ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dengan mengatas namakan budaya, tradisi, adat, agama, dan apapun dalam masyarakat dunia yang dilihat banyak pihak sebagai hambatan untuk menciptakan keadilan dan demokrasi. Masalah ini kemudian memperoleh perhatian global dan menjadi agenda PBB untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination Discrimination Against Women). Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Hal ini merupakan suatu tindakan nyata Pemerintah dalam mengutuk segala bentuk diskriminasi wanita dan komitmen untuk melaksanakan berbagai dalam kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita1

Selain itu dalam Konvensi PBB pada bulan Desember 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dideklarasikan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap wanita adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT2

1

Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah Analisis Kritis. Yayasan Obor. Jakarta.2007. hlm.3

2


(2)

Upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga (PKDRT). Perlindungan hukum dalam konteks Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menindak pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan melindungi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.3

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan /atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).

3


(3)

c. Kekerasan Seksual, meliputi:

1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

(Pasal 8)

d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:

1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9). Sesuai dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Perilaku kekerasan dalam rumah tangga adalah cerminan dari ketidak berhargaan perempuan di mata suaminya dan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak asasinya. Padahal secara ideal Posisi istri dalam kehidupan rumah tangga harus diberdayakan. Salah satu hal yang menyebabkan perempuan tidak berdaya adalah karena ia tidak dapat mandiri terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga. Ketidak mandirian ekonomi ini pada dasarnya bukan merupakan kesalahan perempuan karena pada aturan perkawinan, tanggung jawab ekonomi menjadi kewajiban suami dan sekaligus menjadi hak istri untuk mendapatkannya karena istri menjalankan fungsi reproduksi. Istri menjadi sangat tergantung pada suami secara ekonomi. Ketergantungan inilah yang menyebabkan seringkali istri tidak berani memperingatkan suaminya yang berbuat salah.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh


(4)

karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Oleh kerana itu pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, didefinisikan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dinyatakan:

“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun dan oleh siapapun “.

Secara empiris, potensi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga amat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam keluarga seperti suami, ayah, anak, saudara laki-laki,


(5)

atau anggota keluarga lain. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi ketika laki-laki memahami perempuan cuma sebagai pelengkap dari laki-laki dalam ruang domestik dengan fungsi melayani suami. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran di masyarakat. Pemahaman ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan.

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, bentuk-bentuk KDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Sedangkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku penganiayaan dalam rumah tangga bisa dijatuhi hukuman penjara atau denda. Pasal 351 KUHP mengatur penganiayaan secara umum, Pasal 352 KUHP mengatur penganiayaan ringan, Pasal 353 KUHP penganiayaan terencana, Pasal 354 KUHP penganiayaan berat, Pasal 355 KUHP penganiayaan berat terencana. Menurut pasal-pasal ini, pidana untuk pelaku penganiayaan berkisar antara 8 bulan sampai 15 Tahun. Pasal 356 KUHP secara khusus menyebutkan bahwa kalau korban penganiyaan adalah ibu, bapak, istri, atau anak sipelaku, hukumannya ditambah dengan sepertiga dari yang disebutkan pasal-pasal tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan paling tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, masih adanya pola pikir lingkungan terhadap sosok perempuan telah dibangun secara sosial maupun kultural. Perempuan dianggap lemah lembut, cantik dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan jantan. Ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang tidak harus sesuai dengan stereotype yang ada di masyarakat. Seorang perempuan dapat memiliki sifat kuat dan rasional, sedangkan laki-laki dapat memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Secara internal, perempuan seringkali memancing terjadinya kekerasan terhadap


(6)

dirinya, contohnya kasus perkosaan yang disebabkan perempuan yang memakai pakaian yang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya seperti pusar, dada, paha dan punggung.4

Permasalahan yang menyebabkan kasus KDRT sering kali tidak terangkat ke permukaan yaitu adanya persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini menganggap masalah KDRT sebagai urusan pribadi dan karenanya pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak boleh ikut campur di dalamnya. Selain itu Kebanyakan korban tidak bisa bicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Ini bisa dimengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. Para tetangga atau saksi lainnya biasanya tidak serta merta membantu korban. Korbanlah yang banyak menanggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari perlindungan diri atau menanggung aib5

Penyelesaian kasus KDRT selama ini berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah KDRT adalah urusan suami istri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut memperlambat proses perlindungan terhadap perempuan.

Masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti keluarga, masyarakat, maupun pemerintah dianggap tidak lazim.Salah satu contoh kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Terdakwa bernama Aries Kurniawan SH, MH Bin Abdul Djalil terbukti secara

4

PurniantiMenyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Mitra Perempuan, Jakarta. 2006. hlm.11 5

Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah Analisis Kritis. Yayasan Obor. Jakarta.2007. hlm.6-7


(7)

sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita.

Permasalahan yang terdapat dalam putusan tersebut adalah pelaku tindak pidana KDRT seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Pada kenyataannya terdakwa hanya dihukum selama tiga bulan lima belas hari. Sesuai dengan hal tersebut maka terdapat kesenjangan antara aturan hukum dengan pelaksnaannya di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka menyusun skripsi yang berjudul: Analisis Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup P enelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(8)

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap pelaku KDRT?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada putusan tersebut. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:


(9)

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) atau kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya6

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman

6

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(10)

masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya7

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.8

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu

7

Ibid. hlm. 23 8


(11)

tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.9

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan10

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

9

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

10


(12)

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.


(13)

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.

11 2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.12

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan

11

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77

12

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49


(14)

tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum14

d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

E. Sitematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

13 Ibid

. hlm. 53

14

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25


(15)

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(16)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.1

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “ strafbaar feit “ untuk menyebutkan “ tindak pidana “ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan “feit”dalam Bahasa

Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “ sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar feit” ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan.2

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 20

2

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(17)

Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran

norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.3

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat ( perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.4

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak

pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi

pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam PerUndang-Undangan secara keseluruhan.

3

P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996 hlm. 16.

4Ibid


(18)

b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).

Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi dua macam :

1) Tindak Pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.

2) Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.5

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

B. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Yang Mengatur 1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga

5

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 43-44.


(19)

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyatakan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Undang-undang yang mengatur KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat tergantung jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pengertian rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah atau mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan6

Rumah tangga dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama di satu tempat kediaman. Rumah Tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasi pada tugas, unit ini lebih besar dari individu tetapi lebih kecil dari pada ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah tangga ada sejumlah aturan-aturan dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya. Anggota suatu rumah tangga bisa terdiri dari satu atau beberapa keluarga (family) atau juga keluarga dengan orang lain selama mereka hidup bersama, jadi jelas bahwa rumah tangga berbeda dengan keluarga.7

6

Rika Saraswati.Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2005.hlm 56

7


(20)

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan: a. Lingkup rumah tangga meliputi:

a. Suami, istri, dan anak

b. Orang-orang yang mempuyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau

c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. b. Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada

dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Dalam Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh DPR-RI, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah:

a. Pasangan atau mantan pasangan di dalam maupun diluar perkawinan

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan, adopsi dan hubungan adat dan atau agama.

c. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang menetap atau tidak disebuah rumah tangga.

d. Orang yang masih tinggal dan atau pernah tinggal bersama.

Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup rumah tangga terdiri dari suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pangasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan memetap dalam rumah tangga tersebut.

Setiap Warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sesuai dengan namanya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan


(21)

oleh negara mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Mnurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah:

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus, oleh karena itu diperlukan adanya sistem hukum yang dapat menjamin perlindungan hukum terhadap korban dari kekerasan dalam rumah tangga.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 6).

c. Kekerasan Seksual, meliputi:

(1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.


(22)

(2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

(Pasal 8)

d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).

C. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) atau kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya8

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

8

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(23)

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

(1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

(2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.9

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP)10

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi,

9

Ibid.hlm. 49

10

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11


(24)

sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.11

Menurut Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: (1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan

putusan yang dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim. (2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

11Ibid


(25)

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang


(26)

dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.12

12

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77


(27)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder2.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

a. Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

1

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.14

2Ibid


(28)

2

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

g. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

h. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.


(29)

3

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.3 Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Jaksa pada Kejaksaaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian4. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Jaksa pada Kejaksanaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang

2). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang +

Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3Ibid

. hlm.82

4Ibid


(30)

4

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut: a. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian.


(31)

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

(Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

(Skripsi)

Oleh

FERY WIRAWANSYAH

0912011324

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(32)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

(Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

Oleh

FERY WIRAWANSYAH

Pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seharusnya mendapatkan hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi pada kenyataannya pelaku hanya dihukum ringan sehingga terjadi kesenjangan antara aturan hukum dengan pelaksnaannya di lapangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap pelaku KDRT.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Aries Kurniawan Bin Abdul Djalil terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita. Terdakwa dihukum selama tiga bulan lima belas hari sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dasar Pertimbangan


(33)

Fery Wirawansyah

Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sebagaimana diatur. Pasal 183 KUHAP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana selama tiga bulan lima belas hari adalah: (a) Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya (b) Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum hendaknya terus meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upaya perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan terjadi KDRT pada masyarakat. (2) Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah pandangan bahwa KDRT adalah masalah intern keluarga, sehingga tidak diupayakan adanya penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan dianut maka kejahatan KDRT akan sulit untuk dihapuskan.


(34)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teori dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 17

B. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Yang Mengatur ... 20

C. Pertanggungjawaban Pidana ... 23

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 25

BAB III METODE PENELITIAN... 28

A. Pendekatan Masalah... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 31

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Karakteristik Responden ... 32

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK... 33


(35)

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan

Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor

383/Pid.B/2012 PN.TK ... 53

V PENUTUP... 62

A. Simpulan ... 62

B. Saran... 63


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia

Indonesia Jakarta. 2001.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

PurniantiMenyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Mitra Perempuan, Jakarta. 2006.

Rahardjo, Satjipto.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. Saraswati, Rika.Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan,PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung. 2005.

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah

Analisis Kritis.Yayasan Obor. Jakarta.2007. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(37)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012


(38)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Aries Kurniawan Bin Abdul Djalil terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita. Terdakwa dihukum selama tiga bulan lima belas hari sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak


(39)

33

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

a. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya

b. Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum hendaknya terus meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upaya perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan terjadi KDRT pada masyarakat.

2. Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah pandangan bahwa KDRT adalah masalah intern keluarga, sehingga tidak diupayakan adanya


(40)

34

penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan dianut maka kejahatan KDRT akan sulit untuk dihapuskan.


(1)

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan

Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor

383/Pid.B/2012 PN.TK ... 53

V PENUTUP... 62

A. Simpulan ... 62

B. Saran... 63


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia

Indonesia Jakarta. 2001.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

PurniantiMenyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Mitra Perempuan, Jakarta. 2006.

Rahardjo, Satjipto.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. Saraswati, Rika.Membina Rumah Tangga Tanpa Kekerasan,PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung. 2005.

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. Sumekar, Wulan Indah.Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sebuah

Analisis Kritis.Yayasan Obor. Jakarta.2007. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(3)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Aries Kurniawan Bin Abdul Djalil terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita. Terdakwa dihukum selama tiga bulan lima belas hari sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak


(5)

33

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

a. Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya, saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak mengakui perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya

b. Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum hendaknya terus meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upaya perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan terjadi KDRT pada masyarakat.

2. Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah pandangan bahwa KDRT adalah masalah intern keluarga, sehingga tidak diupayakan adanya


(6)

34

penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan dianut maka kejahatan KDRT akan sulit untuk dihapuskan.


Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )

0 8 49

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)

0 17 61

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

0 7 61

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI BANTUL (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 223/PID.B/2014/PN.BTL).

3 58 10

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI BANTUL (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 223/PID.B/2014/PN.BTL).

0 2 12

PENDAHULUAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI BANTUL (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 223/PID.B/2014/PN.BTL).

0 4 15

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM PERKARA RESIDIVE PADA TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klas IA Padang).

0 0 10