Analisa kasus PT.Monagro kimia dalam putusan makhamah agung nomor :547/B/PK/PJK/2013 berdasarkan hukum perpajakan

(1)

KO PR FAK

U

Oleh

DADAN GUSTIANA NIM 1111048000035

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM AKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ANALISA KASUS PT. MONAGRO

KIMIA

DALAM PUTUSAI\I

MAHKAMAH AGTJNG NOMOR. 547 IBIPKTP JW2OI3 BERDASARKAI\I

}ITTKUM PERPAJAKAN

INDOIYESIA

,;

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

0leh:

Dadan Gustiana 1111048000035

Pembimbing

I

H. Zoebir Laini. SH.

KONSENTRASI HT'KUM BISI\US ISLAM

PROGRAM STUDI ILMU HT]KT]M

FAKT]LTAS SYARIAH DAI\I HT]KTJM

TJIN SYARIX' HIDAYATULLAH

JAKAR'TA


(3)

telah diujikan dalarn sidang munaqasyah Fakuttas Syariatr dan Hukum

UIN

Syarif Hidayatullah Jekartapada tanggal 15 September 2015. Skripsi ini telah diterinib sebagai salatr satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

l.

Ketua

2.

Sekretaris

(

dm)

PANITIA UJIAN

: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat. S.H." M.H NrP. I 9691 12r 199403 I00l

: Drs. Abu Tamrin" S.H.. M.Hum. NIP. 19650908 199503 1001

3.

Pembimbing I : H. Zoebirlaini. SH

4.

Pembimbing II: Nur Habibi. SH.I. M.H.

'

NIP.197608172009121005

5.

Penguji

I

: Amrizal Siagian S. Hum.. M.Si.

: Fatrmi Muhammad Ahmadi. M.Si NrP. 1974 I 2132003121002

lil

15 September 2015


(4)

LEMBAR PERNYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (Sl) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

di

UIN

Syarif

.1r

Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi yangberlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, I 5 Septerrber 2015

Dadan Gustiana


(5)

v

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi :

xii

+ 84 halaman + lampiran 24 halaman.

Sistem pemungutan pajak self assessment system memberi kepercayaan kepada wajib pajak, untuk menghitung, melaporkan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya. Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu pegawai pajak/fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, pegawai pajak/fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berfungsi sebagai surat tagihan. Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan perhitungan antara pegawai pajak/fiskus dengan wajib pajak, inilah salah satu sebab timbulnya sengketa pajak, diaman seperti kasus yang terjadi pada PT. MONAGRO KIMIA. Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan keberatan ditolak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak, wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan banding. Persyaratan yang begitu berat dalam pengajuan banding dimaksudkan agar lembaga banding tidak dijadikan sebagai alasan penundaan pembayaran pajak. Akan tetapi apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut tentunya sangat memberatkan. Disini wajib pajak atau PT. MONAGRO KIMIA diberikan suatu akses untuk mencari keadilan tetapi di sisi lain ada persyaratan yang memberatkan wajib pajak dalam pemenuhan haknya.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs H Asep Syarifuddin Hidayat SH MH., dan Drs Abu Thamrin SH M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. H. Zoebir Laini, SH., dan Nur Habibi, SH.I, M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membangun penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dedy Nursamsi SH., M.Hum., selaku dosen penasihat akademik yang telah memberikan nasihat dan arahan selama penulis menimba ilmu.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.

6. Staff Tata Usaha Universitas Islam Negeri Jakarta selaku yang telah memberi kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tuaku ayah dan ibu tercinta Dr. Ahdi Heryadi dan Supiyah, yang telah memberikan segala dukungan dan dorongan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.


(7)

vii

Hartanto, Syawal Ritonga, Lisanul Fikri, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah, Bara Muhammad, Muhammad Iqbal, Angga Ariyana terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011, khususnya Ilyas, Kuarnialif, Syawal, dan lain-lain, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.

11. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin.

Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 15 Septembert 2015 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Judul Skripsi... i

Lembar Pengesahan Pembimbing... ii

Lembar Pengesahan Panitia... iii

Lembar Pernyataan... iv

Abstrak... v

Kata Pengantar... vi

Daftar Isi... ix

Daftar Tabel... xi

Daftar Gambar... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Mafaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Terdahulu ... 7

E. Kerangka Teoritis... 8

F. Kerangka Konseptual ... 12

G. Metode Penelitian... 13

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Perpajakan 1. Definisi Pajak ... 19

2. Asas Pemungutan Pajak ... 21

3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak... 22

4. Pengadilan Pajak ... 23

5. Ketetapan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan.... 24

B. Pajak Penghasilan Pasal 21 1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain ... 27

2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan ... 28

C. Hak serta Kewajiban 1. Wajib Pajak ... 29


(9)

A. Posisi Kasus ... 41

B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012... 44

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013 ... 48

BAB IV ANALISA PPh 21 PADA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak ... 59

B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/BPJK/2013 ... 66

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA... 78


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1... 42

Tabel 1.2... 42

Tabel 1.3... 50

Tabel 1.4... 51

Tabel 1.5... 53

Tabel 1.6... 59


(11)

Gambar 1 ... 45 Gambar 2 ... 46 Gambar 3 ... 54


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Didalam sektor ekonomi, kebijakan diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, mengupayakan kehidupan yang layak, mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dan menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui meningkatn disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara betahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran.1

Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan jajahan, misalnya pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk penyerahan tanah desa untuk ditanami tanaman ekspor yang dibutuhkan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari tanah desa. Kepala desa bertanggung jawab untuk mengerahkan petani dalam melaksanakan kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta menyerahkan seperlima hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural.

Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban

1


(13)

serta partisipasi anggota masayarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik materil maupun spiritual.2

Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang dilaksnakan. Sejak tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam.3 Namun, mengingat sifat dari sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi dan gas alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah strategi dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang utama.

Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat penting. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak dalam negeri, yang bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai tahun 1967, sistem yang dipakai adalah sistem official assessment. Namun dalam perkembangannya sistem tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotong-royongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional.

2

Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, (Bandung : Elex Kompas Gremedia, 2013), h 3

3


(14)

3

Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah menciptakan sistem perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.

Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah :4

1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan nasional.

2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan,

4


(15)

3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment).

Dimana sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.

Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara yang berasal dari pendapatan rakyat. Dari berbagai jenis pajak penghasilan yang ada, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang memberikan masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan pemerintah dalam mengatur Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi.

Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari analisis digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern perusahaan dalam pengambilan keputusan sehingga kondisi keuangan perlu


(16)

5

diketahui bagaimana sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan Pasal 21.

Namun dalam kenyatan selama ini, sebagian kebijakan pemerintah ternyata masih kurang dipahami dan belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Masih banyak wajib pajak yang kebingungan dalam pembayaran terhadap pajak yang terutang serta pengisian terhadap sarana pembayaran pajak. Wajib pajak sering datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar untuk melakukan pembayaran pajak Saat penyampaian pelaporan pembayaran terhadap pajak terutang pajak penghasilan terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan pihak pemotong pajak serta dalam pengadministrasian masih kurang memperhatikan sistem perpajakan yang baru.

Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis kasus yang berkaitan dengan sengketa pajak di Indonesia, yaitu kasus pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO KIMIA. Pada Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013, PT. MONAGRO KIMIA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut mengalami kekurangan pembayaran pajak pada tahun 2006.

Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. MONAGRO KIMIA tersebut dan membatalkan sementara Putusan Pengadilan Pajak tertanggal 25 Juni 2012 Nomor Putusan : 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012. Atas dasar Pasal 8 ayat (2A) Undang– Undang Nomor 6 Tahun


(17)

2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, dimana pembetulan STP mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547 / B / PK / PJK / 2013 terdapat permasalahan yang muncul yaitu putusan MA menguatkan putusan dari Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun 2006.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni, membahas tentang praktik dalam perpajakan sebagai upaya penerimaan pendapatan negara.

2. Perumusan Masalah

a. Siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai jika perusahaan menggunakan pegawai dari perusahaanoutsourcing?

b. Bagaimana penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor. 574 / B / PK / PJK / 2013 ?


(18)

7

C. Tujuan dan Mafaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan sistem pembayaran pajak dalam masyarakat, khususnya masyarakat wajib pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh 21 apabila perusahaan menggunakan jasa pegawai darioutsourcing.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem pembayaran pajak dalam pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktisi, sebagai berikut

Secara Akdemisi : Secara teori penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam Hukum Bisnis, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademi para akademisi di bidang hukum, terutama berhubungan dengan pajak serta mengingat peraturan perpajakan senantiasa yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan masayarakatnya.

Secara Praktisi: memberikan informasi bagi masyarakat luas mengenai tentang bagaimana sistem tersebut untuk membawa ke arah tax minded dan tax dicipline sehingga masyarakat menjadi penggerak pembangunan yang dapat di andalkan.


(19)

Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Ilham Taruna Bakti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, yang berjudul “Pengaruh Penerapan Sistem Self Assesment terhadap Optimalisasi Penerimaan PPh Pasal 21 (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Timur)” Penelitian tersebut menjelaskan secara mendasar tentang pengaruh sistem self assementdalam masyarakat di utamakan adalah wajib pajak badan.

Buku dari Eceng, dkk. Yang berjudul “Etika Bisnis dalam

Perpajakan” penerbit Elex Jakarta tahun 2011. Pada buku tersebut diuraikan bagaimana pendoman sistem pemungutan pajak, etika wajib pajak, serta teori – teori dasar mengenai perpajakan. Sebagai perbandingan dan untuk membedakan, secara khusus pada skripsi ini penulis menguraikan perihal bagaimana kedudukan atau status hukum yang sebenarnya mengenai kasus sengketa perpajakan.

E. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka pemikiran yang menghubungkan variable pemikiran yang satu dengan yang lain berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti dalam skripsi. Teori-teori ini dapat berupa teori yang sudah teruji secara objektif maupun pengertian atau


(20)

9

definisi yang di ambil dari asumsi beberapa ahli, dengan demikian tidak menimbulkan keraguan dalam penulisan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum negara.5 Selain definisi diatas, terdapat pula definisi lainnya yang dikemukakan oleh :

A. Adriani, menurutnya pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.6

Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan

5

Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan,Cetakan Pertama. (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 2.

6

Erly Suandy,Hukum Pajak Edisi 5,Cetakan Pertama.. (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 8.


(21)

dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayaipublic investment.7

Dimana sejak abad ke 18 muncul berbagai teori guna memberi dasar-menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Adapun teori-teori tersebut adalah :

1. Teori Asuransi

Dalam teori ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini tidak sesuai dengan kenyataan, dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat pajak. Kelemahan dari teori ini adalah bahwa premi yang dibayarkan oleh wajib pajak adalah sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan kepadannya yang sebenarnya beretentangan dengan sifat pajak. Justru dalam pajak, wajib pajak tidak langsung menenerima suatu imbalan yang secarang langsung.

2. Teori Daya Pikul

Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Menurut Prof. De Langen, daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memeikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan

7

Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1.(Jakarta : Salemba Empat, 2014) h. 15.


(22)

11

pegeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya.

3. Teori Kepentingan

Menurut W.H. Van Den Berghe (1837-1902) negara adalahgroepsverband( organisasi dari golongan ), yaitu hak negara memungut pajak adalah atas dasar ajaran hak mutlak negara untuk memajaki penduduknya, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih besar kepentingan yang dilindungi, maka besar pajak yang harus di bayar.8

4. Teori Daya Beli

Mr.A. J. Caren Stuart Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada rakyat melalui saluran lain. Pajak pada hakikatnya tidak merugikan takyat. Oleh sebab itu maka pemungutan pajak dapat dibenarkan.9

5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak

Teori ini didasarkan pada Teori Organ(Orgaan Theorie) Otto von Gierke(1841-1921) yang mengatakan bahwa negara itu merupakan

8

Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, (Jakarta: Indeks, 2010), h. 11.

9

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djembatan, 2009), h. 28.


(23)

satu keatuan, yang didalamnya setiap warga negara terkait di dalamnya. Lembaga selaku organ mempunyai kekuasaan terhadap anggota masyarakat yang mutlak, dan sebaikya anggota masyarakat mempunyai kewajiban mutlak, antara lain pajak yang tidak dapat ditawarkan lagi. Berdasarkan pemikiran demikian, maka pungutan pajak walaupun membebani individu hal tersebut dapat dibenarkan.10

6. Teori Pembenanan Pajak Menurut Pancasila

Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang di dalamnya mengandung sifat kekeluargaan. Pembayaran pajak dalam rangka pemikiran ini merupakan suatu yang tidak sukar diberikan pembenarannya. Pajak merupakan pengorbanan bersama untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan.11

F. Kerangka Konseptual

a. Pajak; Adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang di tentukan Undang-undang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada kas Negara yang dapat di paksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara rutin dan pembangunan dan yang di

10

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : BIP, 2007), h. 13.

11

Abdul Azis Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung : Alfabeta, 2012), h. 28.


(24)

13

gunakan sebagai alat pendorong, penghambat, pencegah, untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.12

b. Wajib Pajak; Adalah orang pribadi yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.13

c. Badan; Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan lainya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koprasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Masa, Organisasi Sosial Politik, atau Organisai yang sejenis, Lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainya.14

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut

12

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Pertama, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada, 2004),h. 26.

13

Mardiasmo,Pepajakan Edisi Revisi 2011,Cetakan Keempat,h. 5

14


(25)

juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.15Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.16

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu:17

a. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan Kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung No. 547 / B / PK / PJK / 2013. Dalam menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti adalahratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.18

b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

15

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 43.

16

Peter Mahmud Marzuki , Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 57

17 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), h.300


(26)

15

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan perpajakan dan sengketa pajak seperti Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No. 14 Tahu 2002 tentang Peradilan Pajak, Undang-undang N. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

c. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Pendekatan Konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang : pengertian pajak, pengertian PPh 21, penhitungan pajak. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi pemahaman yang ambigu.

3. Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.


(27)

b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari buku-buku terkait pembahasan hukum dan perpajakan, keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.

c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan perpajakan literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, negara, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. yang relevan dengan penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.


(28)

17

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut : Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, Abstract, daftar isi, serta daftar lampiran. Bagian isi skripsi terdiri atas :

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan suatu gambaran yang memberikan informasi yang sifatnya umum serta menyeluruh dan sistematis, yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan, maksud serta tujuan dan kegunaan dari penelitian ini.

BAB II Tinjauan Umum

Dalam bab ini di uraikan tentang teori-teori yang menjadi landasan pembahasan bab-bab selanjutnya, yang dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah dasar-dasar tentang perpajakan yang terdiri dari definisi pajak, dasar hukum pemungutan pajak, asas-asas dari pemungutan pajak tersebut, pengelompokan pajak, fungsi pajak, timbul serta hapusnya pajak, dan lain-lain.

Bagian kedua tentang kedudukan pajak penghasilan dalam perpajakan di Indonesia yang terdiri dari dasar hukum pajak penghasilan, penggolongan dan asas perpajakan dalam penghasilan


(29)

BAB III Kedudukan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Pajak di Indonesia

Dalam bab ini di uraikan isi tentang bagaimana sistem pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang relevan, yang terdiri dari hak serta kewajiban pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri, wewenang dan kewajiban aparat pajak dan penghasilan orang pribadi.

BAB IV Analisa Kasus Sengketa Pajak PT. MONAGRO KIMIA Putusan MA Nomor. 574/BPJK/2013

Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai posisi kasus PT. MONAGRO KIMIA analisis putusan Mahkamah Agung, dan analisis

faktor-faktor dari Putusan Mahakamah Agung Nomor.

574/BPJK/2013 BAB V Penutup

Dalam bab ini akan di uraikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari Berisi kesimpulan dan saran bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(30)

19

BAB II

KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK DI INDONESIA

A Tinjuan Umum Perpajakan 1. Definisi Pajak

Melalui definisi pajak, dapat diketahui gambaran umum tentang pajak dan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, sehingga dengan adanya definisi tentang pajak setidaknya akan diperoleh pemahaman awal tentang pajak itu sendiri. Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjan diantaranya yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, ialah “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran

rutin dan “surlpus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public ivestement.”1

S. I. Djajadiningrat mendefinisikan bahwa pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.

1

Siti Resmi,Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8,Buku 1. (Jakarta : Salemba Empat, 2014), h. 1.


(31)

Leroy Beaulieu mengatakan bahwadalam bukunya yang berjudul “Traite

de la Science des Finances”, (1906) berbunyi :L' impot et la contribution, soit directe dissimulee, que la puissance publique exige des habitans ou des bies pur

sebvenir aux depenses du gouverment.”, (“Pajakadalah bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam hal ini dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutupi biaya pembelanjaan

pemerintah.”)2

Dalam definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut lima unsur pajak, yaitu :

a. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki pemerintah.

b. Harus berdasarkan norma-norma atau undang-undang.

c. Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara insidentil atau periodik. Yang dimaksud dengan rakyat adalah perorangan maupun badan.

d. Prestasi pemerinah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan. e. Untuk membiayai pengeluaran negara.3

Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak, dan sesuai dengan perumusan serta fungsi dalam mencapai sasaran di bidang sosial ekonomi. B. Boediono. Mendefinisikan pajak sebagai berikut, Pajak adalah iuran rakyat kepada negara, bersarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan

2

Siti Resmi,Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8,Buku 1, h. 1.

3

Erly Suandy,Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 7-8.


(32)

21

imbalan yang diberikan secara langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk membiayai kebutuhan pemerintah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial ekonomi.4

Dari definisi di atas, maka definisi yang lebih tepat dalam menggambarkan pajak adalah yang dikemukakan Rochmat Soemitro, dan Boediono Karena telah memenui unsur-unsur pajak dan menegaskan bahwa pajak memiliki fungi mengatur (regulerend), sementara definisi lainnya lebih mentitik beratkan pajak pada fungsi pembiayaan (bugedtair), dan seolah-olah pajak tersebut tidak akan kembali kepada masyarakat.

2. Asas Pemungutan Pajak

Pada abad ke 18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the nature adn Cause of Wealth of Nations menyebutkan asas-asas pemungutan pajak yang di sebut “The Four Maxim’s”, yang terdiri dari :

a. AsasEquality(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Dalam keadaan yang sama para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula, yang dilakukan

4


(33)

seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatina masing-masing dibawah perlindungan pemerintah. b. Asas Certainty(asas kepastian hukum): Semua pungutan pajak harus

berdasarkan Undang - undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum, mulai dari subjeknya, besarnya pajak dibayar, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

c. AsasConvinience of Payment(asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): Pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak, misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

d. AsasEffeciency(asas efesien atau asas ekonomis): Biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak melebihi dari hasil pemasukan pajaknya.5

3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Dasar hukum pemungutan pajak terdapat dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang dasar tahun 1945, yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan

negara berdasarkan Undang-Undang”. Selanjutnya dalam pasal 23 A Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan

5

Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto,Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak daerah. (Jakarta : Global Indonesia. 2011), h. 16.


(34)

23

undang-undang. Dengan mengacu pada pasal tersebut, maka setiap pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, tidak boleh berdasarkan pada ketentuan yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang.6

Selain pasal 23 ayat (2) UUD tahun 1945 dan pasal 23 A perubahan ke tiga UUD Republik Indonesia tahun 1945, masih ada dua ketentuan yang harus diperhatikan untuk sahnya pemungutan pajak, yakni : Pasal 16 ICW (Indische Comptabilities Wet) menentukan bahwa penambahan atau pengurangan pajak tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau hasil perubahan undang-undang pajak tersebut dimasukkan ke dalam APBN pada tahun yang bersangkutan. Sementara itu, didalam pasal 17 ICW (Indische Comptabilities Wet) ditentukan bahwa sesuai penghapusan dan penganturan pajak harus dilakukan sesuai dengan undang-undang. Pemberlakuan mendasarkan pada pasal II aturan perlihan dari Undang-Undang Dasar 1945.7

4. Pengadilan Pajak

Pengertian pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang

6

Maria Farida Indrianti S,Ilmu Perundang-undangan 1,(Jakarta : Kansius, 2010), h. 4

7

Muhammad Rusjdi, KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi Keempat,


(35)

dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa.

Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua. Saat ini Sekretaris merangkap tugas Kepaniteraan sebagai Panitera. Pembinaan serta pengawasan umum terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan.8 Selain itu, ada Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.9

5. Ketetapan Pajak

Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan

8

Tjia Siauw Jan,Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013), h. 85.

9

Y. Sri Pudyatmoko,Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia 2009), h. 51.


(36)

25

perpajakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sbb :

“Setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktur Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang

ditetapkan.”.

Sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada wajib pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Dimana fungsi Ketetapan Pajak sebagai betrikut :

a. Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (STP) Wajib Pajak,

b. Sarana untuk mengenakan sanksi, c. Sarana untuk menagih pajak,

d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar, e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

B Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan, melaui pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi


(37)

kerja atau bendaharawan pemerintah atau dana pensiun atau badan lain atau penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.

PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain (PMK No.252/PMK.03/2008).10 dengan dasar hukum antara lain adalah :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2009.

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,

10

Siti Resmi,Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, (Jakarta : Salemba Empat, 2014), 180


(38)

27

Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.11

1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain

Pembayaran PPh terutang dilakukan oleh Wajib Pajak pada sarta penerimaan penghasilan melalui pemotongan atau pungutan pajak oleh pihak lain yang membayarkan penghasilan. Pihak lain yang mempunyai kewajiban memotong PPh. Pada saat memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak tersebut berkedudukan sebagai pemotong pajak.

Pemotong pajak sesuai ketentuan Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), termasuk sebagai Wajib pajak, sehingga memepunyai hak dan kewajiban perpajakan. Pemotongan pajak yang tidak melakukan pemotongan pajak dikenakan sanksi adminstratif perpajakan menurut UU KUP, yaitu membayar pajak yang seharusnya dipotong ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan.

11

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26


(39)

Pemotong pajak harus memberikan bukti potong sebagai pembayaran pajak atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dipotong. Pemotong pajak mempunyai kewajiban untuk membayarkan pajak yang telah dipotong tersebut ke kas negara melalui bank persepsi (bank yang ditunjuk menerima pembayaran pajak). Setelah melakukan pembayaran pajak, pemotong pajak wajib melaporkan bukti potong dan pembayaran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak tempat pemotong pajak terdaftar. Bukti potong yang dipergunakan oleh Wajib Pajak penerima penghasilan sebagai kredit pajak akan dikonfirmasi dengan pelaporan bukti potong oleh pemotongan pajak. Pembayaran pajak selekasnya pada saat diperolehnya penghasilan sesusai dengan asas ”pay as you earn”, yaitu bayarlah pada saat memperolah pengasilan.12

2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, kembali diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dan terakhir di ubah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang

12

Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono,Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan,


(40)

29

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008.13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009.14

C Hak Serta Kewajiban

1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Undang-undang pajak yang berlaku di Indonesia mengatur hak dan kewajiban wajib pajak. Keberadaan wajib pajak orang pribadi dakan negeri adalah pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan denga kedudukannya sebagai wajib pajak. Hak-hak dan keajiban-keawjiban yang timbul tentunya tidak dapat dilepaskan dari sistem yang berlaku. Karena sistem perpajakan yang di tetapkan di Indonesia adalah sistem self assessment berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul disesuiankan berdasrkan ketentuan tersebut.

Hak-hak yang melekat pada wajib pajak orang pribadi dalam negeri pada dasarnya sama dengan hak-hak wajib pajak pada umumnya. Adapun hak-hak tersebut di antaranya ialah :

13

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat. 2013 Nomor: PJ.091/PPh/UU/001/2013-00

14


(41)

a. Hak Untuk Meghitung Pajak Sendiri

Setiap wajib pajak berhak menghitung besarnya pajak ynag terutang setiap tahunnya yang berhak dilakukan dengan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT). Perhintgan tersebut bersifat final kecuali apabila Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki data dan atas data tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap keberatan pengisian data oleh wajib pajak.15

b. Hak Melakukan Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT)

Dalam menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan sendiri, kesalahan mungkin saja timbul. Untuk itu berdasarkan pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak berhak melakukan pembetulan dengan menyampaikan peryataan tertulis selama Direktorat Jenderal Pajak belum melakuka pemeriksaan atau setelah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan16

c. Hak Mengajukan Permohonan Restitusi dan Memperoleh Pembayaran Restitusi

Setiap wajib pajak yang mengajukan perhitungan kelebihan pembayaran pajak berhak atas minta restitusi (pengembalian). Dalam pasal 17 B Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa apabila dalam

15

Mardiasmo,Pepajakan Edisi Revisi,Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 157.

16


(42)

31

waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi diberikan, KPP tidak memberikan jawaban maka permohongan tersebut dikatakan terkabul. Tanggal diterimanya permohonan restitusi yang disertakan ada STP adalah tanggal ketika STP disampaikan. Wajib pajak yang permohongann restitusinya dikabulkan mendapat restitusi paling lambat satu bulan setelah jangka waktu 12 bulan tersebut berakhir dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Apabila SKPLB terlambat diterbitkannya maka wajib pajak di beri imbalan bunga sebesar 2% sebuan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai di terbitkan SKPLB.17

d. Hak Untuk Mengajukan Keberatan

Wajib pajak dapat menilai bahwa hasil pemeriksaannya yang dilakukan oleh aparat pajak adalah tidak benar. Berdasarkan pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan pemotonga atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasrkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdarasarkan pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak

17

http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajak-kemudahan-administrasi-ataukah-loophole di akses tanggal 23 April 2015


(43)

berhak mengetahui atas jawaban setelah diajukannya keberatan paling lambat 12 bulan sejak keberatan diterima. Apabila KPP tidak memberikan keputusan, maka keberatan dianggap dikabulkan.18

e. Hak Megajukan Permohonan Banding

Apabila wajib pajak masih tidak puas atas keputusan Direktorat Jendral Pajak, maka berdasrkan pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding yang dibuat secara tertulis dan ditujukan kepada badan peradilan pajak.

Selain memiliki hak-hak yang telah disebutkan di atas, wajib pajak memiliki kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi sehubungan dengan di terapkannya sistemself assessment,.19yaitu sebagai berikut :

a. Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak

Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak adalah kewjiban awal bagi setiap subjek pajak yang telah memenuhi tatbestand, seseuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan. Pendaftaran dilaksanakan di KPP di tempat wajib pajak berdomisili, atau bertempat tinggal bagi wajib pajak orang pribadi. Mereka yang dikecualikan dari keawjiban untuk mendaftarkan diri adalah :

18

B. Boediono,Perpajakan Indonesia Cetakan I, h. 97.

19


(44)

33

1) Yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja,

2) Yang mempunyai penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),

3) Wanita kawin (bersuami), meskipun wanita tersebut memiliki penghasilan sendiri, kecuali dalam perkawinannya di ikat dengan suatu perjanjian seperti pemisahan harta dan penghasilan,

4) Anak yang masih belum dewasa

b. Mengambil, Mengisi dan Menyampaikan SPT

Setiap wajib pajak menambil sendiri SPT, mengisi dengan benar, jelas, transparan, dan di tanda tangani dan selanjutnya disampaikan ke KPP dimana wajib pajak berdomisili atau dikirimkan melalui kantor pos, pengisian melalui web dirjen pajak atau dengan cara lain yang diatur dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 dan pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.20

c. Melunasi Pajak Terutang

Dalam mengisi SPT sekaligus mengisi menghintung besarnya pajak yang terutang terdapat kemungkinan kurang bayar, nihil atau lebih bayar. Apabila kurang bayar, maka wajib pajak harus melunasi kekuarangan tersebut paling lambat 1 (satu) bulan pajak atau bagian bulan pajak berakhir, atau sebelum 20


(45)

surat pemberitahuan itu disampaikan. Apabila memang terlambat Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud, yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Hal tersebut diatur dalam pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.21

d. Menyelenggarakan Pembukuan

Berdasarkan pasal Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan kecuali bagi wajib pajak yang menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma penghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Keputusan Direktur Jendral Pajak No. KEP 536/PJ/2000, dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

e. Membantu Mempermudah Saat Pemeriksaan

Ketentuan pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan, wajib pajak harus membantu kelancarannya

21

Thomas Sumuran,Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak Cetakan I, (Jakarta : Indeks, 2013), h. 63.


(46)

35

dengan cara memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, memperlihatkan pembukuan, memberi kesempatan kepada petuagas untuk memasuki ruangan tertentu yang berhubungan dengan pemeriksaan dan meniadakan kerahasiaan selama pemeriksaan tersebut berlangsung.22

2. Upaya Hukum Wajib Pajak

a. Banding

Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya hukum lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Bandiang diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang, misalnya berkaitan dengan keputusan atas upaya hukum keberatan. Akan tetapi harap dipahami di sini bahwa yang dinamakan upaya hukum banding(beroep)tidak sama persis dengan upaya hukum banding pada Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara. Banding diatur dalam Bab IV Bagian Kedua, yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, dan diatur pula dengan Pasal 27 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.23

b. Gugatan

22

Bohari,Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada,2004), h. 78 23

Tjia Siauw Jan,Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib Pajak, Cetakan Pertama (Bandung : Alumni 2013), h. 97.


(47)

Dalam bidang pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan. Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diberikan batasan sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan hakim pajak yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.24

c. Peninjauan kembali

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, ketentuan yang mengatur pemeriksaan terhadap upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Bagian Keempat tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni dari Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan baik oleh pihak penggugat atau pembanding, maupun oleh pihak tergugat atau terbanding. Untuk cara pengajuan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak tergugat atau terbanding, pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Tata Cara Penanganan Peninjauan Kembali atas Putusan pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung tanggal 9 juni 2003.

24

Tjia Siauw Jan,Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib, h. 99.


(48)

37

3. Wewenang dan Kewajiban Aparat Pajak (Fiskus)

Aparat pajak merupakan alat pemerintah dalam memungut pajak dan masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wewenang aparat pajak diantaranya adalah :

a. Melakukan Penyuluhan Kepada Wajib Pajak

Penyuluhan dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya. Perlu disadari bahwa peranan penyuluhan sesungguhnya sangat fundamental. Optimalisasi peranan penyuluhan perpajakan adalah bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 45 yaitu membangun suatu masyarakat khususnya masyarakat wajib pajak yang cerdas, jujur, patriotik dan benar-benar menyadari peranannya dalam pembangunan bangsa dan negara. self assessment menghendaki peranan positif wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsekuensinya dari sistem tersebut adalah bahwa aparat pajak berkwajiban mendukung upaya-upaya bagi lancarnya kegiatan wajib pajak melalui penyuluhan-penyuluhan perpajakan.25 Penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan meliputi :

25

Wewenang Aparat Pajak : http://pandupajak.org/literasipajak.php?page=detail-artikel&id=681 di akses tanggal 23 April 2015


(49)

1) Verivikasi lapangan maupun di kantor 2) Pemeriksaan lapangan

Setelah penelitian dan pemeriksaan dilakukan maka langkah selanjutnya adalah menindak lanjuti hasil verivikasi atau penelitian dengan menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan sebagai realisasi dari sanksi administrasi berupa Surat tagihan Pajak berdasarkan pasal 13, ayat 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar berdasarkan pasal 15, Surat Ketetapan pajak Nihil Berdasarkan pasal 17A dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan pasal 17.26

b. Melakukan Penyidikan

Berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jendral pajak diberi wewenang tindak pidana di Bidang perpajakan, sebagai mana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku.

c. Melakukan Penagihan Pajak

Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa Surat Tagihan pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

26


(50)

39

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, putusan banding yang menyebutkan pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar dan penagihan pajak.

Selain kewewenangan-kewenangan yang telah disebutkan diatas, aparat pajak juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang meliputi umum dan kewajiban khusus.27 Kewajiban umum aparat dalam melayani kebutuhan wajib pajak merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah :

1) Melayani wajib pajak dalam pendaftaran sebagai wajib pajak ;

2) Melayani wajib pajak dalam mengambil dan menyampaikan SPT, termasuk SPT PPh Tahunan dan PPh Masa;

3) Melayani wajib pajak dalam menyampaikan permohonan restitusi, kompensasi, cicilan atas tunggakan pajak, dan mengajukan keberatan termasuk menyampaikan banding;

4) Melayani wajib pajak dalam mengajukan pembetulan atas SPT yang telah disampaikan;

5) Kewajiban menerbitkan surat-surat keputusan berkenaan dengan permohonan restitusi, permohonan keberatan, penerapan norma perhitungan dan izin penggunaan pembukuan dengan bahasa asing.

6) Melayani wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP. 27


(51)

Kewajiban khusus bagi aparat pajak adalah untuk tidak memberitahukan kepada yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaan-nya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan (rahasia jabatan). Hal ini diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.28

28

Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009


(52)

41

BAB III

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA

A. Posisi Kasus

Adanya suatu kasus yang menyangkut sengketa pajak terjadi pada tahun 2007, dimana PT. MONAGRO KIMIA merupakan perusahaan asisng atau swasta, yang begerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut setelah mengkaji atau menghitung kembali pajaknya, merasa PT. MONAGRO KIMIA pembayaran pajak yang dilakukan tahun 2006 menunjukan posisi lebih bayar sebesar Rp 8,738,888,746. terbilang (Delapan Miliar Tujuh Ratus Tiga Puluh Delapan Juta Delapan Ratus Delapan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Rupiah).

Dengan alasan terebut maka pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan SPT Tahunan PPh Badan tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (KPP PMA I) pada tanggal 13 Juli 2007 dan diterima oleh kantor KKP PMA I. Sebelumnya KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No. PRINT-PSL-330/WPJ.07/KP.02052007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak. Pada tanggal 11 Agustus 2008 hasil yang dilakukan oleh fiskus/pegawai pajak yang datang untuk memeriksa sebagaimana kepatuhan wajib pajak, menyatakan dengan surat Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Bahwasanya PT. MONAGRO


(53)

KIMIA memiliki perbedaan atau selisih dalam penghitungan PPh 21nya pada tahun pajak 2006.

Tabel 1.1

Hasil Keterangan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 PT MONAGRO KIMIA Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.

Atas hasil tersebut PT. MONAGRO KIMIA tidak sependapat dengan hasil fiskus, bahwasanya oleh karena itu PT. MONAGRO KIMIA mengajukan upaya hukum pertama dalam sengketa pajak yaitu keberatan kepada KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohongan Nomor : MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September 2008.

Dengan surat tersebut KPP PMA I menanggapi hal tersebut dengan menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, terbanding menolak atas tindakan keberatan tersebut. Dengan hasil :


(54)

43

Tabel 1.2

Hasil Keputusan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009

Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, peneliti telah mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang PT. MONAGRO KIMIA terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, pihak dari PT. MONAGRO KIMIA tidak dapat menghadiri diskusi dengan peneliti / fiskus pajak. Hal tersebut pun telah sampaikan kepada Peneliti.

Dimana selanjutnya, peneliti / fiskus dari KPP PMA I kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada


(55)

oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012

Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA melakukan upaya hukum seusai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu dengan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak, sebelumnya wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan banding. Hal ini dinyatakan bahwa PT. MONAGRO KIMIA sebagai Pemohon Banding.

Dalam dalil-dalil alasan koreksi terbanding yang diajukan kepada pengadilan pajak, pada pokoknya mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai berikut. Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang.


(56)

45

Gambar 1.1

Alasan PT. MONAGRO KIMIA dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP

-PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008

Disini pengadilan pajak menjawab hasil dari analisa tersebut dinyatakan tidak falid karena, terdapat objek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp 3.497.139.472 terbilang (Tiga Miliar Empat Ratus Sembilan Puluh Tujuh Juta Seratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Dua Rupiah).

Alasan Pemohon Banding / PT MONAGRO KIMIA, bahwasnya pihaknya mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan, berdasarkan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21


(57)

menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP.

Gambar 1.2

Alasan Pemeriksa / Fiskus dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP -PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta adalah Rp. 2,159,779,821 terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Delapan Ratus Dua Puluh Satu Rupiah), koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp. 1,337,359,651 tebillang (Satu Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Rupiah) dan koreksi untuk kantor Tebing Tinggi dinyatakan nihil.

Dikarenakan PT. MONAGRO KIMIA mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurutnya berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp.


(58)

47

11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang dialokasikan Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan kantor Tebing Tinggi.

Bahwa alasan koreksi peneliti berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut PT. MONAGRO KIMIA, sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa / Fiskus, sebagai berikut rincian dari pemeriksaan tersebut :

Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan : I. Pada HPP

Direct Labor 4.798.499.621

Less: Pay OVH-Astek (126.995.948)

Salaries & Wages 1.156.861.604

Less: Pay OVH-Astek (20.116.805) 5.808.248.472

II. Pada Biaya Usaha :

Salaries & Wages (selling) 5,979,392,945 Add: Salaries & Wages

(allocated)

675,782,445

Less: Pay OVH-Astek (93,797,867)

Less: Pay OVH-Insurance (2,114,004)

Salaries & Wages (Gen & Adm) 2,777,620,965

Less: Pay OVH-Astek (75,812,815)

Less: Pay OVH-Insurance (11,834,802) 9,249,236,867

Management

Incentives : 960,240,664

Stock Appreciation (SOP) 1,990,356,385 2,950,597,049

Jumlah 18,008,082,388

b. Objek PPh Pasal 21 pada


(59)

Pada KPP Madya Tangerang 5,514,864,001

Pada KPP Tebingtinggi 89,804,543

Jumlah 14,510,942,915

Selisih (a-b) 3,497,139,473

Koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan, alasan koreksi Peneliti / Fiskus berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009. Dimana selisih yg terjadi sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21.

PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 serta tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar Rp3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa. Dengan hasil terebut bahwasanya hakim dalam pengadilan pajak menyatakan dan memutuskan dengan surat Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012 untuk menolak koreksi pemohon banding (PT. MONAGRO KIMIA), karena dianggap tidak adanya bukti perhitungan objek PPh 21 yang dimasukan dan dialokasian kedalam pajak badan.

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 dimana Direktur Jendral Pajak, bekedudukan di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :


(60)

49

1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan banding Direktorat Jendral Pajak.

2. Budi Christiadi, Kasubid Peninjauan Kembali dan Evaluasim Direktorat Keberatan dan Banding.

3. Heru Marhanto Utomo, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. 4. Sary Laviningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali

dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.

Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Melawan PT. MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, yang menggunakan hakya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan RI No. 6 Tahun 2009 Pasal 25.

Dimana PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon Banding) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1 untuk Tahun Pajak 2006 yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp. 8,738,888,746. SPT Tahunan PPh Badan tersebut diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (“KPP PMA I”) pada tanggal

13 Juli 2007.

SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat

Perintah Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330 / WPJ.07 / KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah


(61)

untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak.

Sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008. Berikut perincian atas pajak kurang bayar yang di layangkan KKP PMA I :

Tabel 1.3

Surat Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.

Dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB (Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar) PPh Pasal 21 dengan tabel tesebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”) ke Kas Negara degan cara mengangsur pada tanggal pada tanggal 11

Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573, terbilang (Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Dua Ratus Sembilan Puluh Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah). Setelah itu Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08


(1)

m

Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888.

c Bahwa jika seandainyapun Majelis Hakim tetap dengan putusannya berdasarkan hasil uji bukti atas perintah Majelis Hakim di persidangan sebagaimana penjelasan huruf a dan b tersebut diatas, namun faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)tidak memberikan bukti-bukti berupa data/ dokumen tersebut saat pemeriksaan maupun keberatan;

Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan keberatan dengan surat Nomor:MK/Sep-08/57 tanggal 3 September 2008 yang diterima KPP Penanaman Modal Asing (Pemohon Peninjauan Kembali/ semula Terbanding) dengan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen) Nomor: PEM:005178\052\ sep\2008 tanggal 3 September 2008, dengan demikian Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan keberatan setelah tanggal 31 Desember 2007.

Bahwa Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 menyatakan :”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007 berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;”

Berdasarkan hal tersebut, oleh karena surat keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)diterima oleh Pemohon Peninjauan Kembali/semula Terbanding tanggal 3 September 2008,yang berarti adalah sesudah tanggal 31 Desember 2007, maka sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 tersebut, maka tata cara penyelesaiannya adalah menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Undang-Undang KUP 2007);

Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 junctoPasal 10 PMK Nomor : 194/PMK.03/2007, maka terhadap data telah diminta pada proses pemeriksaan, namun data tersebut tidak diberikan oleh

Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)pada proses


(2)

m

Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan tetap mempertahankan koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00adalah telah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku;

Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka bukti/dokumen yang diberikan pada persidangan banding, sepatutnyalah tidak dapat dipertimbangkan pula oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Bahwa sebagai bahan pertimbangan dalam memutus sengketa, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan aspek yuridis dalam sistem hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi basis atau dasar dalam penegakan hukum, sebagai berikut :

Logemann dalam Buku Pengantar dalam Hukum Indonesia Edisi 3 oleh Ernst Utrecht, Balai Buku Indonesia, 1956, pada halaman 1414 menyatakan bahwa “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden”, dimana dapat diartikan bahwa orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat.

Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan.Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law);

Bahwa dalam sistem perpajakan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 merupakan hukum formal atau hukum acara (formele recht, adjective law)yang mengatur tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak.

Bahwa secara formal, aturan mengenai tidak dapat digunakannya data pada proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan telah jelas aturannya dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007, aturan ini mengikat fiskus dalam melaksanakan tugasnya namun Majelis Hakim telah mengabaikan hal tersebut dengan alasan azas material.


(3)

m

Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan; Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan kekuatan pembuktian dan alat bukti yang digunakan, akan tetapi dalam sengketa ini Majelis Hakim nyata-nyata mengabaikan ketentuan yuridis formal terkait penyelesaian keberatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas sengketa a quo tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak;

Bahwa dengan demikian maka nyata-nyata Majelis Hakim telah tidak cermat dalam memutus sengketa karena tidak mempertimbangkan alasan Pemohon Peninjauan kembali (semula Terbanding) dalam pengambilan keputusan keberatan serta amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 4 Undang-Undang PPN, Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor : 80 Tahun 2007 juncto Pasal 10 PMK Nomor: 194/PMK.03/2007.

11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00 harus dibatalkan.

Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/ PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan :


(4)

m

- Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama : PT. Monagro Kimia, NPWP: 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6 No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadisesuai perhitungan di atas;

adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430,00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan :

• Bahwa alasan koreksi obyek PPh Pasal21 sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat dibenarkan karena dominus litis yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali) untuk sebagian sebesar a quo tidak dapat dipertahankan.

Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2002.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan


(5)

m

Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak.

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini.

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan .

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah).

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari : Jumat, tanggal 24 Januari 2014 oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc. Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh Lucas Prakoso, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis: Ketua Majelis,

Ttd. Ttd.

Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N. Widayatno Sastrohardjono, SH. MSc. Ttd.

Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.

Panitera Pengganti : Ttd.

Lucas Prakoso, SH. MHum. Biaya-biaya :

1. Meterai ………... Rp. 6.000,-2. Redaksi……... Rp. 5.000,-3. Administrasi Peninjauan Kembali ..…Rp. 2.489.000,


(6)

-m

Untuk Salinan

Mahkamah Agung RI a.n. Panitera

Panitera Muda Tata Usaha Negara

A S H A D I, SH Nip. 220000754


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM ( AnalisisPutusanMahkamahAgungNo. 193 PK/Pid.Sus/2010)

0 35 81

Rehabilitas Dalam Putusan Bebas Pada Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)

0 5 101