Peran Pembentukan Identitas Turki dalam Pengaruhnya terhadap

51

BAB III Peran Pembentukan Identitas Turki dalam Pengaruhnya terhadap

Kedekatan Hubungan Turki dengan Azerbaijan III.1. Kedekatan Identitas antara Turki dan Azerbaijan Turki merupakan negara yang lahir dari sebuah revolusi yang terjadi dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman yang berpusat di Turki. Kekaisaran Ottoman merupakan sebuah monarki yang berlandaskan identitas ke-Islaman. Sejak berubah menjadi Republik Turki, identitas ke-Islaman ini digantikan oleh identitas kultural Turki. Dengan dominannya identitas kultural Turki, Republik Turki menciptakan pembagian identitas antara masyarakat Turki dengan yang bukan etnis Turki, menjadikan Turki sebagai kelompok etnis utama dalam Republik Turki Cagaptay, 2006. Menurut Gokalp dalam Cagaptay, 2006: 93, term kebudayaan Turki dituangkan dalam kebijakan imigrasi resettlement policies. Turki merunut pada warisan akan kesamaan sejarah, tradisi, sistem kepercayaan, nilai, dan adat istiadat Muslim Turki Ottoman. Identitas sebagai Muslim Turki Ottoman perlu mendapatkan perhatian khusus, yakni bahwa komunitas etno-relijius lain seperti minoritas Armenia dan Yahudi, yang dahulu tercakup dalam Kekaisaran Ottoman, tidak dapat dimasukkan dalam kebudayaan Turki. Dalam undang-undang imigrasi juga tersirat kedekatan identitas Turkic antara Republik Turki dengan negara-negara etnis Turki lain dengan mengijinkan imigrasi yang dilakukan oleh individu-individu yang berasal dari etnis Turki, baik yang 52 berdiam maupun nomaden, untuk dapat diterima oleh Republik Turki. Undang- undang ini merunut pada komunitas etnis Turki yang berdiam di daerah Balkan, Ciprus, dan Decodanese yang di dalamnya terdapat masyarakat Azeri Azerbaijan, Balkar, Karacay, Karapapak, Tatar, Terekeme, Turkmen, dan juga etnis Turki lain yang tersebar di sekitar Turki. Undang-undang ini juga mengijinkan individu yang berdiam dan memiliki kebudayaan Turki, yakni kaum Muslim Balkan non-Turki, untuk diterima oleh Republik Turki. Undang-undang ini mengijinkan individu non- Muslim, hanya bagi yang berasal dari etnis Turki, yang dapat dikategorikan masuk dalam kebudayaan Turki Cagaptay, 2006: 94. Kedekatan Azerbaijan secara kultural dengan Turki muncul seiring dengan perkembangan dan persebaran kebudayaan Islam. Pada abad-7 sampai abad-11, Azerbaijan dikuasai oleh bangsa Arab. Berkuasanya bangsa Arab membawa kebudayaan Islam di Azerbaijan. Hingga pada pertengahan abad-11, kelompok- kelompok bangsa Turki berdatangan, seperti suku Oghuz yang berasal dari Dinasti Turki Seljuk. Kedatangan Turki Seljuk ini mengakhiri kekuasaan bangsa Arab atas Azerbaijan dan Asia Tengah. Dari Dinasti Turki Seljuk inilah kemudian yang membawa bahasa dan kebudayaan Turki ke Azerbaijan U.S. Federal Research Division, n.d.: 33. Setelah itu berturut-turut Azerbaijan sempat dikuasai oleh bangsa Mongol dan Dinasti Safavid Persia. Dinasti Safavid ini merupakan dinasti yang berasal dari bangsa Turki, namun memiliki pusat pemerintahan di Persia Iran saat ini. Dinasti Safavid di Persia dan Dinasti Ottoman di Turki memperebutkan dan bergantian menguasai Azerbaijan sebelum akhirnya Azerbaijan dan kawasan 53 Kaukasus secara keseluruhan dikuasai oleh Kekaisaran Rusia pada 1860 Kaeter, 2004: 18. Walaupun Kekaisaran Rusia menguasai Azerbaijan sejak 1860, hingga revolusi Rusia mengubah Kekaisaran Rusia menjadi Uni Soviet, dan akhirnya Azerbaijan mendeklarasikan kemerdekaannya pada 30 Agustus 1991, Rusia tidak banyak memberikan pengaruh terhadap kebudayaan dan identitas masyarakat Azerbaijan. Hal ini dikarenakan Kekaisaran Rusia yang lebih banyak mengeksploitasi sumber daya alam Azerbaijan selama masa kolonialisasi. Masyarakat Rusia yang datang ke Azerbaijan hanya untuk berbisnis minyak tanpa membentuk interaksi dengan masyarakat Azerbaijan Kaeter, 2004: 23-24. Azerbaijan pada dasarnya dimasukkan ke dalam kawasan Transkaukasus, namun Azerbaijan lebih memiliki kedekatan kultural dengan negara-negara Asia Tengah yang berada di sebelah timur Laut Kaspia. Negara-negara Asia Tengah ini didominasi oleh komunitas etnis Turki yang juga memiliki kebudayaan Turki. Istilah Transkaukasus, berakar dari kata bahasa Rusia Zakaykaz dan secara harfiah berarti daratan di luar Pegunungan Kaukasus. Transkaukasus menyiratkan sudut pandang Rusia terhadap kawasan ini. Istilah yang lebih netral dari kawasan ini adalah Kaukasus Selatan. Secara politis, kawasan Kaukasus Selatan terdiri dari tiga negara merdeka, yakni Armenia, Azerbaijan, dan Georgia Cornell, 2001: 4. 54 III.2. Kedekatan Republik Turki dengan Azerbaijan pasca Perang Dingin Turki pada masa pasca Perang Dunia II mendapatkan ancaman dari Uni Soviet, dengan klaim Soviet secara terbuka terhadap penguasaan Selat Turki. Ancaman inilah yang kemudian membuat Turki menawarkan diri dalam keanggotaan NATO. Dengan adanya ikatan dengan NATO, Turki dicegah untuk melakukan kebijakan luar negeri secara independen yang berkaitan dengan Uni Soviet Cornell, 2001: 278. Pada masa pasca Perang Dunia II, Turki dapat dikatakan memiliki banyak masalah dalam hubungan luar negeri terkait dengan Perang Dingin dan juga dalam politik domestiknya, sehingga tidak dapat mengalokasikan waktu, usaha, dan juga sumber daya untuk melakukan kebijakan yang lebih aktif dalam hubungannya dengan orang-orang Turkic di selatan Soviet atau sekarang disebut dengan Kaukasus Selatan atau Asia Tengah Cornell, 2001: 278. Sejak runtuhnya Uni Soviet, dan dengan merdekanya negara-negara Asia Tengah, membuat keterlibatan Turki menjadi signifikan di kawasan tersebut. Keruntuhan Uni Soviet mempermudah Turki untuk melakukan perluasan ikatan politik dan ekonomi dengan negara-negara Asia Tengah pada awal dekade 1990-an Bozdaglioglu, 2003: 98. Kedekatan Turki dengan negara-negara Asia Tengah ini pada awalnya lebih didasarkan pada meningkatnya nasionalisme Turki yang dengannya juga menggali kembali kedekatan etnis antara Turki dengan negara-negara di kawasan tersebut. Asia Tengah merupakan kawasan yang pernah dihuni oleh nenek moyang bangsa Turkic, dimana sejarah dan kebudayaan mereka berasal. Secara psikologis, munculnya negara-negara merdeka di Asia Tengah ini membangkitkan 55 kebanggaan sebagai masyarakat Turki sebagai bagian dari entitas etno-kultural yang lebih luas Bozdaglioglu, 2003: 98. Adanya peningkatan rasa nasionalis di Turki pasca-Perang Dingin ini mendorong para pemimpin politik Turki dan masyarakat sama-sama berpikir menuju terciptanya solidaritas dan persaudaraan Turki Winrow, dalam, Bozdaglioglu, 2003: 96. Masyarakat Turki menjadi merasa bahwa mereka bukanlah komunitas yang hidup sendirian di dunia dan bahwa dengan merangkul Turki lainnya, akan berimplikasi penting secara politis dalam politik regional dan global karena hubungan budaya dan etnis dengan kawasan Asia Tengah. Erdal Inonu, kepala Partai Rakyat Sosial Demokrat SDPP dan menteri negara dalam pemerintah koalisi, berpendapat bahwa: “The profound changes in our northern neighbor will have very important consequences on the Turkic republics as well as on Turkey. Despite all the uncertainties, these new developments are bringing new opportunities and visions to our foreign policy. These changes are also ushering in a new period in which Turkey’s role and political weight will be increased dramatically in the region and in the world dalam, Bozdaglioglu, 2003: 97.” Dengan runtuhnya Uni Soviet, Turki mulai memperluas hubungan politik dan ekonomi dengan republik-republik baru. Yasemin Celik 1999, dalam, Bozdaglioglu, 2003: 97 menyatakan bahwa Ankara ingin menentukan peran barunya pada periode pasca-perang dingin, dengan menggunakan koneksi dengan wilayah tersebut. Walaupun kedekatan Turki dengan negara-negara Asia Tengah—termasuk Azerbaijan—tidak membuat Turki menjadi pengatur kawasan tersebut, kawasan Asia 56 Tengah dapat membawa Turki menjadi terkemuka di dunia Bozdaglioglu, 2003: 98. Dan dengan adanya peningkatan hubungan dengan negara-negara Turkic ini, Turki membuka pusat-pusat budaya dan sekolah di sebagian besar negara-negara Asia Tengah dan menyediakan pelatihan dan memberikan pengarahan teknis pada ribuan pelajar Asia Tengah. Selain itu Turki juga melebarkan penyiaran televisinya untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tengah Larrabee, dalam Kilinç, 2001: 74. Keterlibatannya dalam kawasan di Asia Tengah dimulai Turki dengan serangkaian kunjungan diplomatik intensif yang mengakibatkan penandatanganan kerjasama ekonomi, perjanjian komersial maupun pertukaran budaya. Pada masa pasca-Perang Dingin itu muncul gagasan Pan-Turkisme yang juga kerap dipromosikan secara aktif oleh beberapa kementerian Turki dan Partai Aksi Nasionalis Rouleau, 1993 dalam, Bozdaglioglu, 2003: 98. Turki bercita-cita untuk menjadi Mekah secara kultural bagi kawasan yang dihuni negara-negara berbahasa Turki. Dan untuk mencapai hal itu Turki banyak mengirimkan jurnal, buku, dan juga melebarkan program televisinya ke republik-republik baru yang berada di kawasan Asia Tengah Winrow, dalam, Bozdaglioglu, 2003: 96. Selain itu, walaupun Turki dikenal sebagai negara sekuler yang militan, Turki mengirim sekitar dua puluh ribu eksemplar kitab Al-Quran dan juga mengirimkan pemuka-pemuka agama ke republik-republik tersebut untuk mendapatkan pengaruh yang lebih melalui pendekatan agama Yetkin, 1992, dalam, Bozdaglioglu, 2003: 96. Pendekatan Turki pada republik-republik Asia Tengah selama periode 1989- 1993 ini menunjukkan bahwa banyak keputusan-keputusan kebijakan luar negeri 57 mengenai peran Turki di kawasan tersebut dibentuk dengan tujuan menciptakan “solidaritas etnis. Perdana Menteri Turki saat itu, Suleyman Demirel mengunjungi semua republik-republik Turkic di kawasan tersebut Bozdaglioglu, 2003: 98. Demirel dalam kunjungannya juga menyatakan: “tidak ada yang salah bila Turki menyatakan bahwa Asia Tengah adalah tanah nenek moyang mereka dengan budaya mereka dan sejarah berasal dari sana Winrow, dalam Bozdaglioglu, 2003: 98 Demirel dalam hal ini merunut pada visi bahwa Asia Tengah dan Azerbaijan sebagai sebuah komunitas baru , yakni Eurasia, yang dihuni oleh orang-orang beretnis Turki. Di Azerbaijan sendiri, banyak aktivis misionaris Islam yang masuk ke Azerbaijan. Sejak itu, Dewan Pengurus Masalah Agama Turki Diyanet ˙Is¸leri Bas¸kanlıˇgı yang bergerak di bawah Perdana Menteri Turki menjadi sangat aktif di Azerbaijan. Pada 1992 dewan tersebut bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Azerbaijan dan memberi bantuan dalam pemebentukan Departemen Teologi di Universitas Negeri Baku. Selain itu, dewan tersebut juga mendanai pembangunan beberapa masjid dan juga memberikan beasiswa pada ratusan siswa untuk belajar di Turki. Selain itu, kelompok-kelompok aktivis Islam lain seperti kelompok Nurcu dan Naqshbandiyya juga aktif di Azerbaijan Bedford, dalam Gammer 2008: 205. Hubungan Turki dengan negara-negara Asia Tengah ini menjadi alternatif lain ketika Turki tidak kunjung mendapatkan kesempatan bergabung dengan Uni Eropa. Keengganan Uni Eropa untuk menerima Turki tidak lepas karena adanya perbedaan identitas. Karena permasalahan identitas ini kemudian Turki sejak awal dekade 1990- an melihat negara-negara Asia Tengah, khususnya Azerbaijan untuk menggalang 58 solidaritas dan kerjasama dari negara-negara Asia Tengah yang secara mayoritas dihuni oleh bangsa Turki. Dari negara-negara bangsa Turki tersebut, Republik Turki merupakan yang paling maju secara ekonomi dan politik, sehingga peluang untuk menjadi pemain utama dalam kawasan tersebut menjadi lebih besar. Pada masa itu, persaudaraan dan solidaritas bangsa Turki, antara Republik Turki dengan negara- negara di Asia Tengah merupakan wacana utama dalam kebijakan luar negeri Turki Bozdaglioglu, 2003: 99-100. Namun politik luar negeri Turki terhadap Azerbaijan tidak selalu merunut pada ikatan etnis. Hal ini dapat dilihat melalui kecenderungan Presiden Turgut Ozal pada tengah awal dekade 1990-an yang lebih menekankan pada ikatan agama dalam hubungan Turki dengan Azerbaijan, dimana kedua negara ini dikenal sebagai negara- negara yang dihuni mayoritas muslim Cornell, 2001: 279. III.3. Pengaruh Islam dalam Identitas Turki, Gerakan Islamis di Turki, dan Hubungannya dengan Kedekatan Turki dengan Azerbaijan Pada 1930-an, Rezim Kemalis Tinggi High Kemalist menggunakan etnisitas dan ras, dan juga agama dalam mengidentifikasi identitas bangsa Turki. Pendefinisian identitas ini juga dilakukan para cendekiawan Turki dan disebarkan dalam buku-buku teks sekolah. Di dalamnya dijelaskan bahwa ras mempunyai keterikatan penting dalam hubungan pemerintah Turki dengan warga negaranya. Namun penekanan pada ras ini bukan semata-mata menunjukkan kesamaan karakteristik biologis secara genetis, melainkan untuk menunjukkan etnisitas melalui kesamaan bahasa. Etnisitas 59 Turki sendiri, seperti diutarakan Cagaptay sama dengan Islam Balkan-Anatolia Cagaptay, 2006: 157. Di masa awal sekularisme Turki pada 1930-an, agama membuat batasan etno- nasional Turki antara Muslim Ottoman dengan entitas-entitas lainnya. Seiring dengan adanya batasan etno-nasional tersebut kemudian muncul kebijakan imigrasi, yakni Republik Turki melarang bangsa Armenia yang merupakan komunitas Kristen bekas Ottoman untuk masuk ke Turki. Pemerintahan Turki saat itu memang memarjinalkan komunitas Kristen yang berasal dari bekas kekuasaan Ottoman, terutama yang berasal dari Armenia. Sistem millet, yakni sistem yang menyatukan komunitas relijius Islam di Turki, menjadikan paham Kemalis dalam melihat kaum Muslim yang berada di Balkan, Anatolia, dan Laut Hitam sebagai satu komunitas sebagai orang-orang Turki Cagaptay, 2006: 159. Kaum Kemalis di Turki mempunyai pandangan negatif terhadap Kristenitas, yang membuat adanya eksklusi terhadap warga Kristen, terutama Kristen Armenia. Antagonisme Turki terhadap Kristenitas ini bukan berasal dari intoleransi keagamaan, namun lebih pada rasa nasionalisme Turki. Paham Kemalisme Tinggi High Kemalism memandang Kristenitas sebagai penghinaan terhadap bangsa Turki, yang membuat banyak masyarakat Turki pada masa sekarang memandang Kristenitas sebagai tantangan terhadap identitas nasional mereka. Kristenitas dianggap sebagai tantangan terhadap identitas Islami bangsa Turki Cagaptay, 2006: 139. Setelah sekularisasi Kemalis Turki dilaksanakan, identitas nominal Islam Turki dan juga warisan budaya dari komunitas Muslim yang ada sebelumnya millet 60 menjadi penting dalam mendefinisikan identitas ke-Turki-an. Hal ini terbukti dengan praktek keseharian di Turki, yang memandang kaum Muslim di negara tersebut sebagai masyarakat Turki, dan kaum Kristen sebagai orang asing di Turki Cagaptay, 2006: 156. Karena adanya tatanan identitas yang dirumuskan sejak awal berdirinya Republik Turki, dalam menghadapi isu Nagorno-Karabakh antara Azerbaijan dengan Armenia, Turki menjadi sulit untuk berposisi netral dalam konflik tersebut. Kecenderungan untuk mendukung Azerbaijan juga terjadi karena opini publik Turki yang dengan kuat mendukung Azerbaijan. Media juga mendukung hal tersebut dengan menampilkan gambar-gambar yang menunjukkan banyaknya pengungsi- pengungsi Azerbaijan Cornell, 2001: 183. Turki juga menggunakan afiliasinya dengan negara-negara baru ini di Asia Tengah sebagai keuntungan yang dapat bermanfaat bagi hubungannya dengan Eropa. Perubahan kebijakan ini dapat dilihat pada pernyataan menteri luar negeri Turki Ismail Cem pada 1999: “…the post cold-war political framework witnessed the appearance or the confirmation of several independent states. Out of the multitude of those “new” states, almost all –in the Balkans, in the Caucasus or in Central Asia- are those with whom Turkey shares a common history or a common language and cultural affinity. This provides Turkey with a new international environment of historical, political and economic dimensions. Turkey thus becomes a “center” for the emerging Eurasian reality and constitutes Western Europe’s major historical, cultural and economic opening to Eastern horizons” dalam Kilinç, 2001: 80. 61 Dengan adanya kesempatan baru yang tercipta setelah Perang Dingin ini, kaum Islamis di Turki sangat mendukung opsi untuk merapat ke negara-negara Balkan, Kaukasus, dan Asia Tengah ini, terutama dari kelompok pendukung neo- Ottomanisme, yakni kaum yang mendukung Turki menjadi pusat dari dunia Islam dan menjadi pemain global Yavuz, dalam Kilinç, 2001: 80. Bagi para Islamis Turki, kawasan-kawasan ini yang disebut juga sebagai Eurasia juga merupakan kawasan yang dikategorikan sebagai dunia Islam Kilinç, 2001: 80. Para pendukung neo-Ottomanisme adalah kelompok yang berusaha untuk mencari alternatif baru selain Eropa, dan dengan demikian Eurasia dan dunia Islam mereka anggap sebagai alternatif utama. Dalam penekanan kelompok Islamis secara umum pada saat itu, terdapat perbedaan yang tidak bisa disatukan antara identitas yang melatarbelakangi Islam dan peradaban Eropa, yang merupakan hasil perkembangan dari Kristenitas Kilinç, 2001: 80-81. Munculnya gerakan Islam di Turki sendiri dapat ditilik sejak kudeta militer 1980. Pada saat itu elit militer Turki melihat Islam sebagai benteng terhadap komunisme dan merupakan pengganti bagi ideologi berbasis kelas Sakallıoğlu, 1998: 17. Pemerintahan militer menggunakan sintesis Turki-Islam sebagai ideologi negara yang baru. Hal ini kemudian diwujudkan dengan cetakan baru buku teks bagi masyarakat sipil dan juga sekolah militer. Pada periode selanjutnya, Turgut Özal membawa pada bangkitnya borjuasi pro-Islamis, dengan membuat kebijakan untuk membentuk elit Islamis baru dengan ekspansi media dan pendidikan relijius Yavuz, 1998: 29. 62 Islam menjadi identitas yang cocok untuk menciptakan persatuan di antara masyarakat Turki, termasuk kaum minoritas karena identitas sebagai ‘Turki’ tidak dapat diterima oleh seluruh kelompok etnis yang ada di Turki. Sebagai contoh digunakannya Islam sebagai pemersatu Turki ini adalah bagaimana kaum Kurdi disebut sebagai kaum ‘Turki Gunung’, untuk menjelaskan bahwa suku Kurdi sesungguhnya bukanlah kelompok etnis yang terpisah namun merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai asal-usul ke-Turki-an yang tinggal di daerah pegunungan di Turki Olson, dalam Kayan, 2009: 2. Yavuz dalam Kayan, 2009: 2 melihat bahwa identitas nasional Turki sendiri tidak sekuler secara total, namun masih meninggalkan jejak-jejak Kekaisaran Ottoman. Identitas nasional Turki dibentuk berdasarkan model konsepsi komunitas yang Islami dan disebutkan dalam istilah-istilah Islami. Istilah-istilah ini juga membantu menasionalisasikan identitas Islami yang dimiliki Turki. Istilah-istilah ini meliputi millet yang dahulu digunakan untuk menyebut komunitas relijius di Kekaisaran Ottoman, sekarang digunakan untuk menyebut ‘bangsa’ oleh Republik Turki, vatan untuk menyebut tanah air, gazi sebagai gelar bagi Mustafa Kemal, pada awalnya merunut pada orang-orang yang berjuang demi nama Islam, dan sehid orang yang mati karena membela dan menyebarkan Islam. Saat ini kata-kata tersebut digunakan dalam istilah-istilah nasionalis Turki. Sejak 2002, sebagian besar dari kelompok Islam dan Kurdi mendukung Turki sebagai kandidat anggota Uni Eropa. Dukungan ini muncul dengan adanya anggapan bahwa dengan masuknya Turki dalam Uni Eropa keuntungan tidak hanya berupa 63 kesejaheraan ekonomi, namun juga dapat menormalisasi Turki secara sosial dan politik, seiring dengan anggapan mereka terhadap sekulerisme dan pluralisme yang dipraktikkan oleh Barat adalah lebih demokratis dan mencakup segala hal Koselaban, dalam Kayan, 2009: 3. Ilhan Kayan pada 2009 menulis bahwa kelompok Islam di Turki bersikap lebih lunak terhadap sekulerisme yang dianut Turki, dan mengidentifikasi dirinya sebagai Muslim demokrat, sebagai bentuk Islam dari gerakan Demokratik Kristen di Eropa Kayan, 2009: 3. Di sisi yang lain, adanya kebangkitan identitas Islam menciptakan kesempatan politik baru bagi partai politik Islamis di Turki, yakni dengan munculnya Partai Kesejahteraan RP. Pada pemilu 1995, RP mendapatkan suara 21,4 persen, dan menjadi partai yang berkuasa. Pemilu tersebut melahirkan rezim pemerintahan yang dihuni oleh RP dan DYP Partai Jalan Kebenaran. Adanya identitas Islam yang kuat pada rezim ini kemudian membentuk pola tersendiri dalam kebijakan luar negerinya. Perdana Menteri Erbakan, memprioritaskan pendekatan kembali terhadap dunia Islam. Hal ini dapat dilihat dengan usahanya untuk mengembangkan pengelompokan ekonomi negara-negara Muslim, yakni D-8 yang terdiri dari Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Mesir, Bangladesh, Nigeria dan Turki, sebagai alternatif terhadap kelompok G-7 Kilinç, 2001: 57. Namun Erbakan dalam kebijakan-kebijakannya selalu bertindak hati-hati untuk tidak merusak hubungan Turki dengan Barat Larrabee, dalam Kilinç, 2001: 57. Pada 28 Februari 1997, Dewan Keamanan Nasional memkasa pemerintah untuk membuat undang-undang baru untuk mencegah munculnya gerakan-gerakan Islam yang dapat 64 mengganggu sekulerisme yang dianut oleh Republik Turki. Dan karenanya Partai Kesejahteraan menjadi partai terlarang dengan keputusan yang diambil Dewan Konstitusional pada 1998. Setelah itu muncul Partai Kebajikan FP pada tahun yang sama, yang kemudian juga dilarang pada Juni 2001 oleh Dewan Konstitusional. Rasionalisasi dari pelarangan dua partai ini adalah bahwa kedua partai tersebut menunjukkan gejala untuk membawa Turki menuju dunia Islam menjadikan identitas Turki dan Eropa menjadi saling berseberangan untuk dapat terintegrasi secara berdampingan Kilinç, 2001: 57. Setelah dilarangnya Partai Kebajikan, identitas Islam di panggung politik menjadi terbagi dalam dua partai, yakni Partai Kebahagiaan dan Partai Keadilan dan Kemajuan AKP. Partai Kebahagian tetap berteguh pada ide kebijakan luar negeri yang diwarisi dari Partai Kesejahteraan dan Partai Kebajikan, sedangkan AKP berusaha untuk memposisikan dirinya sebagai partai kanan-tengah pada politik di Turki. Selain itu AKP juga memiliki agenda untuk mewujudkan keanggotaan Turki dalam Uni Eropa Kilinç, 2001: 58. Identitas Islam di Turki saat ini pada masa penulisan penelitian ini, 2011 diwakili oleh Partai Kesejahteraan RP dan Partai Keadilan dan Kemajuan AKP, Adalet ve Kal kınma Partisi di panggung politik, dan juga beberapa kelompok Islami yang disebut tarikat , perusahaan media seperti Kanal 7, STV, Yeni Şafak, Zaman dan Akit, serta penulis seperti Ali Bulaç dan İsmet Özel Kilinç, 2001: 29. AKP adalah partai dengan identitas Islam yang menerima hak asasi manusia, demokrasi, dan peraturan hukum sebagai nilai-nilai universal, dan dengan hal ini 65 AKP juga mengadopsi nilai-nilai barat dengan tetap berkomitmen pada akar Islaminya. AKP merupakan partai yang pro dengan kebijakan Eropa yang juga dapat melegitimasi kebijakan pemerintah Turki dihadapan elit Turki lainnnya, namun juga di mata sistem internasional. Selama periode pertama pemerintahannya AKP telah melakukan perubahan signifikan dalam politik dan ekonomi untuk mengonsolidasikan demokrasi Turki agar sejalan dengan Kriteria Kopenhagen yang dibuat oleh Uni Eropa Cizre, 2008. Dengan semakin sesuainya Turki dengan Kriteria Kopenhagen UE, diharapkan kesempatan Turki untuk berintegrasi dengan UE menjadi semakin dekat. Pada 2002 AKP memenangi pemilihan umum. Kemenangan ini tidak lepas dari sosialisasi gabungan ide-ide nasionalisme, Islam, dan Westernisme dalam ideologi partai tersebut. Tercatat bahwa banyak dari masyarakat yang memilih AKP karena sebagian dari mereka adalah pengangguran, kelaparan, dan terpinggirkan dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik oleh para elit Kemalis terdahulu. Jaringan kelas masyarakat baru ini juga menciptakan pusat politik baru, yakni Recep Tayyip Erdogan sendiri. Erdogan merupakan orang yang tereksklusi dan termarjinalkan oleh rezim terdahulu, dan semakin terpinggirkannya Erdogan membuat dukungan pada dirinya menjadi semakin kuat dan menjadikan Erdogan sebagai simbol bagi kaum yang terpinggirkan Yavuz, 2003: 274. Kemenangan AKP juga tidak lepas dari adanya urban class baru di Turki, yang sebelumnya merupakan kelas masyarakat yang tereksklusi dari kultur dan ekonomi yang dilangsungkan elit-elit Kemalis. Kelas masyarakat ini merupakan kelompok 66 yang terhubungkan oleh solidaritas, yang banyak berasal dari daerah pedesaan dengan kesamaan etos Islami di antara mereka. Kelas inilah yang kemudian difasilitasi oleh jaringan yang Islam yang lebih besar untuk mendapatkan mobilisasi sosialnya. Kelas pendukung AKP ini berasal dari berbagai latar belakang, dari guru, polisi, pedagang, dan intelektual-intelektual Islam baru hingga para pengusaha. Namun AKP bukanlah pihak yang memanfaatkan jaringan solidaritas ini sebagai pemilih yang termobilisasi, namun jaringan ini sendiri lah yang dengan solidaritas keagamaannya berusaha untuk meredefinisikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Turki sesuai dengan nilai-nilai ideal yang mereka percayai. Kelompok relijius Islam di Turki bertindak sebagai basis sosial bagi identitas Islami dan memiliki komitmen kuat terhadap keadilan sosial dan partisipasi langsung pada program-program yang diselenggarakan untuk masyarakat umum. AKP menjadi partai yang diidamkan oleh kelompok dan jaringan ini, yang kemudian diterjemahkan ke dalam dukungan politis terhadap AKP Yavuz, 2003: 272. AKP berusaha untuk mengartikulasi ulang etos-etos Islami Ottoman yang menekankan pada semangat bertoleransi, akomodasi, dan keharmonisan agama, kebudayaan, dan pemikiran. Dalam hal ini, AKP juga telah mampu menarik sebagian pemilih sekuler, yang rata-rata adalah kaum urban dan kelas menengah ke atas dengan adanya kepercayaan bahwa AKP dapat memberikan koreksi pada struktur politik sebelumnya yang korup dan otoriter Yavuz, 2003: 275-276. Di samping kelompok-kelompok politisi berorientasi Islam yang mendukung AKP, identitas gabungan yang dimunculkan oleh AKP mempunyai peran penting 67 pada suksesnya partai tersebut dalam pemilu. Identitas gabungan antara Muslim, nasionalisme Turki, dan Westernisme ini memberikan preferensi yang luas bagi pemilihnya, karena memberikan harapan bagi masyakarat Turki dengan identitas- identitas tersebut untuk berinteraksi dengan lebih harmonis. Islamisme AKP memiliki aksen Turki yang kental, yakni berakar pada etos kehidupan komunal Turki Ottoman dan rasa kepemimpinan yang membutuhkan kepatuhan penuh terhadap pemimpin partai yakni Erdogan Yavuz, 2003: 275. AKP berada pada peringkat teratas pemilihan pada provinsi-provinsi yang banyak dihuni oleh Muslim Sunni dan nasionalis Turki. Nasionalisme yang diusung AKP bukan merupakan nasionalisme yang digerakkan oleh negara, sekularis, dan bersifat etno-linguistik, namun lebih pada nasionalisme yang berpusar pada etno- relijius dan berpusat pada masyarakat. Bagi AKP, identitas keagamaan adalah salah satu faktor determinan bagi legitimasinya Yavuz, 2003: 275. Menurut Yavuz, batasan antara nasionalisme Turki dengan Islamisme pada dasarnya hampir tidak ada. Para pendukung kedua identitas ini mempunyai pandangan simbolis yang sama dalam memandang dunia, dan peralihan dari dua kelompok tersebut dapat dikatakan sangat mirip. Batasan antara “kami” dan “mereka”, bagi AKP adalah pada hal keagamaan. Identitas Turki juga didefinisikan dalam hal agama, yakni yang membedakan antara “kami” sebagai kaum yang melayani Tuhan dan masyarakat, dan “mereka” yang melayani Ataturk dan negara Turki itu sendiri. Kemenangan AKP, menunjukkan identitas nasional dan Islamisme tercampur dalam dukungan masyarakat terhadap AKP. Basis normatif yang diusung 68 AKP terdiri dari sintesis Islam Turki dengan adanya wacana-wacana global seperti hak asasi manusia dan demokrasi. Kemenangan AKP pada pemilu 2002 Turki menandai adanya nasionalisasi Turkifikasi dan Westernisasi Islamisme di Turki Yavuz, 2003: 275. III.4. Kebijakan Luar Negeri Turki pada masa AKP Erdogan sebagai pemimpin AKP sangat dekat dengan identitas Islam Turki, juga dalam caranya memandang posisi Turki secara internasional. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Erdogan dalam Yeni Safak dalam Cizre, 2008: 34: “Our [Islamic] civilization enlivened three continents through the means of justice and aesthetics while other civilizations were living in the darkness of the Medieval Age. In spite of the unfortunate interruptions on the road of civilization, however, thankfully, we have managed to rise altogether. We have not rejected our past. We have always remained committed to the spiritual roots that created ourselves. We continue to establish inter- civilizational bridges while reinvigorating the centre [Turkey] of our civilization.” AKP mempunyai identitas Islam tanpa harus mengganggu komunitas internasional dan sekulerisme di Turki dan di saat yang sama memberikan jaminan pada para simpatisannya bahwa Islam tetap memiliki peran penting pada kebijakan dan identitas partai tersebut Cizre, 2008: 86. Ahmet Davuto ğlu, berpendapat bahwa posisi Turki tidak hanya sebagai jembatan namun juga “negara tengah”, yakni dimana Asia, Eropa, dan Timur Tengah bertemu. Hal ini kemudian membawa pada perumusan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri Davutoğlu, yakni: 69 - Demokratisasi tanpa membahayakan keamanan dan stabilitas pelebaran jangkauan kebebasan dan memperkuat legitimasi politik domestik; - Menjaga hubungan baik dengan negara tetangga; - Kebijakan yang proaktif, multidimensional, dan saling melengkapi - Cara diplomasi yang lebih percaya diri - Transisi dari diplomasi yang statis menjadi ritmis dalam meningkatkan pengaruh Turki dalam organisasi internasional untuk menjadi pemain global dalam Cizre, 2008: 88. Model kebijakan luar negeri ini melihat kekuatan ‘strategis’ dalam geografi menjadi hal yang ditonjolkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri Turki. Duran melihat setidaknya ada dua hal yang menjadikan AKP berbeda dari rezim sebelumnya. Yang pertama adalah AKP percaya bahwa posisi geopolitik Turki dan hubungan kultural dan historisnya menjadikan Turki pemain yang signifikan tidak hanya di Timur Tengah, Asia Tengah, dan negara-negara Balkan namun juga dapat menjadi pemain dunia. Tujuan utama dari pola kebijakan di atas adalah untuk meningkatkan peran Turki dari kekuatan regional menjadi kekuatan global. Yang kedua adalah bahwa kebijakan luar negeri Turki sebelumnya yang didasarkan pada ketakutan dan ketidakamanan yang dihasilkan oleh letak geografisnya, harus diganti dengan faktor lain seperti menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga di kawasan dan menjadi contoh bagi dunia Islam yang lebih luas. Penekanan pada ‘menjadi contoh bagi dunia Islam yang lebih luas’ menunjukkan identitas dan afiliasi 70 terhadap Islam yang dimiliki AKP sebagai partai yang berkuasa Duran, 2006, dalam Cizre, 2008: 88. Dalam pandangan Ahmet Davutoğlu, menteri luar negeri sekaligus kepala penasehat perdana menteri, kebijakan luar negeri tidak lagi dipandang sebagai sebagai rangkaian hubungan bilateral atau praktek kebijakan luar negeri biasa, namun lebih sebagai rangkaian proses yang dapat saling memperkuat dan mempertautkan satu sama lain. Untuk mencapai hal ini dalam jangka panjang dan dalam perspektif strategis, maka perlu memperhatikan “kedalaman historis” historical depth yakni yang berhubungan dengan keterkaitan di masa lalu, masa sekarang, dan di masa depan, dan juga “kedalaman geografis” geographical depth yang dapat digunakan untuk memasuki hubungan-hubungan secara domestik, regional, dan global Davutoğlu, dalam Ŏniş, 2009: 9. Faktor-faktor geo-kultural, geo-politik, dan geo- ekonomi dari sebuah negara hanya dapat diinterpretasikan dengan paradigma historis dan geografis ini. Selain itu Davutoğlu juga melihat bahwa jika Turki tidak memiliki akar yang kuat di Asia, maka Turki juga mempunyai kesempatan yang semakin terbatas dalam integrasi ke dalam Uni Eropa Ŏniş, 2009: 9. Davutoglu dalam merumuskan kebijakan luar negerinya juga melihat kekayaan kultural sejak runtuhnya kekaisaran Ottoman, karena banyaknya pengungsi yang datang dari mayoritas kawasan Muslim seperti Caucasus, Balkan, Timur Tengah. Para pendatang tersebut memiliki peran dalam membentuk kultur Turki modern. Davutoglu menganggap Turki merupakan pusat pertemuan dari kultur-kultur yang berbeda ini: 71 “Therefore, when Turkey started successful state building process following the collapse of Ottoman Empire, it had an intense population growth due to the number of refugees fleeing from neighboring regions. People having arrived from Caucasus, the Balkans, Middle East, as well as small groups of Iraqi Turkmens and Anatolian people have their own role in the daily life of modern Turkey - a country reflecting different cultural tracks under the title of Turkish state. The geography of Turkey harmonizes the cultural tracks. Turkey is an attractive center in its own region; its cultural capital - Istanbul geographically embraces two continents and at the same time is considered a city of Middle East, Black Sea and Mediterranean region. In terms of influential role of country, Turkey belongs to Middle East, the Balkans, the Caucasus, Central Asia, Caspian regions, as well as Mediterranean, Gulf and Black Sea regions. Considering this situation, Turkey should define its role as a peripheral country as part of its history and develop its new role: for not only itself, but also for the security and stability in the neighboring regions. Turkey should play more active and constructive role to ensure discipline, stability and security in its neighborhood and hence, establish secure and stabile environment for itself” dalam Valiyev, 2010: 128. Davutoglu juga banyak mengeluarkan pernyataan dengan wacana-wacana di atas, yakni wacana-wacana mengenai Turki sebagai pusat dari persinggungan peradaban, sehingga dapat menyebarkan pengaruhnya ke kawasan yang lebih luas. Marder 2010 melihat hal ini sebagai kebijakan yang menunjukkan kecenderungan post-imperialisme. Dalam merumuskan kebijakan luar negeri Turki, Davutoglu memandang Azerbaijan bukan sebagai negara tetangga Turki, namun sebagai negara dalam wilayah geopolitik Turki. Dalam bukunya “Strategic Depth” Davutoglu memandang geopolitik Turki menjadi tiga ruang: 1. Wilayah dekat batas daratan: Negara-negara Balkan – Timur Tengah – Kaukasus. 72 2. Wilayah dekat batas laut: Laut Hitam – Laut Adriatik – Laut Putih Timur – Laut Merah – Kawasan Teluk – Laut Kaspia. 3. Wilayah dekat benua: Eropa – Afrika Utara – Asia Tengah – Asia Tengah dan Asia Timur. Davutoglu melihat kekuatan Turki ada pada latar belakang sejarah dan lokasi geografis, dan posisi Azerbaijan berada pada dua dari tiga jangkauan geopolitik tersebut, secara langsung dapat berkontribusi pada penyusunan kebijakan luar negeri dan perlindungan terhadap integritas internal. Bagi Turki, Azerbaijan termasuk dalam Asia Barat, sebagai pintu bagi Turki menuju Asia Tengah, Laut Kaspia, dan kawasan Kaukasus pada koridor utara-selatan Valiyev, 2010: 122. Davutoglu menyebutkan Azerbaijan sebagai sekutu penting di kawasan Kaukasus secara keseluruhan dan khususnya Kaukasus Selatan. Davutoglu melihat bahwa Turki tidak akan bisa meningkatkan jangkauan pengaruhnya menuju kawasan Laut Kaspia jika Azerbaijan tidak memiliki posisi regional yang kuat di Kaukasus Valiyev, 2010: 127. Azerbaijan merupakan kunci dari hubungan antara Turki dengan negara-negara kawasan Asia Tengah. Azerbaijan merupakan negara yang paling kaya akan sumber daya alam minyak dan gas, dibanding negara-negara lain di kawasan tersebut. Putusnya hubungan dengan Azerbaijan akan menyebabkan hubungan dengan negara- negara Asia Tengah lain menjadi tidak signifikan, dan hal ini adalah sesuatu yang dihindari Turki, mengingat negara-negara Asia Tengah merupakan negara-negara yang kaya akan sumber daya alam minyak dan gas Bozdaglioglu, 2003: 103. 73 Davutoglu juga melihat masa lalu Turki sebagai Kekaisaran Ottoman adalah sebuah aset. Davutoglu melihat perlunya Turki untuk menjadi ‘pewaris natural’ bagi Kekaisaran “yang pernah menyatukan dunia Muslim dan dengannya juga memiliki potensi untuk menjadi kekuatan regional Muslim Marder, 2010: 21. Marder menambahkan bahwa dengan masyarakat muslim yang besar dan kekayaan historis pada masa Kekaisaran Ottoman, Islam merupakan bagian dari kebijakan luar negeri AKP sebagai sebuah perangkat. Kebijakan Turki pada rezim AKP yang membawa nama Islam tidak akan berlawanan dengan kepentingan nasional Marder, 2010: 21. Marder 2010: 24 menilai Turki pada masa AKP menggunakan kombinasi Islam, politik tradisional Turki dan liberalisme untuk mempertahankan kekuatan dan pengaruh Turki dalam skala global. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri Turki yang juga dekat dengan kebudayaan Islam adalah diplomasi yang oportunistik. Disebut oportunistik karena kebudayaan Islam dalam praktek kebijakan luar negerinya, juga digunakan untuk mencapai keuntungan-keuntungan ekonomi dan politik. Cohen Yanarocak dalam Marder, 2010: 24 menyatakan bahwa kebijakan Turki yang berorientasi regional mengindikasikan kebangkitan ide-ide Ottoman. AKP menjadi penting dalam penulisan penelitian ini, karena adanya kemajuan dalam kerjasama energi, ekonomi, sosial, dan politik yang dilakukan Turki terhadap negara-negara di Asia Tengah, terutama Azerbaijan, banyak terjadi pada masa pemerintahan AKP. Terlebih proyek pembangunan jalur pipa di kawasan Asia Tengah merupakan langkah-langkah yang banyak dilakukan oleh AKP, dengan 74 banyak mengarahkan sumber daya energi Asia Tengah menuju pasar Eropa Dikkaya dan Özyakışır, 2008 Marder juga melihat bahwa penawaran Turki terhadap Armenia untuk merealisasi pembukaan hubungan diplomatik dengan mengembalikan Nagorno- Karabakh pada Azerbaijan yang merupakan etnis Turkic dan juga Muslim, mengindikasikan bahwa Islam merupakan alat yang dapat digunakan Turki di kawasan Kaukasus sesuai dengan kebutuhannya. Islam merupakan perangkat bagi Turki untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan stabilitas regional 2010: 22. Walaupun dikenal sebagai negara sekuler, Turki pada masa sekulerisasinya menggunakan Islam untuk mendefinisikan identitas ke-Turki-an pada warga negaranya, yang juga menentukan pola interaksi masyarakat di Republik Turki dengan masyarakat Turkic Islam yang ada di Asia Tengah secara keseluruhan. Azerbaijan merupakan saudara terdekat dari identitas ini, dan dapat menjadi pembuka bagi Turki untuk memperluas pengaruhnya ke negara-negara Asia Tengah secara keseluruhan. Dengan masa pemerintahan AKP, hubungan dengan Azerbaijan dan keinginan untuk menjadi berpengaruh di Asia Tengah menjadi lebih intens. Kedekatan AKP dengan identitas Islam menjadi alat untuk menjaga kedekatan Turki dengan Azerbaijan. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan Turki sebagai negara yang lebih relijius. Seperti yang dinyatakan oleh Marder 2010: 21, bahwa Turki pada dasarnya masih merupakan negara sekuler, namun AKP menggunakan Islam sebagai alat untuk mewujudkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan negara 75 dan mendapatkan dukungan dari masyarakat Turki yang belakangan lebih banyak mengidentifikasi dirinya sebagai Muslim. 76

BAB IV Faktor-faktor yang Menjadikan Azerbaijan sebagai Penghambat bagi