Klasifikasi Diabetes Melitus Diabetes Mellitus

diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa Guyton 1997. Menurut Mistra 2004, penyebab DM antara lain:  Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia  Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi dan lemak tinggi  Kebiasaan merokok  Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM turunan  Stres menghadapi hidup atau persoalan lain  Kegemukan  Kerusakan kelenjar panreas tidak lagi memproduksi hormon insulin atau sedikit memproduksi hormon tersebut DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka. Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang, meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM kemudian. Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer, disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal.

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Misnadiarly 2006, Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu Diabetes Tipe I yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus Dependen-Insulin IDDM dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin NIDDM. Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi insulin berlebihan Spector 1993; a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus Dependen- Insulin IDDM adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin Ganong 2002. Biasanya produksi insulin ada atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta Dallimutthe 2004. Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam kuantitas danatau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik, immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi. Menurut PERKENI 2002, Diabetes Mellitus tipe I memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan antibodi sel islet, 10 ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50 terjadi pada kembar identik Misnadiarly 2006. b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non- Dependen Insulin NIDDM diduga terjadi akibat insufisiensi insulin dan retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor insulin, maka transport glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM sama dengan diabetes tipe I. Perbedaannya adalah Diabetes Mellitus tipe II disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini disebut resisten terhadap insulin Dallimutthe 2004. Menurut PERKENI 2002, karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30 ada riwayat diabetes pada keluarga, 100 terjadi pada kembar identik. Menurut Soehadi 1989, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan NIDDM, yaitu: 1. Faktor pankreas: - Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin yang abnormal dan secara biologis kurang aktif. - Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin. - Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi insulin belum memadai jumlahnya. 2. Faktor darah: - Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap insulin. - Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma. - Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang merusak insulin. - Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain. - Meningkatnya lemak darah. 3. Faktor perifer: - Jumlah reseptor insulin di sel berkurang antara 20.000-30.000 buah: pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal jumlah reseptor 35.000 buahsel. - Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak dapat bekerja secara efektif. - Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler terganggu. 4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2 dan 3. Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri dan glukosuria. 2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air. Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya benda- benda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma Ressang 1984. Pada keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton Mutschler 1991. Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang Soehadi 1989. Mistra 2004 menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut:  Berat badan menurun walaupun makan dalam porsi yang tetap  Kadang, berat badan cenderung bertambah  Gatal-gatal pada kelamin luar  Sering buang air kecil terutama pada malam hari  Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada kaki dan tangan  Cepat merasa lapar atau haus  Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata  Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg  Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama  Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi  Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati atau campuran keduanya Soehadi 1989. Jika berjalan dalam jangka lama, jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama. Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh komplikasi yang panjang Spector 1993. Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang biasanya diikuti kelumpuhan dan stroke, kerusakan pembuluh-pembuluh darah periferal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal nephropati, kerusakan saraf neuropati yang dapat menyebabkan kelumpuhan paralisis, impoten, dan penyakit mata retinopati karena retina mata penderita retinopati diabetik terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau keseluruhan penglihatannya. Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus, penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan orang non-Diabetes Mellitus. Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi, namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya Soehadi 1989. Menurut Mistra 2004, seringnya terjadi penyeburan gula di dalam pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara global. Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ- organ tubuh bagian dalam komplikasi. Berikut ini komplikasi yang mungkin terjadi saat terkena DM:  Gangguan atau kerusakan jantung  Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke  Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi  Gangguan atau kerusakan paru-paru TBC  Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering kesemutan atau pegal sebelah tubuh  Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal  Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada lensa mata atau kebutaan total  Gangren atau jika luka lama sembuhnya dan cenderung terus membusuk. Kadang berujung pada vonis amputasi  Pada wanita hamil dapat berakibat keguguran, bayi lahir mati, keracunan kelahiran, bayi lahir dengan berat sampai 5 kg, dan terlalu banyak air ketuban. 2.1.5 Diagnosa Diabetes Melitus Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly 2006; 1. Kadar glukosa darah sewaktu plasma vena ≥ 200 mgdl atau 2. Kadar glukosa darah puasa plasma vena ≥ 126 mgdl atau 3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mgdl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral. Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah Guyton 1997. Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mgdl, dan 110 mgdl dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Penderita diabetes hampir selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mgdl, bahkan diatas 140 mgdl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM.

2.1.6 Patologi Diabetes Melitus