5 - 14
Salah satu gagasan internasional yang saat ini akan diajukan melalui COP-19 yang akan diselenggarakan pada bulan NopemberDesember 2011,
di Durban, Afrika Selatan, adalah pembentukan kerjasama global dalam pelayanan iklim Global Framework for Climate Services – GFCS.
Indonesia menjadi salah satu anggota Kelompok Kerja Tingkat Tinggi pada GFCS tersebut. Tantangan utama implementasi GFCS secara lokal
nasional mensyaratkan penyesuaian yang cocok dan kerjasama berbagai pihak, baik unsur pemerintah, masyarakat maupun swasta.
Sejalan dengan rencana implementasi gagasan kerangka global pelayanan iklim tersebut, laporan Kelompok Kerja Tingkat Tinggi – yang baru
saja diterbitkan pada bulan Juni 2011 yang lalu – menunjukka n gap yang ditengarai akan menjadi kendala implementasi GFCS WMO, 2011. Gap
tersebut terkait dengan:
a. User Interface Platform UIP;
Upaya pengurangan resiko dampak perubahan iklim mensyaratkan keputusan kebijakan berdasarkan informasi yang
terpercaya dan tepat tentang data iklim masa lalu dan saat kini, serta prakiraannya di masa mendatang.
Persoalannya terletak pada tidak seragamnya informasi yang diperlukan untuk masing-masing sektor terkait. Informasi iklim untuk
keperluan pertanian, berbeda dengan untuk sektor turisme dan kesehatan. Demikian pula informasi iklim untuk pengurangan resiko
bencana berbeda dengan informasi iklim yang diperlukan untuk sektor energi dan pengairan Hal ini juga menggambarkan diperlukannya
intermediasi bagi masing-masing sektor, terutama untuk memfasilitasi proses interpretasi data iklim menjadi bahan yang dapat “dipahami”
oleh masing-masing pengguna akhir di lapangan.
b. Sistem Pengamatan, Monitoring dan Pengolahan
Variabilitas dan perubahan iklim sangat bergantung dari hasil pengamatan data atmosfir, permukaan dan lautan. Data ini diperlukan
untuk pengolahan informasi kecenderungan dan prakiraan mendatang serta peringatan dini. Oleh karenanya, sistem pengamatan yang
digunakan untuk pengumpulan data cuacaiklim menjadi sangat esensial dalam rangka mempersiapkan pelayanan iklim yang tepat, teliti
dan terpahami.
Di dalam masalah pengamatan dan monitoring, negara-negara berkembang pada umumnya mempunyai persoalan pencatatan data
historis. Data historis parameter cuacaiklim tersebut sering tidak dipunyai, baik dalam kondisi siap untuk diolah, maupun dalam kondisi
yang tidak berkesinambungan. Indonesia tidak terkecuali. Upaya data recovery dan dijitasinya sedang dilakukan agar periodisasi data iklim
data untuk 100 tahun yang lalu dan masa kini. Proses ini akan selesai pada tahun 2011 ini.
Selain itu, Indonesia menghadapi persoalan luasnya area pengamatan yang harus dicakup, baik di daratan, dan terlebih lagi
pengamatan di laut. Proses integrasi dari berbagai peralatan dan basis
6 - 14
data, merupakan persoalan yang lain, terkait dengan pengamatan dan monitoring data iklim di Indonesia.
Kemajuan teknologi telah memungkinkan penggunaan perangkat pengamatan yang semakin canggih, otomatis dan teliti. Namun
demikian, justru persoalannya terletak pada perbedaan antara satu negara dengan negara yang lain. Variabilitas dan perubahan iklim
sangat terkait dengan perubahan dan kondisi lingkungan secara global, regional dan lokal. Persoalan pengamatan dan hasil monitoring data
iklim yang tepat dan baku, mensyaratkan integrasi, konformitas dan pengolahan data yang perlu disesuaikan dengan masing-masing
pengguna.
c. Pengembangan Kapasitas dan Penelitian