Tinjauan Pustaka LANDASAN TEORI

commit to user 5

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ascaris lumbricoides, Linn a. Taksonomi Subkingdom : Metazoa Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Subkelas : Scernentea Phasmidia Bangsa : Ascaridia Superfamili : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Marga : Ascaris Spesies : Ascaris lumbricoides, Linn Utari, 2002. b. Morfologi Cacing jantan memiliki ukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm Margono dkk., 2003. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus serta sepertiga anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi Onggowaluyo, 2002. Cacing dewasa memiliki umur 1-2 tahun Chin, 2006. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan menempel di mukosa usus menggunakan 5 commit to user 6 otot-otot somatik. Dua puluh ekor cacing dewasa yang hidup di rongga usus halus dapat mengonsumsi karbohidrat sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap harinya Syamsu, 2007. Cacing ini mempunyai tiga bibir di ujung anterior dengan gigi-gigi kecil di bagian pinggirnya. Bibirnya dapat ditutup atau dibuka untuk memasukkan makanan. Pada potongan melintang, cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol ke dalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatiknya terletak di hipodermis Syamsu, 2007. Cacing bernapas secara difusi melalui permukaan tubuhnya Wasetiawan, 2009. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari Margono dkk., 2003. Telur yang dihasilkan tersebut terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi panjangnya antara 60-75 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40-50 mikron. Telur ini memiliki lapisan albumin yang berwarna cokelat karena menyerap zat warna empedu. Di dalam kulit telur cacing terdapat selubung vitelin tipis. Telur yang dibuahi mengandung sel telur ovum yang tidak bersegmen. Di setiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit Utari, 2002. Telur yang telah dibuahi dapat menginfeksi manusia apabila tertelan Widoyono, 2008. commit to user 7 Telur yang tidak dibuahi dijumpai di dalam tinja, bila pada tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar 80 x 55 mikron. Dindingnya tipis dan berwarna cokelat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami atrofi yang tampak dari banyaknya butir-butir refraktil. Pada telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara Utari, 2002. c. Habitat dan siklus hidup Tinja penderita askariasis dapat mengandung telur askaris yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus menjadi larva dengan ukuran 200-300 x 14 mikron. Larva ini dapat menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, kemudian ke jantung. Dari jantung, larva menuju ke paru-paru Margono dkk., 2003. Di paru-paru, larva akan menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea, larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus serta menuju ke usus halus. Di usus halus, larva berubah menjadi cacing dewasa Margono dkk., 2003. commit to user 8 d. Distribusi geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70 atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5 dan 72,6 masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi askariasis sebesar 16,8 di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9 pada tahun 2000 Margono dkk., 2003. 2. Ascaris suum, Goeze a. Taksonomi Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Subkelas : Scernentea Bangsa : Ascaridia Superfamili : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Marga : Ascaris Spesies : Ascaris suum, Goeze Wikipedia, 2010. commit to user 9 Gambar 1. Cacing Dewasa Ascaris suum, Goeze Nolan, 2006 b. Morfologi Cacing Ascaris suum, Goeze merupakan cacing gelang parasit yang hidup di usus halus babi. Cacing ini juga dapat menginfeksi manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan sebagainya Miyazaki, 1991. Yoshihara 2008 menemukan bahwa pada ayam yang terinfeksi Ascaris suum terjadi lesi hepatik karena migrasi larvanya. Cacing Ascaris suum, Goeze memiliki panjang antara 12-50 cm, tubuhnya simetris bilateral dan gilig Subroto, 2001. Cacing ini secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides Miyazaki, 1991. 3. Askariasis a. Etiologi Penyebab penyakit askariasis adalah cacing Ascaris lumbricoides. Manusia merupakan hospes dari cacing ini Margono dkk., 2003. commit to user 10 1 Aspek klinis Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan respons umum hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Selama larva mengalami siklus dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan pneumonitis. Larva yang menembus jaringan dan masuk ke dalam alveoli dapat mengakibatkan kerusakan epitel bronkus Onggowaluyo, 2002. Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi larva ulang maka jumlah larva yang sedikit pun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Hal ini terjadi dalam hati dan paru-paru disertai oleh infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epitel. Keadaan ini disebut pneumonitis askariasis. Selanjutnya, disertai reaksi alergik yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan demam 39,9 -40 C. Adanya gambaran infiltrat pulmoner yang bersifat sementara, akan hilang dalam beberapa minggu dan berhubungan dengan eosinofilia perifer. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Selain ditemukan kristal Charcot-Leyden dan eosinofil, spudium juga dapat mengandung larva. Hal ini penting untuk keperluan diagnosis, yaitu dengan pemeriksaan bilas lambung. Cacing dewasa yang ditemukan dalam jumlah besar hiperinfeksi dapat mengakibatkan kekurangan gizi. Kasus ini biasanya terjadi pada anak- anak. Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid yang disertai alergi seperti commit to user 11 urtikaria, edema di wajah, konjungtivitis, dan iritasi pada alat pernapasan bagian atas Onggowaluyo, 2002. Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan serius. Migrasi cacing dewasa bisa disebabkan oleh adanya rangsangan. Efek migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya. Migrasi sering juga terjadi keluar melalui anus, mulut, dan hidung Onggowaluyo, 2002. 2 Diagnosis Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan larva dalam spudium atau bilas lambung. Sindrom Loeffler yang spesifik sering terlihat. Di sisi lain, selama fase intestinal diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan basah langsung atau sediaan basah dari sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus bersama dengan tinja Onggowaluyo, 2002. 3 Penatalaksanaan Menurut Pohan 2007, obat-obat yang digunakan untuk membasmi cacing ini antara lain: commit to user 12 a Piperazin Satu tablet obat ini mengandung 250 atau 500 mg piperazin. Efek sampingnya adalah pusing, rasa melayang, gangguan penglihatan, dan gangguan saluran cerna. b Heksilresorsinol Obat ini baik untuk infestasi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini diberikan setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan 1 gram hekselresorsinol dengan pemberian laksans sebanyak 30 mg MgSO 4 , yang diulangi lagi 3 jam kemudian dengan tujuan mengeluarkan cacing. c Pirantel pamoat Pirantel pamoat memiliki efek menghambat enzim kolinesterase. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mgkg berat badan, maksimum 1 gram. Efek sampingnya adalah rasa mual, diare, pusing, ruam kulit, dan demam. d Levamisol Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg. e Albendazol Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg. f Mebendazol Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 100 mg. Pohan, 2007 commit to user 13 4 Komplikasi Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang berat dan pneumonitis, bahkan dapat menyebabkan pneumonia Pohan 2007. 5 Prognosis Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis askariasis baik Pohan, 2007. 4. Alpukat a. Taksonomi Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Laurales Famili : Lauraceae Marga : Persea Spesies : Persea americana Mill. Rukmana, 1997. commit to user 14 Gambar 2. Daun dan Buah Alpukat Gardenology, 2010 b. Nama daerah Jawa Tengah : alpokat Jawa Barat : alpuket, jambu wolanda Lampung : advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat Batak : boah pokat, jamboo pokat Yana, 2010; Dalimartha, 2008 c. Nama asing Inggris : advocaat, avocatier, alligator pear, avocado pear Prancis : poire d’avocat Portugal : abacate Spanyol : aguacate palta Dalimartha, 2008. d. Morfologi tumbuhan 1 Akar Tumbuhan alpukat mempunyai akar tunggang. commit to user 15 2 Batang Batang alpukat berbentuk bulat, berkayu, berwarna coklat kotor, dan banyak bercabang ranting. 3 Daun Daun alpukat tunggal, simetris, bertangkai dengan panjang antara 1-1,5 cm dan letaknya berdesakan di ujung ranting. Daun bentuknya jorong sampai bundar telur atau ovalis memanjang, tebal seperti kertas. Pangkal dan ujung daun meruncing, tepi rata, kadang-kadang agak menggulung ke atas permukaan daun gundul. Pertulangan daun menyirip, dengan panjang 10-20 cm dan lebar 3-10 cm. Daun alpukat muda berwarna kemerahan, sedangkan daun tua berwarna hijau. 4 Bunga Bunganya bunga majemuk, berbentuk bintang, berkelamin dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung ranting, dan berwarna kuning kehijauan. 5 Buah Buah alpukat merupakan buah buni, berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm. Buah berwarna hijau atau hijau kekuningan dan berbiji satu di mana biji berbentuk bulat seperti bola dengan diameter 2,5-5 cm. Daging buah jika sudah masak lunak dan berwarna hijau kekuningan. Berat buah alpukat antara 0,3-0,4 kg. Yana, 2010; Dalimartha, 2008 commit to user 16 e. Kandungan Kimia Daun alpukat Persea americana Mill. mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroidtriterpenoid Maryati dkk., 2007. Duke 2010 juga menyatakan bahwa daun alpukat mengandung tanin. Penelitian yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa daun alpukat memiliki efek antifungi Rahaju dan Nurhidayat, 2009, antihipertensi Koffi et al., 2009, antimikroba Gomez-Flores et al., 2008, kardioprotektor Ojewole et al., 2007, antihiperlipidemia Brai et al., 2007, hepatoprotektor Martins et al., 2006, antikonvulsan Ojewole dan Amabeoku, 2006, aktivitas hipoglikemia Antia et al., 2005, vasorelaksan Owolabi et al., 2005, serta analgesik dan antiinflamasi Adeyemi et al., 2002. Buah alpukat mengandung sekitar 75 lemak, yang kebanyakan terdiri dari monounsaturated fat. Alpukat juga mengandung potassium yang kadarnya 60 lebih tinggi daripada pisang. Alpukat merupakan buah yang kaya vitamin B, E, dan K Naveh et al., 2002. commit to user 17 Tabel 1. Kandungan Gizi Alpukat per 100 gram Zat Gizi Kadar per 100 gram Air 73,23 g Energi 670 kJol 160 kcal Karbohidrat 8,53 g Serat 6,7 g Lemak 14,66 g Protein 2 g Thiamin Vitamin B1 0,067 mg 5 Vitamin C 10 mg 17 Vitamin E 2,07 mg Vitamin K 21,0 mcg Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference 5. Kandungan Daun Alpukat yang Mempunyai Efek Antelmintik Hasil penapisan fitokimia dari Sekolah Farmasi ITB menyatakan bahwa daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroidtriterpenoid Maryati dkk., 2007. Duke 2010 menyatakan bahwa daun alpukat juga mengandung tanin. Saponin dan tanin merupakan senyawa kimia daun alpukat Persea americana Mill. yang memiliki efek antelmintik. Saponin adalah glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin mempunyai karakteristik berupa buih karena ketika direaksikan dengan air dan dikocok dapat membentuk buih. Saponin diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid dengan molekul karbohidrat, sedangkan saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul commit to user 18 karbohidrat. Saponin memiliki efek antijamur dan bersifat racun bagi binatang berdarah dingin Hartono, 2009. Saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat kerja enzim kolinesterase Kuntari, 2008. Enzim kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin, suatu neurotransmiter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis, parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan kerja enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetilkolin pada reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing Pappano dan Watanabe, 1998. Di samping saponin, tanin juga memiliki efek antelmintik. Tanin merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein. Tanin memiliki beberapa sifat, yaitu: 1 mengendapkan protein dan bersenyawa dengan protein tersebut, 2 sukar mengkristal karena merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol, dan 3 memiliki efek adstrigensia serta antiseptik. Efek antelmintik tanin berupa perusakan protein tubuh cacing Najib, 2009. commit to user 19

B. Kerangka Pemikiran