Perakitan klon bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu

(1)

PERAKITAN KLON BAWANG MERAH HASIL TINGGI

DAN TAHAN PENYAKIT BERCAK UNGU

NOOR FARID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergurunan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2012

Noor Farid A263070051


(4)

(5)

ABSTRACT

NOOR FARID, Improvement on Shallot Genotype for High Yielding and Purple Blotch Disease Resistance. Supervised by SURJONO H SUTJAHJO, AGUS PURWITO, and CATUR HERISON.

The problems of increasing shallot production include the use of low yielding, as well as pest and disease susceptible varieties. Purple blotch disease is one of shallot diseases that may cause up to 100% yield loss. Breeding of shallot has been hindered by narrow genetic variation among parental genotypes. Therefore, it is inevitable to explore novel sources of genetic variation that can be used to develop high yielding and purple blotch disease resistant shallot varieties. Effort to increase genetic variability can be done through crossing and mutation. The objectives of this study were: (1) to obtain shallot genotypes that high yielding and resistant to purple blotch disease, (2) to know the morphological and physiological characteristics of high yielding shallot for selection, (3) to determine general combining ability (GCA), specific combining ability (SCA) and heterosis of some shallot genotypes, (4) to study the genetic variability of the genotypes resulted from the crossing, (5) to evaluate the resistance of the genotypes to purple blotch disease, as well as their anthocyanin contents. The result showed that: (1) three mutants (G2-06-1, G3-06-2, and G2-01-2) were observed to be high yielding and resistant to purple blotch disease, (2) high yielding shallot genotypes had a rapid growth, moderate bulb and bulblets number, greater leaf diameter, and greater bulb productivity per hill, (3) high yielding genotypes were characterized by greater root growth was observed and for the upper biomass was observed compared to the low yielding genotypes, (4) shallot genotypes that have a high GCA are: Tiron and Timor, (5) shallot genotypes from crosses of SCA and heterosis effect are high between the Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor and Kuning/Sibolangit, (6) that based on RAPD marker, the mutants could be grouped into three class, and (7) anthocyanin content of purple blotch resistance mutant was higher than the susceptible one.


(6)

(7)

RINGKASAN

NOOR FARID, Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu. Dibimbing oleh SURJONO H SUTJAHJO, AGUS PURWITO, dan CATUR HERISON.

Kendala peningkatan produksi bawang merah adalah belum tersedianya varietas bawang merah yang berdaya hasil tinggi, dan rentan terhadap hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting adalah penyakit bercak ungu yang dapat menurunkan hasil sampai 100 %. Kegiatan pemuliaan bawang merah selama ini terkendala oleh sempitnya keragaman genetik sumber tetua yang tahan terhadap penyakit bercak ungu. Perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu diperlukan untuk peningkatan produktivitas. Peningkatan keragaman dapat dilakukan dengan cara persilangan dan mutasi. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan genotipe bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dilakukan serangkaian percobaan dengan sub tujuan : (1) mendiskripsikan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi, (2) menduga nilai daya gabung umum, daya gabung khusus dan heterosis sejumlah genotipe bawang merah, (3) mengetahui keragaman bawang merah dari hasil mutasi, (4) menguji daya tahan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu dan (5) mendapatkan hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat ketahanan mutan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu.

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 sampai dengan 2011, yang terdiri atas 4 tahapan percobaan. Percobaan 1. Identifikasi morfologi dan fisiologi bawang merah. Percobaan dengan dua perlakuan yaitu varietas dan kesuburan tanah. Varietas bawang merah yang digunakan sebanyak enam varietas, yaitu: Bima, Bima Juna, Bima Tarno, Kuning, S Philip dan Tiron. Tingkat kesuburan yang dicoba terdiri atas 2 taraf, yaitu: tanpa pemupukan dan dengan pemupukan (200 kg/ha NPK dan 5 ton/ha pupuk kandang). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Karakter yang diamati adalah: tinggi tanaman, bobot bagian atas tanaman, bobot bagian bawah tanaman, panjang akar, jumlah anakan, diameter daun, jumlah daun, bobot umbi per rumpun, diameter umbi, jumlah umbi, dan hasil. Adapun karakter fisiologi yang diamati adalah: ANR (aktivitas nitrat reduktase), laju akumulasi bahan kering, kandungan hara N, P, K dalam jaringan, dan kandungan klorofil. Uji F digunakan untuk analisis data, dan dilanjutkan dengan UJGD (uji jarak ganda Duncan) taraf 5 % serta korelasi antar sifat. Percobaan 2. Analisis daya gabung, heterosis, dan heritabilitas sifat yang berkaitan dengan hasil pada bawang merah. Percobaan dilakukan dengan persilangan setengah diallel pada 7 varietas bawang merah (Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna). Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan 3 ulangan. Karakter yang diamati yaitu: tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot umbi per rumpun. Analisis data menggunakan metoda Griffing II dengan tetua heterosigot. Percobaan 3. Uji daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu hasil pada 300 mutan. Faktor yang dicoba adalah genotipe bawang merah yang terdiri atas 300 mutan (mutasi 10 krad sinar gamma pada


(8)

benih dari hasil persilangan setengah dialel). Semua genotipe bawang merah yang diuji diberi perlakuan inokulasi konidia dari fungi Altenaria porri 3x106 konidia/ml. Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot umbi/rumpun, bobot umbi per plot dan intensitas serangan penyakit bercak ungu. Selain itu, daun dari mutan tahan, agak tahan, dan rentan dianalisis kandungan antosianin. Selanjutnya mutan tersebut diuji jarak genetiknya dengan penanda RAPD. Percobaan 4. Uji daya hasil lanjut dan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada mutan bawang merah. Genotipe bawang merah yang dicoba adalah 86 mutan bawang merah dan 5 varietas kontrol (Bima, Katumi, Kuning, Sumenep dan Tiron). Semua genotipe bawang merah diberi perlakuan inokulasi konidia seperti percobaan 3. Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan 6 kali ulangan. Karakter yang diamati : tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, bobot umbi, ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Data dianalisis dengan metode augmented dilanjutkan dengan uji LSI (least significant increase) taraf 5 % untuk perbandingan antara mutan dengan 5 varietas kontrol.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) diperoleh 3 mutan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu, yaitu: G2-06-1, G3-06-2, dan G2-01-2, (2) didapatkan 8 mutan bawang merah hasil tinggi tetapi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu tergolong agak rentan sampai dengan agak tahan, adalah: G2-03-1, G1-02-2, G2-03-2, G1-03-1, G3-02-2, G3-12-2, G1-14-1, dan G1-12-1, (3) terdapat korelasi genotipik dan fenotipik antara hasil dengan karakter yang diamati kecuali jumlah anakan, (4) genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah : Tiron dan Timor, (5) genotipe bawang merah yang DGK, dan heterosis tinggi ialah persilangan antara Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit sehingga dapat dipilih untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, (6) kandungan antosianin lebih tinggi pada genotipe bawang merah tahan terhadap bercak ungu dari pada rentan, dan (7) hasil penandaan dengan RAPD pada mutan bawang merah terdapat 3 kelompok.


(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PERAKITAN KLON BAWANG MERAH HASIL

TINGGI DAN TAHAN PENYAKIT BERCAK UNGU

NOOR FARID

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc. 2. Dr. Desta Wirnas, SP., MSi.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS


(13)

Judul : Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu

Nama Mahasiswa : Noor Farid

Nomor Pokok : A263070051

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS.

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr.

Anggota I Anggota II

Dr. Ir.Catur Herison, M.Sc.

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu telah diselesaikan di bawah bimbingan dan dukungan komisi pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS., Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr dan Dr. Ir. Catur Herison, MSc.

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui beasiswa BPPS tahun 2007-2010 dan Program Penelitian Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas tahun 2009-2010.

Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa material maupun non material merupakan karunia Allah SWT kepada Penulis, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr dan Dr. Ir.Catur Herison, MSc, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulisan dengan tekun dan sabar

2. Rektor Universitas Jenderal Soedirman dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengikuti program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. 3. Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor di IPB

4. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB

5. Program Penelitian Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas RI tahun 2009-2011 atas bantuan dana penelitian

6. Ketua LPPM Unsoed dan staf yang telah memberikan informasi dan menfasilitasi untuk mendapatkan dana penelitian

7. Kepala dan staf Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hortikultura dan Sayuran Lembang, yang telah memberikan batuan dalam persilangan genotipe bawang merah.


(16)

8. Kepala dan Staf Lab. Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang yang telah banyak membantu dalam penelitian.

9. Kepala dan staf Lab. RGCI, Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu dalam penelitian.

10.Ketua dan Staf Pengajar Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas segala dukungan yang diberikan

11.Kepala dan Staf Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas dukungan yang diberikan dalam penelitian ini.

12.Ketua Program Studi Pemulian dan Bioteknologi Tanaman SPS IPB yang telah memberikan motifasi dan dorongan dalam studi ini

13.Dr. Ir. Anas Dinurrohman Susila dan Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si. yang telah berkenan menguji dan meluangkan waktu pada ujian kualifikasi.

14.Dr.Ir. Syarifah Iis Aisyah, M.Sc., Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si, yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan pada ujian tertutup.

15.Dr.Ir. Abdul Muin Adnan, MS. dan Prof. Ir. H. Totok Agung DH., MP., PhD., yang telah bersedia menguji dalam ujian terbuka dan memberi masukan untuk perbaikan disertasi.

16.Ir. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., PhD. yang telah memberikan informasi genotipe bawang merah dan masukan untuk penelitian ini serta penyusunan disertasi.

17.Prof. Dr. Ir. Suwarto, MS. dan Ir. Suprayogi, M.Sc. serta teman-teman satu Lab. Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed yang telah memberikan masukan, diskusi dan bantuan dalam penelitian serta penulisan disertasi

18.Orang tua dan kerabat penulis yang selalu memberikan motivasi dan do’a selama penulis mengikuti dan menyelesaikan program doktor di IPB

19.Istri tercinta Eni Sumarni, STP., MSi. dan anak-anak (Adilla Luthfia, Addina Syafrida dan Aufanoor Iftinaanda) yang telah memberikan cinta, pengertian do’a serta dukungan selama menyelesaikan pendidikan.


(17)

20.Teman-teman di SPs Program Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas dukungan, kerjasama selama pelaksaan penelitian dan penyusunan disertasi.

21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi.

Akhir kata semoga Allah SWT berkenan membalas budi baik Bapak dan Ibu serta teman-teman semua. Mudah-mudahan karya ilmiah ini dapat memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Mei 2012


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya, pada tanggal 17 Mei 1965 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Mas’an Rosyid (Alm) dan Hj. Nafsyiah (Alm). Penulis telah menikah dengan Eni Sumarni, STP., M.Si. dan telah dikaruniai tiga orang putri yaitu Adilla Luthfia, Addina Syafrida dan Aufanoor Iftinaanda.

Pendidikan sarjana pertanian di bidang Agronomi ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman dan selesai tahun 1988. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan program master di bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor di Program Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman penulis peroleh tahun 2007 atas beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada laboratorium Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman sejak 1990 sampai sekarang.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I. PENDAHULUAN………...………... 1

Latar Belakang………...………. 1

Tujuan Penelitian .……….. 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Ciri Tanaman Bawang Merah, Daerah Tumbuh dan Daya Hasil Varietas ………... 7

Daya Gabung Umum dan Khusus serta Pendugaannya …………. 8

Keuntungan Persilangan Dialel ……….. 9

Identifikasi Kekerabatan Dan Keragaman dengan RAPD (Random amplified polymorphicDNA) .……… 10

Gejala Penyakit Bercak Ungu pada Bawang Merah ... 12

Pemuliaan dengan Mutasi ... 13

Hasil Penelitian yang Telah Dicapai ……….. 14

III. PENAMPILAN KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BAWANG MERAH... 17

Abstract ... 17

Abstrak ... 17

Pendahuluan ... 18

Bahan dan Metode... 18

Hasil dan Pembahasan... 24

Kesimpulan dan Saran ... 37

IV. ANALISIS DAYA GABUNG, HETEROSIS, DAN HERITABILITAS SIFAT YANG BERKAITAN DENGAN HASIL PADA BAWANG MERAH……….. 41

Abstract ... 41

Abstrak ... 41

Pendahuluan ... 42

Bahan dan Metode... 43

Hasil dan Pembahasan... 47


(21)

Halaman

V. UJI DAYA HASIL MUTAN BAWANG MERAH DAN KETAHANANNYA TERHADAP PENYAKIT BERCAK

UNGU ……….... 53

Abstract ... 53

Abstrak ... 53

Pendahuluan ... 54

Bahan dan Metode... 55

Hasil dan Pembahasan... 61

Kesimpulan dan Saran ... 66

VI. UJI DAYA HASIL LANJUT DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK UNGU PADA MUTAN BAWANG MERAH (M1V2) …... 69

Abstract ... 69

Abstrak ... 69

Pendahuluan ... 69

Bahan dan Metode... 71

Hasil dan Pembahasan... 74

Kesimpulan dan Saran ... 79

VII. PEMBAHASAN UMUM .……….………. 81

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ..………..………. 87

DAFTAR PUSTAKA……….….. 89


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Interaksi pada karakter jumlah anakan per rumpun dari enam

genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ..………….. 25

2. Interaksi pada karakter jumlah umbi per rumpun dari enam

genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ..………….. 26

3. Interaksi pada karakter diameter umbi (mm) dari enam genotipe

bawang merah pada dua kesuburan tanah ……….. 27

4. Interaksi pada karakter bobot umbi per rumpun (g) dari enam

genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ………..…. 28 5. Interaksi pada karakter akumulasi hara K jaringan (%) dari enam

genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah …..…….... 28 6. Interaksi pada karakter ANR (µg/g/jam) dari enam genotipe

bawang merah pada dua kesuburan tanah ………. 29

7. Penampilan tinggi tanaman (cm), jumlah daun, diameter daun (mm) dan bobot umbi (kg/m2) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah ……….. 31 8. Penampilan akumulasi hara N jaringan (%), akumulasi hara P

jaringan (%), kandungan klorofil a dan b (mg/g) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan

tanah………. 33

9. Korelasi fenotipik dan genotipik antar sifat bawang merah yang

diamati ………..…. 38

10. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah ... 43 11. Analisis sidik ragam daya gabung umum dan khusus …….….. 44 12. Hasil uji daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus

(DGK), varian aditif dan varian dominan pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi, bobot

umbi basah serta bobot kering umbi per rumpun ………. 47 13. Hasil analisis daya gabung umum pada karakter agronomik


(23)

Nomor Halaman

14. Hasil analisis daya gabung khusus pada karakter yang diamati dari genotipe hasil persilangan antara tujuh tetua bawang merah

yang digunakan ………... 49

15. Nilai heterosis pada karakter yang diamati dari genotipe hasil

persilangan antara tujuh tetua (%) ……….... 50 16. Nilai heritabilitas arti luas dan arti sempit dari karakter bawang

merah yang diamati .……….. 51

17. Mutan bawang merah generasi M1V1 yang digunakan ... 56 18. Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai

berikut ……….………..………… 57

19. Genotipe bawang merah generasi M1V2

yang digunakan ...……….... dan varietas kontrol

72 20. Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai

berikut ………..……… 73

21. Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter tinggi tanaman (cm), jumlah

daun, jumlah anakan dan jumlah umbi ………. 75

22. Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter diameter umbi (mm), bobot


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan alir kegiatan penelitian perakitan bawang merah hasil

tinggi dan tahan penyakit bercak ungu …………..………. 5 2. Penampilan di lahan pada kondisi sub optimal dari varietas Bima

dibandingkan varietas Kuning (optimal) (a) dan hasil panen tiap

varietas yang dicoba pada dua kondisi kesuburan (b) ………… 31 3. Pemanjangan akar (mm/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah

pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak

dipupuk ..……….... 34

4. Akumulasi bahan kering tajuk (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun

tidak dipupuk ..………..…. 35

5. Akumulasi bahan kering akar (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun

tidak dipupuk .……….……….. 36

6. Penampilan tinggi tanaman (cm) dari 300 mutan bawang merah

hasil mutasi ……….…..………. 61

7. Penampilan jumlah daun dari 300 mutan bawang merah hasil

mutasi ………..……….………….…..………. 62

8. Penampilan jumlah anakan per rumpun dari 300 mutan bawang

merah hasil mutasi ………..………. 63

9. Penampilan bobot umbi/rumpun dari 300 mutan bawang merah

hasil mutasi …..………..……… 63

10. Penampilan Intensitas serangan penyakit bercak ungu pada 300

mutan bawang merah hasil mutasi ..……..………... 64

11. Kandungan antosianin daun dari 10 mutan bawang merah yang

tahan (T), agak tahaan (AT), agak rentan (AR) dan rentan (R).. 65 12. Hasil penanda RAPD dengan primer OPA-08 (a), OPA-20 (b)

dan phi-080 (c) pada 10 mutan bawang merah hasil mutasi.. 65 13. Dendogram 10 mutan bawang merah berdasarkan penanda


(25)

Nomor Halaman

14. Penggolongan tingkat ketahanan 85 mutan bawang merah

terhadap penyakit bercak ungu ………... 77

15. Penampilan mutan bawang merah yang rentan dan sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu. (a) Mutan G2-08-2 yang tergolong sangat rentan dan mati saat tanaman berumur 35 hst. (b) Mutan G3-14-1 yang tergolong rentan dan (c) G2-15-1 yang tergolong

sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu ……… 78

16. Penampilan mutan bawang merah hasil tinggi (G3022, G2031, G3062), varietas Tiron, G3042 dan G2151 yang sangat rentan

(SR) terhadap penyakit bercak ungu ……….. 78

17. Penampilan bawang merah berumbi warna putih (Unsoed 01) hasil mutasi pada persilangan Kuning/Tiron dengan sinar gamma 10 krad (a) umbi bawang merah Kuning dibanding Unsoed 01 yang berwarna putih dan (b) irisan melintang umbi bawang


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pengujian LSI dari 85 mutan bawang merah terhadap 5 varietas

kontrol ………... 105

2. Tanda daftar varietas Unsoed 01 dari Pusat Perlindungan


(27)

1

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting, karena kandungan gizi, dan permintaan pasar yang tinggi. Selain itu, bawang merah menjadi tanaman unggulan nasional komoditas hortikultura dan prioritas utama pada sejumlah propinsi di Indonesia (Dirjen Hortikultura 2008). Produktivitas bawang merah Indonesia masih relatif rendah yaitu 9,2 ton/ha (BPS 2008) dibanding dengan negara Asia dan dunia yang sudah mencapai 13-15 ton/ha (Pathak, 1997). Salah satu kendala dalam peningkatan produktivitas bawang merah adalah adanya penyakit bercak ungu yang dapat menurunkan hasil 57 sampai 100 %. Penyakit ini juga menyerang umbi sehingga menurunkan kualitas hasil (Semangun 1994; Surjaningsih 1994; Suhardi et al., 1994). Pengendalian penyakit bercak ungu dapat dilakukan dengan varietas tahan, fungisida dan pergiliran tanaman (Duriat et al., 1999).

Pestisida sering digunakan petani untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman bawang merah. Kurangnya pengetahuan tentang pestisida menyebabkan penggunaan pestisida berlebihan. Akibatnya muncul masalah pencemaran pangan dan lingkungan serta resistensi hama/penyakit. Dampak yang sangat merugikan lainnya adalah matinya parasit dan predator yang berguna. Dalam jangka panjang kondisi tersebut berakibat meningkatkan pencemaran dan mengganggu keseimbangan lingkungan, sehingga menghambat terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan. Hasil studi residu pestisida pada umbi bawang merah menunjukkan adanya kandungan pestisida golongan organoklorin dan organofosfat bawang merah dari Jawa Barat (Cianjur) maupun Jawa Tengah (Brebes) (Miskiyah & Munarso 2009). Penggunaan varietas tahan hama dan penyakit adalah salah satu teknik pengurangan penggunaan pestisida sehingga produk tanaman tidak tercemar pestisida serta ramah lingkungan.

Varietas atau klon bawang merah yang ada saat ini mempunyai daya hasil antara 7 sampai 24 ton/ha dengan umur sekitar 60 sampai 70 hst (hari setelah


(28)

2

tanam). Beberapa varietas/klon bawang merah yang sudah banyak ditanam adalah Bima, Kuning, Kuning Tablet, Tiron, Sumenep, Engkel, Bangkok, Ampenan, Maja Cipanas, Timor dan Super Philip. Setiap varietas tersebut mempunyai keunggulan tersendiri (Sunarto et al., 2004; Diperta 2005).

Hasil studi genetik menunjukkan bahwa persilangan antar genotipe bawang merah yang dekat hubungan kekerabatannya kurang dapat meningkatkan hasil (Farid et al., 2007). Hasil indentifikasi kekerabatan 153 genotipe bawang merah menunjukkan ada keragaman genetik yang jauh antar genotipe (Arifin & Okubo, 1996). Berdasarkan dengan uji RAPD dari 129 genotipe bawang merah diperoleh sejumlah genotipe yang jauh jarak genetiknya (Arifin et al., 2000).

Perakitan bawang merah membutuhkan informasi genetik untuk penentuan strategi pemuliaaannya. Salah satunya dengan studi daya gabung, sehingga diketahui kemampuan suatu tetua untuk menggabungkan sifatnya kepada tetua yang lain dan memberikan penampilan terbaik pada keturunannya. Selain itu, dapat diketahui nilai heterosisnya untuk penentuan genotipe bawang merah yang akan dirakit.

Adanya keterbatasan plasma nutfah bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu, maka dilakukan mutasi dengan sinar gamma untuk diperoleh genotipe tahan. Pemuliaan tanaman membiak vegetatif dapat dilakukan dengan mutasi (Medina et al., 2005). Telah banyak kegiatan mutasi dengan sinar gamma untuk meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman (Pophaly et al., 2006; Gulsen et al., 2007). Dari hal tersebut maka perakitan bawang merah hasil tinggi dilakukan dengan persilangan setengah dialel pada tujuh genotipe bawang merah yang jauh jarak genetiknya. Perbaikan sifat ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada bawang merah dilakukan dengan mutasi sinar gamma.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini untuk : mendapatkan genotipe bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu.


(29)

3 Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan karakter seleksi pada sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi

2. Menduga nilai daya gabung umum, daya gabung khusus, dan heterosis

sejumlah genotipe bawang merah

3. Mengetahui keragaman dan kekerabatan dari hasil persilangan bawang merah 4. Menguji ketahanan genotipe bawang merah terhadap penyakit bercak ungu

5. Mendapatkan hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat

ketahanan genotipe bawang merah terhadap penyakit bercak ungu.

Ruang Lingkup Penelitian

Produktivitas bawang merah Indonesia yang masih rendah dibanding dengan negara lain. Adanya penyakit bercak ungu yang berakibat menurunkan hasil, maka perlu dirakit bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu. Plasma nutfah bawang merah yang ada mempunyai keragaman hasil yang luas dari daya hasil antara 8 sampai 24 ton/ha, tetapi keragaman ketahanan terhadap bercak ungu sempit, yaitu hanya sampai agak tahan.

Perlunya informasi sifat genetik bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, maka dilakukan studi daya gabung karakter yang berkaitan dengan hasil. Kegiatan seleksi dibutuhkan informasi genetik dari sifat yang diseleksi. Karakter seleksi bawang merah hasil tinggi diperoleh dari identifikasi sifat agronomik dan fisiologis bawang merah hasil tinggi.

Sifat ketahanan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu dapat diperbaiki dengan mutasi. Dari sejumlah kegiatan mutasi ternyata dapat meningkatkan keragaman untuk karakter ketahanan terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan. Dosis sinar gamma yang digunakan dalam mutasi untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit berkisar antara 3 sampai 30 krad. Dosis LD50 sinar gamma pada tanaman bawang merah 23 krad dan dosis peningkatan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu antara 3 sampai 15 krad.


(30)

4

Adapun tahapan untuk mencapai tujuan utama penelitian ini, sebagai berikut :

1. Studi penampilan karakter morfologi dan fisiologi bawang merah hasil tinggi, untuk mendapatkan suatu karakter yang dapat menjadi pedoman dalam kegiatan seleksi bawang merah hasil tinggi.

2. Studi daya gabung, yang dilakukan dengan persilangan setengah dialel pada 7 tetua bawang merah.

3. Mutasi biji-biji bawang merah hasil persilangan setengah dialel untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Selain itu, dilakukan identifikasi genotipe bawang merah tahan penyakit bercak ungu dengan uji RAPD dan kandungan antosianin pada genotipe bawang merah tahan dan rentan terhadap penyakit bercak ungu.

4. Pengujian genotipe bawang merah terhadap ketahanan penyakit bercak ungu dan daya hasilnya dibandingkan 5 varietas kontrol.


(31)

1

5

Identifikasi 153 genotipe bawang merah dengan

RFLP dan AFLP

Identifikasi 129 genotipe bawang merah dengan

RAPD

Studi genetik bawang merah

Studi mutasi pada bawang merah : LD50 γ : 23 krad

Ketahanan : dosis γ 3-15 krad

P las m a N u tf ah B aw ang m er ah T er pi li h 1.Identifikasi Morfologi dan Fisiologi Bawang

Merah Hasil Tinggi

2. Persilangan Setengah Dialel 7 Genotipe Bawang

Merah

Genotipe Hasil Tinggi

3. Uji Daya Hasil dan Ketahanan thd Peny Bercak Ungu, Penanda RAPD pada Mutan dan Uji Kandungan

Antosianin Mutan

4. Uji Daya Hasil Lanjut & Ketahanan thd Penyakit Bercak ungu pada M1V2 Biji dimutasi γ 10

Krad Mutan Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit bercak ungu

Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu Penelitian yang telah dilakukan Perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu

Karakter Seleksi Hasil Tinggi


(32)

(33)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

Ciri Tanaman Bawang Merah, Daerah Tumbuh dan Daya Hasil Varietas

Bawang merah merupakan kerabat dekat bawang bombay. Biasanya bawang merah dibiak secara vegetatif dengan umbi, umbinya mengandung beberapa tunas lateral dan setelah umbi ditanam tumbuh beberapa tunas yang tetap melekat pada bagian dasarnya sehingga berbentuk suatu rumpun. Varietas/klon bawang merah berbeda-beda morfologinya. Posisi pertumbuhan daun bervariasi dari tegak, miring maupun agak terkulai dengan warna antara hijau muda, hijau tua dan hijau gelap. Bentuk umbi juga bervariasi antara lonjong, agak bulat sampai bulat serta gepeng dengan warna umbi antara merah pucat, merah, merah tua keunguan. Kemampuan berbunganya juga bervariasi dari yang mudah, agak sulit sampai sulit berbunga secara alami. Variasi lain terdapat dalam hal ketahanan terhadap penyakit dari yang rentan sampai agak tahan. Semua variasi yang ada menunjukkan adanya keragaman genetik (Permadi & Aliudin 1991; Suhardi et al., 1994; Sudirdja 2001).

Tanaman bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (+ 1100 meter di atas permukaan laut) Produksi terbaik dihasilkan didataran rendah yang didukung kondisi iklim : suhu udara antara 25 – 320

Varietas adalah kelompok tanaman dalam satu jenis (species) dengan sifat berbeda, seragam dan stabil atau biasa disebut juga kultivar. Adapun klon adalah kelompok tanaman dalam satu jenis (species) yang diperbanyak secara vegetatif dengan sifat berbeda, seragam dan stabil (Crowder 1986). Jadi pada bawang merah yang perbanyakannya dengan vegetatif/umbi, untuk varietas disebut klon. C dan kering; tempat terbuka dan mendapat sinar matahari lebih 70% (bawang merah termasuk tanaman yang memerlukan sinar matahari cukup panjang (long day plant). Tiupan angin sedang sesuai untuk bawang merah. Tanah yang baik untuk pertanaman bawang merah adalah yang berstruktur gembur, subur, memiliki drainase dan aerasi yang baik serta pH tanah antara 5.5 – 6.5 (Sutarya & Grubben 1995; Sunarjo & Soedomo 2001).


(34)

8

Bawang merah yang telah banyak dicoba adalah Bima Brebes, Medan, Keling, Maja Cipanas, Sumenep dan Tiron. Adapun setiap klon atau varietas tersebut mempunyai keunggulan masing-masing. Dilihat daya hasilnya klon Bima Brebes mempunyai daya hasil 9.9 t/ha, Medan 7.4 t/ha, Keling 7.9 t/ha, Maja Cipanas 10.9 t/ha. Sifat lainnya dari klon tersebut adalah agak tahan terhadap busuk umbi. Klon bawang merah yang mempunyai daya hasil tinggi adalah klon 86 dengan daya hasil mencapai 24 t/ha, Katumi (24 t/ha) (Duriat et al., 1999; Hindrawati 2008). Klon bawang merah Tiron mempunyai daya hasil antara 12-16 t/ha, tahan terhadap busuk ujung daun dan agak tahan terhadap busuk umbi (Erlin & Yudono 2003; Dipertahut 2005). Klon/varietas Kuning tergolong rentan terhadap penyakit bercak ungu dan antraknose, serta klon/varietas Super Philip tergolong kurang tahan terhadap penyakit bercak ungu (Putrasamedja & Suwandi 1996).

Daya Gabung Umum dan Khusus serta Pendugaannya

Perbaikan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sering dihadapkan kepada masalah dalam memilih tetua-tetua yang mempunyai daya gabung tinggi. Penilaian suatu genotipe untuk digunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan, didasarkan atas penampilan keturunan yang dihasilkan dari persilangan dari sejumlah galur murni. Analisis daya gabung yang dibuat Griffing dapat digunakan untuk sejumlah tetua tanpa memperhitungkan tingkat heterositas dan poliploid (Janick 1992). Uji keturunan tersebut dikaitkan dengan daya gabung (daya gabung umum dan daya gabung khusus) yang diperlukan dalam identifikasi kombinasi tetua yang akan berproduksi tinggi (Chahal & Gosal 2006).

Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung galur murni. Daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer & Miranda 1988). Menurut Poehlman (1983) tidak semua kombinasi galur murni menghasilkan hibrida yang superior. Oleh karena itu, galur-galur murni perlu diuji daya gabungnya guna menentukan kombinasi yang terbaik untuk produksi benih hibrida.


(35)

9 Daya gabung dapat diartikan sebagai kemampuan genotipe tanaman untuk memindahkan suatu sifat yang kepada keturunannya (Poespodarsono 1988). Salah satunya adalah daya gabung galur murni yang dapat menentukan keunggulan hibridanya. Menurut (Poehlman 1983) daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus adalah penampilan galur murni dalam suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan kombinasi lainnya.

Pendugaan daya gabung dapat dilakukan dengan metode persilangan diallel. Pendugaan DGU dan DGK dapat dilakukan dengan empat pendekatan (Griffing 1956). Empat metode tersebut adalah: metode I (full diallel) yaitu persilangan yang terdiri dari (Parents + F1’s + resiprocals), dengan analisis

parents (n), F1’s dan resiprocals masing-masing [n(n-1)/2]. Metode II yaitu

persilangan yang terdiri dari (Parents dan satu set F1’s), dengan total analisis data

[n(n+1)]/2. Metode III yaitu persilangan yang tediri dari (satu set F1’s dan

resiprocals), dengan total analisis data n(n-1). Metode IV yaitu persilangan yang terdiri hanya satu set F1 saja, dengan total analisis data n(n-1)/2 (Singh &

Chaudhary 1979).

Heritabilitas adalah total keragaman populasi yang merupakan hasil kombinasi pengaruh genetik dan lingkungan (Welsh 1981). Heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam total (Allard 1960; Simmonds 1984). Heritabilitas disimbolkan dengan H atau h2

Suatu persilangan dialel adalah seluruh kombinasi persilangan yang mungkin di antara sekelompok genotipe atau tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F

. Heritabilitas terbagi menjadi heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dengan ragam total (ragam fenotipe). Heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dengan ragam total (ragam fenotipe).

Keuntungan Persilangan Dialel

1 keturunannya. Genotipe-genotipe tersebut bisa berupa individu, klon atau galur homozigot. Pada jumlah genotipe yang besar (populasi


(36)

10

dasar berasal dari banyak tetua) maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang besar. Persilangan tersebut dapat disederhanakan dengan maksud meniru populasi kawin acak (Griffing 1956).

Penggunaan teknik analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Di antara keuntungan tersebut, yaitu: (1) secara eksperimental merupakan pendekatan yang sistemik, (2) secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi (Fehr 1987).

Persilangan dialel merupakan suatu pendekatan untuk evaluasi dan seleksi dari kombinasi bentuk genetik tetuanya (Greenleaf 1986). Ada beberapa macam diallel yang mungkin untuk dianalisis dan jumlah kombinasinya tergantung dari macam persilangan tetuanya (Poespodarsono 1988).

Identifikasi kekerabatan dan keragaman dengan RAPD (Random amplified polymorphic DNA)

Identifikasi suatu genotipe bawang merah dapat digunakan dengan karakter morfologi, biokimia dan molekuler. Karakter morfologi dapat dengan langsung dan mudah diamati pada tanaman seperti bentuk biji, daun, umbi, bunga, ketahanan biotik dan abiotik (Horobin, 1986; Kofoet et al., 1990; Engle & Gabelman 1966; Zhang et al., 2005). Karakter biokimia yang telah digunakan sebagai identifikasi tanaman bawang seperti isozym, alkohol dehedogenase, malat dehedrogenase, peroksidase, superoksid dismutase (Arifin & Okubo 1996). Identifikasi dengan isozym ini membedakan genotipe tanaman dengan enzim yang diproduksi oleh gen. Jadi identifikasi dengan karakter morfologi dan biokimia mempunyai keterbatasan, yaitu dipengaruhi oleh lingkungan, dan fase pertumbuhan tanaman (Havey et al., 1996; Cramer & Havey, 1999; Ipek et al., 2003).

Identifikasi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan fase pertumbuhan tanaman adalah dengan molekular. Metoda ini dapat diklasifikasikan menjadi dua


(37)

11 golongan, ialah : metoda identifikasi tidak berdasarkan pada polymerase chain reaction (PCR) (berdasarkan hibridisasi molekular) dan berdasarkan PCR. Metoda identifikasi tanaman yang tidak berdasarkan PCR seperti RFLPs (Restriction Fragment Length Polymerase) dan berdasarkan PCR antara lain RAPD, Restriction fragment length polymorphism (RFLP), Single sequence repeat (SSR), Amplified fragment length polymorphism (AFLP), dan Inter Simple Squence Repeat (ISSR) (Cramer & Havey 1999; Williams et al., 1990; Yan et al.,

2005; Agarwal et al., 2008).

RAPD merupakan identifikasi molekular hasil suatu polimerase PCR dari satu primer acak pada DNA genom. Polimorfisme dihasilkan dari penyusunan kembali pada sisi pengikatan oligonukleotida primer dari genom dengan penggunaan sekuen oligonukleotida acak pendek. Kelebihan RAPD ini lebih cepat dan mudah mendeteksi dibanding RFLP (Botstein et al., 1980), SSR (Tautz & Renz 1984), dan AFLP (Vos et al., 1995). Kelemahan RAPD adalah kurang

reproduksibel dalam proses annealing (Demeke et al., 1997; Karp et al., 1997; Neale & Harry 1994).

Kelebihan lain dari RAPD ialah: kebutuhan DNA sedikit, lebih hemat, mudah digunakan, karena dapat digunakan primer universal. Beberapa kekurangan dari metoda RAPD, yaitu: tidak dapat membedakan genotipe homosigote dan heterosigote, adanya perubahan kecil berpengaruh pada jumlah dan intensitas amplifikasi, dan terdapat keragaman hasil antar laboratorium (William et al., 1990; Halleden et al., 1996).

Penggunaan RAPD pada identifikasi genotipe bawang telah banyak digunakan (Havey et al., 1996; Ebrahimi et al., 2009). Penggunaan RAPD juga telah banyak digunakan pada tanaman lain seperti jeruk, kapas, kelapa, jambu dan pisang (Baig et al., 2009; Upadhyay et al., 2004; Thimmappaiah et al., 2009; Sugawara et al., 2002; Suangsuttapha et al., 2007; Chaudhary et al., 2010).

Penanda RAPD telah dikembangkan pada masing-masing kromosome bawang merah (Shigyo et al., 1997). Telah diidentifikasi tiga primer pendeteksian dengan RAPD yang linkage dengan ketahanan penyakit embun jelaga (de Vries et al., 1992), dan satu penanda SCAR yang berasal dari pemetaan RAPD pada


(38)

12

kromosome 3 (van Heusden et al., 2000). Berdasarkan pelompokan RAPD pada taraf kesamaan 60 persen diperoleh 8 kelompok bawang dari 12 genotipe yang diidentifikasi (Ebrahimi et al., 2009), tetapi 10 genotipe bawang Banglades, hanya diperoleh 2 kelompok pada taraf yang sama (Maniruzzaman et al., 2010).

Gejala Penyakit Bercak Ungu pada Bawang Merah

Ketahanan tanaman terhadap penyakit didefinisikan sebagai suatu karakter tanaman yang memiliki daya tahan atau daya tumbuh dari adanya serangan patogen pada kondisi yang menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman lain oleh agen penyebab yang sama. Ada dua macam sistem respon ketahanan tanaman terhadap agen penyebab penyakit (Agrios 1997) yaitu :

1. Ketahanan vertikal atau spesifik

Ketahanan tanaman terhadap patogen dikendalikan oleh gen tungal (monogenik) atau beberapa gen (oligogenik). Ketahanan semacam ini biasanya hanya efektif terhadap pada satu atau beberapa ras/strain patogen saja tetapi tidak untuk ras/strain lainnya. Adapun tingkat ketahanannya adalah sangat tahan sampai tahan.

2. Ketahanan horisontal atau non spesifik

Ketahanan ini diwariskan secara poligenik sehingga sukar diwariskan. Ketahanan ini efektif terhadap banyak ras/strain patogen sehingga sulit dipatahkan. Tingkat ketahanannya terhadap ras/strain patogen tergolong sedang.

Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada pertanaman bawang merah adalah penyakit bercak ungu/trotol. Penyebabnya adalah fungi Alternaria porri

yang bentuk konidia berbentuk gada terbalik, berwarna pucat sampai cokelat muda, berukuran panjang 120 µm, tebal 5-10 µm (Semangun 1994; Rotem 1998; Schwartz 2004). Konidia disebarkan berdasarkan bantuan angin, kemudian berkembangbiak dengan cepat pada suhu 100 – 320

Penyakit ini menyerang tanaman bawang merah pada fase pertumbuhan vegetatif yaitu umur 11-35 hari setelah tanam. Faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi penyakit bercak ungu adalah kelembaban dan suhu. Kelembaban


(39)

13 optimumnya adalah 77 – 85 % dan suhu optimum 25-27 0

Pemuliaan dengan Mutasi

C (Rotem 1998; Schwartz 2004).

Epidemi penyakit ini ditentukan oleh faktor-faktor utama yaitu : (1) ketahanan tanaman bawang merah, (2) virulensi fungi, (3) daya reproduksi dan (4) faktor lingkungan yang mendukung (Zadoks & Schein 1979; Semangun 2006). Gejala serangan pada awalnya nampak bercak kecil, melekuk, berwarna putih sampai kelabu pada daun. Gejala lebih lanjut, bercak membesar dan bercincin-cincin, warnanya keunguan dengan tepi daun berwarna kuning disertai mengeringnya ujung-ujung daun. Infeksi pada umbi selepas panen menyebabkan pembusukan umbi berwarna kuning sampai merah kecoklatan dan berair. Varietas bawang merah yang telah dikenal tahan terhadap penyakit bercak ungu adalah Tiron (Duriat et al., 1999).

Mutasi merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan keragaman genetik. Hal ini karena rekayasa genetik membutuhkan investasi yang mahal dan teknik yang spesifik untk setiap kasus perbaikan suatu karakter maupun tanaman (Schum 1999). Mutasi dapat digunakan untuk perbaikan tanaman seperti warna bunga, karakter daun, reaksi fotoperiod, umur berbunga, umur panen, hasil, ketahanan terhadap hama/penyakit dan ketoleranan terhadap lingkungan rawan (Schum 1999; Borojevic 1990; Donini et al., 1984).

Telah banyak varietas yang dikembangkan hasil dari mutasi. Pada tanaman serealia mencapai 163, kacang-kacangan 40 dan tanaman membiak vegetatif mencapai 264 (Borojevic 1990). Tahun 2000 telah dihasilkan 2252 variaetas tanaman hasil mutasi, dan terbanyak dihasilkan oleh negara Cina, diikuti India, Rusia, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang (Maluszynski et al., 2000). Di Indonesia juga telah banyak varietas yang dikembangkan dari hasil mutasi. Hasil mutasi tanaman pangan yang telah dikenal di Indonesia adalah Seratus Malam, Atomita, Cilosari, Meraoke, Woyla, Khayan, Winongo, Diah Suci, Yuwono, Mayang, Mira-1, Situgintung (padi), dan Muria, Tengger, Meratus,


(40)

14

Rajabasa (kedelai) serta Camar (kacang hijau) hasil pemuliaan dari Batan (Parmanto & Effendi 2007).

Upaya memperpendek 10 hari lebih awal umur tanaman padi telah diperoleh dengan mutasi sebanyak 4 varietas yang terbentuk dan 2 varietas hasil mutan yang daya hasilnya meningkat lebih 10 persen (Donini et al., 1984). Mutasi dengan sinar gamma pada beberapa varietas kedelai dapat meningkatkan hasil sampai 26 persen dan toleran terhadap lingkungan rawan abiotik termasuk salin (Sunarto 2001; Farid & Suwarto 2001).

Mutasi dengan radiasi sinar gamma telah dicoba dosis dari 3 sampai 15 krad dan diperoleh mutan yang tahan bercak ungu. Berdasarkan data dosis sinar gamma dan persentase tanaman bawang merah tumbuh diperoleh LD (Lethal Dose)50

Hasil Penelitian yang Telah Dicapai

: 23 krad (Sunarto et al., 2005). Pada tanaman kedelai mutasi dari 15 sampai 200 krad dengan sinar gamma telah dicoba. Pada dosis lebih dari 30 krad banyak biji yang tidak tumbuh (Sunarto 2001; Farid & Suwarto 2001). Hasil pengujian terakhir pada musim hujan telah diperoleh 1 genotipe bawang merah K yang tahan dibandingkan Bima, Bima Juna, Tiron dan Kuning Tablet (Sunarto et al., 2005).

Dosis sinar gamma yang digunakan untuk mutasi padi antara 10-30 krad (Pophaly et al., 2006; Zhu et al., 2006), 20-100 krad pada kedelai, 10 krad pada kacang hijau (Parmanto & Effendi 2007). Dosis yang digunakan untuk peningkatan ketahanan terhadap wereng coklat adalah 15 – 30 krad (Pophaly et al., 2006). Pada tanaman tomat, dosis radiasi yang digunakan untuk peningkatan toleransi terhadap kekeringan adalah 30 dan 50 krad (Gonzalez et al., 2008). Dosis radiasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap layu daun pada tanaman jeruk adalah 3-9 krad (Gulsen et al., 2007).

Umbi yang digunakan penanaman adalah bibit bawang merah berukuran 3-5 g dan telah patah dormansi. Penggunaan bibit bawang merah yang baik dan efisien adalah 2 g. Umumnya bibit dari umbi lebih rentan terhadap infeksi penyakit (Virindita 2005).


(41)

15 Ada korelasi antara kandungan antosianin dan flavonol umbi bawang merah dengan ketahanan terhadap penyakit dan daya simpan umbi sehingga dapat digunakan untuk pemilihan genotipe tahan penyakit (Hurst et al., 1985). Selain itu, ada variasi kandungan antosianin dan flavonol umbi bawang merah (Arifin et al., 1999).

Hasil studi genetik menujukkan bahwa gejala heterosis nampak pada persilangan yang mempunyai keragaman besar atau kekerabatannya jauh (Falconer, 1985). Hasil studi genetik bawang merah dan cabai merah pada keragaman sempit diperoleh peningkatan karakter hasil yang rendah (Farid et al.,


(42)

17

III. PENAMPILAN KARAKTER MORFOLOGI DAN

FISIOLOGI BAWANG MERAH

PERFORMANCES OF MORPHOLOGICAL AND PHYSIOLOGICAL CHARACTERS OF SHALLOT

Abstract

Shallot productivity in Indonesia is still low due to the use of low yielding and disease susceptible varieties. Development of high yielding variety is needed to increase shallot production. The success of selection in shallot breeding program is determined by the availability of information on morphological and physiological characteristics. This research was aimed at obtaining information on the morphological and physiological characteristics of high yielding shallot varieties. The present study indicated that: (1) high yielding shallot genotypes is characterized by taller habitus, faster growth, greater leaf diameter, medium tiller number and bulb size, greater yield per hill as well as per meter-2, (2) high yielding genotypes are also characterized by lower root growth rate, dry weight accumulation rate of upper biomass and roots, (3) N, P, K, NRA and chlorophyll content could be used to differentiate high yielding from low yielding genotypes, (4) the greatest root growth rate was found during 35 to 42 days after seeding (das), and for upper biomass was found during 42 to 49 das, (5) there was correlation between yield and the observed characters, except on tiller numbers.

Keywords: morphology, physiology, shallot, correlation.

Abstrak

Produktivitas bawang merah Indonesia masih rendah karena penggunaan varietas berdaya hasil rendah, dan rentan terhadap hama serta penyakit. Perakitan varietas berdaya hasil tinggi perlu dilakukan. Keberhasilan seleksi ditentukan oleh informasi dari sifat morfologi dan fisiologi bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi unutk memudahkan seleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Genotipe bawang merah hasil tinggi bercirikan tanamannya tinggi, pertumbuhan cepat, diameter daun besar, jumlah anakan dan umbi sedang, hasil umbi per rumpun serta per m2 tinggi. (2) Genotipe yang hasil tinggi ditandai dengan laju perpanjangan akar, laju akumulasi bahan kering tajuk maupun akar yang tinggi dibanding yang produksi rendah. (3) Akumulasi N, P, K, ANR dan kandungan klorofil belum dapat digunakan membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dan rendah. (4) Laju pertumbuhan terbesar pada akar saat periode umur antara 35 sampai 42 hst, dan tajuk saat umur 42-49 hst, (5) Ada korelasi genotipik dan fenotipik antara hasil bawang merah dengan karakter yang diamati kecuali jumlah anakan.


(43)

18

Pendahuluan

Produktivitas bawang merah Indonesia masih rendah maka diperlukan upaya untuk peningkatannya. Upaya tersebut dapat berupa perbaikan budidaya yang sesuai, dengan penggunaan varietas yang berdaya hasil tinggi. Perakitan varietas bawang merah berdaya hasil tinggi dibutuhkan koleksi plasma nutfah, persilangan, dan seleksi. Seleksi akan tepat bila tersedia informasi genetik dan sifat morfologi dan fisiologi bawang merah.

Beberapa varietas bawang merah yang sudah banyak ditanam adalah Bima, Kuning, Kuning Tablet, Tiron, Sumenep, Engkel, Bangkok, Ampenan, Maja, Timor dan S Philip. Setiap varietas tersebut mempunyai keunggulan tersendiri. Varietas bawang merah yang ada mempunyai daya hasil antara 7 sampai 24 t/ha dengan umur sekitar 60 sampai 70 hst (Sunarto et al., 2004; Diperta 2005). Jumlah anakan banyak dimiliki oleh varietas bawang merah Tiron, dan ukuran umbi besar ada pada varietas Maja (Soedomo 2006).

Ada hubungan yang positif antara hasil dengan tinggi tanaman, diameter daun (Awale et al., 2011). Variasi yang besar pada bobot umbi dan jumlah daun tanaman bawang sehingga dapat dilakukan seleksi pada karakter ini dengan mudah. Ada korelasi antara hasil tanaman bawang dengan panjang daun, dan ukuran umbi (Mohanty 2001).

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi guna memudahkan seleksi.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan di lahan bekas sawah desa Kutasari Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas. Ketinggian tempat penelitian 125 m dpl, dengan jenis tanah inceptisol. Laboratorium yang digunakan adalah Pemuliaan Tanaman, Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, dan Kimia Mipa Unsoed. Waktu pelasanaan penelitian mulai bulan Juni sampai September 2009.


(44)

19

Materi dan metode penelitian

Bawang merah yang dicoba berasal dari produksi benih bawang merah kabupaten Brebes dan Bantul. Bibit bawang merah varietas Bima, Bima Curut, Bima Tarno, Kuning, dan S Philip berasal dari kabupaten Brebes, adapun Tiron berasal dari kabupaten Bantul. Ada perbedaan varietas bawang merah yang digunakan antara percobaan ini dengan percobaan setengah dialel, karena adanya keterbatasan benih yang tersedia.

Faktor percobaan yang dicoba pada penelitian ini ada dua, yaitu varietas bawang merah dan kesuburan tanah. Faktor tersebut :

1. Faktor pertaman : varietas bawang merah (Bima, Bima Curut, Bima Tarno, Kuning, S Philip, dan Tiron).

2. Faktor kedua : Kesuburan tanah (tidak dipupuk dan dipupuk (200 kg/ha NPK dan 5 ton/ha pupuk kandang)).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Setiap ulangan terdiri-dari 12 petak dan tiap petak berukuran 1 m x 4 m dengan jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 15 cm. Setiap lubang tanam ditanam satu umbi bibit. Penanaman bibit umbi dengan cara dipotong 1/3 bagian umbi bagian atas. Pada perlakuan dipupuk, pupuk kandang diberikan saat 1 minggu sebelum tanam dan pupuk NPK diberikan sehari setelah tanam. Pupuk diberikan dengan cara ditugal di samping lubang tanam.

Karakter tanaman bawang merah yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang akar, jumlah anakan, diameter daun, jumlah daun, bobot umbi per rumpun, diameter umbi, jumlah umbi, dan umur panen. Adapun karakter fisiologi yang diamati: ANR (aktivitas nitrat reduktase), laju akumulasi bahan kering akar dan tajuk, kandungan N, P, K jaringan, dan kandungan klorofil a serta b.

Pemeliharaan tanaman dilakukan berupa penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama serta penyakit. Penyiraman dilakukan setelah tanam dan dilanjutkan dengan 2 kali sehari sampai umur 50 hst. Penyiangan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat umur tanaman 17 hst, 30 hst dan 40 hst. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara pemberian furadan 3 G saat tanam. Selanjutnya dikendalikan secara periodik dengan pestisida Dithane M


(45)

20

45, Curacron 50 EC, dan Score 250 EC yang diseprotkan pada pertanaman setelah tanaman mulai berumur 20 hst. Penyemprotan dilakukan bergantian antara ketiga pestisida tersebut dengan rentang waktu 7 hari. Adapun dosis yang digunakan adalah 2 cc/l.

Panen dilakukan pada saat tanaman bawang merah daun-daunnya menguning, leher batang tampak lemas, sebagian besar umbi telah muncul ke permukaan tanah. Selain itu lapisan umbi berisi penuh dengan warna mengkilap. Selanjutnya umbi dibersihkan dari tanah yang menempel dan ditimbang untuk diperoleh data bobot umbi basah. Bobot umbi kering diperoleh dengan jalan umbi dijemur sampai daun kering.

Analisi N, P dan K jaringan

Analisis jaringan dilakukan di laboratorium MIPA Unsoed dengan prosedur analisis N, P dan K sesuai yang telah dipakai (Wilde et al., 1979; Sudarmadji et al., 1981).

Analisis kandungan N daun

Sampel daun diambil dari tiap varietas dan dari perlakuan tidak dipupuk dan dipupuk. Selanjutnya sampel daun tersebut dilakukan analisis hara N dengan metode Kjeldahl, adapun prosedur yang digunakan sebagai berikut:

1. Sampel daun bawang merah dioven pada suhu 60o

2. Daun tersebut ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml kemudian ditambahkan 5 ml larutan H

C selama 48 jam kemudian diblender

2SO4

3. Selanjutnya dimasukkan ke dalam ruang asap dan dipanaskan pada suhu rendah selama 30 menit, setiap 10 menit ditambahkan 5 tetes H

pekat dan dibiarkan semalam (24 jam)

2O2

4. Apabila larutan sudah jernih maka larutan diambil dan disaring ke dalam labu ukur 50 ml untuk diperoleh filtrat. Filtrat yang diperoleh diencerkan dengan akuades sampai volume akhir jadi 50 ml.

sampai larutan menjadi jernih


(46)

21 5. Filtrat diambil sebanyak 540 ml untuk dimasukkan ke dalam tabung destilasi

kemudian ditambah 50 ml NaOH 50 %, 2 sampai 3 tetes phenolptaelin, 6 tetes parafin dan 500 ml akuades serta ditambahkan 10 ml H2SO4

6. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan menjadi jernih.

0.1N.

7. Setelah itu dilakukan penetapan blanko. Analisis kandungan P daun

Sampel daun disiapkan dari tiap varietas dan dari perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Selanjutnya sampel daun tersebut dilakukan analisis hara P dengan prosedur yaitu:

1. Daun ditimbang 0.250 g daun bawang merah, dimasukkan ke dalam tabung digestion. Selanjutnya ditambah 2.5 H2SO4,

2. Larutan dipanaskan dalam blok disguestion selama 1 jam pada suhu 100 didiamkan semalam supaya larutan tercampur.

o

3. Ditambah 2 ml H

C kemudian diangakat dan dibiarkan dingin.

2O2 kemudian dipanaskan kembali pada suhu 200o C selama 1 jam selanjutnay diangkat dibiarkan sampai agak dingin. Tahap berikutnya ditambah kembali H2O2 sebanyak 2 ml kemudian dipanaskan kembali hingga suhu 350o

4. Tabung diangkat, dinginkan kemudian ekstrak diencerkan dengan aquades hingga 50 ml. Dikocok sampai homogen dengan pengocok tabung dan dibiarkan semalam sampai timbul endapan.

C. Selanjutnya kegiatan ini diulang lagi sampai keluar uap putih dan didapat 1 ml ekstrak jernih.

5. Larutan tesebut diambil dengan cara dipipet masing-masing sebanyak 1 ml ekstrak sampel dan deret standar PO4

6. Ekstrak tersebut diambil dengan pipet masing-masing 2 ml ekstrak encer dan deret standar ke dalam tabung reaksi, ditambah 10 ml pereaksi warna P. Selanjutnya dikocok dengan pengocok tabung sampai homogen, dan dibiarkan selama 30 menit.

ke dalam tabung kimia, ditambah 9 ml air bebas ion dan dikocok, serta dilakukan pengenceran 10 x.


(47)

22

7. Diukur kadar P dalam larutan dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.

Analisis kandungan K daun

Seperti prosedur pengambilan sampel pada hara N dan P, yaitu sampel daun disiapkan dari tanaman bawang merah tiap varietas yang dicoba dan perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Secara rinci prosedur analisis jaringan K daun bawang merah sebagai berikut:

1. Ditimbang 0.250 g daun bawang merah, kemudian dimasukkan ke dalam tabung digestion. Ditambah 2.5 H2SO4

2. Dipanaskan dalam blok disguestion selama 1 jam pada suhu 100

diamkan semalam supaya larutan tercampur.

o

3. Ditambah 2 ml H

C kemudian diangakat dan dibiarkan dingin.

2O2 kemudian dipanaskan kembali pada suhu 200o C selama 1 jam kemudian diangkat dan dibiarkan sampai agak dingin serta ditambah kembali H2O2 sebanyak 2 ml. Selanjutnya dipanaskan kembali hingga suhu 350o

4. Tabung diangkat, dinginkan kemudian ekstrak diencerkan dengan aquades hingga 50 ml. Dikocok sampai homogen dengan pengocok tabung dan dibiarkan semalam sampai timbul endapan.

C. Kegiatan ini diulang lagi sampai keluar uap putih dan didapat 1 ml ekstrak jernih.

5. Residu yang diperoleh dilarutkan dengan 70 ml aquades (dalam hal ini larutan tersebut tak boleh mengandung K lebih dari 0.5 g ; dan apabila ternyata jumlah K lebih besar dari jumlah tersebut maka larutan tersebut dapat diencerkan sampai volume tertentu, kemudian ambil sebanyak 70 ml untuk ditentukan kadar K yang terkandung).

6. Ke dalam 70 ml larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan asam perkhlorat (HC104

7. Tahap selanjutnya ditambah 10 ml aquades panas dan 5 ml HC1O

) 20 % (jenis : 1.12), diuapkan diatas penangas air secara perlahan-lahan.

4 20 %, diuapkan di atas penangas air. Kegiatan ini diulangi sampai apabila diuapakan akan timbul uap/kabut asam tersebut pekat.


(48)

23 8. Disaring dengan krus Gooch yang telah diketahui bobotnya.

9. Dicuci dengan 3 x 10 ml larutan alkohol pencuci, selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 300

10. Residu yang ditimbang adalah KC1O

C selam 1 jam, dan akhirnya ditimbang. 4

Analisis ANR daun

Sampel daun untuk dianalisis ANR disiapkan dari 6 varietas bawang merah yang dicoba dan perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Selanjutnya sampel daun dianalisis dengan prosedur:

(g).

1. Sampel daun bawang merah diambil pada saat umur tanaman 40 hst.

2. Daun dibersihkan dengan aquades kemudian dikeringkan di atas tissue setelah itu ditimbang seberat 1 g.

3. Helaian daun diiris tipis-tipis dengan ukuran tebalnya + 1 mm.

4. Irisan daun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml larutan buffer fosfat 1.2 M pH 7 dan diinkubasi selama 12 jam.

5. Setelah diinkubasi cairan dalam tabung dibuang dan diganti dengan 5 ml larutan buffer baru yang ditambah 0.1 ml larutan NaNO3

6. Sementara diinkubasi, disiapkan reagen pewarna yang terdiri dari 0.2 ml larutan 3 % 1 N Sulfanilamid dan 0.2 ml larutan 0.02 % 1 N Naptilendiamin dan dimasukkan dalam tabung reaksi.

5 ml dan dicatat waktunya sebagai awal inkubasi. Lama waktu inkubasi adalah dua jam.

7. Setelah tercapai waktu inkubasi dua jam larutan dalam tabung diambil dengan pipet ukur sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi reagen pewarna. Setelah itu ditunggu kurang lebih sepuluh menit atau sampai terbentuk warna merah sebagai tanda telah terjadi reaksi ion nitrit oleh enzim nitrat reduktase

8. Larutan tersebut dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.

9. Perhitungan aktivitas nitrat reduktase (ANR) dengan rumus sebagai berikut: ANR =

1000 1 1 1000 50 x WI x BB x x Astndr Asampel


(49)

24

Keterangan :

A sampel = Absorban

A stndr = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades

BB = Bobot basah sampel (g)

WI = Waktu inkubasi (jam)

Analisis kandungan klorofil (Wintermans & Mots, 1965)

1. Sampel daun diambil pada saat tanaman telah berumur 40 hst.

2. Daun dibersihkan dengan akuades kemudian dikeringkan di atas tissue

setelah itu dipotong-potong lalu ditimbang sebanyak 1 g.

3. Daun yang telah ditimbang ditambah aseton 1 ml kemudian ditumbuk sampai halus dengan mortar.

4. Hasil tumbukan ditambah aseton sebanyak 10 ml dan disaring selanjutnya dimasukan ke dalam tabung reaksi lalu disentrifuges.

5. Cairan hasil sentrifuges dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm. 6. Perhitungan kandungan klorofil dengan rumus sebagai berikut:

Kandungan klorofil a (mg per g) =

1000 1 1 1000 50 x WI x BB x x Astndr Asampel Keterangan :

A sampel = Absorban

A stndr = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades

BB = Bobot basah sampel (g)

WI = Waktu inkubasi (jam)

Hasil analisis tanah tempat percobaan mempunyai sifat yaitu pH tanah 6.33 (agak masam), kandungan N tersedia 188.9 ppm (sedang), kandungan P tersedia 8.2 ppm (rendah), dan kandungan K tersedia 0.7 me% (sedang). Analisis data dengan uji F dan dilanjutkan uji jarak ganda Duncan taraf (UJGD) 5 %. Pengujian korelasi fenotipik dan genotipik dilakukan pada karakter yang diamati. Metode analisis korelasi menurut rumus dari Singh & Chaudhary (1979).

Hasil dan Pembahasan

Salah satu komponen produksi tanaman bawang merah adalah jumlah anakan per rumpun. Ternyata jumlah anakan meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pada dua kondisi kesuburan tiap genotipe bawang merah


(50)

25 mempunyai tanggap yang berbeda pada karakter jumlah anakan. Jumlah anakan pada genotipe Bima Tarno, Bima Curut dan Tiron tidak tanggap terhadap peningkatan kesuburan, tetapi genotipe Bima, Kuning dan S Philip meningkatnya kesuburan, meningkatkan jumlah anakan. Jumlah anakan terbanyak pada kondisi tidak dipupuk adalah Tiron, sedangkan yang paling sedikit Bima Curut. Jumlah anakan pada genotipe bawang merah hasil tinggi lebih sedikit dibandingkan genotipe hasil rendah, sehingga jumlah anakan yang banyak berakibat kecilnya ukuran umbi dan berkurangnya hasil. Jadi pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi tidak perlu anakan yang banyak. Jumlah anakan pada bawang merah berpengaruh negatif terhadap hasil dan diameter umbi (Putrasamedja 2006).

Tabel 1. Interaksi pada karakter jumlah anakan per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 8.84 b y 9.83 b x

Bima Tarno 8.55 b x 8.67 c x

Bima Curut 8.50 b x 8.89 c x

Kuning 9.17 b y 10.56 b x

Tiron 10.39 a x 10.61 b x

S Philip 10.22 a y 11.67 a x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Dilihat jumlah umbi per rumpun, tampak genotipe bawang merah Bima, Kuning, dan S Philip terjadi peningkatan jumlah anakan dengan peningkatan kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah S Philip, Tiron dan Kuning lebih banyak jumlah umbinya dibandingkan Bima Tarno, Bima dan Bima Curut. Jumlah umbi pada kondisi dipupuk S Phlilip terbanyak, sama dengan Tiron dan Kuning, sedangkan yang paling sedikit adalah Bima Tarno (Tabel 2). Hal ini menunjukkan tanggap genotipe bawang merah berbeda, pada kelompok S Philip, Tiron, dan Kuning terjadi peningkatan jumlah umbi per rumpun yang paling banyak diikuti Bima, selanjutnya Bima Tarno serta terkecil Bima Curut. Jadi genotipe bawang merah hasil tinggi (Bima, Bima Tarno, Bima Curut) mempunyai jumlah umbi yang lebih sedikit dibandingkan


(51)

26

genotipe hasil rendah (Kuning, Tiron, S Philip). Pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi mempertimbangkan jumlah umbi dan ukuran umbi, karena umbi banyak berakibat ukuran umbi kecil sehingga daya hasilnya rendah. Jumlah umbi sedikit adalah salah satu ciri dari bawang merah hasil tinggi (Putrasamedja & Soedomo 2007). Terdapat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah anakan (Awale et al., 2011). Korelasi negatif antara jumlah umbi dengan ukuran umbi sehingga perlu dipertimbangkan dalam seleksi (Mohanty 2001).

Tabel 2. Interaksi pada karakter jumlah umbi per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 7.22 b y 12.78 b x

Bima Tarno 6.89 b y 11.56 c x

Bima Curut 7.22 b y 11.78 c x

Kuning 8.11 a y 14.55 a x

Tiron 8.33 a y 14.77 a x

S Philip 8.56 a y 15.00 a x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Semua genotipe bawang merah yang dicoba meningkat diameter umbinya dengan meningkat kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah Bima dan Bima Tarno terbesar umbinya dan terkecil adalah S Philip yang sama dengan Tiron maupun Kuning. Pada kondisi dipupuk genotipe Bima Curut mempunyai ukuran diameter umbi terbesar, berbeda dengan Bima dan Bima Tarno, sedangkan terkecil adalah Tiron (Tabel 3). Hal ini tampak bahwa ukuran umbi dipengaruhi oleh tingkat kesuburan dan ada perbedaan tanggap genotipe bawang merah. Umbi yang besar dan jumlah yang banyak akan memberikan hasil yang tinggi (Limbongan & Monden 1999).


(52)

27 Tabel 3. Interaksi pada karakter diameter umbi (mm) dari enam genotipe

bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 26.17 a y 31.70 b x

Bima Tarno 23.37 b y 31.57 b x

Bima Curut 26.13 a y 33.03 a x

Kuning 22.23 c y 27.17 d x

Tiron 22.20 c y 28.40 c x

S Philip 21.90 c y 27.63 d x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %.

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Dari Tabel 4 tampak bahwa bobot umbi dari genotipe bawang merah meningkat bobot umbinya dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk, genotipe Bima Curut terberat hasil bobot umbinya, dan yang terrendah produksi bobot umbinya adalah Kuning. Berbeda dengan pada kondisi dipupuk, kelompok Bima Tarno, Bima Curut dan Bima terbesar produksinya, ini berbeda dengan S Phlip, Tiron dan Kuning yang hasilnya lebih rendah. Hal ini terlihat bahwa pada kondisi dipupuk dan tidak dipupuk genotipe bawang merah hasil tinggi lebih besar produksi bobot umbinya dibanding dengan genotipe hasil rendah. Genotipe hasil tinggi menghasilkan bobot umbi yang tinggi dari pada genotipe rendah hasil rendah. Karakter yang mendukung genotipe bawang merah hasil tinggi terlihat adanya tanaman yang tinggi, diameter daun besar, ukuran dan umbi yang besar. Jadi komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang tinggi akan menghasilkan bobot umbi yang besar. Percobaan komponen hasil bawang menunjukkan bahwa karakter yang mendukung bawang hasil tinggi adalah tinggi tanaman, panjang daun, diameter daun, jumlah umbi, ukuran umbi, dan bobot umbi (Melke & Ravishanker 2006).


(53)

28

Tabel 4. Interaksi pada karakter bobot umbi per rumpun (g) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 74.06 ab y 120.21 a x

Bima Tarno 70.97 b y 121.35 a x

Bima Curut 77.01 a y 121.13 a x

Kuning 59.24 d y 93.66 b x

Tiron 64.02 c y 94.73 b x

S Philip 63.47 c y 96.85 b x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Semua genotipe bawang merah meningkat kandungan unsur hara K dengan meningkatnya keseburan, kecuali genotipe bawang merah Bima. Akumulasi hara K jaringan genotipe bawang merah Bima tertinggi pada kondisi tidak dipupuk, diikuti Bima Tarno, S Philip, Bima Curut, dan terakhir Tiron. Sebaliknya pada kondisi dipupuk, semua genotipe bawang merah akumulasi kandungan K-nya sama (Tabel 5). Akumulasi hara K jaringan belum dapat membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah. Mengingat pemupukan tidak berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil (Satsijati & Pudji 1995; Gunadi 2009).

Tabel 5. Interaksi pada karakter akumulasi hara K jaringan (%) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 0.81 a x 0.85 a x

Bima Tarno 0.75 ab y 0.87 a x

Bima Curut 0.70 ab y 0.88 a x

Kuning 0.72 ab y 0.85 a x

Tiron 0.67 b y 0.81 a x

S Philip 0.72 ab y 0.84 a x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %.

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %


(54)

29 Aktivitas nitrat reduktase (ANR) meningkat dengan meningkatnya kondisi kesuburan (Tabel 6). Pada kondisi tidak dipupuk, ANR terbesar dicapai genotipe Kuning yang sama dengan Bima Curut, diikuti Bima, S Philip, Bima Tarno dan Tiron. Kondisi dipupuk, yang tertinggi ANR-nya adalah Bima Curut, diikuti Kuning, Bima, Phlipin, Bima Tarno, Bima, dan Tiron. Tampaknya genotipe bawang merah yang hasil tinggi terjadi peningkatan ANR yang lebih besar dibandingkan genotipe hasilnya rendah dengan meningkatnya kesuburan, kecuali genotipe Bima Tarno (Tabel 6). Tampaknya ANR belum mampu membedakan genotipe hasil tinggi dan rendah. Mengingat kondisi tanah tergolong masih cukup untuk tanaman bawang merah, sehingga aktifitas metabolisma N antar genotipe sama.

Tabel 6. Interaksi pada karakter ANR (µg/g/jam) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah

Genotipe Kesuburan

Tidak dipupuk Dipupuk

Bima 37.97 b y 39.65 c x

Bima Tarno 36.02 c x 37.29 d x

Bima Curut 40.16 a y 43.95 a x

Kuning 40.67 a x 41.31 b x

Tiron 35.43 c x 36.81 d x

S Philip 36.79 bc x 37.88 d x

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %.

Dari genotipe bawang merah tersebut menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada genotipe hasil tinggi (Bima, Bima Tarno, Bima Curut) lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah (Kuning, Tiron, S Philip) (Tabel 7). Tampak bahwa pada genotipe bawang merah hasil tinggi pertumbuhannya lebih cepat dari hasil pengamatan di lapang. Genotipe bawang merah daya hasil tinggi mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah. Ada hubungan yang positif antara tinggi tanaman dengan hasil umbi (Awale et al., 2011). Hal ini membantu kegiatan seleksi untuk mendapatkan bawang merah hasil tinggi dengan pemilihan tanaman yang tinggi. Tampaknya peningkatan kesuburan


(1)

Tran DQ, Dao TTB, Nguyen HD, Lam QD, Bui HT, Nguyen VB, Nguyen VX, Le

VN, Do HA, Phan P. 2006. Rice mutation breeding in institute of

agricultural genetics, Vietnam.

Plant Mut Rep

1(1): 43-47.

Upadhyay A, Jayadev K, Manimekalai R, Parthasarathy VA. 2004. Genetic

relationship and diversity in Indian coconut accessions based on RAPD

markers.

Sci Hort

99: 353–362.

Upov. 2008.

International Union for the Protection of New Varieties of Plants

.

Upov. Genewa. 26 p.

van Heusden AW, van Ooijen JW, Vrielink-van GR, Verbeek WHJ, Wietsma

WA, Kik C. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Allium based

on amplified fragment length polymorphism (AFLP) markers.

Theor Appl

Genet

100: 118–126

Verma OP, Srivasta HK. 2004. Genetic component and ability analyses in

relation to heterosis for yield and associated trait using three diverse

ecosystems.

Field Crops Res

88: 91-102.

Virindita S. 2005. Pengujian ukuran umbi terhadap pertumbuhan dan hasil

beberapa varietas bawang merah. [skripsi]. Fakultas Pertanian. Unsoed.

Purwokerto.

Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Van de Lee T, Hornes M, Frijters A, Pot

J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: a new technique for

DNA fingerprinting.

Nucleic Acids Res

23: 4407–4414.

Wang G, Kang MS, Moreno O. 1999. Genetic analysis of grain-filling rate and

duration in maize rice-growing.

Field Crops Res

61 : 211-222.

Welsh JR. 1981.

Fundamental of Plant Genetics and Breeding

. John Wiley &

Sons Inc. Canada. 290p.

Wilde SA, Corey RB, Lyer JG, Voigt GK. 1979.

Soil and Plant Analysis for

Tree Culture

.

1st Edition.

Oxford & IBH Pub1 Co. New Delhi..

Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA

polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers.

Nucleic Acids Res

18: 6531–6535.

Wintermans JGFM, Mots AD. 1965. Spectrophotometric Characteristics of

Chlorophylls a and b and Their Pheophytins in Ethanol.

Biochim Biophys


(2)

Yamaguchi H, Igarashi I, Sato T. 2005. “Sakata-Mezuru” –a new

lodging-resistant glutinous rice mutant cultivar.

Mut Breeding Newsletter and Rev

1: 19-20.

Yamaguchi H, Morishita T, Degi1 K, Tanaka A, Shikazono N, Hase Y. 2006.

Effect of carbon-ion beams irradiation on mutation induction in rice.

Plant Mut Rep

1(1): 25-27.

Yan Z, Denneboom C, Hattendorf A, Dolstra O, Debener T, Stam P, Vissel PB.

2005. Construction of an integrated map of rose with AFLP, SSR, PK,

RGA, RFLP, SCAR and morphological markers.

Theor Appl Genet

110:

766–777.

Yang J, Peng S, Zhang Z, Wang Z, Visperas RM, Zhu Q. 2002. Grain yield and

dry maters yields and partioning of assimilates in

Japonica indica

hybrid

rice.

Crop Sci

42: 766-722.

Zadoks JC, Schein RD. 1979.

Epiodemiology and Plant Disease Management

.

Oxford University Press.

Zeinanloo A, Shehshavari A, Mohaimmadi A, Naghavi MR. 2009. Variance

component and heridity of Some fruit characters in olive (

Olea

europaea

L.).

Sci Hort

123 : 68-72.

Zhang M, Chan R, Luo J, Lu J, Xu J. 2000. Analysis for inheritance and

combining ability of photochemical activities measured by chlorophyll

fluorescence in segregating generation of sugarcane.

Field Crops Res

65:

31-39.

Zhang H, Tan G L, Xue Y G, Liu LJ, Yang JC. 2010. Change in grain yield and

morfological and physiological characteristic during 60 year evolutioan of

Japonica

rice cultivars in Jiangsu.

Acta Agron Sinica

36 (1): 133-140.

Zhang H, Jiang Y, He A, Ma M. 2005. Cadmium accumulation and oxidative

burst in garlic (

Allium sativum

).

J Plant of Physiol

162: 977-984.

Zhu XD, Chen HQ, Shan JX. 2006. Nuclear techniques for rice improvement

and mutant induction in China National Rice Research Institute.

Plant


(3)

(4)

No Mutan B_U LSI D_U LSI J_U LSI J_A LSI J_D LSI T_T LSI B_B LSI I_P

1 G1011 39.30 3.60 KtBTKnS 4 4 16.50 29.76 54.50 16.79

2 G1021 25.20 2.10 S 4 2 10.00 40.08 25.20 7.32

3 G1031 87.60 TKtBKnS 2.30 BTKnS 4 5 22.30 37.74 34.60 11.31

4 G1041 38.50 2.38 KtBTKnS 5 4 24.60 23.06 64.60 10.02

5 G1051 67.00 KnS 2.31 BTKnS 6 6 21.80 30.26 30.10 9.83

6 G1061 69.50 BKnS 2.74 KtBTKnS 5 5 17.20 26.96 33.90 13.39

7 G1071 12.40 2.80 KtBTKnS 5 5 5.80 38.84 66.00 15.58

8 G1081 42.60 3.00 KtBTKnS 3 5 21.70 42.09 SBKt 93.10 BKnTKtS 11.87

9 G1091 61.80 S 2.60 KtBTKnS 5 3 19.50 44.28 KnSBKt 28.40 11.26

10 G1101 48.30 2.50 KtBTKnS 9 2 18.50 36.39 70.40 9.00

11 G1111 56.80 2.70 KtBTKnS 7 7 33.40 SKn 39.72 42.60 11.98

12 G1121 72.00 TKtBKnS 2.10 S 5 4 17.70 41.09 BKt 40.80 14.01

13 G1131 46.30 3.30 KtBTKnS 6 3 17.70 39.69 54.60 9.00

14 G1141 74.40 TKtBKnS 2.60 KtBTKnS 7 8 30.10 40.16 56.90 11.78

15 G1151 28.10 3.80 KtBTKnS 1 1 7.40 32.68 12.10 42.98

16 G1012 45.30 3.10 KtBTKnS 6 4 18.90 31.77 79.40 TKtS 18.90

17 G1022 91.50 TKtBKnS 2.76 KtBTKnS 9 7 27.30 34.43 73.30 S 5.50

18 G1032 32.80 2.07 S 5 5 24.30 40.51 37.20 14.78

19 G1042 47.10 1.90 8 6 23.60 36.16 57.60 10.34

20 G1052 54.80 2.11 S 5 4 26.00 31.88 75.90 S 9.08

21 G1062 68.80 BKnS 2.51 KtBTKnS 6 6 21.70 37.60 24.70 11.11

22 G1072 8.30 2.20 S 1 1 28.70 35.64 40.00 14.81

23 G1082 52.50 3.35 KtBTKnS 4 2 16.10 48.59 TKnSBKt 100.50 BKnTKtS 12.44

24 G1092 60.50 S 2.80 KtBTKnS 3 4 18.10 39.18 95.30 BKnTKtS 13.02

25 G1102 38.30 2.20 S 8 3 24.10 37.66 49.20 7.25

26 G1112 71.40 KtBKnS 3.01 KtBTKnS 6 6 36.00 TSKn 41.92 BKt 64.70 10.90

27 G1122 24.30 2.25 KnS 2 6 21.00 38.83 65.70 13.12

28 G1132 55.40 3.10 KtBTKnS 5 3 19.00 41.01 BKt 49.80 8.78

29 G2011 25.50 2.25 KnS 4 2 14.90 36.68 36.80 12.15

30 G2021 59.50 S 1.94 S 12 14 TKn 22.10 37.72 31.50 12.68

31 G2031 103.40 TKtBKnS 3.02 KtBTKnS 9 9 19.80 37.99 73.60 S 13.32

32 G2041 28.30 2.40 KtBTKnS 4 5 21.50 34.42 60.40 11.76

33 G2051 49.40 2.20 S 6 5 19.70 40.94 BKt 55.90 9.80

34 G2061 93.10 TKtBKnS 3.02 KtBTKnS 8 9 32.60 Kn 39.26 75.30 S 4.56

35 G2071 49.60 2.70 KtBTKnS 5 5 24.20 30.23 53.10 13.39

36 G2081 32.20 3.15 KtBTKnS 4 5 21.60 33.17 85.40 TKtS 5.11

37 G2091 68.40 BKnS 2.60 KtBTKnS 8 7 29.90 38.04 34.40 10.47

38 G2101 37.00 2.18 S 5 4 21.20 32.73 39.00 13.55

39 G2111 46.90 2.80 KtBTKnS 4 4 20.80 39.86 38.70 14.94

40 G2121 55.00 2.10 S 6 5 22.50 39.59 37.50 10.93

41 G2131 17.70 1.70 4 4 20.80 26.06 58.80 8.23

42 G2141 39.00 2.50 KtBTKnS 6 7 32.00 Kn 37.59 95.40 BKnTKtS 10.82

43 G2151 36.50 4.60 KtBTKnS 1 1 6.10 35.48 45.60 51.91

44 G2012 83.20 TKtBKnS 2.30 BTKnS 8 7 22.30 37.84 73.60 S 4.10

45 G2022 35.20 2.50 KtBTKnS 3 3 17.00 35.13 59.00 11.43

46 G2032 88.60 TKtBKnS 2.20 S 7 7 30.50 Kn 37.17 79.30 KtS 8.25

47 G2042 47.40 3.16 KtBTKnS 3 3 18.60 39.09 62.10 5.89

48 G2052 45.80 1.74 12 9 35.00 TSKn 36.41 63.10 8.37

49 G2062 35.80 2.60 KtBTKnS 4 3 16.00 34.11 41.30 7.60

50 G2072 54.00 3.25 KtBTKnS 4 3 17.10 28.41 37.90 12.48

51 G2082 0.00 Mati 0.00 Mati 0 Mati 0 Mati 17.00 Mati 34.46 Mati 0.00 Mati

52 G2092 54.50 2.50 KtBTKnS 4 4 20.00 38.27 39.50 9.80

53 G2102 50.00 2.07 S 5 3 17.60 32.01 112.50 BKnTKtS 5.11

54 G2112 53.40 2.90 KtBTKnS 4 2 16.40 35.04 25.20 6.10

55 G2122 43.20 2.40 KtBTKnS 5 7 29.00 35.77 63.70 8.30

56 G2132 18.40 1.90 3 4 22.80 34.98 32.70 7.83

57 G2142 23.80 2.30 BTKnS 4 4 23.10 40.96 BKt 21.50 5.33

58 G3011 54.50 2.10 S 6 5 28.40 37.87 60.40 10.75

59 G3021 58.40 2.45 KtBTKnS 6 4 25.70 29.26 68.30 9.80

60 G3031 32.80 2.07 S 5 5 24.30 40.51 37.20 12.48

61 G3041 13.80 1.52 4 7 27.50 31.11 57.10 5.50

62 G3051 28.70 2.20 S 5 5 26.10 39.68 66.40 5.23

63 G3061 44.60 2.36 KtBTKnS 5 6 28.30 29.40 66.80 12.27

64 G3071 33.70 2.80 KtBTKnS 6 4 17.90 38.58 40.60 7.92

65 G3081 35.90 2.18 S 5 11 19.80 32.71 41.30 12.48

66 G3091 58.30 2.30 BTKnS 5 4 26.70 38.74 68.30 7.54

67 G3101 29.10 2.64 KtBTKnS 3 2 16.20 38.78 40.60 7.50

68 G3111 27.80 2.60 KtBTKnS 2 2 14.40 26.58 37.20 8.73

69 G3121 65.40 KnS 2.30 BTKnS 11 3 28.00 33.26 76.60 S 10.14

70 G3131 44.00 2.90 KtBTKnS 5 5 29.10 41.09 BKt 60.40 7.84

71 G3141 29.00 2.70 KtBTKnS 3 3 14.50 30.34 44.30 30.13

72 G3151 9.80 3.10 KtBTKnS 1 1 5.80 33.77 11.90 12.11

73 G3012 40.80 3.40 KtBTKnS 5 3 22.00 38.38 51.20 5.50

74 G3022 83.60 TKtBKnS 3.04 KtBTKnS 5 6 25.30 39.62 73.60 S 12.48

75 G3032 23.90 3.20 KtBTKnS 2 5 23.40 33.19 31.70 7.05

76 G3042 63.10 S 1.67 5 5 24.10 36.01 67.80 9.21

77 G3052 50.70 2.24 S 5 5 22.80 35.50 44.20 11.51

78 G3062 83.40 TKtBKnS 2.90 KtBTKnS 6 6 16.90 37.60 79.90 KtS 4.10

79 G3072 54.30 2.60 KtBTKnS 4 3 11.50 39.89 65.70 12.02

80 G3082 28.90 3.00 KtBTKnS 3 3 19.20 34.61 76.60 S 14.74


(5)

No Mutan B_U LSI D_U LSI J_U LSI J_A LSI J_D LSI T_T LSI B_B LSI I_P

81 G3092 42.20 2.60 KtBTKnS 5 4 22.60 38.29 55.40 9.21

82 G3102 31.10 2.70 KtBTKnS 5 8 25.60 38.29 65.70 15.78

83 G3112 53.20 2.50 KtBTKnS 8 6 26.30 29.99 60.40 13.41

84 G3122 75.30 TKtBKnS 2.10 S 5 7 20.90 38.86 85.40 TKtS 5.55

85 G3132 56.80 2.76 KtBTKnS 3 3 25.10 35.63 62.10 9.21

86 G3142 51.80 2.35 KtBTKnS 7 6 21.10 26.81 61.70 6.25

Keterangan :

B_U: Bobot umbi

D_U: Diameter umbi J_U: Jumlah Umbi

J_A:Jumlah anakan

J_D:Jumlah daun

T_T: Tinggi Tanaman B_B: Bobot Brangkasan

I_P:Intensitas Penyakit

LSI: Leas Significant Increase

T: Tiron

Kt:Katumi

B: Bima

K: Kuning

S:Sumenep

Varietas

Nilai rataan dari karakter yang diamati

Varietas+LSI

B_U

D_U

J_U

J_A

J_D

T_T

B_B

I_P

Bima

43.47

1.78

11.83

10.50

27.85

32.24

56.20

11.987

Katumi

46.61

1.84

20.50

11.83

26.68

32.14

44.53

16.217

Kuning

39.65

1.77

14.00

7.67

20.60

35.59

54.60

16.592

Sumenep

34.46

1.45

11.33

9.83

23.55

33.43

38.73

11.719

Tiron

47.75

1.78

13.83

8.50

24.88

36.80

44.80

12.289

LSI

24.09

0.48

9.58

5.004

9.5389

8.6086

34.06

Bima+LSI

67.56

2.26

21.4

15.5

37.389

40.852

90.26

Katumi+LSI

70.70

2.31

30.1

16.84

36.222

40.751

78.6

Kuning+LSI

63.75

2.25

23.6

12.67

30.139

44.203

88.66

Sumenep+LSI

58.55

1.93

20.9

14.84

33.089

42.04

72.8

Tiron+LSI

71.84

2.26

23.4

13.5

34.422

45.407

78.86


(6)

Lampiran 2. Tanda daftar varietas Unsoed 01 dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan

Perizinan Pertanian