IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Sifat Kimia Abu Terbang
Abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ESP Electrostatic Precipitator yang merupakan abu terbang segar dan abu terbang
dari landfiil berumur 6 bulan dan 5 tahun yang sudah tertimbun oleh tanah. Pada ketiga abu terbang ini memiliki perbedaan warna, yang dapat dilihat pada Gambar
Lampiran 6. Hasil analisis untuk mengetahui sifat kimia abu terbang yang digunakan
dalam penelitian ini baik sebelum maupun sesudah proses perkolasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis kimia total abu terbang sebelum dan setelah melalui proses perkolasi selama 3 bulan
Parameter Abu Terbang
Segar Abu Terbang
6 bulan Abu Terbang
5 tahun Awal
Setelah Awal
Setelah Awal
Setelah Tercuci
Tercuci Tercuci
pH H
2
O 1:2 11,1
8,0 9,4
7,7 8,4
7,4 EC 1:2 dSm
-1
3,12 0,31
0,76 0,23
0,39 0,12
K ppm 150
125 100
75 50
25 Na ppm
1808 1199
1572 1050
751 478
Ca ppm 1780
759 808
386 559
414 Mg ppm
82 28
48 15
34 12
Fe ppm 648
646 528
525 453
404 Cu ppm
12 11
6 5
4 4
Zn ppm 30
28 24
22 22
21 Mn ppm
223 223
198 197
158 157
Cr ppm 14
13 13
12 2
2 Ni ppm
40 38
38 37
31 30
Pada analisis awal terlihat bahwa abu terbang memiliki pH 11,1 pada abu terbang dari segar, pH 9,4 pada abu terbang berumur 6 bulan, dan 8,4 pada abu
terbang berumur 5 tahun. Hal ini mengindikasi bahwa abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini bersifat basa. Sifat abu terbang semacam ini dapat
menetralisir tanah masam. Oleh karena itu, pengaplikasian abu terbang untuk
tanah pertanian masam dapat meningkatkan pH tanah Aktar, 2008. Selanjutnya berdasarkan penelitian Rosmanah et al. 2004 diketahui bahwa abu batubara
dapat digunakan sebagai bahan baku penetral pH pada air asam tambang batubara. Hasil analisis awal menunjukkan bahwa pH abu terbang segar lebih tinggi
dibanding pH abu terbang dari landfiil, yang terdiri dari abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Hal ini diduga abu terbang segar belum mengalami proses
pencucian di landfiil. Nilai pH abu terbang pada dasarnya ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara. Bahan induk batubara dengan kandungan sulfur
tinggi akan menghasilkan abu terbang dengan pH yang bersifat masam, sedangkan batubara dengan kandungan sulfur rendah akan menghasilkan abu terbang dengan
pH bersifat alkalis Haynes, 2009. Berdasarkan hal tersebut, PLTU Suralaya menggunakan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah, sehingga
menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalis. Daya hantar listrik merupakan salah satu parameter yang dipakai untuk
mengukur akumulasi garam Anwar dan Sudadi, 2007. Nilai DHL pada analisis awal abu terbang segar sebesar 3,12 dSm
-1
lebih tinggi dibanding nilai DHL abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun, yang berturut-turut bernilai 0,76 dSm
-1
dan 0,39 dSm
-1
Tabel 1. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pathan et al. 2003, yang menunjukkan bahwa abu terbang segar memiliki nilai
DHL sebesar 1,3 dSm
-1
lebih tinggi bila dibanding dengan nilai DHL abu terbang yang telah mengalami proses pencucian abu terbang berumur 3 tahun, nilai
DHL=0,51 dSm
-1
dan abu terbang berumur 3 bulan memiliki DHL sebesar 0,59 dSm
-1
. Penurunan nilai pH dan DHL pada abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun
diperkirakan terjadi karena adanya proses pencucian di landfiil, sehingga kandungan kimianya akan terus menerus berkurang bergantung dengan semakin
lamanya abu terbang tersebut berada di landfiil. Hal ini sejalan dengan penelitian Haynes 2009 yang menyatakan bahwa proses pencucian menyebabkan
berkurangnya garam-garam terlarut dan menurunkan pH. Partikel abu terbang yang sangat halus dan bersifat porous berkontribusi terhadap tingkat pencucian
yang tinggi.
Nilai pH dan DHL dalam abu terbang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perannya sebagai pembenah tanah atau bahan amelioran,
karena pH berpengaruh terhadap mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi
bahan organik serta penyediaan unsur hara bagi tanaman Hardjowigeno, 2007. Selanjutnya Haynes 2009 juga menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap
mobilitas dan kelarutan logam essensial dan non essensial di dalam tanah. Abu terbang diketahui memiliki jumlah kation-kation basa seperti kalsium
Ca, magnesium Mg, kalium K, dan natrium Na yang tinggi. Kalsium merupakan kation yang terdapat dalam abu terbang dalam jumlah yang tinggi.
Hasil analisis awal kimia total menunjukkan bahwa kadar kalsium abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun tersebut secara berurutan 1780
ppm Ca, 808 ppm Ca, dan 559 ppm Ca. Sedangkan kadar magnesium pada abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun secara berurutan adalah
82 ppm Mg, 48 ppm Mg, dan 34 ppm Mg. Tinggi rendahnya kadar kalsium dan magnesium yang dikandung menentukan tipe abu terbang itu sendiri. Dikenal dua
jenis abu terbang, yaitu abu terbang kelas C dan kelas F. Abu terbang kelas C memiliki kandungan kapur yang tinggi CaO dan MgO 15, sedangkan kelas F
memiliki kandungan kapur yang lebih rendah dibandingkan kelas C CaO dan MgO 10 Haynes, 2009. Berdasarkan pada analisis diketahui bahwa
kandungan CaO dalam abu terbang ini sebesar 0,25 dan kandungan MgO sebesar 0,014 , sehingga dapat dikatakan bahwa abu terbang yang digunakan
dalam penelitian ini termasuk abu terbang kelas F. Unsur natrium merupakan kation basa yang kandungannya paling tinggi
pada analisis awal abu terbang. Kadar natrium pada analisis awal kimia total dari abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun secara berurutan
adalah 1808 ppm Na, 1572 ppm Na, dan 751 ppm Na, sedangkan kadar kalium secara berurutan adalah 150 ppm K, 100 ppm K, dan 50 ppm K. Kadar kalium dan
natrium pada abu terbang segar paling tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh, semakin lama abu terbang diletakkan di landfiil
, semakin sedikit kandungan unsur Ca, Mg, K, dan Na dalam abu terbang.
Hal ini diduga bahwa abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun telah mengalami proses pencucian. Selain itu, dalam abu terbang terdapat oksida-oksida, seperti
Na
2
O, K
2
O, CaO, dan MgO. Pada abu terbang di landfill, oksida-oksida tersebut akan bereaksi dengan CO
2
di atmosfer, sehingga membentuk natrium karbonat, kalium karbonat, kalsium karbonat, dan magnesium karbonat. Senyawa-senyawa
tersebut lebih stabil dibanding oksida-oksidanya, terutama magnesium karbonat MgCO
3
dan kalsium karbonat CaCO
3
. Hal ini yang menyebabkan kandungan basa-basa K, Na, Ca, dan Mg pada abu terbang berumur 5 tahun di landfill
masih ada, dapat dilihat pada Tabel 1. Unsur mikro merupakan unsur hara yang terdapat di tanah dan dibutuhkan
oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Unsur besi Fe, mangan Mn, seng Zn, dan tembaga Cu merupakan contoh unsur-unsur mikro essensial. Kadar unsur mikro
tertinggi yang dikandung abu terbang adalah Fe. Kadar Fe pada abu terbang dari ESP, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 648
ppm Fe, 528 ppm Fe, dan 453 ppm Fe. Mangan Mn merupakan unsur logam yang cukup tinggi kedua setelah Fe
berdasarkan hasil analisis. Kadar mangan pada abu terbang dari ESP, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 223 ppm Mn, 198 ppm
Mn, dan 158 ppm Mn. Menurut Swaine 1955 dalam Labanauskas, 1975, kadar mangan dalam tanah berkisar antara 200-3000 ppm, dan rata-rata sekitar 600 ppm
dalam tanah. Hal ini dapat dikatakan bahwa kadar mangan dalam abu terbang ini tergolong rendah.
Tembaga Cu dan seng Zn pada abu terbang terdapat dalam jumlah sedikit. Kadar Cu pada abu terbang dari ESP, 6 bulan, dan 5 tahun secara
berurutan adalah 12 ppm Cu, 6 ppm Cu, dan 4 ppm Cu, sedangkan nilai Zn secara berurutan adalah 30 ppm Zn, 24 ppm Zn, dan 22 ppm Zn. Berdasarkan hasil
analisis abu terbang ini kandungan Cu paling rendah diantara unsur mikro yang lainnya. Menurut Swaine 1955 dalam Labanauskas, 1975, kadar tembaga dalam
tanah berkisar antara 2-100 ppm. Kadar unsur mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu pada analisis awal abu terbang
segar lebih tinggi dibanding abu terbang pada landfiil, yang terdiri dari abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Abu terbang mengandung unsur logam berat antara lain kromium Cr, timbal Pb, nikel Ni, dan kadmium Cd. Oleh sebab itu abu terbang
dikategorikan sebagai limbah beracun dan berbahaya bagi tanah, apabila kadar unsur-unsur tersebut di atas batas ambang yang dapat ditolerir oleh tanah.
Berdasarkan Iskandar et al. 2008, kadar logam berat nikel Ni dan kromium Cr merupakan kandungan tertinggi pada abu terbang dibanding logam berat
yang lainnya, sehingga pada analisis logam berat yang dihitung hanya nilai Cr dan Ni. Hasil analisis kadar total logam abu terbang ditampilkan pada Tabel 1. Kadar
kromium pada abu terbang segar, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 14 ppm Cr, 13 ppm Cr, dan 2 ppm Cr, sedangkan kadar
nikel secara berurutan adalah 40 ppm Ni, 38 ppm Ni, dan 31 ppm Ni. Dari analisis terlihat bahwa abu terbang mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman
dan logam-logam yang bersifat toksik seperti Cr dan Ni apabila dalam konsentrasi yang tinggi. Secara keseluruhan konsentrasi total logam pada abu
terbang segar lebih tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Kadar nikel dan kromium pada abu terbang ini tergolong rendah. Hal ini sesuai
dengan penelitian dari Swaine 1955 dalam Pratt, 1975 yang menyatakan bahwa kadar kromium dalam tanah berkisar antara 5-1000 ppm Cr. Oleh karena itu kadar
kromium pada abu terbang dalam penelitian ini yang hanya 14 ppm tidak bersifat toksik terhadap tanah.
Swaine 1955 dalam Vanselow, 1975 menyatakan bahwa kadar nikel dalam tanah berkisar antara 5-500 ppm Ni, dan rata-rata sekitar 100 ppm Ni dalam
tanah. Kadar Ni dalam abu terbang ini sebesar 40 ppm, ini jauh di bawah batas ambang yang dapat ditolerir dalam tanah, sehingga abu terbang ini tidak termasuk
dalam limbah yang toksik terhadap tanah. Tabel 1 menunjukkan analisis awal kimia total abu terbang dan setelah
melalui proses perkolasi selama 3 bulan, pH abu terbang dari ESP menjadi 8,0 dari 11,1 , pH abu terbang berumur 6 bulan menjadi 7,7 dari 9,4, dan pH abu
terbang berumur 5 tahun menjadi 7,4 dari 8,4. Hal ini menunjukkan bahwa setelah mengalami proses perkolasi selama 3 bulan, ketiga pH abu terbang tersebut
menurun, bila
dibandingkan dengan
analisis awal.
Data analisis
menginformasikan bahwa proses perkolasi dapat menurunkan pH.
Nilai DHL setelah mengalami proses perkolasi adalah abu terbang segar 0,31 dSm
-1
lebih tinggi dibanding nilai DHL abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun, yang berturut-turut bernilai 0,23 dSm
-1
dan 0,12 dSm
-1
Tabel 1. Nilai DHL menurun setelah mengalami proses perkolasi. Hal ini berpengaruh terhadap
konsentrasi unsur makro dan mikro yang rata-rata menurun pula. Kadar Ca, K, Na, dan Mg pada analisis abu terbang setelah mengalami
proses perkolasi menurun dibanding analisis awal abu terbang. Hal ini diduga adanya proses pencucian yang mengakibatkan menurunkan konsentrasi unsur
makro dalam abu terbang. Selisih antara analisis awal pada kadar unsur Fe, Mn, Zn, Cu, Cr, dan Ni dengan analisis setelah mengalami proses perkolasi hanya
kecil. Hal ini dapat diduga bahwa pada saat proses perkolasi unsur-unsur tersebut tercuci dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga tidak dapat terukur oleh alat.
Pada analisis pendahuluan abu terbang kadar unsur Fe, Mn, Zn, Cu, Cr, dan Ni lebih kecil dibanding unsur makronya K, Na, Mg, Ca, ini dapat dilihat pada
Tabel 1. Abu terbang mengandung unsur-unsur yang diperlukan tanaman, seperti K,
Mg, Ca, Fe, dan Mn, sehingga abu terbang dapat dibandingkan dengan pupuk yang ada di pasaran. Tabel 2 merupakan perbandingan kandungan abu terbang
dengan pupuk kalium klorida, kalium sulfat, kieserit, kapur tohor, fero sulfat, dan mangan oksida.
Tabel 2. Perbandingan kandungan abu terbang dengan pupuk kalium klorida, kalium sulfat, kieserit, kapur tohor, fero sulfat, dan mangan oksida
Parameter Setara dengan Pupuk dalam gram
KCl K
2
SO
4
MgSO
4
CaO FeSO
4
MnO
1 Kg abu terbang
segar 0,29-0,30
0,64-0,67 0,47
2,54 3,24-3,41
0,33-0,54 1 Kg abu
terbang berumur 6
bulan 0,19- 0,20
0,43- 0,45 0,27
1,15 2,64-2,78
0,29-0,48 1 Kg abu
terbang berumur 5
tahun 0,09-0,10
0,21-0,22 0,20
0,80 2,27-2,38
0,23-0,39
Hasil perhitungan Tabel 2 berdasarkan pada Tabel Lampiran 3 dan Tabel Lampiran 4, yang menunjukkan bahwa 1 kg abu terbang segar setara dengan 2,54
gram kapur tohor dan 1 kg abu terbang segar setara dengan 3,24-3,41 gram pupuk fero sulfat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Dari data tersebut dapat dikatakan
bahwa abu terbang masih potensial untuk dikembangkan dalam bidang pertaian, tetapi kandungan logam berat harus menjadi perhatian.
4.2. Analisis Sifat Kimia Perkolat 4.2.1. Kemasaman Larutan pH dan Daya Hantar Listrik DHL