengan itikad baik. Pemerintah NT memainkan
peran aktif dalam menangani prosedur hak negosiasi. Jika pihak yang bernegosiasi
tidak dapat mencapai kesepakatan, perkara tersebut dapat dirujuk ke NNTT untuk
mediasi atau arbitrase;
Permohonan untuk segala jenis hak tanah pertambangan dan minyak bumi di mana
mungkin dilakukan pembangunan, juga diwajibkan mematuhi hak untuk prosedur
negosiasi dari undang-undang tersebut. Perjanjian yang meliputi kegiatan eksplorasi
dan produksi minyak bumi dinegosiasikan sekaligus. Negosiasi ini untuk persyaratan
yang diusulkan biasanya mengharuskan pelaksanaan dua persetujuan, ‘persetujuan
tambahan’ yang berisi aturan komersial, dan ‘surat hak milik tiga pihak’ (tripartite
deed). Pemerintah NT bukan penandatangan persetujuan tambahan.
Prosedur ini dimulai dengan proses pemberitahuan kepada umum di mana perincian
tentang permohonan hak tanah pertambangan atau minyak bumi diterbitkan dalam
sebuah koran Northern Territory dan koran penduduk asli. Jika tidak ada klaim hak
milik penduduk asli yang terdaftar, hak milik tanah dapat segera diberikan tanpa
kesepakatan
Nama UU
: Native Title Act
Sebutan hak Ulayat
: Native Title
Hak Ulayat Diakui
: Tahun 1992, setelah MA Australia mengabulkan gugatan Mabo seorang
tokoh masyarakat Aborigin, yang dianggap sebagai gebrakan hukum
yang mengakui “hak penduduk asli” atau “native Title” sebelumnya
tidak diakui oleh pemerintah Australia karena adanya doktrin terra
nulius, yaitu bahwa benua Australia tidak berpenghuni saat ditemukan
oleh orang Eropa.
Keberadaan Hak Ulayat diakui : oleh UU bahwa ada antara penduduk asli yang
mempunyai hak dan kepentingan atas tanahnya sendiri, dari hukum adat dan adat istiadatnya.
Hak-hak dan kepentingan ini mungkin termasuk:
1. Tinggal di kawasan tersebut;
2. Mengakses kawasan tersebut bagi tujuan tradisional, misalnya berkemah atau upacara;
3. Berburu, memancing dan mengumpulkan sumber daya tradisional seperti air, kayu atau
oker, dan
4. Mengajar hukum dan adat istiadat di kawasan luar kota
Sifat hak nya tidak bersifat mutlak bagi pemilik tradisional untuk menolak eksplorasi atau
menolak permohonan hak mineral
Tidak mengenal ganti rugi, yang dikenal adalah uang kompensasi atas tanahnya apabila
tanahnya akan diambil oleh pemerintah untuk kegiatan pembangunan.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Pada Tanah Ulayat, ada pelekatan hak ulayat pada bidang tanah yang mana hak
ulayat tersebut berasal dari suatu persekutuan hukum adat.
Sebelum Indonesia merdeka, pada prinsipnya menurut Agrarische Wet tanah ulayat telah
diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk Sumatera (sesuai Pasal 1
dari Stb No. 55 Tahun 1870). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960 maka Wet tersebut telah telah dicabut. Tanah ulayat tersebut tetap diakui
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dalam artian sepanjang masyarakat hukum adat
masih ada, meskipun hukum adat itu tidak tertulis.
Di Australia, upaya melindungi hak-hak penduduk pribumi Australia yang sudah ada
sebelum kolonisasi Inggris oleh Pemerintah Federal ditetapkan Native Title Act 1993 (Cth) .
Kemudian, kebijakan tersebut diikuti oleh Pemerintah Negara Bagian New South Wales dengan
menetapkan Native Title Act 1994 (NSW) . Hak milik penduduk asli merupakan pengakuan oleh
undang-undang Australia bahwa ada antara penduduk asli yang mempunyai hak dan kepentingan
atas tanahnya sendiri, dari hukum adat dan adat istiadatnya.
B. Saran
Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga
kelestariannya. Karena keberadaan hak ulayat ini sebagai dasar pegangan tanah ulayat itu sendiri.
Sehingga perlu dibuat kebijakan oleh pemerintah untuk mengatur tentang hak ulayat dan tanah
ulayat ini agar mempermudah pengelolaan dan pengaturannya.
Perlunya penguatan kelembagaan adat yang dapat memfasilitasi masyarakat hukum adat
dalam berpartisipasi pada pembangunan. Dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat sendiri,
diharapkan masarakat hukum adat mempunyai rasa memiliki infrastruktur yang telah di bangun.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, A. Bazar, 2007, Posisi Tanah UlayatMenurut Hukum Nasional, Yayasan Surya
Daksina, Jakarta.
Harsono, Boedi, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.
Harsono Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Salle Aminuddin, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total
Media, Yogyakarta.
Maria. S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.26 Maret 1996..
Patittingi Farida, www.asdarfh .wordpress. com, Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Sembiring, Julius, Tanah Adat, Masyarakat Adat Dan Desa Adat¸ dalam
http://pedulitanah.blogspot.com/2011/12/ketiga.html?m=1, diunduh pada tanggal 5
Nopember 2013 jam 08.00 wib.
MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM TANAH
“PENGATURAN TANAH ULAYAT DI INDONESIA DAN AUSTRALIA”
Disusun oleh Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.
Agus Andy Hariyanto
Achmad Taqwa Aziz
Mahenggar Paulina Puspita
Maria Padjo
Muhammad Solichin Ristiarto
:
:
:
:
:
10192474
10192473
10192483
10192484
10192488
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
\YOGYAKARTA
2013