PENAMPILAN KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BAWANG MERAH

23 8. Disaring dengan krus Gooch yang telah diketahui bobotnya. 9. Dicuci dengan 3 x 10 ml larutan alkohol pencuci, selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 30 10. Residu yang ditimbang adalah KC1O C selam 1 jam, dan akhirnya ditimbang. 4 Analisis ANR daun Sampel daun untuk dianalisis ANR disiapkan dari 6 varietas bawang merah yang dicoba dan perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Selanjutnya sampel daun dianalisis dengan prosedur: g. 1. Sampel daun bawang merah diambil pada saat umur tanaman 40 hst. 2. Daun dibersihkan dengan aquades kemudian dikeringkan di atas tissue setelah itu ditimbang seberat 1 g. 3. Helaian daun diiris tipis-tipis dengan ukuran tebalnya + 1 mm. 4. Irisan daun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml larutan buffer fosfat 1.2 M pH 7 dan diinkubasi selama 12 jam. 5. Setelah diinkubasi cairan dalam tabung dibuang dan diganti dengan 5 ml larutan buffer baru yang ditambah 0.1 ml larutan NaNO 3 6. Sementara diinkubasi, disiapkan reagen pewarna yang terdiri dari 0.2 ml larutan 3 1 N Sulfanilamid dan 0.2 ml larutan 0.02 1 N Naptilendiamin dan dimasukkan dalam tabung reaksi. 5 ml dan dicatat waktunya sebagai awal inkubasi. Lama waktu inkubasi adalah dua jam. 7. Setelah tercapai waktu inkubasi dua jam larutan dalam tabung diambil dengan pipet ukur sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi reagen pewarna. Setelah itu ditunggu kurang lebih sepuluh menit atau sampai terbentuk warna merah sebagai tanda telah terjadi reaksi ion nitrit oleh enzim nitrat reduktase 8. Larutan tersebut dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. 9. Perhitungan aktivitas nitrat reduktase ANR dengan rumus sebagai berikut: ANR = 1000 1 1 1000 50 x WI x BB x x Astndr Asampel 24 Keterangan : A sampel = Absorban A stndr = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades BB = Bobot basah sampel g WI = Waktu inkubasi jam Analisis kandungan klorofil Wintermans Mots, 1965 1. Sampel daun diambil pada saat tanaman telah berumur 40 hst. 2. Daun dibersihkan dengan akuades kemudian dikeringkan di atas tissue setelah itu dipotong-potong lalu ditimbang sebanyak 1 g. 3. Daun yang telah ditimbang ditambah aseton 1 ml kemudian ditumbuk sampai halus dengan mortar. 4. Hasil tumbukan ditambah aseton sebanyak 10 ml dan disaring selanjutnya dimasukan ke dalam tabung reaksi lalu disentrifuges. 5. Cairan hasil sentrifuges dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm. 6. Perhitungan kandungan klorofil dengan rumus sebagai berikut: Kandungan klorofil a mg per g = 1000 1 1 1000 50 x WI x BB x x Astndr Asampel Keterangan : A sampel = Absorban A stndr = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades BB = Bobot basah sampel g WI = Waktu inkubasi jam Hasil analisis tanah tempat percobaan mempunyai sifat yaitu pH tanah 6.33 agak masam, kandungan N tersedia 188.9 ppm sedang, kandungan P tersedia 8.2 ppm rendah, dan kandungan K tersedia 0.7 me sedang. Analisis data dengan uji F dan dilanjutkan uji jarak ganda Duncan taraf UJGD 5 . Pengujian korelasi fenotipik dan genotipik dilakukan pada karakter yang diamati. Metode analisis korelasi menurut rumus dari Singh Chaudhary 1979. Hasil dan Pembahasan Salah satu komponen produksi tanaman bawang merah adalah jumlah anakan per rumpun. Ternyata jumlah anakan meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pada dua kondisi kesuburan tiap genotipe bawang merah 25 mempunyai tanggap yang berbeda pada karakter jumlah anakan. Jumlah anakan pada genotipe Bima Tarno, Bima Curut dan Tiron tidak tanggap terhadap peningkatan kesuburan, tetapi genotipe Bima, Kuning dan S Philip meningkatnya kesuburan, meningkatkan jumlah anakan. Jumlah anakan terbanyak pada kondisi tidak dipupuk adalah Tiron, sedangkan yang paling sedikit Bima Curut. Jumlah anakan pada genotipe bawang merah hasil tinggi lebih sedikit dibandingkan genotipe hasil rendah, sehingga jumlah anakan yang banyak berakibat kecilnya ukuran umbi dan berkurangnya hasil. Jadi pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi tidak perlu anakan yang banyak. Jumlah anakan pada bawang merah berpengaruh negatif terhadap hasil dan diameter umbi Putrasamedja 2006. Tabel 1. Interaksi pada karakter jumlah anakan per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 8.84 b y 9.83 b x Bima Tarno 8.55 b x 8.67 c x Bima Curut 8.50 b x 8.89 c x Kuning 9.17 b y 10.56 b x Tiron 10.39 a x 10.61 b x S Philip 10.22 a y 11.67 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Dilihat jumlah umbi per rumpun, tampak genotipe bawang merah Bima, Kuning, dan S Philip terjadi peningkatan jumlah anakan dengan peningkatan kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah S Philip, Tiron dan Kuning lebih banyak jumlah umbinya dibandingkan Bima Tarno, Bima dan Bima Curut. Jumlah umbi pada kondisi dipupuk S Phlilip terbanyak, sama dengan Tiron dan Kuning, sedangkan yang paling sedikit adalah Bima Tarno Tabel 2. Hal ini menunjukkan tanggap genotipe bawang merah berbeda, pada kelompok S Philip, Tiron, dan Kuning terjadi peningkatan jumlah umbi per rumpun yang paling banyak diikuti Bima, selanjutnya Bima Tarno serta terkecil Bima Curut. Jadi genotipe bawang merah hasil tinggi Bima, Bima Tarno, Bima Curut mempunyai jumlah umbi yang lebih sedikit dibandingkan 26 genotipe hasil rendah Kuning, Tiron, S Philip. Pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi mempertimbangkan jumlah umbi dan ukuran umbi, karena umbi banyak berakibat ukuran umbi kecil sehingga daya hasilnya rendah. Jumlah umbi sedikit adalah salah satu ciri dari bawang merah hasil tinggi Putrasamedja Soedomo 2007. Terdapat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah anakan Awale et al., 2011. Korelasi negatif antara jumlah umbi dengan ukuran umbi sehingga perlu dipertimbangkan dalam seleksi Mohanty 2001. Tabel 2. Interaksi pada karakter jumlah umbi per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 7.22 b y 12.78 b x Bima Tarno 6.89 b y 11.56 c x Bima Curut 7.22 b y 11.78 c x Kuning 8.11 a y 14.55 a x Tiron 8.33 a y 14.77 a x S Philip 8.56 a y 15.00 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Semua genotipe bawang merah yang dicoba meningkat diameter umbinya dengan meningkat kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah Bima dan Bima Tarno terbesar umbinya dan terkecil adalah S Philip yang sama dengan Tiron maupun Kuning. Pada kondisi dipupuk genotipe Bima Curut mempunyai ukuran diameter umbi terbesar, berbeda dengan Bima dan Bima Tarno, sedangkan terkecil adalah Tiron Tabel 3. Hal ini tampak bahwa ukuran umbi dipengaruhi oleh tingkat kesuburan dan ada perbedaan tanggap genotipe bawang merah. Umbi yang besar dan jumlah yang banyak akan memberikan hasil yang tinggi Limbongan Monden 1999. 27 Tabel 3. Interaksi pada karakter diameter umbi mm dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 26.17 a y 31.70 b x Bima Tarno 23.37 b y 31.57 b x Bima Curut 26.13 a y 33.03 a x Kuning 22.23 c y 27.17 d x Tiron 22.20 c y 28.40 c x S Philip 21.90 c y 27.63 d x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 . Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Dari Tabel 4 tampak bahwa bobot umbi dari genotipe bawang merah meningkat bobot umbinya dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk, genotipe Bima Curut terberat hasil bobot umbinya, dan yang terrendah produksi bobot umbinya adalah Kuning. Berbeda dengan pada kondisi dipupuk, kelompok Bima Tarno, Bima Curut dan Bima terbesar produksinya, ini berbeda dengan S Phlip, Tiron dan Kuning yang hasilnya lebih rendah. Hal ini terlihat bahwa pada kondisi dipupuk dan tidak dipupuk genotipe bawang merah hasil tinggi lebih besar produksi bobot umbinya dibanding dengan genotipe hasil rendah. Genotipe hasil tinggi menghasilkan bobot umbi yang tinggi dari pada genotipe rendah hasil rendah. Karakter yang mendukung genotipe bawang merah hasil tinggi terlihat adanya tanaman yang tinggi, diameter daun besar, ukuran dan umbi yang besar. Jadi komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang tinggi akan menghasilkan bobot umbi yang besar. Percobaan komponen hasil bawang menunjukkan bahwa karakter yang mendukung bawang hasil tinggi adalah tinggi tanaman, panjang daun, diameter daun, jumlah umbi, ukuran umbi, dan bobot umbi Melke Ravishanker 2006. 28 Tabel 4. Interaksi pada karakter bobot umbi per rumpun g dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 74.06 ab y 120.21 a x Bima Tarno 70.97 b y 121.35 a x Bima Curut 77.01 a y 121.13 a x Kuning 59.24 d y 93.66 b x Tiron 64.02 c y 94.73 b x S Philip 63.47 c y 96.85 b x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Semua genotipe bawang merah meningkat kandungan unsur hara K dengan meningkatnya keseburan, kecuali genotipe bawang merah Bima. Akumulasi hara K jaringan genotipe bawang merah Bima tertinggi pada kondisi tidak dipupuk, diikuti Bima Tarno, S Philip, Bima Curut, dan terakhir Tiron. Sebaliknya pada kondisi dipupuk, semua genotipe bawang merah akumulasi kandungan K-nya sama Tabel 5. Akumulasi hara K jaringan belum dapat membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah. Mengingat pemupukan tidak berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil Satsijati Pudji 1995; Gunadi 2009. Tabel 5. Interaksi pada karakter akumulasi hara K jaringan dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 0.81 a x 0.85 a x Bima Tarno 0.75 ab y 0.87 a x Bima Curut 0.70 ab y 0.88 a x Kuning 0.72 ab y 0.85 a x Tiron 0.67 b y 0.81 a x S Philip 0.72 ab y 0.84 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 . Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 29 Aktivitas nitrat reduktase ANR meningkat dengan meningkatnya kondisi kesuburan Tabel 6. Pada kondisi tidak dipupuk, ANR terbesar dicapai genotipe Kuning yang sama dengan Bima Curut, diikuti Bima, S Philip, Bima Tarno dan Tiron. Kondisi dipupuk, yang tertinggi ANR-nya adalah Bima Curut, diikuti Kuning, Bima, Phlipin, Bima Tarno, Bima, dan Tiron. Tampaknya genotipe bawang merah yang hasil tinggi terjadi peningkatan ANR yang lebih besar dibandingkan genotipe hasilnya rendah dengan meningkatnya kesuburan, kecuali genotipe Bima Tarno Tabel 6. Tampaknya ANR belum mampu membedakan genotipe hasil tinggi dan rendah. Mengingat kondisi tanah tergolong masih cukup untuk tanaman bawang merah, sehingga aktifitas metabolisma N antar genotipe sama. Tabel 6. Interaksi pada karakter ANR µggjam dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk Bima 37.97 b y 39.65 c x Bima Tarno 36.02 c x 37.29 d x Bima Curut 40.16 a y 43.95 a x Kuning 40.67 a x 41.31 b x Tiron 35.43 c x 36.81 d x S Philip 36.79 bc x 37.88 d x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf x, y yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 . Dari genotipe bawang merah tersebut menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada genotipe hasil tinggi Bima, Bima Tarno, Bima Curut lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah Kuning, Tiron, S Philip Tabel 7. Tampak bahwa pada genotipe bawang merah hasil tinggi pertumbuhannya lebih cepat dari hasil pengamatan di lapang. Genotipe bawang merah daya hasil tinggi mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah. Ada hubungan yang positif antara tinggi tanaman dengan hasil umbi Awale et al., 2011. Hal ini membantu kegiatan seleksi untuk mendapatkan bawang merah hasil tinggi dengan pemilihan tanaman yang tinggi. Tampaknya peningkatan kesuburan 30 meningkatkan tinggi tanaman bawang merah Tabel 7. Hasil tinggi pada tanaman bawang merah dibutuhkan perbaikan kesuburan. Karakter jumlah daun pada kondisi dipupuk memberikan jumlah daun yang lebih banyak dari pada tidak dipupuk Tabel 7. Hal ini terdapat indikasi bahwa semakin subur tanaman bawang merah semakin baik pertumbuhannya. Genotipe bawang merah hasil rendah mempunyai jumlah daun lebih banyak Kuning, Tiron, S Philip dari pada hasil tinggi kecuali Bima yang sama dengan genotipe hasil rendah. Jumlah daun yang banyak akan meningkatkan kompetisi cahaya sehingga menurunkan aktifitas fotosintesis dan akhirnya menurunkan hasil bawang merah. Hal ini dapat digunakan karakter seleksi bahwa jumlah daun yang banyak pada tanaman bawang merah mempunyai daya hasil rendah. Selain itu, diameter dan panjang daun menentukan hasil bawang merah. Korelasi positif antara diameter dan panjang daun dengan hasil sehingga dapat dijadikan karakter seleksi untuk bawang hasil tinggi Kalloo et al., 1982. Dilihat karakter diameter daun bawang merah menunjukkan bahwa kondisi dipupuk dapat meningkatkan diameter daun Tabel 7. Genotipe bawang merah hasil tinggi Bima, Bima Tarno, Bima Curut secara umum lebih besar diameter daunnya dibandingkan hasil rendah Kuning, Tiron, dan S Philip. Semakin besar diameter daun akan meningkatkan luas daun sehingga fotosintesisnya akan lebih besar dan dapat meningkatkan hasil. Jadi genotipe bawang merah hasil tinggi ditandai dengan diameter daun yang besar. Ada korelasi positif antara hasil bawang merah dengan diameter daun, dan panjang daun Awale et al., 2011. Dari tabel 7 tampak bahwa pada kondisi tidak dipupuk hasil umbi bawang merah per m 2 lebih rendah dibanding dengan kondisi dipupuk. Hal ini tampak bahwa peningkatan kesuburan pada bawang merah terjadi peningkatan hasil. Genotipe hasil tinggi memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan genotipe hasil rendah. Ini menandakan bahwa pada genotipe produksi tinggi mempunyai sifat hasil tinggi dan sebaliknya genotipe bawang merah hasil rendah. Kemampuan genotipe bawang hasil tinggi adalah salah satu sifat genetik yang dimiliki bawang merah dan dapat diturunkan. Pada varietas bawang merah yang akan dilepas, penampilan daya hasil lebih tinggi di banyak lingkungan harus dimiliki varietas 31 bawang merah tersebut dibandingkan varietas kontrol Putrasamedja, 2007; Soedomo, 2006; Mahantesh et al., 2007. Tabel 7. Penampilan tinggi tanaman cm, jumlah daun, diameter daun mm dan bobot umbi kgm 2 Genotipe dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah Tinggi tanaman cm Jumlah daun Diameter daun mm Bobot umbi kgm 2 Bima 46.15 a 45.04 ab 60.50 a 1.89 a Bima Tarno 44.52 a 41.70 b 60.30 a 1.90 a Bima Curut 47.92 a 39.36 b 60.20 a 1.93 a Kuning 36.86 b 51.97 a 49.80 b 1.59 b Tiron 37.64 b 50.58 a 49.70 b 1.58 b S Philip 35.79 b 51.28 a 51.00 b 1.57 b Kesuburan Tidak dipupuk 37.33 b 40.50 b 44.20 b 1.32 b Dipupuk 45.62 a 52.81 a 66.30 a 2.16 a Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Gambar 2a tampak bahwa pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah Bima berpenampilan lebih baik dari pada varietas Kuning pada kondisi dipupuk. Secara umum, hasil panen tampak kondisi dipupuk lebih baik dari pada tidak dipupuk dan varietas hasil tinggi Bima, Bima Tarno dan Bima Curut lebih baik dari varietas hasil rendah Kuning, Tiron dan S Philip Gambar 2b. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe bawang merah hasil tinggi pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dari pada genotipe hasil rendah. Gambar 2. Penampilan di lahan pada kondisi tidak dipupuk dari varietas Bima dibandingkan varietas Kuning dipupuk a dan hasil panen tiap varietas yang dicoba pada dua kondisi kesuburan b Dipupuk Kuning Bima Tidak dipupuk a b Tidak dipupuk Dipupuk 32 Akumulasi hara N jaringan bawang merah meningkat dengan pemberian pemupukan. Akumulasi kandungan hara N dari tiap genotipe bawang merah, menunjukkan sama antara genotipe, kecuali Bima Curut dan sama dengan Bima Tabel 8. Akumulasi N yang relatif sama antar genotipe hasil tinggi dengan rendah, karena hasil analisis kandungan N tanah percobaan masih tergolong sedang 188,916 ppm, sehingga antar genotipe tidak berbeda akumulasi N jaringannya. Kondisi N tanah yang demikian tergolong cukup untuk tanaman bawang merah Hardjowigeno 1995. Pemupukan N belum dapat meningkatkan secara nyata kandungan N jaringan tanaman bawang merah Ashandi et al., 2005. Pemberian N belum mampu meningkatkan komponen pertumbuhan dan hasil Sumarni Rosliani 2010. Kandungan N jaringan belum dapat membedakan antara genotipe hasil yang tinggi dan rendah. Akumulasi hara P jaringan bawang merah meningkat dengan meningkatnya kondisi kesuburan tanah. Akumulasi hara P terkecil adalah genotipe bawang merah Bima Curut, dan berbeda dengan Bima, Bima Tarno, Kuning, Tiron, serta S Philip Tabel 8. Belum diperoleh perbedaan antara genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah pada akumulasi hara P. Penelitian yang telah dilakukan ternyata peningkatan hara P belum mampu meningkatkan secara nyata kandungan hara P jaringan bawang merah Ashandi et al., 2005. Sama dengan tanaman tomat, peningkatan kesuburan dengan pemupukan P tidak meningkatkan kandungan P jaringan umur 45 hst Subhan et al., 2009. Kandungan klorofil a meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah. Kandungan klorofil a tidak berbeda antara genotipe bawang merah yang dicoba kecuali genotipe Tiron yang terrendah Tabel 8. Tampaknya tidak ada perbedaan dari genotipe bawang merah hasil tinggi dengan rendah pada kandungan klorofil a nya. Diduga kondisi tanah tidak dipupuk kurang tercekam N, ditunjukkan dengan hasil analisis kandungan N 188,9 ppm yang masih dalam kondisi sedang. Hal ini tergolong cukup untuk tanaman bawang merah Hardjowigeno 1995. Percobaan penambahan N terhadap jumlah klorofil ternyata, pada kondisi N rendah kandungan klorofil lebih rendah dari pada kondisi N cukup Peng et al., 1996. 33 Pemupukan meningkatkan jumlah klorofil b tanaman bawang merah. Kandungan klorofil b tertinggi adalah genotipe bawang merah Bima Curut, diikuti S Philip, Tiron, Bima Tarno, Bima, dan terakhir Kuning Tabel 8. Ternyata kandungan klorofil b belum dapat membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dengan rendah. Mengingat kondisi tidak dipupuk kandungan N tanah masih cukup untuk bawang merah, maka belum dapat dilihat perbedaan kandungan klorofil b dari genotipe bawang merah yang diuji. Kondisi kesuburan berpengaruh terhadap jumlah klorofil, kekurangan N dapat menurunkan jumlah klorofil. Kandungan N daun berhubungan positif dengan jumlah klorofil, kandungan N yang tinggi meningkatkan jumlah klorofil Peng et al., 1995; Balasubramanian et al., 2000. Tabel 8. Penampilan akumulasi hara N jaringan , akumulasi hara P jaringan , kandungan klorofil a dan b mgg dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah Genotipe Akumulasi hara N jaringan Akumulasi hara P jaringan Kandungan klorofil a mgg Kandungan klorofil b mgg Bima 1.03 ab 0.22 a 50.27 a 99.29 d Bima Tarno 1.03 ab 0.21 a 51.19 a 102.35 c Bima Curut 0.96 b 0.18 b 51.13 a 109.48 a Kuning 1.06 a 0.21 a 51.22 a 99.47 d Tiron 1.04 a 0.21 a 46.24 b 103.63 c S Philip 1.04 a 0.21 a 52.59 a 106.50 b Kesuburan Tidak dipupuk 0.82 b 0.17 b 43.20 b 89.65 b Dipupuk 1.24 a 0.25 a 57.68 a 117.25 a Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf a, b, c yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 Tampak pada Gambar 3 menunjukkan bahwa laju pemanjangan akar yang cepat pada pertumbuhan periode 35 sampai 42 hst dan mulai menurun pada periode 42 sampai 49 hst, kecuali genotipe Bima dan Bima Tarno dalam kondisi tidak dipupuk. Laju terbesar pemanjangan akar dipeoleh genotipe Bima Curut dan terendah Bima Tarno. Ada perbedaan laju pemanjangan akar antara kondisi dipupuk dengan tidak dipupuk terutama pada periode 35-42 hst. Pada periode 42- 49 hst kondisi dipupuk, laju perpanjangan akar yang cepat adalah Bima Curut dan 34 yang sama adalah Tiron. Laju perpanjangan akar periode 35 sampai 42 hst lebih cepat dari pada periode 42 sampai 49 hst. Genotipe bawang merah hasil tinggi secara umum lebih cepat dibanding dengan genotipe daya hasil rendah. Gambar 3. Pemanjangan akar mmtanhr dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk Berbeda dengan pemanjangan akar, akumulasi bahan kering tajuk terbesar pada periode 42-49 hst Gambar 4. Ini terlihat bahwa pertumbuhan mulai dari akar selanjutnya ke arah tajuk. Jadi periode 35 sampai 42 hst adalah laju pertumbuhan akar yang cepat diikuti laju pertumbuhan tajuk pada periode 42 sampai 49 hst. Akibatnya periode ini merupakan periode kritis untuk pertumbuhan. Pada bawang ada korelasi antara hasil dengan bahan kering, indek panen dan diameter umbi, sehingga dapat dijadikan karakter seleksi Cheema et al., 2003; Sendek et al., 2009. Akumulasi bahan kering tajuk pada kondisi dipupuk lebih besar dibandingkan tidak dipupuk dan laju terbesar pada periode 42 sampai 49 hst, kecuali genotipe Bima Curut. Pada umumnya laju akumulasi tajuk genotipe bawang merah hasil tinggi lebih cepat dari pada yang hasil rendah Gambar 4. Menurut Raihani et al., 1996, pada tanaman kedelai semakin tinggi laju akumulasi bahan kering akan memberikan hasil yang tinggi. Hasil tanaman padi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron Philipin P er pa nj ang an aka r m m t an hr Genotip bawang merah S Philip 35-42 hst tdk dipupuk S Philip 35-42 hst dipupuk 42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk 35 diindentifikasi dengan indek panen dan akumulasi bahan kering Yang et al., 2002. Gambar 4. Akumulasi bahan kering tajuk gtanhr dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk Gambar 5 menunjukkan bahwa laju akumulasi bahan kering akar pada kondisi dipupuk lebih besar dari pada tidak dipupuk. Laju akumulasi bahan kering akar pada perode 35 sampai 42 hst lebih besar dari pada 42 sampai 49 hst. Hal ini sejalan dengan perpanjangan akar Gambar 3. Pada genotipe bawang merah hasil tinggi mempunyai laju akumulasi bahan kering akar yang lebih besar dari pada hasil rendah. Pada tanaman padi ada hubungan bahwa semakin tinggi laju akumulasi bahan kering maka semakin tinggi hasil tanaman tersebut Suprayogi Ismangil 2004. Peningkatan akumulasi bahan kering tanaman padi yang tinggi pada fase pertumbuhan akan meningkatkan hasil Zhang et al., 2010. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan akar yang besar meningkatkan penyerapan 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron Philipin A kum ul as i ba ha n ke ri g t aj uk g t an hr Genotip bawang merah S Philip 35-42 hst tdk dipupuk 35-42 hst dipupuk 42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk 36 hara dan air lebih besar sehingga menunjang pertumbuhan tajuk yang besar untuk melakukan fotosintensis yang besar sehingga dapat memberikan hasil yang besar. Gambar 5. Akumulasi bahan kering akar gtanhr dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk Hasil analisis korelasi menunjukkan terdapat korelasi genotipik dan fenotipik bobot umbi per rumpun berkorelasi positif dengan semua karakter yang diamati kecuali jumlah anakan Tabel 9. Adapun karakter hasil berkorelasi fenotipik positif dengan diameter umbi, akumulasi bahan kering akar, tinggi tanaman, akumulasi bahan kering tajuk, diameter daun, akumulasi N jaringan, akumulasi P jaringan, kandungan klorofil a, akumulasi K jaringan, kandungan klorofil b, jumlah umbirumpun, jumlah daun, dan ANR. Korelasi genotipik hasil dengan akumulasi bahan kering tajuk, diameter daun, akumulasi P jaringan, kandungan klorofil a, akumulasi N jaringan, akumulasi bahan kering akar, 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron Philipin Akum ulasi bahan kering akar gtanhr Genotip bawang merah S Philip 35-42 hst tdk dipupuk 35-42 hst dipupuk 42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk 37 kandungan klorofil b, akumulasi K jaringan, tinggi tanaman, jumlah umbirumpun, diameter umbi, dan jumlah daun. Dari hal ini maka seleksi bawang merah hasil tinggi dapat dipilih yang mudah diamati dan praktis digunakan seperti tinggi tanaman, jumlah daun, diameter daun, jumlah umbi, dan diameter umbi. Penelitian korelasi yang telah dilakukan ternyata ada korelasi positif hasil umbi bawang dengan bobot umbi, diameter umbi, bobot daun, panjang daun, bahan kering Kohli Prabal 2000; Cheema et al., 2003; Sendek et al., 2009; Jamila et al., 2009. Pada tanaman terong dan timun ada korelasi positif genotipik dan fenotipik antara hasil dengan jumlah biji, bobot buah dan diameter buah Danquah Ofori 2012; Cramer Wehner 2000. Kesimpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Genotipe bawang merah hasil tinggi bercirikan tanamannya tinggi, pertumbuhan yang cepat, diameter daun besar, jumlah anakan dan umbi sedang, diameter umbi besar, hasil umbi per rumpun dan per m 2 2. Genotipe yang hasil tinggi ditandai dengan laju perpanjangan akar, laju akumulasi bahan kering tajuk maupun akar yang tinggi dibandingkan yang produksi rendah. Akumulasi N, P, K, ANR dan kandungan klorofil tidak dapat digunakan pembeda genotipe bawang merah hasil tinggi dan rendah. tinggi. 3. Laju pertumbuhan terbesar pada akar saat periode umur antara 35 sampai 42 hst, dan tajuk saat umur 42-49 hst. 4. Terdapat korelasi antara hasil dengan semua karakter yang diamati kecuali jumlah anakan, sehingga karakter yang berkorelasi dengan hasil dapat digunakan sebagai karakter seleksi. Tabel 9. Korelasi fenotipik dan genotipik antar sifat bawang merah yang diamati a = Bobot umbirumpun b=Tinggi tanaman c=Jumlah daun d = Diameter daun e = Jumlah anakan f = Jumlah umbirumpun g=Diameter umbi h=Akumulasi N jaringan i = Akumulasi P jaringan j = Akumulasi K jaringan k=ANR l=klorofil a m=klorofil b n = akumulasi bahan kering tajuk o = akumulasi bahan kering akar = nyata taraf 5 tn=tidak nyata taraf 5 = Angka yang berada dalam kolom dan baris diagonal bagian atas korelasi fenotipik = Angka yang berada dalam kolom dan baris diagonal bagian bawah korelasi genotipik Karakter a b c d e f g h i j k l m n o a 0.86 0.53 0.85 -0.00tn 0.67 0.88 0.85 0.82 0.80 0.40 0.82 0.79 0.86 0.87 b 0.79 0.35 0.83 -0.29tn 0.34 0.89 0.57 0.51 0.67 0.45 0.55 0.54 0.81 0.87 c 0.52 0.33tn 0.32tn 0.17tn 0.64 0.45 0.67 0.69 0.46 0.20tn 0.62 0.55 0.42 0.51 d 0.86 0.84 0.35 -0.31tn 0.32tn 0.84 0.58 0.57 0.61 0.44 0.56 0.50 0.80 0.85 e 0.31tn -0.26tn 0.22tn -0.28tn 0.62 -0.07tn 0.35 0.39 0.12tn -0.20tn 0.36 0.33tn -0.24tn 0.03tn f 0.69 0.32tn 0.60 0.30tn 0.60 0.60 0.93 0.87 0.66 0.21tn 0.86 0.86 0.44 0.64 g 0.67 0.69 0.33tn 0.73 -0.26tn -0.43 0.80 0.74 0.80 0.49 0.77 0.76 0.88 0.95 h 0.81 0.53 0.62 0.58 0.37 0.93 0.80 0.92 0.78 0.35 0.92 0.92 0.68 0.82 i 0.83 0.50 0.63 0.57 0.37 0.87 0.74 0.91 0.74 0.19tn 0.86 0.74 0.58 0.78 j 0.79 0.69 0.49 0.62 0.11tn 0.68 0.79 0.77 0.73 0.37 0.80 0.73 0.64 0.78 k 0.38 0.47 0.18tn 0.42 -0.19tn 0.19tn 0.48 0.34 0.18tn 0.35 0.37 0.33 0.52 0.51 l 0.83 0.56 0.65 0.55 0.33tn 0.82 0.78 0.89 0.85 0.80 0.34 0.91 0.68 0.80 m 0.80 0.55 0.57 0.49 0.32tn 0.86 0.75 0.90 0.72 0.72 0.30tn 0.88 0.67 0.74 n 0.88 0.82 0.82 0.81 -0.25tn 0.44 0.88 0.67 0.53 0.64 0.53 0.66 0.62 0.87 o 0.81 0.85 0.85 0.88 0.15tn 0.65 0.91 0.79 0.71 0.75 0.51 0.78 0.72 0.84 38 39 Saran yang dapat diberikan adalah karakter seleksi yang dapat digunakan untuk pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi adalah tinggi tanaman, diameter daun, diameter umbi, jumlah umbirumpun, laju panjang akar 35-42 hst, laju akumulasi bahan keriang tajuk 42-49 hst dan akar 35-42 hst, serta hasil yang tinggi. 41

IV. ANALISIS DAYA GABUNG, HETEROSIS, DAN HERITABILITAS SIFAT YANG BERKAITAN DENGAN

HASIL PADA BAWANG MERAH ANALYSIS OF COMBINING ABILITY, HETEROSIS EFFECT AND HERITABILITY ESTIMATE OF YIELD-RELATED CHARACTERS IN SHALLOT Abstract Productivity of shallot in Indonesia is still low. Therefore need to increase the productivity of shallot varieties with high yield. Assembly of high yield varieties needed genetic information, so that breeding activities will effective. Such information includes combining ability, heterosis, and heritability. This study aims to: 1 general combining ability GCA and specific combining ability SCA of improve to high yield of red shallot, 2 obtain the value of heterosis and heritability from crossing half dialel on shallot. The results showed that: 1 shallot genotypes that have a high GCA are: Tiron and Timor, 2. shallot genotypes from crosses of SCA and heterosis effect are high between the KuningTiron, TimorBima Juna, TironTimor and KuningSibolangit, 3 Heterosis in the observed character of this cross varied: low to high -76 to 111, and 4 broad sense heritability estimate values for the observed character is high but the narrow sense heritability is low, except for plant height that were moderate. Keywords: combining ability, heterosis, heritability, shallot Abstrak Perakitan bawang merah hasil tinggi perludilakukan untuk peningkatan produktivitas bawang merah Indonesia. Informasi genetik dari plasma nutfah sebagai perakitan varietas baru sangat dibutuhkan. Daya gabung dan heterosis informasi genetik yang dibutuhkan untuk efektivitas dan efisiensi perakitan bawang merah hasil tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai daya gabung dan heterosis karaketer-karakter yang berhubungan dengan sifat hasil bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi. Hasil penelitian : 1 genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah : Tiron dan Timor, 2 genotipe bawang merah hasil persilangan yang DGK tinggi, heterosis dan hasil tinggi ialah antara KuningTiron, TimorBima Juna, TironTimor dan KuningSibolangit sehingga dapat dipilih untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, 3 heterosis pada karakter yang diamati dari persilangan ini bervariasi, ada yang mempunyai nilai dari rendah - 76 sampai tinggi 111 , dan 4 nilai pendugaan heritabilitas arti luas untuk karakter yang diamati tergolong tinggi tetapi heritabilitas arti sempit rendah, kecuali tinggi tanaman yang termasuk sedang. Kata kunci: daya gabung, heterosis, heritabilitas, bawang merah 42 Pendahuluan Produktivitas bawang merah di Asia dan dunia antara 13 sampai 15 tha Pathak 1997. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan produktivitas bawang merah. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan varietas yang berdaya hasil tinggi Duriat et al. 1999. Hasil persilangan beberapa varietas bawang merah dari Brebes hanya mampu meningkatkan 9 persen Farid et al., 2007. Dari hal tersebut perlu dilakukan persilangan antara genotipe bawang merah yang jauh kekerabatannya untuk diperoleh genotipe daya hasil tinggi. Kegiatan persilangan dibutuhkan identifikasi tetua yang digunakan untuk efektifitas perakitan genotipe bawang merah hasil tinggi. Potensi genetik karakter tetua untuk diwariskan pada keturunannya dapat diketahui dengan sejumlah besar persilangan. Persilangan dialel bertujuan untuk pendugaan nilai daya gabung, aksigen, heterosis dan heritabilitas pada karakter-karakter yang diwariskan. Studi daya gabung dan heterosis dengan setengah dialel telah banyak dilakukan pada tanaman padi, apricot, dan jagung. Adapun tetua yang digunakan bervariasi antara 5 sampai 7 Couranjou 1995; Verma Srivasta 2004; Sudha et al., 2004. Hasil studi genetik menunjukkan bahwa persilangan antar genotipe bawang merah yang dekat hubungan kekerabatannya kurang dapat meningkatkan hasil Farid et al., 2007. Hasil mutasi sinar gamma hanya meningkatkan ketahanan penyakit bercak ungu, tetapi tidak meningkatkan hasil Sunarto et al., 2005. Hasil indentifikasi kekerabatan 153 genotipe bawang merah menunjukkan ada keragaman genetik yang jauh antar genotipe Arifin et al., 1996. Berdasarkan RAPD dari 129 genotipe bawang diperoleh sejumlah genotipe yang jauh kekerabatan antar genotipenya Arifin et al., 2000. Dari kajian tersebut di atas dipilih 7 genotipe bawang merah untuk dijadikan tetua dalam riset ini yang keragamannya besar. Ketujuh genotipe bawang merah tersebut yaitu Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna. Tujuan penelitian ini adalah : menduga nilai daya gabung dan heterosis karakter-karakter yang berhubungan dengan hasil bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi. 43 Bahan dan Metode Waktu dan tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, Laboratorium Pemuliaan Tanaman Unsoed Purwokerto dan Kebun Percobaan Balitsa Lembang. Persilangan antara tetua bawang merah dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang mulai dari bulan Mei sampai Agustus 2009, dan pengujian daya hasil dilakukan di rumah kawat Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto mulai Desember 2009 sampai April 2010. Materi dan metode penelitian Materi untuk persilangan setengah dialel adalah 7 genotipe bawang merah yaitu Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah untuk mendapatkan daya gabung, heterosis dan heritabilitas terhadap sifat hasil. Persilangan tersebut tergambar seperti pada Tabel 10. Jadi jumlah persilangan yang dibuat adalah [nn- 12]=[77-12]=21 F 1. Persilangan Tabel 10. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah Kuning Bima Tiron Timor Sibolangit Maja Bima Juna Kuning √ √ √ √ √ √ √ Bima √ √ √ √ √ √ Tiron √ √ √ √ √ Timor √ √ √ √ Sibolangit √ √ √ Maja √ √ Bima Juna √ √ : generasi F 1 Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan tiga ulangan. Perlakuan percobaan sebanyak 28 21 F hasil persilangan antara genotipe pada kolom dan baris yang bersangkutan 1 dan 7 tetua genotipe bawang merah berupa tetua, dan F 1 . Karakter yang diamati : tinggi tanaman cm, jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi cm, bobot umbi basah g dan bobot umbi kering g. Analisis daya gabung dilakukan menggunakan pendekatan Griffing metode II 44 model I tanpa galur murni Singh Chaudary, 1979. Secara rinci dapat dilihat pada tahapan berikut ini Tabel 11. Tabel 11. Analisis sidik ragam daya gabung umum dan khusus SK Db JK KT EKT DGU n – 1 JK KT DGU σ DGU 2 g + σ 2 DGK + n+2 σ 2 DGU DGK nn – 12 JK KT DGK σ DGK 2 g + σ 2 Galat DGK r-1[n-1+nn-12] JKg KTg σ 2 g Dari hal tersebut, dilanjutkan perhitungan pendugaan daya gabung. Rumus yang digunakan sebagai berikut. 1 Pendugaan daya gabung umum DGU     − − = ∑ . 2 . 1 2 1 Y n Y Y n g ii i i dimana: g i = daya gabung umum galur ke-i n = jumlah galur Y i. = jumlah rataan nilai galur ke-i Y ii = nilai selfing galur ke-i Y .. .. 2 . . 2 1 2 1 2 1 Y n Y Y Y Y n Y s jj j ii i ij ij + + + + − = = total keseluruhan nilai galur 2. Pendugaan daya gabung khusus DGK dimana: s ij = daya gabung khusus dari persilangan antara galur ke-i dan ke-j Y ij = nilai rataan dari persilangan antara galur ke-i dan ke-j n = jumlah galur Y i. = jumlah rataan nilai galur ke-i Y ii = nilai selfing galur ke-i Y .j = jumlah rataan nilai galur ke-j Y jj = nilai selfing galur ke-j Y .. = total keseluruhan nilai galur 45 3. Pendugaan efek heterosis menggunakan pendekatan Fehr 1987. Tipe heterosis yang diduga adalah high parent heterosis yaitu sebagai berikut: terbaik tetua performa HP F1 performa F1 : dimana 100 ] 1 [ = = − = x HP HP F h 4. Pendugaan heritabiltas dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut Allard, 1960: a. heritabilitas arti luas σ A + σ D H bs = _________ σ A + σ D + σ E H bs = heritabilitas arti luas σ A = ragam aditif σ D = ragam dominan σ E b. heritabilitas arti sempit = ragam eror σ A H ns = __________ σ A + σ D + σ E H ns = heritabilitas arti sempit σ A = ragam aditif σ D = ragam dominan σ E = ragam eror σ A = 2 σ 2 g σ D = √σ 2 s Persilangan setengah dialel Persilangan setengah dialel pada 7 genotipe bawang merah dilakukan di rumah plastik Kebun Percobaan Balitsa Lembang. Rumah plastik tersebut beratapkan plastik UV dengan dinding kasa. Dinding kasa untuk menghindari serangga polinator masuk ke dalam rumah plastik. Adapun kegiatan persilangan dilakukan sebagai berikut: 46 1. Kastrasi dilakukan pada bunga yang sudah mekar dengan cara dipotong benang sarinya dengan gunting. 2. Waktu kastrasi dilakukan untuk pencegahan penyerbukan sendiri dan dilakukan pada waktu hari pertama bunga mekar. Selain itu, setelah kastrasi bunga bungkus dengan kertas minyak untuk pencegahan penyerbukan oleh bunga lain yang tidak dikehendaki. 3. Kegiatan kastrasi dan persilangan dilakukan setiap hari sampai semua bunga telah mekar habis. 4. Persilangan dilakukan pada hari ketiga setelah bunga sudah dikastrasi, karena putiknya siap dibuahi pada hari ketiga setelah bunga mekar. 5. Setelah hari ketiga saat kepala putik siap dibuahi maka disilangkan dengan tepung sari dari tetua jantan yang sesuai dengan set persilangan seperti Tabel 10. 6. Cara persilangan dengan disiapkan kepala sari yang telah siap dari tanaman tetua jantan yang dikehendaki kemudian ditempelkan pada kepala putik dari betina sesuai tujuannya. 7. Waktu persilangan pada waktu suhu panas, dilakukan sekitar pukul 09.00– 14.00 WIB. 8. Setelah persilangan dilakukan, bunga diberi label asal tetua betina dan jantan, serta tanggal persilangan. 9. Biji hasil persilangan dipanen setelah 2 bulan dari waktu persilangan. Pengujian F 1 hasil persilangan setengah dialel Pengujian generasi F 1 hasil persilangan setengah dialel dengan 7 tetua bawang merah dilaksanakan di rumah plastik kebun percobaan Fakultas Pertanian Unsoed. Biji-biji dari tiap F 1 Penanaman dilakukan di polibag dengan tanah seberat 10 kg kering angin dan diberi pupuk kandang 20 gpolibag. Setiap polibag ditanam sebanyak satu bibit dan setelah tanam dipupuk NPK sebanyak 80 mgpolibag. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman, penyiangan dengan manualdicabut, dan ditamam sebanyak 100 biji untuk disemai selama 40 hari dan selanjutnya ditanam sesuai dengan set percobaan. 47 pengendalian hama serta penyakit. Selama penelitian tidak terjadi serangan hama ataupun penyakit sehingga tidak dilakukan penyemprotan pestisida. Hasil dan pembahasan Hasil uji daya gabung ternyata ada perbedaan tetua bawang merah yang digunakan pada daya gabung umum DGU dan daya gabung khusus DGK untuk semua karakter. Hal ini menunjukkan genotipe bawang merah tersebut berbeda kemampuan daya gabungnya Tabel 12. Dari tabel tersebut terlihat bahwa varian aditif ternyata nilainya lebih kecil dari varian dominan, ini berarti yang berperan pada karakter yang diamati adalah gen-gen dominan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah berjalan pada sejumlah daya gabung beberapa tanaman diperoleh varian aditif lebih kecil dari varian dominan dan digunakan untuk perakitan varietas hasil tinggi Wang et al, 1999; Zeinanloo et al, 2009; Khan et al, 2009. Tabel 12. Hasil uji daya gabung umum DGU, daya gabung khusus DGK, varian aditif dan varian dominan pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi, bobot umbi basah serta bobot kering umbi per rumpun Sumber Ragam Kuadrat Tengah Tinggi tanaman Jumlah anakan Jumlah umbi Diameter umbi Bobot umbi basah rumpun Bobot umbi kering rumpun DGU 172.71 8.71 8.71 0.18 178.98 172.88 DGK 53.64 3.42 3.42 0.44 367.37 277.28 Galat 6.11 0.08 0.08 0.04 5.71 2.34 Var. additive 31.55 1.55 1.55 0.01 15.79 19.37 Var. dominan 48.53 3.49 3.49 0.40 362.87 274.94 : sangat nyata Pengujian daya gabung umum dari tetua bawang merah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 13. Secara umum tetua bawang merah DGU-nya tertinggi adalah Tiron, kecuali pada karekter tinggi tanaman dan diameter umbi. Urutan kedua DGU yang tinggi adalah Timor. Jadi tetua bawang merah Tiron dan Timor secara umum memberikan keturunan yang hasil tinggi bila disilangkan dengan tetua lain.