The Change Modes of Production and Potential Conflict in Fishermen Community (Case Study of Fishermen Community in Bugis Sape District Bima West Nusa Tenggara).

(1)

PERUBAHAN MODA PRODUKSI DAN

POTENSI KONFLIK PADA KALANGAN NELAYAN

(Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat)

SYAHDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Moda Produksi dan Potensi Konflik pada Kalangan Nelayan (Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013 Syahdin NIM I353110021


(4)

RINGKASAN

SYAHDIN. Perubahan Moda Produksi dan Potensi Konflik pada Kalangan Nelayan (Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat). Dibimbing oleh RILUS A KINSENG dan DJUARA P LUBIS.

Modernisasi perikanan yang selalu menekankan pentingnya alih teknologi lambat laun telah mengakibatkan perubahan moda produksi pada hampir seluruh masyarakat nelayan. Perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan berupa peralihan alat-alat produksi, cara-cara produksi dan pola-pola hubungan produksi dari cara produksi tradisional ke cara produksi yang lebih modern disatu sisi memang terbukti menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif dan efisien serta jangkauan melaut lebih luas sehingga memungkinkan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang lebih memuaskan. Disisi lain perubahan moda produksi nelayan sebagai dampak dari modernisasi perikanan juga telah memunculkan berbagai permasalahan baru pada kalangan nelayan, misalnya hanya nelayan yang memiliki modal besar saja yang mampu mengakses alat produksi modern sedangkan nelayan kecil tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan dan semakin termarginalkan karena tidak mampu mengakses alat produksi modern.

Studi ini hendak nenelusuri bagaimana dan sejauh manakah pengaruh perubahan moda produksi nelayan terhadap perubahan struktur sosial dan perubahan pola hubungan produksi serta potensi konflik pada kalangan nelayan. Hasil studi ini mengungkapkan bahwa perubahan moda produksi nelayan berdampak pada perubahan struktur sosial pada komunitas nelayan. Penggunaan armada penangkapan modern membutuhkan modal yang sangat besar dan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan skil khusus dalam kegiatan produksi, hal ini membuat kelompok nelayan yang memiliki modal besar berada pada struktur sosial paling atas, begitupun bagi nelayan yang memiliki skill dan keahlian akan menempati posisi khusus dalam struktur sosial komunitas nelayan. Studi ini juga mengungkapkan bahwa setelah terjadinya perubahan moda produksi pada komunitas nelayan Bugis Sape, hubungan produksi nelayan berubah menjadi hubungan produksi yang cenderung bersifat eksploitatif terhadap nelayan kecil.

Perubahan moda produksi juga telah menimbulkan berbagai potensi konflik pada komunitas nelayan. Adapun potensi konflik yang mengemuka pada kasus komunitas nelayan di wilayah perairan laut Bugis Sape dapat dijabarkan dalam dua ranah potensi konflik yaitu Pertama, potensi konflik antar armada penangkapan umumnya disebabkan karena adanya tumpang tindih pemanfaatan wilayah penangkapan antara armada penangkapan modern dengan armada penangkapan tradisional dan perbedaan alat tangkap dan cara produksi antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang. Kedua, potensi konflik dalam pola hubungan produksi. Potensi konflik ini dapat terjadi antara pemilik modal dengan pemilik armada penangkapan atau antara pemilik armada dengan buruh nelayan yang cenderung memperlihatkan pola hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap nelayan kecil dan buruh nelayan. Realitas yang dialami oleh nelayan kecil tersebut semakin memperkuat argumentasi Marx yang menjelaskan bahwa dengan berkembangnya moda produksi kapitalis akan terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara mereka yang menguasai modal dan alat produksi dengan para pekerja.


(5)

Untuk menghindari dampak negatif dari modernisasi perikanan dan bergulirnya perubahan moda produksi pada hampir seluruh masyarakat nelayan, maka harus diiringi dengan upaya-upaya sebagai berikut : Pertama, memperhatikan kondisi stratifikasi sosial dalam komunitas nelayan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa hanya kelas nelayan besar (pemilik modal) saja yang mampu mengakses alat produksi modern sedangkan nelayan kecil tetap berada pada posisi yang tidak menguntungkan bahkan menjadi sasaran eksploitasi para pemilik modal. Dengan demikian, upaya modernisasi moda produksi nelayan harus diarahkan sepenuhnya guna memberikan peluang kepada nelayan kecil untuk memperbaiki taraf hidupnya agar mereka memiliki peluang untuk melakukan mobilitas vertikal. Kedua, meminimalisir terjadinya hubungan eksploitasi dalam pola hubungan produksi antar nelayan besar dan nelayan kecil. Ketiga, perlu adanya aturan dan kesepakatan yang mendapatkan legalitas yang kuat terkait dengan sistem upah dan tata cara pemanfaatan wilayah perairan laut untuk menghindari terjadinya eksploitasi dan pelanggaran serta tumpang tindih dalam pemanfaatan wilayah penangkapan, sehingga dapat meminimalisir potensi konflik antar nelayan.

Kata kunci : perubahan moda produksi nelayan, perubahan struktur sosial, potensi konflik, komunitas nelayan Bugis


(6)

SUMMARY

SYAHDIN. The Change Modes of Production and Potential Conflict in Fishermen Community (Case Study of Fishermen Community in Bugis Sape District Bima West Nusa Tenggara). Supervised by RILUS A KINSENG and DJUARA P LUBIS.

Fisheries modernization has always emphasized the importance of technology transfer has gradually resulted in changes in the modes of production of almost all fishermen community. Changes in modes of production on fishermen community in the form of intermediate production tools, means of production and patterns of production relations of the traditional mode of production to a more modern mode of production on the one hand, has proven to make the work more effective and efficient fisherman and thus a wider range of sea allow fisherman to get a more satisfying catch. The other side changes in modes of production as a result of modernization fisherman fishing has also led to new problems on the fisherman, for example, only fisherman who have big capital are able to access modern means of production while the small fisherman remain in a disadvantageous position and increasingly marginalized because they can not access to modern means of production.

This study was about nenelusuri how and to what extent the effect of changing modes of production to changes in the social structure of fisherman and changes in the pattern of relations of production and the potential for conflict in fishermen community. Results of this study revealed that the mode of production changes fisherman resulted in a change in the social structure of fisherman community. The use of modern fishing fleet requires huge capital and skilled labor and specialized skills in production, it makes the group fisherman who have big capital are at the top of the social structure, as well for fishermen who have the skill and expertise will occupy a special position in the social structure of fisherman community. The study also revealed that after the change in the mode of production Sape Bugis fisherman community, fisherman production relations turn into relations of production which tends to be exploitative of the small fisherman.

The change modes of production also has led to various potentials conflict in fisherman community. The potential conflicts which arise in the case of fisherman community in sea area Bugis Sape can be described in two domains potential conflict is the First, potential conflicts between the fishing fleet is generally caused due to the use of fishing grounds overlap between modern fishing fleet with a fleet of traditional fishing tools and differences fishing and production methods among local fisherman with outsiders. Second, potential conflicts in the pattern of production relations. Potential conflicts can occur between the owners of capital with the owner or the owner's fishing fleet with fleet of fishing boat workers who tend to exhibit a pattern of exploitative relations of the fishermen and fisherman workers. Reality experienced by small fisherman strengthened the argument of Marx explained that with the development of the capitalist mode of production will very much be a gap between the people who control capital and means of production with the workers.


(7)

To avoid the negative impacts of fisheries modernization and change the scrolling mode of production in almost all fishing communities, it must be accompanied by the following measures: First, attention to the condition of social stratification in fishing communities. This study shows that only a big fishing class (capitalists) are able to access modern means of production while the small fishermen remain at a disadvantage even targeted exploitation of the owners of capital. Thus, the mode of production modernization effort should be directed wholly fishermen in order to provide opportunities to small fishermen to improve their standard of living so that they have the opportunity to perform vertical mobility. Second, minimize the exploitation of relationships in the relationship between the production of big and small fishing fisherman. Third, there needs to be rules and agreements that get associated with a strong legal system and procedure utilization wage sea area to prevent exploitation and abuse as well overlap in fishing area utilization, so as to minimize potential conflicts between fishermen.

Keywords : change mode of production fishermen, change of social structure, potential of conflict, Bugis fishermen community


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

PERUBAHAN MODA PRODUKSI DAN

POTENSI KONFLIK PADA KALANGAN NELAYAN

(Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat)

SYAHDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(10)

(11)

(12)

Judul Tesis : Perubahan Moda Produksi dan Potensi Konflik pada Kalangan Nelayan (Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat)

Nama : Syahdin NIM : I353110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rilus A Kinseng, MA Ketua

Dr Ir Djuara P Lubis, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr


(13)

PRAKATA

Alhamdulilahirobbil „alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Maret 2013 ini ialah perubahan moda produksi nelayan, dengan judul Perubahan Moda Produksi dan Potensi Konflik pada Kalangan Nelayan (Studi Kasus pada Nelayan Bugis Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat).

Dalam kesempatan yang mulia ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Dr. Arif Satria, SP, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi. Terimakasih pula kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.ScAgr selaku ketua program studi Sosiologi Pedesaan yang selalu menyemangati dan mendukung penyelesaian studi para mahasiswa. Terimakasih pula pada para dosen Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan hikmah ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga.

Terimakasih pula kepada Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bima dan Ketua Program Studi Ilmu Sosiologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bima. Khusus untuk Dr. Amran Amir, Drs. H Darwis, M.Si dan Drs. Abubakar, terimakasih atas rekomendasi studi dan bantuan moril yang telah diberikan. Tak lupa pula ucapan terimakasih kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima, Kepala Satuan Kerja Pangkalan Pendaratan Ikan Bugis Sape, Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Sape, Camat Sape, Kades Bugis, tokoh masyarakat, tokoh nelayan dan para informan yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

Terimakasih tak terhingga kepada orang tua Ridwan Har dan Rosnani Jumat atas doa, perhatian dan kasih sayangnya. Demikian pula kepada mertua Adnan Abdullah dan Sumarni Abakar, Saudara tercinta Sri Kasih dan Adik-adik tersayang Sunartin, Nur Fatanah dan M Rasul. Khusus kepada rekan-rekan Program Studi Sosiologi Pedesaan anggkatan 2011: Rai Sita, Elok, Prima, Ica, Melly, Nining, Ipul, Amir dan Doni terimakasih atas kebersamaan dan diskusi yang bermamfaat. Rekan-rekan di asrama mahasiswa Nusa Tenggara Barat, rekan-rekan di Forum Ikatan Mahasiswa Nusa Tenggara Barat dan rekan-rekan di Organisasi Mahasiswa Daerah Bima terimaksih atas kehangatan persaudaraan dan suasana kekeluargaan yang terjalin.

Special thanks for Isteri tercinta Annisa Fajraini serta ananda tersayang Najwa Asyifa dan Ansar Satria terimakasih atas kesabaran, kasih sayang serta doa dan motivasinya. Semoga Allah subhanahu wa ta‟ala selalu melimpahkan keberkahan rizki, kesehatan, umur dan ilmu kepada kita semua.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013 Syahdin


(14)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Perumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... II PENDEKATAN TEORITIS

Moda Produksi ... Tipe-Tipe Moda Produksi ... Moda Produksi Nelayan ... Modernisasi ...

Modernisasi Pada Kalangan Nelayan ... Dampak Modernisasi ... Masyarakat Nelayan ...

Sruktur Dan Relasi Kelas Nelayan ... Konflik Nelayan ... Kerangka Pemikiran ... Hipotesis Penelitian ... Batasan Konsep ... III METODELOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian ... Metode Penelitian ... Teknik Pengumpulan Data ... Analisis Data ... IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak dan Kondisi Geografis ... Keadaan Penduduk ... Sarana Prasarana dan Kondisi Pemukinam ... Kondisi Sosial Budaya ... Karakteristik Komunitas ... Sumberdaya Perikanan ...

Perkembangan Armada Penangkapan ... Perkembangan Alat Tangkap ... Jumlah Rumah Tangga Perikanan ... Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ... Mekanisme Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan ... Iktisar ... x xi xii 1 3 3 3 4 4 5 6 7 9 11 12 13 15 16 17 17 18 18 19 19 20 21 22 24 25 25 26 27 28 28 29


(15)

Halaman V PERUBAHAN MODA PRODUKSI NELAYAN

Masa Penggunaan Armada Penangkapan Tradisional Perahu

Layar dan Perahu Dayung Sebelum Tahun (1970-an) ... Pola Hubungan Produksi Nelayan ... Struktur dan Formasi Sosial Nelayan ... Perubahan Moda Produksi Nelayan antara Tahun (1970an-1980an)...

Peralihan Armada Penangkapan Perahu Layar ke Armada

Penangkapan Perahu Mesin Tempel ... Perubahan Alat Produksi ... Relasi Produksi dan Pola Bagi Hasil ... Peralihan armada Penangkapan Perahu Mesin Tempel ke Armada Penangkapan Perahu Payangdan Kapal Motor > 100 GT ...

Perubahan Alat Produksi ... Relasi Produksi dan Pola Bagi Hasil ... Pola Bagi Hasil pada Armada Penangkapan Perahu Payang ... Pola Bagi Hasil pada Armda Penangkapan Kapal Motor ... Ikhtisar ... VI DAMPAK PERUBAHAN MODA PRODUKSI NELAYAN

Struktur Sosial Masyarakat Nelayan ... Perubahan Struktur dan Formasi Sosial Nelayan ...

Perubahan Struktur dan Formasi Sosial Nelayan dari Pengunaan Armada Penangkapan Perahu Dayung dan Perahu Layar ke

Armada Penangkapan Perahu Mesin Tempel ... Perubahan Struktur dan Formasi Sosial Nelayan dari Penggunaan Armada Penangkapan Perahu Mesin Tempel ke Armada

Penangkapan Perahu Payang dan Kapal Motor >100 GT ... Stratifikasi Kelas Nelayan ... Potensi Konflik Antar Nelayan ...

Potensi Konflik Dalam Pola Hubungan Poduksi ... Potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada

armada penangkapan Perahu Layar (Bose) ... Potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada

armada penangkapan perahu Mesin Tempel (Sope) ... Potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada

armada penangkapan perahu Payang (Jonso) ... Potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada

armada penangkapan Kapal Motor >100 GT ... Potensi Konflik Antar Armada Penangkapan ...

Potensi konflik yang dipicu oleh tumpang tindih

pemanfaatan wilayah penangkapan... Potensi konflik yang dipicu oleh perbedaan alat tangkap

dan cara produksi ... Ikhtisar ... 30 32 33 34 35 35 37 39 39 41 43 44 45 47 49 59 52 54 55 56 56 57 58 60 61 62 62 64


(16)

Halaman VII KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... GLOSSARIUM ... LAMPIRAN ... RIWAYAT HIDUP ...

65 67 69 71 74 89


(17)

DAFTAR TABEL

No Halaman

5 26 27 31 36 38 38 40 42 44 45

46 51 53 54 1. Tipe-tipe moda produksi ...

2. Perkembangan jumlah armada penangkapan yang operasional di wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya periode tahun 2003 s/d 2012 ... 3. Perkembangan jumlah alat tangkap yang operasional di wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya pada periode tahun 2003 s/d 2012 ... 4. Spesifikasi armada penangkapan pearahu dayung (Lopi) dan perahu layar (Bose)... 5. Perubahan alat produksi nelayan dari armada penangkapan

perahu layar ke armada penangkapan perahu mesin tempel... 6. Pola bagi hasil pada perahu mesin tempel (Sope) dengan alat tangkap jaring tembang ... 7. Pola bagi hasil pada perahu mesin tempel (Sope) dengan alat tangkap jaring rampus ... 8. Perubahan alat produksi nelayan dari armda penangkapan

perahu mesin tempel ke armada penangkapan perahu payang dan kapal motor > 100 GT ... 9. Pola hubungan produksi nelayan dari armada penangkapan perahu mesin tempel ke armada penangkapan perahu payang dan kapal motor >100 GT ... 10. Pola bagi hasil yang diterapkan pada armada penangkapan Perahu Payang ... 11 . Pola bagi hasil yang diterapkan pada armada penangkapan kapal motor >100 GT ... 12. Peraalihan jenis dan spesifikasi armada penangkapan dari

armada penangkapan tradisional Lopi dan Soma sampai pada armda penangkapan modern perahu payang dan kapal motor >100 GT ... 13. Perubahan struktur dan formasi sosial nelayan dari pengunaan armada penangkapan perahu dayung dan perahu layar ke armada penangkapan perahu mesin tempel... 14. Perubaha struktur dan formasi sosial nelayan dari pengunaan armada penangkapan perahu mesin tempel ke armada penangkapan perahu payang dan kapal motor > 100 GT ... 15. Pola stratifikasi kelas nelayan pemilik dan buruh nelayan pada


(18)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

16 20 21 22 28 57 58 59 60 63 1. Kerangka pemikiran ...

2. Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdasarakan jenis mata pencaharian tahun 2013 ... 3. Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013... 4. Jenis bangunan rumah nelayan di Desa Bugis tahun 2013... 5. Jumlah dan persentase rumah tangga perikanan di Desa Bugis tahun 2013... 6. Gejala ekploitasi dan potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada armada penangkapan perhau layar (Bose) ... 7. Gejala ekploitasi dan potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada armada penangkapan perahu mesin tempel ... 8. Gejala ekploitasi dan potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada armada penangkapan perahu payang ... 9. Gejala ekploitasi dan potensi konflik dalam pola hubungan produksi pada armada penangkapan kapal motor >100GT... 10. Gambaran potensi konflik antar armda penangkapan di


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

74 76

77 78 79 80 82 83 84 85

86 87 88

1. Data informan …...……….

2. Data informan kunci …...……… 3. Peraturan- perastuaran terkait dengan jalur penangkapan dan

alat tangkap yang dapat digunakan dalam kegiatan

penangkapan ikan ………..

4. Aturan lokal nelayan di wilayah perairan laut Desa Bugis dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ………... 5. Pedoman pengumpulan data di lapangan …...…………..

6. Panduan wawancara ………..

7. Peta daerah penelitian ………... 8. Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdasarakan

jenis mata pencaharian tahun 2013…...………... 9. Jumlah rumah tangga perikanan di Desa Bugis tahun 2013 ... 10. Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdaarkan tingkat pendidikan tahun 2013... 11. Perkembangan jumlah armada penangkapan yang operasional di wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya pada periode tahun 2003 s/d 2012 ……...……… 12. Perkembangan jumlah alat tangkap yang operasional di

wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya Pada periode tahun 2003 s/d 2012 ………..……… 13. Foto-foto daerah penelitian ………..………..


(20)

(21)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data Dirjen Perikanan tahun 2012 menunjukan bahwa potensi perikanan dan kelautan Indonesia berkisar antara 15 sampai 20 juta ton/tahun dengan nilai ekonomi mencapai 720 trilyun. Fakta tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi sumberdaya dan kekayaan laut Indonesia, apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana semestinya dapat mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat nelayan yang mayoritas berada dalam pusaran kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 merilis, jumlah masyarakat pesisir miskin yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 7,87 juta jiwa atau sekitar 25,14 persen dari total keseluruhan penduduk miskin di Indonesia.

Kenyataan tersebut semakin menegaskan bahwa masyarakat nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Hal ini senada dengan Masyhuri (2000) yang menyatakan bahwa komunitas nelayan merupakan golongan yang paling miskin di antara komunitas masyarakat lainya. Selanjutnya Kinseng (2011) mempertegas bahwa nelayan kerap berada pada posisi yang lemah dan termarginalkan, sehinga mereka semakin terjebak dalam lilitan kemiskinan.

Untuk mengatasi berbagai masalah nelayan tersebut, modernisasi perikanan menjadi salah satu pilihan sebagai solusinya. Berkembangnya modernisasi dikalangan masyarakat nelayan sebenarnya telah berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia, dimulai sejak tahun 1970-an melalui bentuk kapitalisasi perikanan (Satria, 2001). Bahkan menurut Masyhuri (2000) modernisasi telah dimulai sejak awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar. Modernisasi tersebut berlangsung terus sampai saat ini dengan berbagai inovasi alat tangkap dan modifikasi berbagai alat produksi. Modernisasi perikanan yang dicanangkan oleh pemerintah dimaksudkan sebagai bentuk perhatian serta peningkatan kesejahteraan nelayan disamping untuk peningkatan produksi sebagai pemenuhan kebutuhan ikan dalam konteks nasional maupun regional dan lokal.

Program tersebut dijalankan lewat berbagai macam bantuan dan modifikasi sarana penangkapan, pemberian kredit bergulir masyarakat pesisir, penyuluhan lingkungan pesisir dan berbagai macam program lainnya. Intervensi pemerintah melaui program Revolusi Biru ditanggapi beragam oleh berbagai kelompok masyarakat nelayan. Dalam komunitas nelayan perubahan yang nampak adalah berubahnya pola kerja dan pola stratifikasi sosial nelayan. Perubahan strtatifikasi juga terjadi pada organisasi penangkapan sebagai implikasi dari alih teknologi tersebut, sehingga kelembagaan nelayan yang telah terbangun sebelumnya mengalami perubahan (Satria, 2001).

Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam komunitas. Program motorisasi perahu dan modernisasi perikanan tangkap yang dilancarkan


(22)

2

sejak awal tahun 1980-an yang dikenal dengan istilah Revolusi Biru, menurut Solihin (2005) bukannya membuat nelayan menjadi sejahtera namun program tersebut justru menciptakan kompleksitas permasalahan perikanan yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Permasalahan yang muncul ialah terjadi degradasi ekosistem lingkungan pesisir dan laut yang berujung pada kelangkaan sumber daya ikan. Terjadi pula dampak lanjutan yaitu kemiskinan nelayan, kesenjangan sosial, dan akhirnya konflik antar nelayan yang berkepanjangan hingga saat ini.

Damapk dari modernisasi perikanan ini menjadi fokus perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, nelayan Bugis Sape masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, dimana salah satu cirinya adalah struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang dominan setara. Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa kemudahan akses sumberdaya ekonomi dan alat produksi hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan. Kemampuan mengakses alat produksi oleh sebagian kecil nelayan tersebut mendorong terjadinya ketimpangan dalam pemilikan alat produksi dan pola hubungan produksi antar nelayan.

Urgensi modernisasi perikanan adalah melalui perbaikan teknologi atau alat tangkap, dan mengefektifakn cara produksi guna meningkatkan hasil produksi dan selanjutnya diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan nelayan. Modernisasi perikanan yang selalu menekankan pentingnya alih teknologi lambat laun telah mengakibatkan perubahan moda produksi (mode of production) pada hampir seluruh masyarakat nelayan. Perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan merupakan peralihan alat-alat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara tradisional ke cara produksi yang lebih modern (Masyhuri, 2001).

Perubahan moda produksi nelayan lewat modernisasi alat produksi, cara produksi, serta munculnya berbagai inovasi memang terbukti telah menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif dan efisien, serta jangkauan melaut lebih luas sehingga memungkinkan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang lebih banyak. Sejalan dengan argumen tersebut, Satria (2001) juga menggambarkan bahwa dampak positif kelangsungan modernisasi perikanan pada kalangan nelayan antara lain : Pertama, Terjadinya peningkatan produksi perikanan. Kedua, meningkatnya pendapatan nelayan dan Ketiga, mendorong tersedianya lapangan kerja baru.

Namun disisi lain perubahan moda produksi nelayan akibat modernisasi perikanan juga telah menciptakan berbagai permasalahan baru pada kalangan nelayan sendiri. Akibat dari modernisasi dikalangan masyarakat nelayan ditengarai telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan sosial serta memicu potensi konflik pada masyarakat nelayan. Hal ini diperkuat oleh Mubyarto (1994) yang menemukan aspek negatif dari modernisasi dalam masyarakat nelayan, dimana nelayan kecil semakin tereksploitasi dan termarginalkan karena tidak mampu mengakses teknologi baru yang berbajet tinggi. Perubahan moda produksi nelayan berupa modernisasi kapal dan alat tangkap juga dinilai hanya menguntungkan nelayan besar (pemilik modal), sementara nelayan kecil (buruh) tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan. Misalnya dalam Mansyuri (2001) yang menunjukan dampak negatif modernisasi perikanan yakni hanya pemlik


(23)

3 modal yang mampu mengakses Alat produksi modern sehingga nelayan kecil semakin termarginalkan karena tidak mampu mengakses alat produksi.

Perubahan moda produksi nelayan sebagai dampak dari modernisasi perikana dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan nelayan, justru sebaliknya dapat menjadi penyebab kemiskinan dan termarjinalnya masyarakat nelayan itu sendiri, khususnya bagi nelayan kecil. Peningkatan produksi akibat perubahan moda produksi pada kalangan nelayan hanya memberikan keuntungan pada pemilik alat produksi modern yang hanya dapat diakses oleh nelayan besar (pemilik modal). Selanjutnya Perubahan moda produksi sebagai hasil modernisasi perikanan juga dapat mendorong terbentuknya ketimpangan struktur sosial dan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan kecil dan nelayan besar (Kapitalis) yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik antar nelayan.

Perumusan Masalah

Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmanakah pengaruh perubahan moda produksi akibat modernisasi perikanan dapat memicu perubahan struktur sosial serta potensi konflik pada masyarakat nelayan. Secara spesifik maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh perubahan moda produksi terhadap struktur sosial masyarakat nelayan ?

2. Bagaimanakah perubahan relasi kerja masyarakat nelayan akibat perubahan moda produksi ?

3. Sejauh manakah potensi konflik yang akan muncul sebagai akibat dari perubahan moda produksi nelayan ?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum penelitian ini ialah menelusuri dan menganalisis perubahan struktur sosial serta potensi konflik yang muncul akibat perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan di desa Bugis, kecamatan Sape, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :

1. Perubahan struktur sosial masyarakat nelayan yang diakibatkan oleh perubahan moda produksi nelayan.

2. Perubahan relasi kerja masyarakat nelayan setelah perubahan moda produksi nelayan.

3. Potensi konflik yang muncul sebagai akibat dari perubahan moda produksi nelayan serta menganalisis faktor-faktor pemicunya.

Manfaat Penelitian

Secara umum, hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan sosiologi pedesaan, khususnya tentang kajian perubahan moda produksi dikalangan masyarakat nelayan. Dengan adanya studi ini diharapkan pengambil kebijakan dapat lebih tepat untuk merumuskan


(24)

4

kebijakan terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat nelayan. Secara khusus, hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dampak perubahan moda produksi terhadap perubahan formasi sosial dan perubahan relasi kerja serta potensi konflik pada masyarakat nelayan sebagai sisi negatif dari modernisasi perikanan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Moda Produksi

Moda Produksi merepresentasikan „cara‟ yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) guna menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan material (Fajar, 2009). Dengan demikian, moda produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut Shanin dalam (Fajar, 2009) menjabarkan bahwa moda produksi terdiri dari : Pertama, kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan Kedua, hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior dan posisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Dengan demikian antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi saling tergantung (interdependence).

Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari : kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi serta peralatan, perlengkapan, bangunan, teknologi, tanah, dan energi. Dengan kata lain, secara ringkas kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari “keterampilan pekerja” dan “alat produksi” (means of production). Sementara hubungan sosial produksi terdiri dari hubungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Hubungan sosial tersebut mencakup : pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat.

Russel (1989) lebih khusus mengkaji tentang moda produksi kelas, dimana pada masyarakat yang menjalankan moda produksi kelas ketidaksetaraan kekuasaan akan sanagat mudah dilihat pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah bersaing dengan usaha besar. Marx dalam Suseno (2001) menjelaskan bahwa tendensi yang muncul pada moda produksi kapitalis adalah terpisahnya alat produksi (means of production) dari tenaga kerja. Dalam situasi ini akan terjadi transformasi tenaga kerja menuju tenaga kerja upahan (wage-labor) dan transformasi alat produksi menuju modal (capital).

Tipe-Tipe Moda Produksi

Dengan acuan utama pada hubungan sosial dalam produksi, Russel (1989) mengemukakan ada 3 (tiga) tipe moda produksi yang berbeda, yaitu : Pertama,


(25)

5 Tipe Egalitarian, Kedua, Tipe Kelas, dan Ketiga, Tipe Transisi. Berikut dijabarkan tiga tipe moda produksi tersebut dalam tabel 1.

Selanjutnya, Marx dalam Suseno (2001) menjelaskan bahwa dalam moda produksi kelas, suatu kelas (minoritas) yang memiliki hak-hak istimewa (privileged class) akan menguasi atau mengontrol alat produksi penting serta akan mengeksploitasi tenaga kerja. Dalam hal ini eksploitasi dilakukan para minoritas dengan cara membayar buruh kurang dari nilai murni barang-barang yang diproduksi sehingga mereka dapat memaksa kelas pekerja berada dalam posisi subordinat dan bergantung pada kelas atas.

Moda Produksi Nelayan

Menurut Masyhuri (2001) moda produksi (mode of production) dikalangan nelayan merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat produksi, cara-cara produksi dan pola-pola hubungan produksi yang terjadi dalam masyarakat nelayan. Jadi dapat dijabarkan bahwa perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan yaitu peralihan alat-alat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara tradisional ke cara produksi yang lebih modern.

Tabel 1 Tipe-tipe moda produksi

1. Tipe Egalitarian (Egalitarian Types)

a. Komunal (comunal) Disusun oleh keku atan yang masih dasar dan hubungan produksi egalitarian yang sederhana b. Komunis (comunist) Disusun oleh kekuatan yang maju dan hubungan

produksi egalitarian yang komplek 2. Tipe Kelas (Clas types)

a. Negara (State) Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyarakat (rest society)

b. Budak (Slave) Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak

c. Feodal (Feudal) Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa dari para petani (peasant)

d. Kapitalis (Capitalist) Didasarkan atas pemilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja

3. Tipe Transisi (Transitional types)

a. Petani Bebas

(Independent Peasant)

Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi atau dikelompokkan di desa, memiliki lahan sendiri

b. Pemilik Sederhana

(Siple Property)

Berdasarkan atas rumahtangga dengan pemilikan alat produksi yang tidak setara dalam hal lahan dan ternak, tetapi hubungan sosial produksi tidak mengeksploitasi aktor lain

c. Sosialist (Sosialist) Berdsarkan pemilikan oleh negara atas alat-lat produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan social


(26)

6

Perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan dengan peralihan cara produksi tradisional ke cara produksi yang lebih modern, berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat nelayan, misalnya perubahan cara produksi dari menggunakan perahu tradisional yang hanya menggunakan dayung kemudian beralih menggunakan perahu bermesin. Selanjutnya perubahan moda produksi juga akan berimbas pada perubahan struktur dan relasi kerja masyarakat nelayan, misalnya perubahan cara pembagian kerja dari yang sederhana menjadi lebih kompleks dan terstruktur sesuai spesialisasi, keahlian dan kemampuan nelayan, (Satria, 2001)

Perubahan moda produksi berupa modernisasi alat produksi akan beriplikasi pula terhadap pembagian kelas dalam masyarakat nelayan yang diukur berdasarkan kepemilikan alat produksi. Pada masyarakat nelayan, kelas pemilik modal di sebut (nelayan besar/ponggawa) sedangkan kelas pekerja disebut nelayan buruh atau (nelayan kecil) yang tidak mampu mengakses alat-alat produksi dan bergantung kepada nelayan pemilik modal. Bergantungnya nelayan kecil terhadap nelayan besar (pemilik modal) ini seringkali mendorong terjadinya hubungan kerja yang tidak seimbang dan mengarah pada sistem kerja kapitalis yang cenderung eksploitatif terhadap nelayan kecil, (Kinseng, 2011)

Selanjutnya Masyhuri (2001) menguraikan dampak negatif perubahan moda produksi akibat modernisasi perikanan yakni pemlik modal menerima jauh lebih besar keuntungan dari pada nelayan kecil/buruh yang menjual tenaganya. Peningkatan produksi sebagai akibat dari perubahan moda produksi dari yang tradisional ke moda produksi yang modern hanya memberikan keuntungan ekonomis bagi pemilik alat produksi modern (nelayan besar). Sejalan dengan Mubyarto (1994), yang menjelaskan bahwa aspek negatif dari modernisasi dan motorisasi moda produksi dari yang tradisional ke moda produsksi modern dimana nelayan kecil (buruh nelayan) tidak mampu mengakses alat-alat produksi dan hal tersebut menyebabkan ketergantungan nelayan buruh yang sanagat tinggi terhadap pihak juragan (pemilik modal) yang kemudian membuka peluang hubungan kerja yang bersifat eksploitatif.

Modernisasi

Modernisasi secara umum dapat digambarkan sebagai proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Secara istilah, modernisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Modernisasi dalam realitasnya menurut Sajogyo (1985) semakin banyak dipakai dalam pengertian yang lebih sempit dari pembangunan. Dengan kata lain istilah modernisasi dan pembangunan tidak digunakan dalam arti yang sama dan tidak pula mengandung ciri yang sama. Dalam pandangan lain, modernisasi menurut Koentjaraningrat (1982) dapat dipandang sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis.

Modernisasi merupakan salah satu perspektif Sosiologi Pembangunan yang berkembang hingga kini, menurut Suwarsono dan So (1994) merupakan produk sejarah dari tiga peristiwa penting dunia setelah masa perang Dunia II.


(27)

7 Salah satunya adalah dengan munculnya Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan untuk membangun kembali Eropa Barat akibat Perang Dunia II. Seperti dipahami pula bahwa lahirnya perspektif modernisasi tidak lepas dari pengaruh ataupun pemikiran teori evolusi dan teori fungsionalisme struktural. Pemikiran tersebut mendasari pembentukan teori modernisasi. Menurut teori evolusi, perubahan sosial merupakan gerak searah, linier, progresif dan perubahan tersebut berawal dari primitif/tradisional (pra industri) menuju masyarakat modern dan lebih maju. Rostow (Suwarsono dan So, 1994) membedakan fase pertumbuhan ekonomi masyarakat modern merupakan masyarakat yang dicita-citakan.

Dalam modernisasi, diferensiasi struktural menurut Sajogyo (1985) dapat diterapkan pada bermacam-macam bidang kehidupan ataupun aspek kebudayaan. Diferensiasi struktural dalam masyarakat tradisional lebih sederhana dibanding masyarakat modern yang jauh lebih produktif. Sedangkan Chodak dalam Sztompka (2004) mendefinisikan modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan masyarakat, contoh usaha sadar untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi. Dalam proses diferensiasi akibat modernisasi tersebut, Neil J Smelser (Suwarsono dan So, 1994) menekankan pentingnya integrasi (penyatuan) atas struktur baru tersebut. Ciri struktural tersebut berdasarkan pemikiran Talcott Parsons, bahwa diferensiasi disatu pihak meningkatkan otonomi di lain pihak menimbulkan bentuk integrasi baru (Sajogyo, 1985). Oleh karena itu, modernisasi memandang penting kordinasi struktur walaupun tidak dapat diselesaikan secara sempurna.

Dari asumsi tersebut, tergambar bahwa dalam modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Hal tersebut juga didasari pemikiran bahwa modernisasi menganggap keterbelakangan dapat diatasi dengan perubahan sikap tradisional menjadi sikap modern. Dalam mencapai status modern Huntington (Suwarsono dan So,1994)

melihat “modern” dan “tradisional” merupakan bentuk yang asimetris, sehingga

segala yang dianggap tradisional (tidak modern) harus diganti. Dapat dikatakan bahwa penekanan modernisasi terhadap kemajuan serta peningkatan produksi termasuk penanggulangan kemiskinan adalah alih teknologi dan modal disertai oleh perubahan mental modern. Dalam hal ini dapat disimpulkan pula bahwa modernisasi merupakan proses sistematik dan transformatif.

Modernisasi pada Kalangan Nelayan

Sebagai aliran atau paradigma pembangunan, modernisasi menganggap keterbelakangan dapat ditanggulangi dengan transfer teknologi dan modal dari masyarakat modern bagi masyarakat yang dianggap belum modern. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Sztompka (2004) bahwa pengertian relatif modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun oleh elit penguasa. Bertitik tolak dari asumsi modernisasi yang dipengaruhi kedua teori tersebut (teori evolusi dan fungsionalisme struktural), terlihat bahwa tahap kemajuan suatu masyarakat dapat terjadi dengan perubahan teknologi produksi secara mendasar.

Schoorl (1993) menggunakan indikator perluasan penggunaan alat-alat dan sumber energi tak bernyawa untuk melipatgandakan hasil kerja. Sedangkan Weiner dalam Sajogyo (1985) memandang modernisasi sebagai upaya penerapan teknologi oleh manusia untuk menguasai sumber-sumber alam demi menciptakan


(28)

8

peningkatan nyata pertumbuhan hasil. Berbeda dengan ekonom, pendekatan modernisasi bagi sosiolog, menurut Suwarsono dan So (1994) jelas menitikberatkan pada diferensiasi struktural. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami variasi bentuk-bentuk modernisasi oleh Tjondronegoro dalam Sajogyo (1985) antara lain bahwa: pembangunan disamakan dengan modernisasi bahwa unsur teknologi masih diutamakan dan diasumsikan kebaikan tranfer teknologi tersebut akan tersalur.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan modernisasi perikanan adalah pengembangan teknologi berupa motorisasi alat dan bantuan modal perikanan tradisional mejadi sarana yang lebih efektif dan efisien. Secara sederhana menurut Satria, (2001) modernisasi perikanan merupakan peralihan cara-cara tradisional dengan teknologi yang lebih modern. Alih teknologi dapat berupa motorisasi sarana penangkapan lazim diistilahkan dengan Revolusi Biru, serta bantuan permodalan yang masuk pada komunitas nelayan. Salah satu bentuk misalnya pemberian kredit kepemilikan motor. Tujuan pemerintah memberikan kredit perikanan sebagai salah satu bagian modernisasi yaitu meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan. Pada nelayan Bali, Yudana et.al (1991) mencontohkan bahwa modernisasi berupa motorisasi perahu dilakukan karena keinginan untuk dapat melakukan penangkapan pada jangkauan jauh yang lebih banyak memiliki sumber ikan.

Pada awal perkembangannya berbagai program alih teknologi mendapat dukungan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan, misalnya menurut Parlis dalam Hewerning (2003) bahwa program modernisasi perikanan diperkuat oleh Keppres no 39/1980 tentang kredit perikanan pola pangan. Penerapan modernisasi bagi nelayan selalu melibatkan pemerintah, termasuk dengan kewenangannya untuk memaksakan penerimaan dan penggunaan alih teknologi itu bagi nelayan. Program modernisasi sektor perikanan telah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia dan dimulai sejak tahun 1970 melalui bentuk kapitalisasi perikanan (Satria, 2001). Bahkan menurut Masyhuri (2001) modernisasi telah dimulai awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar. Modernisasi tersebut berlangsung terus sampai saat ini dengan berbagai inovasi armada penangkapan nelayan. Upaya modernisasi perikanan pada umumnya dilatar belakangi keinginan pemerintah untuk meningkatkan hasil tangkapan yang berimbas pada kesejahteraan nelayan itu sendiri. Salah satu aspek penting dari modernisasi bidang perikanan ini adalah subtitusi teknik produksi dari cara-cara tradisional kepada cara yang lebih rasional (Kusnadi, 2000).

Urgensi modernisasi perikanan menurut Satria (2002) adalah melalui perbaikan teknologi atau alat tangkap untuk peningkatan produksi karena masih terjadi under capacity. Potensi sumber daya ikan yang ada mengharuskan untuk dilakukan alih teknologi untuk mendukung pemanfaatan dan eksploitasi maksimal potensi tersebut. Pada umumnya peningkatan kualitas sarana penangkapan tersebut didorong oleh upaya meningkatkan produksi perikanan. Sebenarnya modernisasi perikanan melalui perubahan teknologi, bukan hanya terjadi melalui adopsi, akan tetapi menurut Satria (2002) dapat pula melalui inovasi. Artinya penemuan baru dalam masyarakat itu sendiri dapat terjadi antara lain karena kesadaran akan kekurangan dalam kebudayaan, serta rangsangan pendorong mutu, serta ketidakpuasan akan keadaan saat ini (Koentjaraningrat, 1982). Sementara pada beberapa tempat, modernisasi terjadi kerena proses adopsi, seperti halnya


(29)

9 nelayan Pelabuhan Ratu oleh nelayan Bugis (Herwening, 2003), nelayan Pekalongan oleh nelayan Bagan Siapi-api (Satria, 2001).

Dampak Modernisasi

Oleh karena modernisasi menekankan pentingnya alih teknologi, maka pola kerja lama akan berubah pula dalam pola kerja baru. Pola kerja baru tersebut dalam suatu masyarakat maupun komunitas dapat pula berimplikasi pada kehidupan sosial. Satria (2001) menjelaskan bahwa dalam berbagai studi dan kajian menunjukkan bahwa ada pengaruh modernisasi yang sangat kuat terhadap perubahan struktur sosial, yakni terciptanya stratifikasi sosial baru yang sekaligus mendorong terjadinya mobilitas sosial. Penerapan motor tempel pada kegiatan penangkapan ikan di Batu Nampar misalnya, telah berdampak pada; (1) aspek penangkapan ikan (peralihan alat tangkap tradisional menjadi modern) dengan hasil tangkapan lebih banyak, (2) aspek sarana transportasi yang lebih cepat, (3) aspek pengembangan budidaya rumput laut; dapat memperoleh hasil panen yang baik serta pengetahuan akan varietas yang lebih baik (Saba, 2003).

Dari berbagai pengertian modernisasi dapat diidentikan dengan industrialisasi dan berimplikasi pada perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Pada kasus modernisasi pertanian (Revolusi Hijau), Tjondronegoro dalam Satria (2001) menjelaskan terjadi polarisasi sosial karena penguasaan sumberdaya oleh salah satu pihak (tuan tanah) akibat modernisasi, sementara kajian Hayami dan Kikuchi (1987) pada petani Jawa tidak melihat terjadinya polarisasi (meskipun tidak menyangkal) akibat revolusi hijau (alih teknologi). Dalam hal ini menurut Tjondronegoro bahwa penguasaan alat berdampak pada timbulnya proses stratifikasi, penguasaan atas sumber daya dan berbagai fasilitas akan berlangsung terus (Satria, 2001). Akibatnya stratifikasi tersebut menimbulkan suatu polarisasi dalam kehidupan sosial.

Sedangkan bagi Hayami dan Kikuchi (1987) bertambahnya jumlah lapisan atas (tuan tanah) akibat revolusi hijau tersebut belum memandang telah terjadi polarisasi karena masih kuatnya pranata serta ikatan moral. Akan tetapi Hayami dan Kikuchi pun mengkhawatirkan bahwa penetrasi ekonomi pasar pada saatnya akan menghancurkan pranata tersebut. Modernisasi juga bisa mengakibatkan migrasi penduduk besar-besaran oleh penduduk desa di Jawa oleh karena tidak mampu beradaptasi dengan teknologi modern. Akibatnya tenaga kerja sektor pertanian berkurang (Tjondronegoro, 1999).

Pada kalangan nelayan sendiri berbagai penelitian menunjukan bahwa modernisasi perikanan dapat memicu peningkatkan produktivitas hasil tangkapan (Pranadji, 1995; Tim Antropologi Unipad, 1991; Yudana, et.al 1991). Sarana produksi baik alat tangkap maupun kapal hasil modifikasi serta inovasi menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif dan efisien, serta jangkauan melaut lebih jauh pada area dengan sumber ikan lebih banyak. Data mengenai dampak modernisasi telah ditunjukan oleh Bailey dalam Kusnadi (2000) bahwa terjadi peningkatan produksi perikanan nasional. Berdasarkan laporan dari FAO (Widjayanto, 2004) produksi perikanan tangkap Indonesia berada pada peringkat 4 dunia, sedangkan produksi perikanan budi daya pada peringkat 3 dunia. Bahkan Tim Antropolog Unpad (1991) menemukan indikasi bertambahnya motivasi nelayan untuk bekerja lebih giat karena tangkapan yang selalu meningkat, serta pengetahuan akan area penangkapan yang baru.


(30)

10

Satria (2002) juga menggambarkan dampak positif kelangsungan modernisasi perikanan antara lain: (a) terjadinya peningkatan produksi perikanan (b) meningkatnya pendapatan nelayan (c) mendorong tersedianya lapangan kerja baru. Akan tetapi di sisi lain modernisasi perikanan juga telah menciptakan berbagai permasalahan bagi kehidupan nelayan itu sendiri, Solihin (2005) menambahkan dengan tidak menafikan keberhasilan Revolusi Biru, modernisasi perikanan dan pemberian bantuan modal telah berhasil mendongkrak angkaangka produksi perikanan, namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa Revolusi Biru telah menciptakan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan konflik antar nelayan.

Penelitian Mubyarto (1994) menemukan aspek negatif dari motorisasi tidak mampu diadopsi nelayan buruh (pandhiga) yang menyebabkan ketergantungan nelayan yang tinggi pada pihak juragan dan pihak luar tetapi tidak melihat hubungan patron-klien tersebut bersifat eksploitatif. Kajian Pranadji (1995) menyimpulkan bahwa modernisasi perikanan masih bias pada nelayan kaya, sementara nelayan kecil tetap dalam posisi semula. Hal tersebut dapat terjadi karena kelembagaan bagi hasil pada komunitas nelayan tidak memungkinkan nelayan buruh menikmati hasil modernisasi. Kajian lain misalnya Mappawata dan Marzali dalam Satria (2001) juga menunjukan dampak negatif modernisasi perikanan yakni bahwa pemlik modal menerima jauh lebih besar daripada nelayan yang menjual tenaga kerjanya.

Kusnadi (2000) menemukan data peningkatan produksi tersebut hanya memberikan keuntungan ekonomis pada pemilik alat produksi modern baik nelayan maupun bukan nelayan. Berbagai kajian terdapat indikasi bahwa kemiskinan struktural melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya disebabkan oleh faktor kompleks (Satria, 2002; Mubyarto et.al, 1984; Masyhuri et.al, 2000). Faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal akses dan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga oleh dampak modernisasi perikanan.

Penelitian Satria (2001) pada nelayan Pekalongan menyimpulkan bahwa kalangan nelayan strata atas sajalah yang lebih siap untuk memasuki sistem kelembagaan baru. Satari dalam Kusnadi (2000) menggambarkan motorisasi alat tangkap menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan dan juragan. Sementara Solihin (2005) menggambarkan bahwa penggunaan teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengakibatkan terjadinya perubahan mode of production dari sistem tradisional menjadi modern ternyata jauh dari harapan.

Dari sisi keuntungan modernisasi/revolusi biru berupa efektifitas serta meningkatnya hasil tangkapan, Herwening (2003) dalam penelitian pada nelayan Pelabuhan Ratu mencatat potensi ketimpangan bagi hasil, eksploitasi ABK serta potensi konflik lainnya. Beberapa kajian serta penelitian menunjukkan konflik antar nelayan setelah modernisasi misalnya antara nelayan tradisional dengan nelayan modern di Balikpapan (Kinseng, 2009), antar nelayan tradisional dengan nelayan trawl (Satria, 2001), serta konflik nelayan tradisional dengan nelayan perahu sleret (Kusnadi, 2000). Hal ini dikarenakan proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan. Dengan demikian, tujuan awal modernisasi perikanan untuk


(31)

11 meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, namun justru sebagai proses pemiskinan masyarakat nelayan.

Kasus-kasus tersebut tidak dapat dilepaskan sebagai dampak dari penerapan modernisasi itu sendiri. Modernisasi perikanan berupa alih teknologi disatu sisi berdampak positif yakni peningkatan produksi hasil tangkapan ikan, meningkatnya pendapatan nelayan dan pekerjaan nelayan juga menjadi lebih ringan, efektif dan efisien (Satria, 2002, Kusnadi, 2000 dan Solihin, 2005). Akan tetapi disisis lain dampak negatif modernisasi juga tidak dapat dihindari menimpa nelayan. Kenaikan pendapatan ternyata masih bias bagi nelayan lapisan atas (Satria, 2001). Modernisasi juga tidak mampu diadopsi oleh nelayan lapisan buruh (Mubyarto, 1994). Bahkan modernisasi perikanan juga menimbulkan konflik antar nelayan (Kinseng, 2009, Herwening, 2003, Satria, 2001 dan Kusnadi, 2000). Oleh karena itu berbagai kalangan menganggap beberapa kasus modernisasi terkesan hanya sebagai pelaksanaan program pemerintah dalam mendongkrak angka produksi (Solihin, 2005).

Masyarakat Nelayan

Menurut Kamus Besar Indonesia, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Pada pengertian lainnya, Dirjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya. Sedangkan BPS (2001) lebih memperinci bahwa nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya paling sedikit 1 jam sehari secara terus menerus dalam seminggu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama serta aktif menangkap ikan dan sumber hayati laut sebagai mata pencaharian utama.

Bagi nelayan, laut dan ikan merupakan area bebas untuk pemanfaatan sumberdaya milik bersama (common property). Klaim wilayah serta perlakuan terhadap laut seperti halnya tanah tidak mungkin terjadi. Nelayan harus bekerja di laut sebagai sumberdaya terbuka (open access) menyebabkan nelayan harus bekerja keras dengan resiko yang tinggi, misalnya cuaca buruk, serta persaingan kondisi sarana tangkap antar kelompok nelayan yang menyebabkan salah satu kelompok akan terkalahkan, (Satria, 2009).

Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan komunitas lainnya, kehidupan laut dengan segala macam resiko yang mengancam menyebabkan nelayan umumnya bersifat keras dan tegas. Dari segi fisik, misalnya bentuk tubuh nelayan rata-rata berperawakan kekar, serta kulit gelap kecoklatan, hal tersebut dapat dimaklumi karena beratnya pekerjaan sebagai nelayan. Untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan formal yang penting adalah fisik yang kuat untuk melakukan pekerjaan berat, (Mubyarto, 1994).

Berkaitan dengan pola hidup nelayan, Masyhuri (2000) menjelaskan bahwa nelayan sering dikaitkan dengan pola hidup boros, sehingga anggapan atau kesan umum nelayan dianggap miskin, lemah dan kurang mampu mengembangkan diri dan kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri.


(32)

12

Mereka berperilaku agak royal pada kondisi dimana hasil tangkapan cukup banyak, sedangkan pada saat paceklik, nelayan menjual apa saja yang dimilikinya atau mencari pinjaman/hutang. Namun pandangan tersebut belum tentu tepat secara umum.

Struktur dan Relasi Kelas Nelayan

Kinseng, (2011) menggunakan tiga dimensi dalam mengukur struktur kelas dalam masyarakat nelayan yaitu : Pertama, Aset pada alat produksi, Kedua, asset pada organisasi dan Ketiga, Aset pada Kredential yang mirip dengan pendidikan formal. Selanjutnya Kinseng, (2011) menjelaskan bahwa berdasarkan dimensi kepemilikan alat produksi ada dua kelas utama dalam kapitalisme yakni buruh dan kapitalis. Sementara posisi kelas lainya terbentuk akibat distribusi kepemilikan alat produksi tidak merata seperti semi buruh dan pengusaha kecil.

Lebih lanjut Kinseng (2011) mengelompokan nelayan menjadi empat kelas yaitu: Pertama, Kelas buruh nelayan atau yang sering disebut sebagai anak buah kapal (ABK) atau yang sering juga disebut Sawi dalam bahasa Bugis, Kedua, Kelas nelayan Kecil yang biasanya bekerja sendiri atau memperkerjakan 0-3 orang buruh, Ketiga, Kelas nelayan menengah yang biasnaya memperkerjakan 4-10 orang buruh dan yang Keempat, nelayan besar (kapitalis) yang mempekerjakan lebih dari 10 orang buruh.

Selanjutnya Satria (2002) mengelompokan nelayan menjadi 2 (dua) golongan berdasarkan status penguasaan modal yaitu : Nelayan pemilik atau juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual tenaganya sebagai buruh atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK). Sementara Mubyarto (1984) membagi nelayan berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan yakni :

1. Nelayan strata atas (juragan) yang memiliki banyak modal serta sarana penangkapan dengan sejumlah Anak Buah Kapal (ABK).

2. Nelayan starata menengah, yakni yang memiliki sarana penangkapan tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarganya.

3. Nelayan strata bawah (pandega) yang memperoleh penghasilan dari hasil kerjanya sebagai buruh nelayan.

Sedangkan Awaludin (2008) membedakan status nelayan berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Nelayan yang memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan lapisan atas yang disebut Punggawa dan lapisan berikutnya ditempati oleh nelayan yang memiliki keterampilan tinggi dalam melaut yang disebut Juragan sedangkan lapisan paling bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya mengandalkan tenaga dalam penangkapan di sebut Sawi.

Asumsi bahwa relasi dan hubungan patron-klien yang bersifat eksploitatif memang tidak semuanya terjadi pada kehidupan nelayan. Legg dalam Masyhuri (2000) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien tersebut umumnya berkaitan dengan : (a) hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, (b) Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban, (c) hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.


(33)

13 Namun pada umumnya hubungan kerja patron-klien sangat berpengaruh membentuk mentalitas nelayan yang secara ekonomis tergantung pada majikan (nelayan besar). Akibatnya, perasaan berutang budi di kalangan nelayan telah menjadi lingkaran setan yang tak mudah diselesaikan (Kinseng, 2011; mansyuri, 2000). Perasaan hutang budi tersebut terbangun terus menerus sehingga menimbulkan pola hubungan antara pemilik sarana produksi (juragan, ponggawa, tauke) dengan pihak pekerja (anak buah kapal, nelayan, pandega, sawi). Pola hubungan tersebut dapat digolongkan sebagai hubungan patron-klien yang tidak hanya berlaku dalam kegiatan kenelayanan akan tetapi juga dalam kehidupa sehari-hari.

Konflik Nelayan

Dalam menganalisis dinamika konflik antar nelayan. Kinseng (2011) membagi konflik nelayan berdasarkan basis terbentuknya kedalam 3 (tiga) kategori yakni : Pertama, Konflik Kelas yaitu konflik yang terjadi antar kelas nelayan yang berbeda, misalnya antara nelayan buruh dengan nelayan pemilik atau antara nelayan kecil dengan nelayan besar (kapitalis. Kedua, Konflik identitas yaitu konflik yang terjadi antara kelompok nelayan berbasis identitas primordial seperti etnis dan asal daerah atau sering dikenal dengan istilah nelayan local atau pendatang. Ketiga, Konflik alat tangkap yaitu konflik yang terjadi antara kelompok nelayan yang berbasis pada alat tangkap yang berbeda tetapi berada pada tingkat atau level kelas nelayan yang setara, misalnya konflik antara nelayan Parengge dengan nelayan Dogoldi Balikpapan yang merupakan “nelayan kecil”. konflik alat tangkap ini dikenal dengan “gear wars”.

Selanjutnya Kusnadi (2000) mengemukakan bahwa dalam menyikapi kebijakan modernisasi perikanan tidak semua lapisan masyarakat nelayan dapat mengakses peluang yang tersedia, hanya sebagian kecil yang dapat memanfaatkannya. Modernisasi di bidang perikanan selama ini dinilai telah banyak menimbulkan permasalahan dan berujung pada terjadinya konflik dalam usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan. Selanjutnya Satria (2009) membagi tujuh macam konflik pada nelayan, yaitu:

a. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan. Akibatnya ada satu pihak yang memiliki wewenang lebih tinggi, sementara itu ada pihak lainnya yang didominasi.

b. Konflik kepemilikan sumberdaya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu

“ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”.

c. Konflik pengelolaan sumberdaya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah. Akibat dari konflik jenis ini, yaitu: a. Terancamnya keberlanjutan sumberdaya perairan. b. Rusaknya kelestarian lingkungan perairan.

d. Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi karena perbedaan alat tangkap. Konflik ini mengakibatkan rusaknya lingkungan perairan (Hikmah 2008) dan adanya dominasidari nelayan dengan alat tanggap modern pada nelayan tradisional (Kinseng 2007).


(34)

14

e. Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan.

f. Konflik usaha, merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Menurut Hikamah (2008) akibat dari konflik ini, yaitu: a. Kerugian materi. b. Nelayan menjual hasil tangkapan ke pemilik modal dengan harga jauh di bawah harga pasar. c. Nelayan didesak untuk menggunakan Trawl.

g. Konflik primordinal, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, secara etnik, asal daerah, dan seterusnya. Akan tetapi konflik primordinal tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama dalam suatu konflik. Konflik ini mengakibatkan terganggunya akses suatu pihak terhadap sumberdaya.

Selanjutnya Susan (2010), menguraikan beberapa teori yang menjelaskan berbagai penyebab terjadinya konflik yaitu :

a. Teori hubungan masyarakat. Dalam masyarakat yang heterogen sering kali terjadi kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masingmasing kelompok.

b. Teori negosiasi prinsip. Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak. Konflik jenis ini akan semakin rumit dengan adanya perbedaan andangan di antara kedua belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu.

c. Teori kebutuhan manusia. Dalam konflik ini erat kaitannya dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Kabutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan fisik, mental, dan sosial ini harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup manusia. Dalam kasus nelayan di Balikpapan dijelaskan bahwa inti permasalah disebabkan karena terganggunya mata pencaharian nelayan yang pada akhirnya akan memperburuk kehidupan nelayan. Dalam Kinseng (2007)

persoalan pokok ini menyangkut “inti dari kehidupan nelayan” (core of fishermen‟s lifelihood) atau bisa juga dikatakan sebagai sumber kehidupan nelayan.

d. Teori identitas. Dalam sejarah kehidupan manusia, sering terjadi upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan atau apapun karena dendam sejarah karena penderitaan masa lalu.

e. Teori kesalah pahaman antar budaya. Konflik dapat muncul karena kesalahpahaman antar budaya karena kurangnya pengetahuan tentang budaya lain. Selain itu konflik ini muncul juga karena perupaan (sterotype) negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati antar mereka.

f. Teori transformasi konflik. Konflik muncul akibat ketidakstaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.

Selanjutnya menurut Satria (2002), faktor-faktor penyebab konflik pada masyarakat nelayan dapat dijelaskan menjadi 4 (empat) kategori sebagi berikut : a. Faktor ekonomi berhubungan dengan mekanisme harga ataupun sistem bagi


(35)

15 dalam pemanfaatan sumberdaya, persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya, dan kondisi perekonomian masyarakat.

b. Faktor budaya berkaitan dengan perbedaan identitas, tetapi faktor ini tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama suatu konflik.

c. Faktor bio-fisik dapat digambarkan oleh kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumberdaya ikan.

d. Faktor sosial dapat yang digambarkan dengan kesenjangan penggunaan teknologi penangkapan antara nelayan besar dan nelayan kecil.

Selanjutnya Kinseng (2009), secara garis besar menguraikan 3 (tiga) faktor utama yang dapat menjadi pemicu konflik pada komunitas nelayan yaitu :

a. Konflik yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi dan gejala eksploitasi dalam pola hubungan produksi antara nelayan kecil dengan nelayan besar (Pemilik Modal)

b. Konflik yang dipicu oleh perbedaan identitas primordial seperti perbedaan etnis dan asal daerah.

c. Konflik yang dipicu oleh perbedaan alat tangkap yang digunakan. Konflik ini pada umumnya terjadi antar nelayan tradisional dengan nelayan modern.

Kerangka Pemikiran

Untuk mengatasi kemiskinan dan berbagai masalah pada masyarakat nelayan, modernisasi perikanan menjadi salah satu pilihan sebagai solusinya. Urgensi modernisasi perikanan adalah melalui perbaikan teknologi alat tangkap dan mengefektifakn cara produksi. Modernisasi perikanan yang selalu menekankan pentingnya alih teknologi dari yang tradisional ke yang modern, lambat laun telah mengakibatkan perubahan moda produksi (mode of production) pada hampir seluruh masyarakat nelayan.

Perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan yang berupa peralihan alat-alat produksi, cara produksi dan relasi produksi dari moda produksi tardisioanal ke moda produksi modern akan membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan nelayan seperti perubahan relasi dan pola kerja, serta perubahan struktur dan formasi sosial pada masyarakat nelayan, dimana struktur dan pembagian kerja nelayan akan semakin komplek dan terspesialisasi sebagai akibat perubahan moda produksi. Perubahan moda produksi sebagai dampak modernisasi perikanan memang terbukti dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan nelayan, akan tetapi peningkatan produksi sebagai akibat dari peralihan moda produksi hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi nelayan besar sebagai pemilik alat produksi.

Disisi lain ketidakmampuan nelayan kecil untuk mengakses alat-alat produksi modern yang berbajet tinggi menyebabkan nelayan kecil semakin bergantung kepada nelayan besar (pemilik modal). Sementara nelayan besar (kapitalis) selalu ingin mengoptimalkan pendapata yang kemudian mendorong terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif yang pada waktunya akan perpotensi memicu terjadinya konflik dikalangan masyarakat nelayan.

Gambaran kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dijabarkan dalam gambar 1.


(36)

16

Hipotesis Penelitian

Perubahan moda produksi nelayan sebagai akibat dari modernisasi perikanan yang terjadi melalui intervensi pemerintah maupun secara mandiri oleh elit non pemerintah telah membawa dampak yang besar bagi masyarakat nelayan. Adapun tujuan umum penelitian ini yaitu untuk menelusuri dan menganalisis perubahan struktur dan formasi sosial serta potensi konflik yang muncul akibat perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan di desa Bugis, kecamatan Sape, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Untuk mengarahkan pencapaian tujuan dalam penelitian ini, penulis menyusun sususun beberapa hipotesis.

1. Perubahan moda produksi yang berupa peralihan alat-alat produksi dari yang tardisional ke yang modern menimbulkan perubahan struktur dan formasi sosial pada kalangan nelayan. Dalam proses produksi pada kapal dan alat tangkap modern dibutuhkan tenaga kerja dengan tingkat keterampilan dan spesialisasi tertentu sehingga terjadi diferensiasi dalam pembagian kerja nelayan, akibatnya muncul berbagai status dan kelas-kelas baru dalan kegitan produksi nelayan. Dengan srtuktur produksi yang lebih komplek dan hirarkis tersebut pada akhirnya akan mengubah struktur dan formasi sosial pada masyarakat nelayan.

2. Perubahan moda produksi yang berupa peralihan kapal dan alat tangkap dari yang tardisional ke yang modern membutuhkan modal yang besar, sehingga hanya nelayan besar (kapitakis) saja yang dapat mengakses alat produksi


(37)

17 modern tersebut, hal ini menyebabkan nelayan kecil semakin bergantung kepada nelayan besar (pemilik modal). Sementara nelayan besar (kapitalis) selalu ingin mengoptimalkan pendapatan yang kemudian mendorong terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif yang pada waktunya akan perpotensi memicu terjadinya konflik dikalangan masyarakat nelayan.

3. Disis lain cara produksi modern berkembang namun nelayan yang tidak ingin bergantung pada nelayan besar, tetap mempertahankan cara produksi

tradisional, hal ini menimbulkan konflik “cara produksi” dan persaingan

dalam mendapatkan wilayah penangkapan.

Dengan demikian perubahan moda produksi nelayan sebagai akibat dari modernisasi yang menekankan peralihan teknologi, dapat merubah srtuktur dan formasi sosial masyarakat nelayan serta dapat memicu terjadinya konflik di kalangan nelayan.

Batasan Konsep

Konsep perubahan moda produksi digunakan dalam penelitian ini. Istilah perubahan moda produksi mengacu pada konsep yang dikemukanakan oleh Satria (2001) dan Masyhuri (2001) :

1. Perubahan moda produksi pada masyarakat nelayan : Merujuk pada peralihan alat-alat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara tradisional ke cara produksi yang lebih modern.

2. Moda produksi (mode of production) dikalangan nelayan : Merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan alat produksi, cara produksi dan pola hubungan produksi yang terjadi dikalangan nelayan.

3. Modernisai Perikanan : Merujuk pada penerapan teknologi baru dari yang tradisional ke teknologi modern dengan tujuan melipatgandakan hasil produksi perikanan.

Konsep struktur dan formasi sosial serta konflik nelayan nengacu pada konsep Kinseng (2011) :

1. Struktur dan formasi sosial : Perbedaan status dan kedudukan individu atau kelompok secara hirarkis dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat. 2. Konflik : Suatu proses sosial dimana terjadi perselisihan antara indifidu atau

kelompok yang berusaha memenuhi tujuanya dengan jalam menentang pihak lawan.

3. Potensi konflik dalam masyarakat nelayan : Suatu kekuatan atau kesangupan yang dapat memicu terjadinya konflik. Dalam masyarakat nelayan potensi konflik dapat berupa pola hubungan produksi yang eksploitatif, persaingan pemanfaatan wilayah penangkapan maupun perbedaan alat produksi yang digunakan oleh nelayan.

III METODELOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksankan selama 2 (dua) bulan dari bulan Februari sampai Maret 2013 yang difokuskan di wilayah pesisir timur Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Lokasi penelitian dipilih secara purposive


(38)

18

berdasarkan pertimbangan, wilayah tersebut telah menjadi salah satu pusat pengembangan ekonomi perikanan dikawasan timur Indonesaia. Komunitas nelayan Bugis di kawasan pesisir timur Kabupaten Bima tersebut telah mengalami modernisasi dan perubahan moda produksi nelayan yang sangat intensif yang ditandai dengan berkembangnya kapal-kapal penangkapan ikan yang berkapasitas besar. Jika dilihat dari pola struktur dan formasi sosial masyarakatnya, terlihat cenderung ditentukan berdasarkan kepemilikan modal dan alat produksi.

Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian studi kasus, penelitian ini memakai metode kualitatif dengan paradigma kritis. Penekanan utamanya untuk melihat sedekat mungkin sasaran penelitian dalam kondisinya yang paling empirik. Metode kualitatif bertujuan untuk lebih mendalam memahami secara untuh realitas dan kondisi objek penelitian dalam keseharian (Moleong, 2001). Metode ini digunakan, karena peneliti bermaksud memperoleh penjelasan secara mendalam tentang perubahan struktur dan formasi sosial akibat perubahan moda produksi serta potensi konflik pada masyarakat nelayan di Desa Bugis. Untuk mendukung metode kualitatif akan dilakukan studi riwayat hidup (life history) untuk mengungkap kehidupan nelayan secara mendalam. Untuk studi riwayat hidup ini akan dipilih tokoh masyarakat yang dapat menceritakan pengalaman hidupnya berkaitan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi dilingkunganya.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara triagulasi yang meliputi : pengamatan berperanserta terbatas, wawancara mendalam dan studi riwayat hidup serta anlisis dokumen. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer mencakup data-data yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian, data primer ini mencakup data hasil pengamatan berperan serta terbatas dan wawancara mendalam serta hasil studi riwayat hidup. Sumber data diperoleh dari informan yang terdiri dari buruh nelayan, anak buah kapal, ponggawa, nelayan kecil, nelayan besar, pegawai Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Sape Bugis, serta tokoh masyarakat setempat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan penelitian.

Data kualitatif yang dikumpulkan lewat pengamatan berperan serta terbatas, hasil wawancara, serta studi riwayat hidup dicatat dengan dalam catatan harian. Informan dan informan yang diwawancarai ditentukan secara purposif. Menurut Neuman (1999) pemilihan sampel secara purposif dapat dilakukan oleh peneliti yang ingin melakukan penelitian secara mendalam (indepth investigation).

Data sekuder dikumpulkan untuk mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian yang mencakup : keadaaan umum lokasi penelitian, kegiatan perekonomian nelayan, jumlah produksi nelayan, jumlah dan jenis alat tangkap serta data pemilikan alat produksi, kapal, perahu dan lain-lain. Sumber data sekunder ini diperoleh dari Kantor Desa Bugis, Kantor Cabang Dinas


(39)

19 Perikanan dan Kelautan, serta Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Bima dan sumber lain yang terkait dengan penelitian.

Analisis Data

Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan yang tingal di wilayah pesisir Desa Bugis Kecamatan Sape kabupaten Bima. Data kualitatif yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan komponen analisisi model Interaktif dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Reduksi data dilakukan dengan memilih, menyederhanakan, mengabstrakkan dan mentransformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, nenelusur tema, menbuat partisi dan menulis memo. Reduksi data ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan sampai laporan akhir tersusun.

2. Tahap Penyajian Data, data disajikan dalam bentuk tabel, matrik, jaringan maupun histogram.

3. Tahap Menarik kesimpulan sementara. Kesimpulan sementara juga diverivikasi kembali selama penelitian beralngsung. Verivikasi dilakukan dengan mereview kembali data-data yang dikumpulkan serta mendiskusikan kesimpulan sementara dengan informan, informan dan pembimbing akademik untuk mengembangkan kesepakatan intersubyektif.

IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak dan Kondisi Geografis

Secara administratif Desa Bugis berada dalam wilayah Kecamatan Sape Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini merupakan kawasan paling timur dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Luas Wilayah Desa Bugis kurang lebih 822.57 Ha, dengan penggunaan lahan terbesar adalah untuk pemukiman nelayan dan usaha perikanan. Karena Desa Bugis adalah Desa yang berada di pingir laut, maka secara geografis Desa ini berbatasan dengan laut Flores disebelah Utara, samudra Indonesai disebelah Selatan, Desa Naru sebagai ibu kota kecamatan disebelah Barat dan Pulau Komodo disebelah Timur, tepatnya Desa ini berada pada posisi ordinat 08° 34‟05”LS-119°01‟15BT.

Transportasi yang digunakan penduduk Desa Bugis apabila hendak bepergian adalah dengan menggunakan Benhur atau Dokar dan Ojek Sepeda Motor. Sarana transportasi ini hanya menghubungkan masyarakat Desa Bugis sampai jalan raya utama saja, untuk berpergian menju ke Ibu Kota Kabupaten atau keluar daerah masyarakat menggunakan Bis atau kendaraan umum lainya. Kondisi jalan utama di Desa Bugis berupa jalan beraspal yang sebagian besar masih cukup baik. Pembangunan jalan-jalan tersebut merupakan bantuan dari pemerintah dan hasil swadaya masyarakat, sedangkan jalan-jalan kecil yang ada di Desa Bugis, seperti gang-gang kecil, sebagian sudah dilakukan pengerasan dengan biaya swadaya masyarakat, ada juga jalan-jalan di Desa yang masih berupa jalan tanah dan kerikil.


(40)

20

tempuh sekitar 20 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor sedangkan jarak dari pusat pemerintahan Kabupaten sekitar 44 (empat puluh empat) kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dan jarak dari ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 535 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 12 jam dengan menggunakan kendaraan umum.

Desa Bugis sebagai salah satu Desa Pesisir merupakan daerah dengan potensi sumber daya laut yang sangat melimpah, dimana hasil laut nelayan di wilayah perairan laut Desa Bugis menjadi pemasok utama kebutuhan ikan untuk beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Barat bahkan banyak yang diekspor ke luar negeri. Selain sebagai Desa Pesisir yang memiliki potensi perikanan yang sangat melimpah, Desa Bugis juga memiliki Pelabuhan Laut yang menjadi jalur penyebrangan utama yang dapat menghubungkan masyarakat Bima dengan beberapa Provinsi di kawasan timur Indonesia seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan bahkan sampai Kalimantan sehingga Pelabuhan yang terletak di ujung timur wilayah Kecamatan Sape ini dikenal dengan sebutan

'Pintu Gerbang Timur‟ Nusa Tenggara Barat.

Keadaan Penduduk

Berdasarkan data Monografi Desa Bugis tahun 2013, jumlah penduduk Desa Bugis ialah sebanyak 7.226 jiwa yang terdiri atas 3.527 jiwa penduduk laki-laki dan 3.699 jiwa penduduk perempuan dengan 1.554 kepala keluarga.

Mata Pencaharian

Jika dilihat dari matapencaharian, penduduk Desa Bugis mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan yaitu sebanyak 56.67 % dari jumlah penduduk di Desa Bugis. Jumlah penduduk Desa Bugis berdasarkan matapencaharian dijabarkan dalam Gambar 2.

Tingkat Pendidikan

Dilihat dari tingkat pendidikan, terlihat jumlah penduduk Desa Bugis yang mampu melanjutkan pendidikan sampai pada Perguruan Tinggi setingkat Sarjana terlihat sangat sedikit yaitu hanya 2.86 % dari keseluruhan jumlah penduduk,

Gambar 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdasarkan mata pencaharian tahun 2013

Nelayan Petani Pedagang Pengusaha PNS Tukang TNT-POLRI Tenaga Kes 1800

906

291

134

28 13 3 1

56,67% 28,52% 9,16% 4,21% 0,88% 0,40% 0,09% 0,03% Jumlah Jiwa Presentase (%)


(1)

85 Lampiran 10 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bugis berdaarkan tingkat

pendidikan tahun 2013

No Tinkat

Pendidikan

Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 Tamat SD 979 34.61

2 Tamat SLTP 896 31.68

3 Tamat SLTA 791 27.97

4 Tamat D1,D2,D3 79 2.79

5 Tamat S1 81 2.86

6 Tamat S2 2 0.07


(2)

86

Lampiran 11 Perkembangan jumlah armada penangkapan yang operasional di wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya pada periode tahun 2003 s/d 2012

Tahun Perahu Layar (Soma) Perahu Mesin Tempel (Sope) Perahu Payang (Jonso) Kapal Motor

>100 GT Jumlah

2003 115 105 95 15 330

2004 110 102 95 18 325

2005 103 90 97 24 314

2006 97 81 97 24 299

2007 80 75 102 31 288

2008 77 73 101 31 282

2009 75 71 105 37 288

2010 71 68 107 45 291

2011 62 61 107 56 286


(3)

87 Lampiran 12 Perkembangan jumlah alat tangkap yang operasional di wilayah perairan laut Desa Bugis berdasarkan jenisnya pada periode tahun 2003 s/d 2012

Tahun Jaring Tradisional Tasi dan Nilon Jaring Bendera / Gill Net Jaring Lingkar/ Jaring Payang Jaring Longline/ Minitrawl Jumlah

2003 117 115 105 28 365

2004 112 120 107 32 371

2005 107 90 110 43 350

2006 98 87 119 44 348

2007 84 82 122 57 345

2008 79 75 124 58 336

2009 77 73 125 61 336

2010 75 71 127 65 338

2011 67 68 128 67 330


(4)

88

Lampiran 13 Foto-foto daerah penelitian

Kapal Motor >100GT Perahu Payang (Jonso)

Armada penangkapan Sope Armada penangkapan nelayan tradisional

Kantor Satker PPI Sape Pelabuah PPI Sape Bugis


(5)

89

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bima Nusa Tenggara Barat pada tanggal 11 agustus 1983 adalah putra kedua dari lima bersaudara dengan orang tua Ridwan Har dan Rosnani Jumat. Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh di Kota Bima. Tahun 2005 menamatkan pendidikan Sarjana (S1) pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Tahun 2011 melanjutkan pendidikan magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sejak tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Ilmu Sosiologi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu pendididkan (STKIP) Bima dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Bima.

Pada Tahun 2009 menikah dengan Annisa Fajraini dan dikaruniai satu orang putra dan satu orang putri Ansar Satria dan Najwa Asyifa.


(6)