ANALISIS HUKUM ACARA PTUN TERHADAP KASUS KAPAS TRANSGENIK PT. MONAGRO KIMIA VS. NGO

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kapas transgenik merupakan hasil bioteknologi di bidang perkapasan yang memiliki keunggulan yaitu produksinya tinggi, mutu seratnya baik, tahan terhadap hama utama kapas Helicoverpa armigera dan hanya memerlukan sedikit pestisida sehingga menguntungkan bagi para petani kapas sebagaimana dinikmati oleh petani-petani di Amerika Serikat dengan luas tanah tahun 2000 adalah 30,3 juta Ha, Australia, 0,2 Ha dan Cina 0,5 juta Ha.1

Pendapat kelompok masyarakat yang pro dan kontra meyakini tanaman kapas transgenik memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, tetapi hal tersebut belum teruji, apakah lebih besar manfaatnya atau kerugiannya.

Di Sulawesi selatan terdapat penolakan akan keberlakuan kapas transgenik . Penolakan terhadap SK Menteri Pertanian diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akibat tidak dilakukannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terlebih dahulu, padahal kapas transgenik berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan lain seperti akibat dari kapas transgenik yang dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik, serta tidak transparannya informasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah terhadap petani-petani di Sulawesi Selatan, dan tidak tepatnya penggunaan kapas transgenik di Sulawesi Selatan karena kapas transgenik hanya dapat bertahan dari hama Heliothis virescens, Helicoverpa armigera, dan

Pectinophora gossypiella, padahal hama kapas yang paling banyak menyerang di Sulawesi berjenis Empoasca.

Hingga akhirnya LSM tersebut mengajukan gugatan pembatalan SK Mentan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap Pemerintah RI, PT Monagro Kimia, dan sejumlah petani di Sulawesi Selatan.

1 D.A. Andow and Claudia Zwahlen, Assessing Environmental Risks of


(2)

B.Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan serta untuk menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Secara khusus, tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:

a) Menganalisa secara kritis apakah pertimbangan hakim telah tepat dan sesuai dengan teori hukum lingkungan beserta Peraturan yang berlaku.

b) Menganalisa secara kritis apakah putusan hakim telah tepat dan sesuai dengan teori hukum lingkungan beserta Peraturan yang berlaku.

C. Rumusan Masalah

a) Sudah tepatkah penggunaan hak gugat oleh para Penggugat dalam kasus ini? Sudah tepatkah pendapat hakim atas hak gugat para para Penggugat?

b) Bagaimana pendapat para pihak dan hakim mengenai hubungan Amdal, Risk Asessment, dan Precautionary Principle dalam kasus ini? Sudah tepatkah pendapat hakim terkait hubungan ini?

c) Bagaimana para pihak melihat keamanan produk kapas transgenik, yang termasuk pest/insect resistant crops (Bt)?

d) Bagaimana pendapat hakim atas persoalan keamanan ini? Sudah tepatkah pendapat hakim ini?

BAB II ISI A. Kasus Posisi


(3)

Kasus ini terjadi antara koalisi ORNOP untuk keamanan Hayati dan Pangan (ICEL, YLKI, Biotani Indonesia, YLKSS di Makassar, LPPM di Makassar dan KONPHALINDO) yang selanjutnya disebut sebagai para para Penggugat, melawan Menteri Pertanian R. I., PT. Monagro Kimia, juga Syarifuddin, dkk.

Dalam gugatan tersebut, para para Penggugat salah satu pokoknya mendalilkan mengenai pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui proses Analisa Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal, yang mana menurut penilaian para para Penggugat, pelepasan kapas transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 32B (Bollgard) tersebut haruslah didahului dengan pelaksanaan proses AMDAL sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Tetapi pada kenyataannya pengeluaran izin pelepasan kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan ini terjadi tanpa adanya proses AMDAL dan hal tersebut menurut para penggungat akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk transgenik, pengelolaan dan pelestarian lingkungan, perlindungan konsumen dan sebagainya, sehingga mengakibatkan menurunnya partisipasi masyarakat dan berkurangnya kemampuan pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta daya dukung lingkungan .

Berdasarkan hal-hal tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa dalam penerbitan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan tergugat telah cukup mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam pelepasan uji coba lapangan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690 B. Hal yang dilakukan tergugat tersebut juga terbukti tidak melanggar ketentuan tentang AMDAL dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Kedua hal tersebut berdasarkan pada bukti tertulis ditemukannya fakta-fakta tindakan tergugat antara lain berupa: (1) melakukan pengumuman kepada masyarakat sebelum Keputusan Tata Usaha Negara diterbitkan, (2) memenuhi ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri


(4)

Negara Pangan dan Holtikultura tanggal 29 September 1999 yang pada akhirnya menyatakan kapas transgenik Bt DP 5690 B aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, (3) memperhatikan rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) yang terdiri dari 16 anggota Tim dan Narasumber Ahli Bioteknologi yang memberi rekomendasi pelepasan kapas transgenik di Sulawesi Selatan, (4) klarifikasi kegiatan pelepasan kapas transgenik oleh tergugat kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Pada akhirnya amar Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT berbunyi Majelis Hakim memutuskan untuk menolak gugatan para para Penggugat seluruhnya.

B. Pembahasan

1. Hak Gugat Para Penggugat

Para para Penggugat dalam kasus ini adalah :

1) Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL);

2) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);

3) Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS);

4) Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO);

5) Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia; 6) Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 :

“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat kita ketahui paragraf keempat disebutkan bahwa Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup memiliki hak untuk mengajukan gugatan. Pada Pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 :


(5)

1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan,organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada

tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi,kecuali biaya atau pengeluaran riil.

3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :

a) Berbentuk badan hukum atau yayasan;

b) Dalam Anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkugan hidup;

c) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Berdasarkan ketentuan beberapa Undang-Undang yang bersangkutan diatas, maka kami akan menjelaskan apakah semua para Penggugat memiliki hak gugat.

1) Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Pasal 4 AD/ART– nya disebutkan bahwa tujuan dari lembaga ini ada adalah salah satunya untuk memberikan dukungan terhadap upaya-upaya pembelaan dalam permasalahan lingkungan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.Dapat disimpulkan bahwa badan hukum ini berhak untuk mengajukan gugatan karena mempunyai kepentingan berdasarkan tujuan dari lembaga ini yang mereka perjuangkan . Sehingga ICEL berhak mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

2) Dalam Pasal 5 AD/ART dari YLKI disebutkan bahwa maksud dan tujuan dari lembaga ini ada adalah untuk memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kepada kesejahteraan keluarga. Tetapi hal yang perlu kita perhatikan bahwa bahwa lembaga ini tidak mencerminkan secara eksplisit sebagai organisasi lingkungan hidup. Lembaga ini dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk menengahi sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha ,bukan di bidang lingkungan hidup oleh karena itu kualitas para para Penggugat tidak memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997. Sehingga lemabaga ini tidak memiliki hak gugat.


(6)

3) Dalam Pasal 4 AD/ART dari KONPHALINDO disebutkan bahwa maksud dan tujuan dari lembaga ini ada adalah turut serta melestarikan hutan dan alam Indonesia guna kesejahteraan masyarakat luas, hal ini jelas termasuk dalam usaha perlindungan lingkungan hidup. Dapat disimpulkan bahwa badan hukum ini berhak untuk mengajukan gugatan karena mempunyai kepentingan berdasarkan tujuan dari lembaga ini. Sehingga KONPHALINDO berhak mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997 lembaga ini bergerak di bidang lingkungan hidup yaitu usaha untuk melestarikan hutan dan alam Indonesia guna kesejahteraan masyarakat Luas. Dan apabila kita memperhatikan kembali ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini jelas dapat mengajukan gugatan karena kepentingannya ada yang dirugikan secara langsung yaitu apabila resiko pemakaian kapas transgenik terjadi maka akibatnya adalah kelestarian hutan dan alam Indonesia akan terganggu. Kesimpulan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa Lembaga ini memiliki hak gugat.

4) Dalam Pasal 5 AD/ART dari Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia

disebutkan disebutkan bahwa tujuan dari lembaga ini didirikan adalah salah satunya untuk pengembangan pertanian berwawasan lingkungan (sustainable agriculture). Dapat disimpulkan bahwa badan hukum ini berhak untuk mengajukan gugatan karena mempunyai kepentingan berdasarkan tujuannya.Sehingga Lembaga ini berhak mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997 lembaga ini bergerak di bidang lingkungan hidup yaitu usaha untuk melestarikan hutan dan alam Indonesia guna kesejahteraan masyarakat Luas. Seperti yang kita ketahui bahwa Kapas transgenik merupakan hasil bioteknologi di bidang perkapasan yang dinikmati oleh petani-petani dan merupakan salah satu bentuk perkembangan pertanian, dan jika perkembangan tersebut tidak berwawasan lingkungan seperti yang di kuatirkan atas produk ini maka sangat jelas bahwa Lembaga ini mempunyai kepentingan untuk menggugat. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini jelas dapat mengajukan gugatan karena


(7)

kepentingannya ada yang dirugikan secara langsung .Sehingga Lembaga ini

memiliki hak gugat.

5) Dalam Pasal 5 AD/ART dari YLK Sulawesi Selatan disebutkan bahwa maksud dan tujuan lembaga ini didirikan adalah memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen, menuju kepada kesejahteraan keluarga. Lembaga ini bukan merupakan organisasi lingkungan hidup. Lembaga ini dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk menengahi sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha khususnya di wilayah Sulawesi Selatan ,bukan di bidang lingkungan hidup oleh karena itu kualitas para para Penggugat tidak memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997. Dan apabila kita memperhatikan kembali ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini tidak dapat mengajukan gugatan karena kepentingannya tidak ada yang dirugikan secara langsung. Hingga saat ini belum ada konsumen produk ini yang merasa dirugikan. YLK Sulawesi Selatan dapat disimpulkan tidak memiliki hak gugat.

6) Dalam Pasal 3 ayat (6) AD/ART dari Yayasan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat disebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan lembaga ini didirikan adalah untuk mengembangkan potensi sumber daya alam dalam upaya mengelola dan meningkatkan kesejahteraan menuju masyarakat yang adil danmakmur. Hal ini dapat ditempuh salah satunya dengan cara perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup agar rakyat dapat sejahtera dan terlindungi dari pencemaran lingkungan. Tetapi bisa kita lihat kembali pada maksud dan tujuan lembaga ini didirikan tidak secara eksplisit merupakan lembaga yang bergerak di lingkungan hidup. Hak gugat lembaga ini tidak sesuai dengan Undang-Undang No.23 tahun 1997. Sehingga tidak dapat memiliki hak gugat. Dan apabila dengan memeperhatikan ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini

tidak dapat mengajukan gugatan karena kepentingannya tidak ada yang dirugikan secara langsung.

Dalam putusan ini hakim berpendapat bahwa para para Penggugat tidak mempunyai kualitas untuk mengajukan gugatan karena tidak memenuhi pasal 38 Undang-Undang No.23 tahun 1997 dan tidak dapat mewakili kepentingan masyarakat.


(8)

Menurut pendapat kami berdsarkan penjelasan sebelumnya, bahwa pendapat hakim tersebut tidak sepenuhnya telah tepat karena dari Para para Penggugat tersebut ada 3 Lembaga yang memiliki hak Gugat karena sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang No. 23 tahun 1997. Lembaga yang memiliki Hak Gugat tersebut adalah :

1) Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL);

2) Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO);

3) Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia. Sedangkan lembaga yang tidak memiliki hak gugat adalah :

1) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);

2) Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS); 3) Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat.

Jadi dalam memutus perkara ini seharusnya hakim dengan jelas daneksplisit menyebutkan siapa para Penggugat yang sah mengajukan gugatannya dan siapa yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Pendapat Para Pihak dan Hakim Mengenai Hubungan Amdal, Risk Assessment, dan Precautionary Principle

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), disebutkan bahwa "Usaha dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik”, harus didahului dengan pelaksanaan proses Amdal. Hal ini dapat dilihat dari :

a) Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan ”Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.”

b) Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang menyebutkan: “Untuk menjamin pelestarian lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan


(9)

dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”

c) Pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang menyebutkan: ”Setiap usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.”

d) Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan yang menentukan:

Ayat (1) ”Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:

a) .... b) .... ...

f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.”

Ayat (2) ”Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Non Departemen yang terkait.”

e) Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : ”Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.”

f) Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: Ayat (1) ”Setiap usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan.”

Eviromental Risk Assesment (ERA)

Environmental Risk Assesment (ERA) diartikan sebagai suatu bentuk penilaian dari risiko baik positif ataupun negatif yang akan timbul dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan dan atau kesehatan dan keselamatan manusia sebagai seorang makhluk hidup. Hal ini diatur dalam pasal 47 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup yang meliputi pengkajian risiko, pengelolaan


(10)

risiko dan komunikasi risiko. Namun dalam dalam UU yang terdahulu (UU No. 23 Tahun 1997) tidak disebutkan secara eksplisit mengenai pengaturan ERA ini. OLeh karena keputusan PTUN Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT ini dikeluarkan pada tahun 2001, yaitu sebelum UU No. 32 Tahun 2009 dikeluarkan, maka pengaturan yang digunakan masih merujuk kepada UU No. 23 Tahun 1997. Penerbitan SK ini dengan alasan in litis kurang memperhatikan analisa ERA terhadap resiko yang akan terjadi apabila SK ini diterbitkan walaupun dalam jangka waktu sementara.

Environmental Risks Assesment pada dasarnya dibagi dalam empat tahapan2 yaitu :

1. Identifikasi bahaya atau risiko; 2. Melakukan penilaian terbuka;

3. Menghasilkan penilaian pengaruh atau dampak; dan

4. Mengklasifikasikan karakteristik dari pengaruh atau dampak tersebut.

Precautionary Principle

Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian merupakan serangkaian tindakan pencegahan yang dilakukan berkaitan dengan risiko atau bahaya yang serius serta ketidakpastian (uncertainity) ilmiah dan teknologi. Precautionary principle

muncul pertama kali pada penerapan hukum lingkungan di Jerman pada awal tahun 1970-an yang dikenal dengan Vorsorgeprinzip yang bertujuan untuk mencegah risiko yang timbul dari pencemaran lingkungan hidup. Kemudian, precautionary principle

kembali ditegaskan pada Prinsip 15 Rio Declaration (1992), yang menyatakan bahwa apabila terdapat kemungkinan timbulnya kerusakan yang serius dan besar, maka kelangkaan atau kurangnya data ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prinsip kehati-hatian pada kebijakan lingkungan hidup di Indonesia diterapkan dengan adanya Amdal atau UKL-UPL sebagai syarat wajib untuk mendapatkan izin lingkungan yang mana izin lingkungan tersebut merupakan syarat yang harus

2 D.A. Andow and Claudia Zwahlen, Assessing Environmental Risks of


(11)

dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha. Sehingga untuk mendapatkan izin usaha, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup haruslah mempunyai Amdal atau UKL-UPL.

Yang mana dengan adanya Amdal sebagai syarat wajib pemberian izin usaha bagi usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, berarti Pemerintah sebagai pemberi izin telah menerapkan prinsip kehati-hatian. Pemerintah telah melakukan suatu tindakan pencegahan sebelum suatu dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan hidup. Karena apabila Amdal bukan syarat wajib pemberian suatu izin usaha, pastinya akan banyak sekelompok orang yang bebas menjalankan usaha dan/atau kegiatan tanpa memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Apabila dilihat dari tujuannya, yaitu untuk menganalisa/mengidentifikasi risiko lingkungan, dapat dikatakan bahwa ERA adalah kegiatan lanjut atau tindakan nyata pelaksanaan dari Amdal.3 Sehingga untuk membuat ERA haruslah dengan

adanya Amdal terlebih dahulu, karena ERA berpedoman pada Amdal itu sendiri. Karena itulah prinsip kehati-hatian dengan Amdal dan ERA saling berkaitan satu sama lain.

Prinsip kehati-hatian baru diakui di Indonesia melalui putusan pengadilan, pada tahun 2005, melalui PP No. 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG). Pasal 3 PP No. 21 Tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.

Teori-teori di atas akan dikaitkan dengan pendapat para pihak dan hakim dalam kasus Kapas Transgenik dengan putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKY oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

3 Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal 108.


(12)

Pendapat Para Pihak

Berikut pembahasan mengenai pendapat pihak Para Penggugat terhadap Amdal, precautionary principle dan kaitannya dengan ERA :

1) “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Tergugat bertentangan dengan ketentuan mengenai Amdal”. Para Penggugat menyatakan bahwa pelepasan kapas transgenic Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35B (BOLLGARD), yang menjadi materi Surat Keputusan Tergugat, harus didahului dengan pelaksanaan proses Amdal dan pengumuman kepada masyarakat sebelum penyusunan Amdal. Hal ini diperkuat dengan penjelasan rincian oleh para Penggugat dengan dasar hukum:

a) Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

b) Pasal 14 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup c) Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup d) Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan

e) Pasal 7 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

f) Pasal 33 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

2) “Bahwa tidak mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Monagro Kimia, sebagai pihak pengusul dalam pelepasan kapas Bt, yang telah melakukan uji coba, penanaman uji coba, penanaman, pengembangan, serta komersialisasi kapas transgenic Bt di Sulawesi Selatan.”

Dalam dalil gugatannya, para para Penggugat menyatakan alasan yang berkaitan dengan Amdal, ERA dan precautionary principle, yatiu : “Bahwa pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui pelaksanaan proses Amdal, maka akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk transgenik, pengelolaan dan pelestarian lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan konsumen, dsb, sehingga mengakibatkan menurunnya partisipasi


(13)

masyarakat dan berkurangnya kemampuan pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta daya dukung lingkungan.

Dari uraian di atas, maka kami menganalisis bahwa Para Penggugat menyatakan secara tegas bahwa seharusnya Tergugat mewajibkan PT. Monagro Kimia untuk melakukan proses Amdal sebelum melakukan kegiatan usahanya untuk memproduksi kapas transegenik BOLLGARD. Menurut kami alasan gugatan ini tepat. Karena dalam pasal 3 ayat (1) huruf f PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik, termasuk kapas transgenic termasuk pelepasan Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul, merupakan salah satu usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sehingga seharusnya melalui proses pelaksanaan Amdal. Namun Tergugat tidak melakukannnya dan kemudian langsung mengeluarkan Surat Keputusan No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama NuCOTN 35B (BOLLGARD) tertanggal 7 Februari 2001 terhadap PT. Monagro Kimia.

Berikut pembahasan mengenai pendapat pihak Tergugat terhadap Amdal,

precautionary principle dan kaitannya dengan ERA:

1. “Walaupun ada desakan dari petani kapas Sulawesi Selatan yang diwakili Asosiasi Petani Kapas Indonesia di Sulawesi Selatan untuk melepas kapas transgenik Bt dan permohonan Gubernur Sulawesi Selatan untuk melepas varietas kapas Bollgard serta usul dari DPRD Sulawesi Selatan untuk melepas kapas transgenik Bt ketiga-tiganya kepada Menteri Pertanian, Menteri Pertanian tetap berpegang teguh prinsip kehati-hatian yang menerbitkan pelepasan kapas Bt tersebut secara terbatas.”

Pihak tergugat disini keliru dalam memahami prinsip kehati-hatian, yang mana pihak tergugat mengasumsikan bahwa pihak tergugat telah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan menerbitkan pelepasan kapas Bt secara terbatas. Pemahaman itu salah karena walaupun dilepaskan secara terbatas, belum tentu dengan penanaman yang terbatas itu tidak memberikan dampak/risiko terhadap


(14)

lingkungan hidup. Maka dari itu sebelum diterbitkan izin pelepasan kapas Bt secara terbatas haruslah dengan membuat Amdal terlebih dahulu yang kemudian dilanjuti dengan pembuatan ERA sehingga dapat diketahui risiko apa saja yang mungkin terjadi dalam rangka pencegahan kerusakan lingkungan yang merupakan arti sesungguhnya dari prinsip kehati-hatian.

2. “Dalam ketentuan pasal 6 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun pasal 60 dan 61 UU ini mengancam dengan hukuman pidana terhadap pihak yang mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi varietas tanaman yang belum dilepas oleh Menteri Pertanian. Sementara itu, petani kapas di Sulawesi Selatan menghendaki untuk menanam varietas kapas transgenik Bt dalam musim tanam tahun 2001. Dalam rangka melindungi petani dari ancaman pidana dimaksud, sekaligus melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam memanfaatkan kapas transgenik, Menteri Pertanian merespon keadaan tersebut dengan menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tanggal 7 Februari 2001.”

Pemahaman pihak tergugat atas prinsip kehati-hatian pada jawaban ini juga keliru. Prinsip kehati-hatian diterapkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang salah satunya dengan mewajibkan Amdal dan ERA sebagai syarat wajib pemberian izin usaha, bukan untuk melindungi petani sehingga menerbitkan SK tersebut seperti penjelasan diatas.

3. “Mengingat penerapan Amdal tidak mungkin lagi dilakukan, maka dalam rangka kehati-hatian sesuai dengan prinsip yang ada dalam Protokol Cartagena, Meneg Lingkungan Hidup memohon tergugat agar meminta PT. Monagro Kimia dalam waktu segera melakukan Risk Assesment (Analisis Risko Lingkungan). Surat tersebut telah tergugat tanggapi dengan surat Nomor KB. 430/58/A/XI/2000 tanggal 10 November 2000 yang menyatakan bahwa proses pelepasan terbatas varietas kapas transgenik ditempuh sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Bersama Keputusan Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perburuhan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura tentang


(15)

Keamanan hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik.”

Ini berarti pihak tergugat belum menyuruh PT. Monagro Kimia untuk melaksanakan risk assessment, karena Amdal merupakan dasar/pedoman pembuatan risk assessment, padahal Amdal-nya tidak ada. Walaupun pihak tergugat menyatakan bahwa pelepasan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Bersama 4 Menteri, Amdal dan risk assessment adalah berbeda dengan keputusan tersebut. Maka jelas, pihak tergugat telah menerbitkan suatu SK dengan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.

4. “Proses pelepasan kapas transgenik Bt dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan Bersama Nomor 998/Kpts/OT.210/9/1999, 790-a/Kpts-IX/1999, 1145A/MENKES/SKBI/X/1999, dan 015 A/Meneg PHOR/09/1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Reakayasa Genetik. Hal ini ditempuh karena nelum ada petunjuk teknis Amdal untuk introduksi tanaman transgenik.”

Berdasarkan pasal 3 ayat (1) huruf f PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik termasuk salah satu usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, sehingga untuk kapas transgenik ini memerlukan Amdal. Sehingga jelas adanya bahwa kapas transgenik merupakan usaha dan/atau kegiatan yang harus dilengkapi dengan Amdal. Dan apabila pihak tergugat menyangkal bahwa belum ada petunjuk teknis Amdal untuk tanaman transgenik, bukan berarti usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat diizinkan tanpa adanya Amdal. Karena sesuai dengan Penjelasan Pasal 2f dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Maka dari itu prinsip kehati-hatian disini yaitu mengizinkan kegiatan tersebut dengan Amdal walaupun belum ada petunjuk teknis mengenai itu, tetap


(16)

merupakan syarat yang harus dipenuhi. Sehingga berdasarkan penjelasan ini pihak tergugat terbukti tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.

5. “Bahwa pihak tergugat mempunyai kepedulian dengan melakukan Analisis Risiko Lingkungan Hidup (ARL/ERA) sesuai dengan saran Meneg Lingkungan Hidup untuk mengkonpensasi tidak dilakukannya Amdal (karena belum ada petunjuk teknis Amdal untuk introduksi tanaman transgenik) dan pengujian daya hasil serta pengujian sosial ekonomi.”

Dapat disimpulkan dari jawaban diatas bahwa yang melakukan ARLH/ERA adalah pihak tergugat. Padahal menurut ketentuan pasal 47 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 yang melakukan ARLH/ERA adalah pihak pemrakarsa bukanlah pihak yang memberikan izin yaitu pihak tergugat.

6. “Menteri Pertanian telah melaksanankan prinsip kehati-hatian sebab telah melaksanakan semua tindakan yang perlu dan bertanggungjawab termasuk pengumuman dengan cara melibatkan masyarakat umum melalui Pemda dan DPRD Sulawesi Selatan sebelum mengeluarkan keputusan No. 107/Kpts/KB.430/2/2001.”

Memberikan informasi kepada masyarakat merupakan bagian dari ERA, namun apabila yang diinformasikan kepada masyarakat tersebut tidak membuat Amdal dan ERA tetap saja merupakan hal yang keliru dan tidak melakukan prinsip kehati-hatian. Karena pada prinsipnya untuk mengidentifikasi segala risiko dan tindakan pencegahan diperoleh kepastiannya dari pelaksanaan Amdal dan ERA. Hal ini sebetulnya yang diperlukan masyarakat, bukan hanya sekadar pemberian informasi oleh Pemerintah.

Berikut pembahasan mengenai pendapat Hakim melalui putusannya dalam kasus ini :

Majelis hakim pada saat kasus ini muncul belum melihat adanya dampak negatif yang disebabkan oleh kapas transgenik. Dalam pertimbangan hakim dalam aspek akibat dari diterbitkannya SK Menteri Pertanian, Majelis hakim mempertimbangkan mengenai GMO (dalam hal ini kapas transgenik) dari beberapa hal yaitu:


(17)

1) Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultural tanggal 29 September 1999 yang menyatakan kapas transgenik Bt DP 5690 B aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.

2) Rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) yang terdiri dari 16 anggota dan Narasumber ahli Bioteknologi IPB, Balai Penelitian Bioteknologi Bogor, Universitas Hasanuddin dan Universitas Gajah Mada yang memberi rekomendasi pelepasan kapas transgenik BOLLGARD di Sulawesi Selatan dalam surat dari tim tersebut tanggal 9 Januari 2001.

3) Klarifikasi kegiatan pelepasan kapas transgenik dari tergugat kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala BAPEDAL dalam surat tanggal 10 November 2000 yang menyatakan bahwa “Pengujian laboratorium telah dilaksanakan pada September 1998 dan Maret 2000 di BALITBIO Bogor yang hasilnya menyatakan tanaman kapas transgenic tersebut aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dan oleh karenanya dapat dilakukan uji daya hasil/uji adaptasi mengikuti prosedur yang berlaku. Uji daya hasil/uji adaptasi telah dilaksanakan mulai Maret 2000 sampai September 2000 di Kabupaten Bantaeng”.

Sementara yang terjadi di lapangan hama tetap menyerang kapas transgenik, hasil panen tidak pernah mencapai 3-4 ton seperti yang dijanjikan perusahaan dan pemerintah. Bahkan pada Maret 2002 data yang dipaparkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Sulsel, Ir. Makkarasang menunjukkan sekitar 74 persen lahan yang ditanami kapas transgenik memiliki produktivitas kurang dari satu ton per ha. Dari 4.364,20 ha luas areal tanam kapas transgenik, terdapat sekitar 522,43 ha yang gagal total, tidak memberikan hasil sedikit pun. Kegagalan dan rendahnya hasil panen mengakibatkan petani berhutang kepada perusahaan pemilik kapas transgenik Bt. Berdasarkan data tersebut rata-rata hasil kapas transgenik Bt hanya 1.121 kg/ha.

Majelis Hakim memutuskan bahwa para para Penggugat mempunyai hak untuk mengajukan gugatan demi kepentingan lingkungan, tetapi menolak pokok perkara yang diajukan oleh Para Penggugat. Majelis hakim menganggap bahwa SK


(18)

107/2001 adalah untuk keperluan uji coba, sehingga mereka memutuskan pelepasan kapas transgenik tidak wajib Amdal, dan SK 107/2001 justru mencerminkan sikap kehati-hatian dari Menteri Pertanian, sebelum melepas kapas transgenik di areal yang lebih luas lagi. Sehingga dalam putusan Majelis Hakim, pihak Para Penggugat dinyatakan kalah dalam kasus ini dan menghukum para Penggugat untuk membayar biaya perkara.

Menurut analisis kami putusan Majelis Hakim kurang tepat karena telah keliru dalam memahami tentang kapas transgenik yang merupakan produk rekayasa genetika tersebut. Produk ini merupakan produk baru di Indonesia. Hal ini terbukti dari putusannya yang memenangkan pihak tergugat. Majelis Hakim hanya mempertimbangkan kapas transegnik tersebut dari sisi bukti-bukti yang dikemukakan oleh Tergugat dan tidak melihat pada kenyataan. Memang pada saat itu dampak negatif dari kapas transgenik belum terlihat, namun pada akhirnya kapas transgenik tersebut memberikan dampak negatif. Sesuai dengan akibat dari kapas transegnik dan karakteristiknya, Pelepasan kapas transgenic harusnya terlebih dahulu diuji sebelum dicoba ke lapangan untuk diperjualbelikan sehingga seharusnya Majelis Hakim lebih bijak dalam mengambil keputusan dan tidak lupa mempertimbangkan dalil-dalil dari Para Penggugat dengan melihat dari kenyataan dan literatur mengenai hasil penelitian tentang kapas transgenik yang independen.

Dari putusan ini pun dapat terlihat adanya ketidakhati-hatian dalam mengambil keputusan karena Majelis Hakim berpendapat bahwa saat kasus terjadi belum ada dampak negatif yang ditimbulkan sehingga pelepasan terbatas kapas transgenik diperbolehkan, namun jika terbukti kedepannya ada dampak negatif maka barulah analisis mengenai dampak lingkungan baru diwajibkan. Seharusnya jika ada keraguan dengan dampak dari pelepasan kapas transgenik ini sebelumnya, maka analisis mengenai dampak lingkungan dilakukan terlebih dahulu untuk memenuhi prinsip kehati-hatian (precautionary principle).


(19)

3. Pandangan para pihak melihat keamanan produk kapas transgenik, yang termasuk pest/insect resistant crops (Bt)

Pihak Para Penggugat memandang produk kapas transgenik yang termasuk jenis pest/insect resistant crops (Bt), sebagai berikut:4

1) Kapas hasil rekayasa genetika varietas Delta pine (DP) 5690 yang telah disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuringiensis) sehingga tahan hama karena dapat membunuh serangga tertentu.

2) Tanaman semacam itu harus melalui kajian lingkungan paling rinci dan ketat, karena kemampuannya menghasilkan toxin yang dapat membunuh hama sasaran, sehingga mempunyai potensi besar untuk menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati, karena dapat mengakibatkan terbunuhnya suatu jenis hewan tertentu atau bisa menurunkan populasi tertentu suatu jenis tanaman yang bukan merupakan sasaran. Dapat menimbulkan perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super yang sulit diberantas, selain itu tanaman transgenik dapat membentuk senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia.

Keputusan pelepasan Kapas Bt berlatar belakang karena kapas transgenik tersebut memiliki keunggulan yakni produksinya tinggi, mutu seratnya baik, tahan terhadap hama utama kapas Helicoverpa armigera dan hanya memerlukan sedikit pestisida sehingga menguntungkan petani. Pihak Tergugat memandang produk kapas transgenik yang termasuk jenis pest/insect resistant crops (Bt).

Dalam sosialisasi kegiatan kapas transgenik yang dilakukan melalui press camping, Ketua Tim Pengkajian Resiko Lingkungan Kapas Transgenik Ir. Dwi Santosa mengungkapkan bahwa setiap temuan barudalam bidang bioteknologi tidak bisa dikatakan seratus persen aman sehingga masalah yang harus diperhatikan kemungkinan timbulnya proses kekebalan hama utama kapas karena setelah 6-7 kali penanaman kapas Bt, hama atau ulat yang selama ini menjadi musuh utama tanaman


(20)

kapas sehingga menjadi kebal terhadap kapas Bt. Untuk mengatasinya maka diwajibkan menanam repujia yang merupakan kapas konvensional di sekitar tanaman kapas Bt. Agar terdapat hama yang tidak resisten. Antara hama yang resisten dan yang tidak resisten itu dibiarkan kawin sehingga menghasilkan keturunan yang tidak resisten.5

Menurut pihak Tergugat, penggunaan varietas unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) akan berguna bagi lingkungan hidup sebab akan mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida kimiawi sehingga sehingga berkurang pencemaran udara dan lingkungan oleh zat kimia pestisida, dan secara ekonomis mengurangi biaya produksi bagi para petani. Dari berbagai pandangan mengenai keamanan dari pihak Para Penggugat dan Tergugat di atas sekarang kita harus membandingkannya dengan hasil penelitian para ilmuwan mengnai dampak baik positif maupun negati dari tanaman kapas transgenik ini.

Sharples (1982) dan Gillet et al. (1986) menyimpulkan bahwa untuk setiap jenis organisme transgenik dianggap mempunyai risiko lingkungan yang potensial.6

Menurut Regal (1986) semua pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada resiko lingkungan substantif bagi organisme transgenik adalah tidak logis sehingga penilaian terhadap resiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh tanaman transgenik itu harus dilakukan.7

Ecological Society of America (Tiedje et al. 1989), yang merangkum temuan tahun 1980 dan akan memberikan kontribusi pada dasar ilmiah bagi sebuah konsensus internasional bahwa penilaian risiko lingkungan tanaman transgenik adalah perlu dan harus dilakukan dengan cara kasus per kasus, dengan mempertimbangkan beberapa pemahaman yang terintegrasi dari transgen, organisme penerima dan lingkungan di sekitarnya.8 Berdasarkan fakta tersebut dapat dipastikan

bahwa kemungkinan resiko atasa tanaman transgenik itu tetap ada.

5 Ibid.

6 D.A. Andow and Claudia Zwahlen,” Assessing environmental risk of transgenic plants”, Ecology Letter (2006): 197.


(21)

Pada penelitian yang dilakukan oleh NRC dan EPA tahun 1990 mengenai pengkajian resiko tanaman transgenik terhadap lingkungan, laporan awal menunjukkan bahwa tanaman transgenik tidak mempunyai jenis baru bagi resiko lingkungan (NRC 1987;. Tiedje et al 1989)9. Jenis-jenis risiko lingkungan pertama

kali dirangkum oleh Snow & Morán-Palma (1997) yakni sebagai berikut: (1) non-target dan risiko keanekaragaman hayati, yang termasuk non-non-target spesies, fungsi ekosistem, dan efek pada tanah, (2) risiko yang terkait dengan aliran gen dan rekombinasi, dan (3) risiko yang terkait dengan evolusi resistensi dalam organisme target, seperti hama serangga untuk tanaman transgenik Bt dan gulma untuk herbisida diterapkan transgenik toleran herbisida tanaman. Jenis risiko ketiga menjadi penting saat ini karena sekitar 99% dari semua tanaman transgenik di seluruh dunia adalah Bt atau toleran herbisida tanaman.10

a. Resiko terhadap organisme bukan sasaran (non-target) dan keanekaragaman hayati

Organisme non-target adalah spesies yang bukan target tanaman transgenik. Semua tanaman transgenik memiliki beberapa spesies non-sasaran. Spesies ini dapat dikelompokkan ke dalam kategori beberapa lapis (Andow & Hilbeck 2004, Snow et al 2005.): (a) spesies yang menguntungkan, termasuk musuh alami hama (misalnya kepik kumbang, tawon parasit) dan penyerbuk (misalnya lebah dan kelelawar); (b) non-target herbivora, (c) organisme tanah, (d) jenis perhatian konservasi, termasuk spesies yang terancam punah dan spesies karismatik (misalnya kupu-kupu monarch), dan (e) spesies yang berkontribusi terhadap keanekaragaman hayati lokal.11

Tahun 1997, kebanyakan studi pada risiko non-target dan keanekaragaman hayati tanaman transgenik tidak menunjukkan efek dari tanaman transgenik pada organisme non-target (Fitt et al 1994;. Sims 1995, Dogan et al 1996;. Orr & Landis 1997; Pilcher et al, 1997;. Yu et al, 1997;. EPA 2001, Monsanto Company 2002a, b). Hanya satu studi laboratorium menunjukkan kelangsungan hidup dari non-target spesies menjadi lebih rendah, seperti PEGAS Folsomia candida (Willem) (Collembola, Isotomidae) ketika diberi makan dengan daun jagung Bt konsentrasi

9 Ibid. 10 Ibid.


(22)

protein tinggi (EPA 2001), meskipun koneksi risiko lingkungan tetap jelas. Namun studi yang dilakukan oleh Hilbeck et al. pada tahun 1998 mngejutkan, karena efek Cry1Ab yang diyakini hanya akan menjadi racun bagi Lepidoptera, ternyata menjadi racun pula bagi C. carnea, berdasarkan uji coba pemberian makanan kepada larva C. carnea dengan mangsa yang telah mengonsumsi jagung Bt. dan menunjukkan mortalita lebih tinggi.12

Resiko lain yang mungkin terjadi adalah adanya hama sekunder dan juga gulma yang hidup di lingkungan tanaman transgenik seperti yang terjadi akibat beberapa insektisida dan herbisida.13

b. Resiko aliran gen ke tanaman lain

Aliran gen antara tanaman yang satu dengan kerabat spesies liar telah terjadi selama ribuan tahun (Hancock et al 1996;. Ellstrand et al 1999). Gen suatu tanaman dapat mengalir dan mengontaminasi gen tanaman liar (asimilasi genetik: Ellstrand & Elam 1993; Levin et al 1996, Wolf et al, 2001), mengurangi keragaman genetik populasi liar. Gen tanaman juga dapat mengalir ke varietas tanaman lain atau ras tanah, mencemari kolam penerima benih. Apakah ini kontaminasi genetik disebut 'polusi genetik' atau 'kehadiran adventif', dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, mengurangi kualitas benih (Friesen et al. 2003), mengancam keamanan pangan (NRC 2004a) dan produksi makanan organik, atau merugikan budaya asli [Amerika Utara Perjanjian Perdagangan Bebas-Komisi Kerjasama Lingkungan (NAFTA-CEC) 2004].14Menurut Ellstrand et al. aliran gen dari tanaman ke kerabat

liar terlibat dalam evolusi weediness (rumput) di tujuh dari 13 dunia tanaman yang paling signifikan.15 Aliran gen tersebut dapat ditimbulkan oleh berbagai cara baik

yang dilakukan oleh manusia maupun oleh alam seperti angin, air, atau hewan.16

c. Resistensi

Manajemen resistensi telah diperlukan hanya untuk tanaman transgenik insektisida dan bukan untuk tanaman transgenik toleran herbisida, meskipun ini dapat

12 Ibid. 13 Ibid.

14 Ibid., hlm: 200. 15 Ibid.


(23)

berubah menyusul laporan baru tentang resistensi gulma (WeedScience.org 2003, Owen & Zelaya 2005).

Di Australia, kapas Bt tidak memberikan dosis tinggi terhadap hama utama, kapas bollworm H. armigera, petani dan regulator sepakat untuk meminta perlindungan 70% untuk membuat kemungkinan resistensi jarak jauh (Fitt 1997). Kekhawatiran yang berkaitan dengan resistensi akibat tanaman transgenik ini salah satunya adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan.17

d. Resiko Keanekaragaman Hayati

Resiko terhadap keanekaragaman hayati melibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, yaitu variabilitas di antara organisme hidup termasuk kompleks ekologi yang merupakan bagian dari variabilitas ini mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem [Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) 1992].18

Banyak dari spesies transgenik baru lebih mungkin untuk membentuk populasi liar dan berhibridisasi dengan kerabat liar dari tanaman transgenik (Godfree et al 2004, Van Frankenhuizen & Beardmore 2004, Watrud et al. 2004). Seperti beberapa spesies baru transgenik sudah invasif di bagian jangkauan geografis mereka, ada risiko bahwa spesies bisa menjadi lebih invasif, menyerang habitat baru dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem.19

Penerapan dalam Kasus

Berdasarkan fakta-fakta di atas memang sulit untuk memprediksi resiko lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya tanaman transgenik yang dalam hal ini adalah tanaman kapas Bt. karena terikat oleh ruang dan waktu, artinya resiko dari tanaman kapas Bt in baru akan berdampak secara jelas jika terjadi dalam waktu yang tidak dapat ditentukan dan dalam skala penanaman yang sangat luas (Wolfenbarger and Phifer, 2000). Berdasarkan kenyataan akan kesulitan memprediksi kapan terjadinya efek negatif dari tanaman kapas transgenik Bt inilah maka bagi Tergugat

17 Richardus Widodo. "Kontroversi Pangan Rekayasa Genetik ", (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya), 23 April 2008. Diakses pada 17 Mei 2010.

18 Andow and Zwahlen, op. cit. p: 207 19 Ibid. Hlm: 208.


(24)

yang bersangkutan dalam hal ini pemrakarsa Kapas Bt memang harus melakukan Amdal dan ERA. Karena bagaimanapun juga produk Kapas Transgenik Bt ini tetap merupakan produk yang dapat menimbulkan efek negatif, entah dalam waktu dekat ataupun jangka panjang.

Menurut SK bersama Empat Menteri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan holtikultura No.998.1/Kpts/OT.210/9/99;790.a/Kpts-IX/1999; 145A/MENKES/SKB/IX 199; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik bahwa pemanfaatan tanaman transgenik baik produk yang berasal dari dalam maupun luar negeri harus memenuhi persyaratan keamanan hayati dan keamanan pangan, serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial, budaya dan estetika.

Jika kita melihat ketentuan SK tersebut di atas maka nampaknya pihak Tergugat ini sudah memenuhinya, karena sebelum pelepasan Kapas Bt sudah didahului dengan uji laboratorium di Balai Penelitian Bioteknologi Bogor, uji lapangan terbatas dan uji multilokasi di Sulawesi Selatan. Sebagai wujud perhatian terhadap kaidah agama pula bahwa produk transgenik tersebut halal, sedangkan perhatian terhadap aspek sosial ini bahwa pihak Tergugat dalam melakukan pelepasan kapas Bt ini justru sangat memperhatikan aspek sosial masyarakat karena dengan adanya produk kapas transgenik yang dapat dibudidayakan oleh para petani di Sulawesi Selatan ini mereka bisa meningkatkan kesejahteraan dengan penurunan biaya pestisida yang harus dikeluarkan oleh para petani untuk membunuh hama utama tanaman kapas. Namun masalahnya pihak Tergugat ini kurang memperhatikan dampak penting yang mungkin terjadi pada waktu yang tidak bisa ditentukan, maka dari itu tetaplah dalam kasus pelepasan produk kapas transgenik Bt ini harus dilengkapi dengan penilaian resiko lingkungan dan juga Amdal, supaya pihak Tergugat mengetahui secara rinci minimal adanya berbagai kemungkinan dampak negatif dari adanya budidaya kapas transgenik Bt tersebut.


(25)

Memang dari sekian banyak ilmuan yang meneliti kebanyakan menyebutkan bahwa tidak ada resiko signifikan terhadap individu non-target. Jika kita mengacu pada penelitian Hilbeck dan kawan-kawannya pada tahun 1998 seperti tertera dalam uraian sebelumnya yang menghasilkan temuan bahwa penelitian yang semula dikira bahwa racun Cry1Ab ini hanya akan mematikan hama Lepidoptera ternyata menjadi racun pula bagi C. carnea, berdasarkan uji coba pemberian makanan kepada larva C. carnea dengan mangsa yang telah mengonsumsi jagung Bt. dan menunjukkan mortalita lebih tinggi.

Misalnya kita menganalogikan hal tersebut dengan racun Bt yang ada pada kapas, berarti dapat dimungkinkan bahwa kapas Bt ini juga bisa berefek pada organisme bukan sasaran. Artinya misal terdapat serangga yang sebenarnya bukan hama tanaman kapas, jika ia memakan hama yang sudah terkontaminasi racun Cry1A sehingga ia mati maka benar bahwa spesies serangga yang menjadi musuh alami hama kapas ini akan punah, padahal hama utama tanaman kapas akan mengalami kekebalan. Jika kenyataannya seperti ini bukankah berarti justru akan menimbulkan kerugian bagi para petani kapas baik yang transgenik maupun yang bukan transgenik, karena hama tersebut tidak bisa mati, kembali lagi berarti para petani harus menbunuhnya dengan pestisida yang ekstra. Akan tetapi penelitian yang memberikan hasil semacam itu memang tidak banyak dan tidak begitu signifikan.

Tanaman transgenik-Bt tidak memiliki dampak terhadap lebah madu dalam berbagai uji coba sebgaimana dipersyaratkan oleh EPA (EPA, 1998). Akan tetapi tanaman transgenik yang disisipi toksin Cry1A berpengaruh negatif terhadap lepidoptera non-target yang memakan tanaman tersebut (NRC, 2000)20.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia21 pada April 2006, sampai saat ini belum pernah ada laporan mengenai

dampak negatif yang serius akibat penggunaan Bt. Pada dosis yang efektif terhadap

20 Dwi Andreas Santosa, “Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik”, (Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Oktober 2000), hlm: 33.

21 Purnama Hidayat dan D. Prijono, “Aktivitas Residu Protein Cry1Ac pada Lahan yang ditanami Kapas Transgenik –Bt di Bajeng dan Soppeng, Sulawesi Selatan”, (Penelitian Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, IPB, 2005), hlm: 56.


(26)

hama sasaran, produk Bt cukup aman terhadap organisme bukan sasaran termasuk serangga parasitoid dan predator serta mamalia (Glare & O’Callaghan 2000). Pada penelitian ini, residu protein Cry1Ac di dalam tanah yang ditanami kapas-Bt Bollgard tidak mematikan hama sasaran H. armigera sehingga residu tersebut tidak perlu dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap organisme bukan sasaran di dalam tanah. Namun demikian, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menganalisis residu Cry1Ac di tanah dalam jangka panjang (setelah beberapa kali musim tanam kapas).

Pandangan Resiko Peralihan Gen pada Tanaman Lain

Kaitannya dengan resiko aliran gen dari tanaman kapas Bt ke tanaman lain. Berdasarkan penelitian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa memang memungkinkan gen dari Kapas Bt ini berpindah ke gen tanaman liar disekitarnya, sehingga sangatlah logis apabila kita membayangkan seandainya terdapat gulma yang terkontaminasi dengan gen Bt sehingga gulma tersebut akan menjadi resisten, kemudian justru para petani akan mempunyai beban lebih berat untuk membasmi guslma tersebut dengan pestisida yang lebih banyak lagi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pihak Pergugat bahwa produk kapas Bt ini bisa menimbulkan adanya gulma super yang sulit diberantas akibat perpindahan gen.

Akan tetapi kita harus jeli dalam mengkaji hal ini, apakah mungkin semudah itu suatu gen kapas akan berpindah ke tanaman lainnya terutama gulma/tanaman liar?. Secara alami tanaman kapas bersifat self pollination (penyerbukan sendiri) dan hanya sekitar 2% yang melalui penyerbukan silang dengan perantara angin dan serangga antara lain bumble bees dan honey bees (Canadian Food Inspection Decision Document, Decision Document No. 96-14, 1999).22 Serbuk sari pada

tanaman kapas bersifat sangat banyak dan lengket, dan penyerbukan silang hanya bisa terjadi pada batasan jarak yang terbatas dan hanya sesama tanaman kapas

(Canadian Food Inspection Decision Document, Decision Document No. 96-14,


(27)

1996).23 Sedangkan kemungkinan penyerbukan silang antara kapas transgenik

Bollgard dengan spesies liarnya di Indonesia tidak mungkin terjadi, karena berbedanya jumlah ploidi dari kapas yang dibudidayakan dengan spesies liar dan tidak samanya letak georafis dari spesies kapas liar Gossypium tomentosum yang terdapat di Hawai (Mosanto, 2001)24

Berdasarkan teori tersebut kita dapat mengetahui bahwa kekhawatiran yang dinyatakan oleh pihak Para Penggugat akan adanya gulma super akibat perpindahan gen dari tanaman kapas Bt ke tanaman liar disekitarnya dalam hal ini gulma tidak beralasan karena pada kenyataannya tidak ada gulma yang satu kerabat dengan tanaman kapas di Indonesia. Sudah tentu lebih logis alasan yang dikemukakan oleh pihak Tergugat bahwa gen tanaman kapas Bt tidak mungkin berpindah ke tanaman liar atau gulma yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan tanaman kapas ini. Karena berdasarkan teori dari Canadian Food Inspection di atas bahwa asimilasi gen hanya terbatas pada sesama tanaman kapas.

Pandangan Resiko Kapas Transgenik-Bt terhadap Timbulnya Hama Resisten

Kekhawatiran akan adanya hama yang resisten ternyata bisa terjadi apabila budidaya tanaman kapas Bt itu dilakukan secara terus menerus dan dalam skala yang sangat luas. Pengertian luas ini mungkin kita bisa mengacu pada ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2000, yang menyebutkan bahwa kewajiban AMDAL bagi budidaya tanaman transgenik ini jika luas lahannya antara 5.000-10.000 ha. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia menunjukkan bahwa penanaman kapas Bt secara terus-menerus dan dalam area yang luas dapat mengakibatkan berkembangnya ras hama yang resisten terhadap racun Bt dengan cepat. Sebagai contoh ras YHD2 Heliothis virescens yang diberi pakan yang mengandung Cry1Ac selama lebih dari 30 generasi menimbulkan resistensi sekitar 10.000 kali (Jenkin, 1999)25.

23 Ibid. 24 Ibid.


(28)

Berdasarkan fakta di atas kita bisa menganalogikan bahwa lahan yang dimiliki oleh para petani kapas Bt di Sulawesi Selatan ini rata-rata hanya sekitar 100-500 meter dan belum berlangsung lama, maka belumlah dapat diklasifikasikan dapat menimbulkan hama resisten. Akan tetapi jika kita kembali lagi pada penjelasan sebelumnya karena sebenarnya memang sulit memprediksi adanya dampak negatif dari adanya produk kapas transgenik Bt termasuk juga akan timbulnya hama yang resisten. Maka dari itu tetap saja para pemrakarsa harus membuat suatu penilaian atas resiko yang mungkin ditimbulkan akibat budidaya kapas transgenik Bt ini. Perlu diperhatikan bahwa adanya akumulasi dari keberadaan produk kapas transgenik yang terjadi dalam waktu yang lama ini dapat menimbulkan hama resisten, karena kekebalan yang amat sangat kuat dari hama tersebut bisa saja justru merusak tanaman kapas baik yang transgenik ataupun non-transgenik akibat hama tersebut tidak dapat dimatikan. Jika kondisinya seperti ini tidak mustahil bahwa petani justru akan membutuhkan pestisida yang lebih banyak untuk membunuh hama yang super resisten tersebut.

Pandangan Resiko Kapas Transgenik-Bt terhadap Kesehatan Manusia

Dampak negatif tanaman transgenik-Bt terhadap kesehatan manusia umumnya berkaitan dengan munculnya alergen baru pada konsumen pangan hasil rekayasa/transgenik ini. Misalnya terdapat beberapa orang yang alergi terhadap kedelai transgenik.26 Karena produk kapas sejauh ini hanya untuk bahan tekstil maka

kemungkinan alergi bagi pengguna tekstil ini sangat kecil, lain halnya dengan dengan produk transgenik yang berupa pangan seperti jagung atau kedelai.

Akan tetapi meskipun resiko terhadap kesehatan manusia ini sangat kecil dan belum pernah ditemukan sampai saat ini, sebagai langkah antisipasi para pemrakarsa budidaya tanaman kapas transgenik tetap tidak boleh melepaskan kewajibannya untuk melakukan pengkajian resiko dan juga Amdal karena bagaimanapun juga resiko terhadap kesehatan manusia ini tetap saja ada.


(29)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Godfree dkk, Van Frankenhuizen & Beardmore, Watrud dkk pada tahun 2004 seperti telah dijelaskan sebelumnya pada bagian resiko tanaman transgenik terhadap keanekaragaman hayati maka memang dimungkinkan para spesies tanaman transgenik yang masih dalam jangkauan geografisnya membentuk populasi liar dan berhibridisasi dengan kerabat liar dari tanaman transgenik, sehingga menimbulkan serangan terhadap spesies lain yang minoritas. Hal ini menjadi sangat logis apabila tanaman transgenik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati tentunya dalam jangka waktu yang yang tidak dapat ditentukan.

Berdasarkan uraian di atas saatnya kita menyimpulkan pandangan keamanan terhadap keamanan tanaman transgenik dari pihak Tergugat dan pihak Para Penggugat. Pandangan para Para Penggugat ini benar karena menyatakan bahwa pelepasan produk kapas transgenik Bt ini wajib Amdal karena pada kenyataannya memang produk kapas transgenik Bt ini dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Akan tetapi pihak Para Penggugat dalam memandang keamanan kapas transgenik-Bt ini kurang mendalam, karena dalam gugatannya mereka menyatakan terjadinya bahaya yang sebenarnya hal itu tidak akan terjadi seperti mengenai masalah perpindahan gen dari kapas transgenik-Bt yang bisa menyebabkan gulma super. Sementara pandangan Tergugat terutama mengenai masalah perpindahan gen ke tanaman lain yang tidak mungkin terjadi apabila beda kerabat sepertinya memang lebih logis. Akan tetapi pandangan bahwa tidak adanya efek terhadap lingkungan yang sampai saat ini belum terjadi bukanlah menjadi alasan Tergugat untuk tidak dilakukannya Amdal dan ERA karena seperti yang dikatakan oleh para ilmuwan di atas terhadap resiko produk kapas transgenik Bt ini tetap harus dilakukan penilaian.

Selain itu pihak Tergugat lebih melihat aspek ekonomis dan sosial yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan, dengan adanya kapas transgenik-Bt ini masyarakat dapat menghemat biaya untuk membeli pestisida, selain itu produk kapas transgenik-Bt meberikan hasil yang lebih menjanjikan daripada kapas non-transgenik. Padahal seharusnya aspek lingkungan juga harus benar-benar


(30)

dilakukan. Pelepasan secara terbatas pun bukanlah menjadi alasan bagi Tergugat untuk tidak dilakukannya Amdal dan ERA sebagaimana disarankan oleh para ilmuwan di atas, karena tetap saja lama-kelamaan budidaya kapas transgenik Bt ini akan menimbulkan berbagai efek negatif terhadap lingkungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

4. Pendapat Hakim Atas Persoalan Keamanan Serta Ketepatan Pendapat Hakim mengenai Keamanan Produk Kapas Transgenik

Dalam putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, dalam pertimbangan-pertimbangannya majelis hakim berpendapat, terutama mengenai AMDAL, bahwa keberadaan AMDAL ini hanya diwajibkan untuk pemrakarsa usaha dan/atau kegiatannya, bukan sebagai syarat untuk dikeluarkannya izin pelepasan bibit kapas transgenik ini. Sehingga tergugat tak disyaratkan untuk wajib AMDAL. Pun kalau berdasarkan hasil uji coba yang berlaku 1 tahun itu nantinya ternyata benar-benar kegiatan tersebut berdampak penting dan merugikan bagi lingkungan, maka hal tersebut akan menjadi tolak ukur terhadap kegiatan itu kedepannya dan beradasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dapat ditinjau kembali, baru kemudia diterbitkan AMDAL.

Kemudian majelis hakim juga berpendapat bahwa kegiatan pelepasan bibit kapas transgenik untuk digunakan di 7 kabupaten tersebut masih merupakan uji coba, sehingga belum dapat diketahui hasilnya karena masih dalam tahap pemantauan dan evaluasi. Selain itu dengan jelas disebutkan bahwa penilaian yang dilakukan oleh bada peradilan TUN ini bersifat posteriori, yaitu didasarkan setelah terjadinya akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yang demikian itu majelis hakim berpendapat SK Tata Usaha Negara yang diterbitkan tergugat itu belum mengakibatkan kerugian atas kepentingan para para Penggugat.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, sepertinya majelis hakim terlalu berkonsentrasi dengan akibat-akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, terlihat dari seringnya pendapat tersebut diungkapkan oleh hakim


(31)

dalam berbagai pertimbangannya. Majelis hakim melupakan untuk memasukkan pertimbangan mengenai prinsip kehati-hatian yang seharusnya tidak diabaikan oleh tergugat, mengingat pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pengesahan Protokol Cartagena untuk terikat pada prinsip kehati-hatian ini27. Terlihat hakim kiranya kurang mengetahui dengan apa yang dimaksud

prinsip kehati-hatian ini, dengan konsentrasi hakim yang lebih banyak menggunakan dasar hukum yang berasal dari Indonesia dalam pertimbangannya yang kalau kita pikir, hal ini tentu lebih memudahkan pekerjaan hakim itu sendiri dalam memutus perkaranya.

Dengan terlupakannya prinsip kehati-hatian ini dari pertimbangan hakim, kami mengira hal ini telah menjadi salah satu indikator yang berperan besar atas ditolaknya gugatan para para Penggugat seluruhnya. Hal lain yang perlu kiranya kita perhatikan adalah mengenai Environmental Risk Assessment yang dilakukan oleh pihak tergugat dimana hal tersebut dilakukan untuk uji daya atau uji adaptasi bukan untuk uji terhadap kerusakan lingkungan, terhadap perubahan gen tanaman lain, atau aman tidaknya produk tersebut bagi manusia, seperti yang sebenarnya ditekankan dalam dalil-dalil yang diungkapkan oleh para para Penggugat.

Dengan keputusan majelis hakim menolak seluruh gugatan para para Penggugat, terlihat kalau majelis hakim lagi-lagi hanya berpusat pada akibat-akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Hakim tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian (preautionary principle) merujuk pada ketentuan dalam prinsip 15 Deklarasi Rio 1992, yang berbunyi:“bahwa tidak adanya kepastian ilmiah, tidak adanya atau kurang memadainya informasi ilmiah, tidak boleh digunakan untuk menunda atau menghambat langkah preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan”

27 Terjemahan pasal 1 Protokol Cartagena: “berdasarkan pendekatan kehati-hatian yang terkandung dalam prinsip 15 deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Protokol ini bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam memastikan tingkat proteksi yang memadai dalam hal transfer, penanganan dan penggunaan yang aman dari organisme hidup hasil bioteknologi modern yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan resiko terhadap kesehatan manusia, dan khususnya berfokus pada pergerakan lintas batas”


(32)

Yang sebenarnya bisa menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan gugatan para para Penggugat, walaupun belum ada akibat nyata yang terjadi yang telah merugikan para para Penggugat. Dari pertimbangannya, kami menilai juga sebenarnya hakim telah mengalami keragu-raguan dalam pertimbangannya. Hal tersebut tersirat dari pertimbangan hakim di halaman 184 yang isiya tidak berlebihan jika dipertimbangkan: oleh karena para para Penggugat adalah Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berminat dan bergerak di bidang lingkungan hidup, maka sebaiknya sesuai dengan kegiatannya yang empati terhadap pelestarian lingkungan dan perlindungan konsumen tersebut, dapat ikut melakukan pemantauan dan pengawasan serta mengevaluasi terhadap pelaksanaan uji coba terbatas kapas transgenik tersebut. Sehingga kalau dikemudian hari terdapat hal-hal yang menyimpang atau berdampak negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan sementara tergugat tetap memproduksi kapas transgenik tersebut dalam usahanya, maka para para Penggugat dapat melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya. Dari pertimbangan tersebut tercermin majelis hak-hakim juga takut akan akibat yang kemudian bisa saja terjadi dengan tetap berlakunya pelepasan kapas transgenik selama satu tahun tersebut, tetapi tidak mau mengambil tindakan tegas untuk mengabulkan gugatan dari para para Penggugat.


(33)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1) Tidak semua Para Penggugat memenuhi syarat untuk mengajukan gugatannya dalam kasus kapas ransgenik Bt. Para para Penggugat dalam kasus tersebut yang memenuhi kriteria untuk mengajukan gugatan sebagai badan hukum perdata sesuai dengan pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO), dan Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia. Oleh karena itu para para Penggugat mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan hukum untuk mengajukan gugatan dalam kasus Kapas Transgenik. Para Penggugat selain yang disebutkan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai para Penggugat perkara a quo, karena tidak memenuhi unsur pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .

2) Menteri Pertanian sebagai Tergugat dalam Kasus Transgenik melakukan kelalaian dalam izin pembebasan Amdal sebelum pelepasan Kapas Transgenik Bt. Hal ini ditinjau dari jenis kegiatannya dan dengan dihubungkan dengan pasal 3 PP No. 27 Tahun 1999, maka kegiatan yang dilakukan oleh PT. Monargo Kimia sebagai pengelola Kapas Transgenik merupakan jenis usaha dan/atau kegiatan yang tergolong introduksi jenis tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik salah satunya proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Sehingga secara potensial dapat menimbulkan


(34)

kerusakan lingkungan hidup dan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam. Maka PT. Monargo Kimia sebagai pengelola wajib mempunyai dokumen Amdal, sedangkan dalam putusan sama sekali tidak disinggung mengenai pelaku usaha/kegiatan yang harus mempunyai dokumen wajib Amdal, inilah kelalaian oleh Menteri Pertanian yang dimaksud.

3) Dalam kasus kapas transgenik, Majelis Hakim hanya mempertimbangkan kapas transgenik tersebut dari sisi bukti-bukti yang dikemukakan oleh Tergugat dan tidak melihat pada kenyataan. Memang pada saat itu dampak negatif dari kapas transgenik belum terlihat, namun pada akhirnya kapas transgenik tersebut memberikan dampak negatif. Sesuai dengan akibat dari kapas transgenik dan karakteristiknya, pelepasan kapas transgenik harusnya terlebih dahulu diuji sebelum dicoba ke lapangan untuk diperjualbelikan sehingga Majelis Hakim dianggap kurang bijaksana dalam mengambil keputusan karena lupa mempertimbangkan dalil-dalil dari Para Penggugat dengan melihat dari kenyataan dan literatur mengenai hasil penelitian tentang kapas transgenik yang independen.

B. Saran

Dari seluruh pembahasan kasus Kapas Transgenik ini, kami memberikan saran atau masukan sebagai berikut :

1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan, terutama jika usaha yang dilakukan berkaitan dengan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Terutama jenis usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

2) Pelaksanaan Amdal dan Risk Assesment dalam kaitannnya dengan Prinsip Kehatian-hatian atau Precautionary Principle harus dijadikan koridor wajib bagi setiap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Karena hal ini menyangkut kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup yang berpengaruh terhadap pembangunan berkelanjutan.


(35)

(1)

dilakukan. Pelepasan secara terbatas pun bukanlah menjadi alasan bagi Tergugat untuk tidak dilakukannya Amdal dan ERA sebagaimana disarankan oleh para ilmuwan di atas, karena tetap saja lama-kelamaan budidaya kapas transgenik Bt ini akan menimbulkan berbagai efek negatif terhadap lingkungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

4. Pendapat Hakim Atas Persoalan Keamanan Serta Ketepatan Pendapat Hakim mengenai Keamanan Produk Kapas Transgenik

Dalam putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, dalam pertimbangan-pertimbangannya majelis hakim berpendapat, terutama mengenai AMDAL, bahwa keberadaan AMDAL ini hanya diwajibkan untuk pemrakarsa usaha dan/atau kegiatannya, bukan sebagai syarat untuk dikeluarkannya izin pelepasan bibit kapas transgenik ini. Sehingga tergugat tak disyaratkan untuk wajib AMDAL. Pun kalau berdasarkan hasil uji coba yang berlaku 1 tahun itu nantinya ternyata benar-benar kegiatan tersebut berdampak penting dan merugikan bagi lingkungan, maka hal tersebut akan menjadi tolak ukur terhadap kegiatan itu kedepannya dan beradasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dapat ditinjau kembali, baru kemudia diterbitkan AMDAL.

Kemudian majelis hakim juga berpendapat bahwa kegiatan pelepasan bibit kapas transgenik untuk digunakan di 7 kabupaten tersebut masih merupakan uji coba, sehingga belum dapat diketahui hasilnya karena masih dalam tahap pemantauan dan evaluasi. Selain itu dengan jelas disebutkan bahwa penilaian yang dilakukan oleh bada peradilan TUN ini bersifat posteriori, yaitu didasarkan setelah terjadinya akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yang demikian itu majelis hakim berpendapat SK Tata Usaha Negara yang diterbitkan tergugat itu belum mengakibatkan kerugian atas kepentingan para para Penggugat.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, sepertinya majelis hakim terlalu berkonsentrasi dengan akibat-akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, terlihat dari seringnya pendapat tersebut diungkapkan oleh hakim


(2)

dalam berbagai pertimbangannya. Majelis hakim melupakan untuk memasukkan pertimbangan mengenai prinsip kehati-hatian yang seharusnya tidak diabaikan oleh tergugat, mengingat pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pengesahan Protokol Cartagena untuk terikat pada prinsip kehati-hatian ini27. Terlihat hakim kiranya kurang mengetahui dengan apa yang dimaksud

prinsip kehati-hatian ini, dengan konsentrasi hakim yang lebih banyak menggunakan dasar hukum yang berasal dari Indonesia dalam pertimbangannya yang kalau kita pikir, hal ini tentu lebih memudahkan pekerjaan hakim itu sendiri dalam memutus perkaranya.

Dengan terlupakannya prinsip kehati-hatian ini dari pertimbangan hakim, kami mengira hal ini telah menjadi salah satu indikator yang berperan besar atas ditolaknya gugatan para para Penggugat seluruhnya. Hal lain yang perlu kiranya kita perhatikan adalah mengenai Environmental Risk Assessment yang dilakukan oleh pihak tergugat dimana hal tersebut dilakukan untuk uji daya atau uji adaptasi bukan untuk uji terhadap kerusakan lingkungan, terhadap perubahan gen tanaman lain, atau aman tidaknya produk tersebut bagi manusia, seperti yang sebenarnya ditekankan dalam dalil-dalil yang diungkapkan oleh para para Penggugat.

Dengan keputusan majelis hakim menolak seluruh gugatan para para Penggugat, terlihat kalau majelis hakim lagi-lagi hanya berpusat pada akibat-akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Hakim tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian (preautionary principle) merujuk pada ketentuan dalam prinsip 15 Deklarasi Rio 1992, yang berbunyi:“bahwa tidak adanya kepastian ilmiah, tidak adanya atau kurang memadainya informasi ilmiah, tidak boleh digunakan untuk menunda atau menghambat langkah preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan”

27 Terjemahan pasal 1 Protokol Cartagena: “berdasarkan pendekatan kehati-hatian yang terkandung dalam prinsip 15 deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Protokol ini bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam memastikan tingkat proteksi yang memadai dalam hal transfer, penanganan dan penggunaan yang aman dari organisme hidup hasil bioteknologi modern yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan resiko terhadap kesehatan manusia, dan khususnya berfokus pada pergerakan lintas


(3)

Yang sebenarnya bisa menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan gugatan para para Penggugat, walaupun belum ada akibat nyata yang terjadi yang telah merugikan para para Penggugat. Dari pertimbangannya, kami menilai juga sebenarnya hakim telah mengalami keragu-raguan dalam pertimbangannya. Hal tersebut tersirat dari pertimbangan hakim di halaman 184 yang isiya tidak berlebihan jika dipertimbangkan: oleh karena para para Penggugat adalah Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berminat dan bergerak di bidang lingkungan hidup, maka sebaiknya sesuai dengan kegiatannya yang empati terhadap pelestarian lingkungan dan perlindungan konsumen tersebut, dapat ikut melakukan pemantauan dan pengawasan serta mengevaluasi terhadap pelaksanaan uji coba terbatas kapas transgenik tersebut. Sehingga kalau dikemudian hari terdapat hal-hal yang menyimpang atau berdampak negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan sementara tergugat tetap memproduksi kapas transgenik tersebut dalam usahanya, maka para para Penggugat dapat melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya. Dari pertimbangan tersebut tercermin majelis hak-hakim juga takut akan akibat yang kemudian bisa saja terjadi dengan tetap berlakunya pelepasan kapas transgenik selama satu tahun tersebut, tetapi tidak mau mengambil tindakan tegas untuk mengabulkan gugatan dari para para Penggugat.


(4)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1) Tidak semua Para Penggugat memenuhi syarat untuk mengajukan gugatannya dalam kasus kapas ransgenik Bt. Para para Penggugat dalam kasus tersebut yang memenuhi kriteria untuk mengajukan gugatan sebagai badan hukum perdata sesuai dengan pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO), dan Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia. Oleh karena itu para para Penggugat mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan hukum untuk mengajukan gugatan dalam kasus Kapas Transgenik. Para Penggugat selain yang disebutkan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai para Penggugat perkara a quo, karena tidak memenuhi unsur pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .

2) Menteri Pertanian sebagai Tergugat dalam Kasus Transgenik melakukan kelalaian dalam izin pembebasan Amdal sebelum pelepasan Kapas Transgenik Bt. Hal ini ditinjau dari jenis kegiatannya dan dengan dihubungkan dengan pasal 3 PP No. 27 Tahun 1999, maka kegiatan yang dilakukan oleh PT. Monargo Kimia sebagai pengelola Kapas Transgenik merupakan jenis usaha dan/atau kegiatan yang tergolong introduksi jenis tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik salah satunya proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Sehingga secara potensial dapat menimbulkan


(5)

kerusakan lingkungan hidup dan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam. Maka PT. Monargo Kimia sebagai pengelola wajib mempunyai dokumen Amdal, sedangkan dalam putusan sama sekali tidak disinggung mengenai pelaku usaha/kegiatan yang harus mempunyai dokumen wajib Amdal, inilah kelalaian oleh Menteri Pertanian yang dimaksud.

3) Dalam kasus kapas transgenik, Majelis Hakim hanya mempertimbangkan kapas transgenik tersebut dari sisi bukti-bukti yang dikemukakan oleh Tergugat dan tidak melihat pada kenyataan. Memang pada saat itu dampak negatif dari kapas transgenik belum terlihat, namun pada akhirnya kapas transgenik tersebut memberikan dampak negatif. Sesuai dengan akibat dari kapas transgenik dan karakteristiknya, pelepasan kapas transgenik harusnya terlebih dahulu diuji sebelum dicoba ke lapangan untuk diperjualbelikan sehingga Majelis Hakim dianggap kurang bijaksana dalam mengambil keputusan karena lupa mempertimbangkan dalil-dalil dari Para Penggugat dengan melihat dari kenyataan dan literatur mengenai hasil penelitian tentang kapas transgenik yang independen.

B. Saran

Dari seluruh pembahasan kasus Kapas Transgenik ini, kami memberikan saran atau masukan sebagai berikut :

1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan, terutama jika usaha yang dilakukan berkaitan dengan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Terutama jenis usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

2) Pelaksanaan Amdal dan Risk Assesment dalam kaitannnya dengan Prinsip Kehatian-hatian atau Precautionary Principle harus dijadikan koridor wajib bagi setiap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Karena hal ini menyangkut kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup yang berpengaruh terhadap pembangunan berkelanjutan.


(6)