7 - 14
secara klasik menggunakan metoda ensemble linier, dikarenakan kebutuhan sistem peringatan dini dan antisipasi ekstrimitas iklim, memerlukan
peningkatan akurasi baik secara spasial dan temporal. Dalam dua dekade terakhir, prakiraan cuacaiklim telah dikombinasikan dengan prakiraan
numerik pendekatan dinamis spasial, temporal.
Pelayanan cuacaiklim di Indonesia juga telah menggunakannya. Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, program numerik untuk
prakiraan cuacaiklim yang digunakan merupakan package program dari negara-negara maju.
Sementara di sisi hilir, keperluan masing-masing sektor mensyaratkan format informasi yang berbeda. Dari berbagai kajian yang berbeda
menunjukkan bahwa kebutuhan pengguna – selain masalah informasi untuk pembuatan keputusan – juga skema dukungan pada saat terjadi bencana.
Berikut dikemukakan beberapa peluang kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menjawab permasalahan di atas. Pertama, akan
dilaporkan tentang kegiatan paleoklimatologi yang terkait dengan upaya menjembatani pemahaman proses kesejarahan iklim tropis dan
kecenderungan perubahannya di masa yang akan datang. Kedua, peluang unik bagi Ijndonesia untuk melakukan penelitian dan pengembangan di
bidang prakiraan cuaca dan iklim numerik. Dan, ketiga tentang skema asuransi untuk mendukung upaya penguatan petani Indonesia yang
prosesnya awalnya sudah dilakukan, tetapi belum diimplementasikan.
a. Sejarah Perkembangan Perubahan Iklim
BMKG, pada tahun 2010 – bekerja sama dengan Byrd Polar Reserach Center melakuka n penelitian paleoklimatologi melalui
pengamatan gletser di Puncak Jaya Wijaya, Papua. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik gletser yang masih ada di Papua, yaitu
gletser Cartensz, E Nortwall Firn, dan W Northwall Firn yang hampir habis atau hilang. Penelitian ini akan menyempurnakan informasi
proses perubahan iklim di wilayah katulistiwa jika digabungkan dengan informasi penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, yaitu di Puncak
Quelcaja, Peru, Amerika Selatan dan di Puncak Kilimanjaro di Afrika. Hasil lengkap penelitian tersebut sedang dalam penyempurnaan
Donaldi Sukma, 2011.
Informasi kandungan karbon – yang dapat mengungkap proses terjadinya perubahan iklim – dapat pula diteliti dari karts Zaihua,
Dreybrodt, and Huan, 2011. Penelitian karst untuk mengungkapkan pemahaman sejarah terjadinya perubahan iklim di Indonesia
tampaknya jauh berpeluang di banding dengan penelitian dengan mengamati gletser yang hanya tersedia di Puncak Jaya Wijaya
Haryono, 2011.
b. Prakiraan Cuaca dan Iklim Numerik;
Sejalan dengan perkembangan teknologi komputasi dan pemahaman dinamika fisis atmosfir, pemanfaatan komputer untuk
keperluan prakiraan cuacaiklim semakin berkembang dan diperlukan. Saat ini, prakiraan cuaca dan iklim numerik telah dipakai untuk
8 - 14
keperluan operasional di berbagai negara. Indonesia, melalui BMKG, memanfaatkan 2 package program untuk peleriuan operaional pelayan
cuaciklim, yaitu CCAM Csiro dan Arpege MF. Gambar 2 menyajikan perbandingan citra satelit MTSAT dengan hasil prakiraan numerik
CCAM dan Arpege untuk tanggal 1 Nopember 2011 pada jam UTC 17:30, 20:30 dan 23:30.
Gambar 2 Perbandingan citra satelit MTSAT2 EN1 dengan hasil simulasi numerik CCAM dan ARPA GE
Secara singkat, kedua package program tersebut menggunakan persamaan dasar dinamika fluida atmosferik dan diselesaikan dengan
time step untuk waktu ke depan yang diterapkan pada kekisi conformal. Interaksi mekanis bumi dan dinamis parameter laut dan permukaan
dengan atmosfer diperikan pada sisi konvektif. Perbandingan kualitatif dengan citra MTSATS menunjukkan: i perbedaan keterjadian
konvergensi tekanan dengan selisih sekitar 1 – 3
o
= 15 – 45 km dan ii pergeseran awan dalam waktu 6 jam 17:30 sd 23:30
terrepresentasikan dalam sebaran yang berbeda dengan citra satelit. Penggunaan prakiraan numerik sering terkendala oleh perangkat
keras komputasi yang masih belum cukup berkemampuan. Terlepas dari masalah itu, secara metodologi komputasi, penggunaan package
program – yang pada umumnya “dibeli” dari negara-negara lintang tinggi – mempunyai keterbatasan, seperti telah ditunjukkan pada
Gambar 2, antara lain: i persamaan dasarnya terkendala oleh kenyaatan adanya perbedaan besarnya parameterisasi gaya corriolis
yang harus “digunakan” untuk daerah katulistiwa gaya corriolis ~ 0; ii package program tersebut biasanya merepresentasikan wilayah
daratan dengan interaksi dinamika fisis atmosfir yang minimal, sementara Indonesia merupakan kepulauan dengan 23 air; dan iii
relief berbagai wilayah berbeda satu sama lain yang dengan sendirinya mensyaratkan topografi kekisi grid dengan berbagai kerapatan yang
berbeda.
Kenyataan di atas membuka peluang perbaikan kegiatan penelitian untuk prakiraan cuaca numerik, antara lain: i perbaikan
parameterisasi dalam merepresentasikan menghilangnya gaya corriolis tepat di wilayah katulistiwa; ii representasi interaksi dinamis lautan –
atmosfir ke dalam persamaan dasar yang ternyata sangat dominan, baik dari segi metode komputasinya maupun dari segi “matching” data
9 - 14
awalnya; iii perbaikan conformal grid untuk merepresentasikan relief geometris permukaan bumi Indonesia yang mestinya tidak bisa
digeneralisasi.
Prakiraan iklim numerik – karena karakteristiknya – sudah jauh lebih berkembang. Sifat iklim yang periodisitasnya sangat panjang,
memungkinkan pendekatan yang lebih sederhana. Sampai saat ini, metode statistik ensembel linear merupakan tool yang handal dan
digunakan secara operasional. Prakiraan maju untuk beberapa bulan ke depan dilakukan dengan mengekstrpolasikan data parameter iklim
masa lalu dan kini. Di Indnesia, untuk keperluan opersional digunakan package program statistika linier ANFIS, Wavelets, ARIMA.
Pengembangan lanjut di BMKG menghasilkan HyBMG yang digunakan secara operasional.
Untuk keperluan prakiraan umum, program-program tersebut cukup memadai. Namun demikian, pendekatan linier tidak mencukupi
untuk memprakirakan terjadinya anomali atau ekstrimitas iklim. Dengan demikian, upaya pengembangan dengan pendekatan dinamis, sangat
diperlukan.
c. Asuransi Indeks Cuaca dan Iklim;