11 Isu mengenai perebutan Nagorno-Karabakh kembali diusik oleh Turki yang
tentu saja membawa hasil yang kontraproduktif terhadap realisasi normalisasi hubungan antara Turki dengan Armenia. Bagi Armenia, syarat dari Turki untuk
melepas Nagorno-Karabakh merupakan hal yang sulit dilakukan, sehingga syarat tersebut menjadi ganjalan besar terhadap terwujudnya hubungan diplomatik antara
Turki dan Armenia. Keberpihakan Turki terhadap Azerbaijan tentu saja memunculkan tentangan dari anggota parlemen Armenia, yang juga mempersulit bagi
protokol tersebut untuk ditandatangani pada tingkat parlemen, untuk kemudian diimplementasikan armenianow.com, diakses pada 8 Juli 2010. Dampak dari
diangkatnya isu Nagorno-Karabakh oleh Turki ini semakin terlihat pada pernyataan Presiden Armenia David Sarkisian pada 29 Maret 2010 untuk menunda semua proses
untuk menyetujui dan mengimplementasikan segala hal yang berkaitan dengan protokol normalisasi hubungan antara Turki dan Armenia sampai Turki siap untuk
menyetujui secara penuh pada tingkat parlemen dan tidak terganggu oleh isu-isu lain di luar normalisasi hubungan di antara keduanya eurodialogue.org, diakses pada 25
Juli 2010.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Sebagai pertanyaan penelitian dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, penelitian ini mencoba untuk mengetahui faktor-faktor apakah
yang menjadikan Azerbaijan berpengaruh dalam menghambat keinginan Turki untuk
membuka hubungan diplomatik dengan Armenia?
12
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat Azerbaijan menjadi hambatan bagi terbukanya hubungan diplomatik antara
Turki dan Armenia. Penelitian ini dititikberatkan pada sudut pandang Turki dalam kedekatannya dengan Azerbaijan sehingga muncul hambatan dalam pembukaan
hubungan diplomatik dengan Armenia.
I.4. KERANGKA PEMIKIRAN
Geopolitik merupakan studi yang melibatkan banyak pembahasan yang membuat para ilmuwan hubungan internasional memiliki konsentrasi analisis pada
hal-hal yang berbeda satu sama lain. Studi geopolitik membahas mengenai perbatasan, sumber daya alam dan pengalirannya, teritorial, dan juga identitas
Dodds, 2007: 3. Setiap negara berdaulat pada dasarnya memiliki perbedaan satu sama lain dalam lokasi geografis, luas wilayah, kekayaan sumber daya alam,
organisasi sosial, kepemimpinan politik, dan kekuatan potensial yang dimiliki. Adanya perbedaan ini kemudian menciptakan perilaku negara dalam memenuhi
kebutuhannya, dan diantaranya kebutuhan akan energi menjadi faktor determinan yang utama Agnew dalam Tuathail dan Dalby, 1998: 7. Energi menjadi faktor
determinan karena energi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menggerakkan industri dan perekonomian. Namun di sisi lain, identitas juga memiliki
peran dalam geopolitik yang dilancarkan suatu negara.
13 Wacana konstruktivisme aspirasional merupakan salah satu mahzab dalam
konstruktivisme yang berasumsi bahwa institusi sosial muncul dari interaksi terus- menerus di antara struktur sosial dan human agents. Konstruktivisme juga
menekankan pada ide-ide yang muncul secara kolektif yang kemudian membentuk kepentingan-kepentingan manusia. Yang membedakan wacana konstruktivisme
aspirasional dari konstruktivisme pada umumnya adalah pemahaman bahwa identitas sosial membutuhkan apa yang disebut sebagai self esteem yang kemudian
menciptakan motivasi psikologis bagi sekelompok masyarakat untuk membentuk sebuah identitas kolektif. Self esteem sendiri muncul di antara masyakarat merujuk
dari sejarah dan pengalaman mereka di masa lalu yang kemudian digunakan sebagai aspirasi untuk memandang masa depan mereka. Dari aspirasi-aspirasi yang muncul
ini kemudian akan muncul warisan sejarah mana yang akan menyatukan identitas nasional dan kepentingan dan mana saja yang akhirnya ditinggalkan Clunan, 2009:
2-6. Identitas nasional merupakan bentuk identitas kolektif yakni sekumpulan
aktor tertentu yang membentuk negara Zelditch dalam Clunan, 2009: 36. Sedangkan identitas kolektif sendiri merupakan sekumpulan pemikiran yang diterima oleh
sekelompok aktor untuk menjelaskan seperti apa kolektivitas yang mereka miliki dan aturan umum apa yang mengatur identitas kolektif tersebut Bandura, dalam Clunan,
2009: 36. Identitas kolektif terdiri dari gagasan mengenai tujuan yang dimiliki kelompok tersebut dan juga status dari kelompok tersebut ketika berhadapan dengan
kelompok-kelompok lainnya. Identitas nasional bukanlah konsep yang statis dan
14 kaku, namun sebaliknya merupakan konsep yang dinamis. Konsep identitas nasional
yang tergambar dalam ide kolektif, nilai, dan simbol, dapat berubah melalui peran para politisi, intelektual, dan juga media Zelditch; Tyler dan Blader, dalam Clunan,
2009: 37. Menurut Clunan, identitas nasional terbentuk dari national self-image yang
telah dapat mendominasi wacana politik di suatu negara Clunan, 2009: 30. National self-images
berbeda dari identitas nasional. National self-images membentuk preskripsi bagaimana negara membentuk kepentingan nasionalnya dan bagaimana
harus bertindak dalam hubungan eksternalnya dengan negara lain. Adanya ide yang berbeda-beda mengenai status dapat menyebabkan terjadinya kompetisi dari beberapa
national self-image . Ketika sebuah national self-image dapat dominan pada
kontestasi politik di suatu negara dan dinyatakan oleh seorang pemimpin negara, maka national self-image tersebut dapat menjadi sebuah identitas nasional yang
kemudian mempengaruhi kebijakan luar negeri Clunan, 2009: 30-34. Konstruksi identitas nasional Turki digunakan untuk menangkap indikasi peran rezim
pemerintahan Turki untuk membentuk pandangan baru mengenai identitas nasional yang kemudian mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Turki, yang dalam hal ini
berpengaruh terhadap dinamika hubungan Turki dengan Armenia. Anthony Smith dalam Dijkink, 1996 melihat enam bentuk identitas nasional,
yakni wilayah historis, mitos umum dan memori historis, kultur massa, ekonomi dan hak-kewajiban bersama yang dimiliki pengemban identitas nasional Smith, 1991:
14. Wilayah historis memberikan gambaran tentang penaklukan, pertahanan,
15 pembebasan dan kehilangan. Identitas nasional melibatkan ‘pihak lain’ yang
memberikan kebanggaan maupun rasa trauma. Adanya keterlibatan ‘wilayah’ dalam identitas nasional membuat identitas nasional dan visi geopolitik suatu negara
menjadi sulit untuk dipisahkan Dijkink, 1996: 18. Geopolitik dapat diterjemahkan sebagai suatu bentuk penjelasan terhadap permasalahan internasional yang terkait
dengan faktor geografi dalam perilaku hubungan internasional Hocking dan Samuel, 1990: 36.
Visi geopolitik berkembang untuk menghadapi persepsi ancaman yang datang dari lingkungan sekitar. Visi geopolitik ini juga dapat digunakan untuk menciptakan
dan mempertahankan rasa bangga, atau untuk melegitimasi suatu agresi. Visi geopolitik dapat didasarkan oleh sebuah misi nasional. Yang dimaksud
misi nasional ini adalah misi dari sebuah negara yang menentukan perannya lingkungan disekitarnya Dijkink: 1996: 13. Lingkungan juga dapat berperan sebagai
kekuatan bagi suatu negara. Lingkungan yang dalam konteks ini mengarah pada letak dan lingkungan geografis juga menjadi topik dalam studi hubungan internasional.
Lingkungan memberikan kesempatan-kesempatan tertentu bagi manusia, sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis dalam hubungan internasional. Menurut Sprout
dan Sprout dalam Jackson dan Samuel, 1971: 187-192, lingkungan dapat digunakan sebagai alat analisis kebijakan maupun alat analisis kapabilitas. Sebagai alat analisis
kapabilitas, yang menjadi pertimbangan adalah sampai sejauh mana faktor lingkungan diperhitungkan dalam proses pengambilan kebijakan. Analisis kapabilitas
16 menekankan pada kalkulasi dari kesempatan-kesempatan dan keterbatasan yang
dimiliki oleh lingkungan tersebut. Lingkungan dapat membawa keuntungan tertentu. Keuntungan-keuntungan
tersebut antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan iklim dan perbedaan faktor geografis. Dengan keistimewaan tersebut, maka lingkungan dapat menjadi komponen
utama dalam unsur-unsur national power, terutama faktor geografi dan sumber daya alam Morgenthau, 1985: 127-136.
Peran lingkungan dalam studi Hubungan Internasional berubah-ubah, dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang dicapai oleh manusia. Menurut Pfaltzgraff
dan Dougherty 1997: 151, dengan adanya kemajuan teknologi yang semakin pesat, fokus dari teori lingkungan pada masa sekarang adalah bagaimana memindahkan
suatu sumber daya alam atau barang dengan cepat dan efisien dari suatu wilayah ke wilatayah lainnya.
Bagaimana sumber daya dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan salah satu isu sentral dalam kawasan Kaukasus Selatan. Pada kawasan ini,
jalur pipa minyak dan gas merupakan hal yang menjadi perhatian utama. Turki sebagai salah satu negara pada kawasan tersebut melihat kesempatan ini untuk
menjadi sebuah great power. Buzan dan Waever 2003: 27-39 dalam regional security complex theory
menyatakan bahwa politik internasional pada pasca Perang Dingin melibatkan tiga lapis entitas kekuatan, yakni super powers yang memberikan
pengaruh pada sistem internasional secara global. Lapis kedua adalah great powers yakni kekuatan-kekuatan yang pengaruhnya tidak hanya pada satu kawasan saja,
17 namun juga meliputi kawasan-kawasan lainnya dengan cakupan yang lebih terbatas
dari super powers. Great powers ini juga merupakan negara-negara yang potensial untuk menjadi super power dalam jangka waktu menengah. Great powers juga dapat
berasal dari negara-negara super power yang telah menurun pengaruhnya secara global, contohnya adalah Rusia.
Turki, menurut Buzan dan Weaver merupakan negara insulator yakni negara yang berfungsi sebagai penyekat antara regional security complex satu dengan yang
lainnya 2003: 344. Dalam kasus Turki, regional security complex yang dimaksud adalah Eropa dan kawasan Kaukasus. Dengan kapasitas sebagai negara insulator
Turki berusaha untuk menjadi great power yang menghubungkan kedua kawasan tersebut dengan memainkan peran sebagai negara yang menyuplai minyak dan gas
dari Kaukasus Selatan ke wilayah-wilayah lain, terutama Eropa. Azerbaijan sebagai negara yang memiliki kekayaan minyak bumi dan gas alam menjadi penting bagi
Turki. Posisi geografis Turki sebagai negara insulator dimaksimalkan dengan berusaha untuk menjadi aktor yang mendominasi dalam transportasi minyak bumi
dan gas alam yang ada di kawasan Kaukasus Selatan. Salah satu teori yang menghubungkan identitas nasional dengan kebijakan
luar negeri adalah bahwa identitas nasional yang didasarkan pada nilai-nilai budaya memberikan preskripsi-preskripsi tertentu terhadap tindakan yang diambil negara
dalam suatu konteks tertentu Swidler, dalam Hudson, 2007:110. Swidler kemudian lebih menekankan bahwa seringkali pengambil kebijakan akan mengambil
keuntungan dari opsi-opsi yang ada dalam kultur dan identitas mereka. Dengan
18 adanya identitas nasional, maka kebijakan luar negeri yang dilakukan negara lebih
disebabkan oleh nilai-nilai yang ada dalam budaya mereka daripada asumsi-asumsi rasional Hudson, 2007:105.
Terkait dengan kebijakan luar negeri yang berhubungan dengan nilai-nilai yang ada dalam budaya, tingkah laku kelompok etnis juga dipengaruhi oleh
kedekatan dengan sesamanya. Pierre L. van den Berghe 1987, dalam Vanhanen, 1999: 56 memperkenalkan konsep nepotisme etnis. Menurut argumennya, sentimen
etnis dan ras adalah perpanjangan sentimen kekerabatan. Semakin dekat hubungan ini, semakin kuat perilaku istimewanya. Tatu Vanhanen mengelaborasi konsep ini
dan berpendapat bahwa kelompok etnis ethnic groups dapat dikatakan sebagai perpanjangan dari kelompok kerabat kin groups. Para anggota kelompok etnis
cenderung berpihak pada anggota kelompok mereka daripada terhadap non-anggota karena mereka lebih terkait dengan kelompok mereka daripada penduduk lainnya.
Para anggota kelompok etnis yang sama cenderung saling mendukung dalam situasi konflik. Kecenderungan kita untuk mendukung kerabat lebih daripada non-kerabat
telah diperluas untuk mencakup kelompok besar etnis linguistik, nasional, ras, agama dan lainnya. Disposisi ini untuk mendukung kerabat lebih dari non-kerabat menjadi
penting dalam kehidupan sosial dan politik ketika masyarakat dan kelompok masyarakat harus bersaing untuk sumber daya yang terbatas. Vanhanen, 1999: 56.
Persaingan dalam sumber daya yang terbatas menjadi benang merah antara kebutuhan sumber daya dengan preferensi berdasarkan etnis.
19 Dalam kasus Turki, adanya nepotisme etnis ini yang kemudian diwujudkan
dengan cara memberikan hambatan bagi pembukaan hubungan dengan Armenia untuk membela kepentingan Azerbaijan terkait dengan konflik wilayah Nagorno-
Karabakh.
Gambar I.2. Visualisasi Kerangka Pemikiran
20
I.5. Hipotesis