45
Perhitungan upah khusus untuk Tekong berdasarkan banyaknya pendapatan untuk setiap trip dan tergantung dari tingkat keterampilannya. Untuk ABK
pengurus kapal diberlakukan upah khusus dengan besaran upah antara 1.500.000 sampai 2.500.000Bulan sedangkan untuk ABK biasa atau Buruh Nelayan
diberlakukan sistem upah biasa dengan besaran upah antara Rp.900.000 sampai dengan 1.500.000Bulan.
Ikhtisar
Sebelum terjadinya perubahan moda produksi nelayan, pada era sebelum tahun 1970-an, masyarakat nelayan di wilayah perairan laut Bugis Sape masih
menggunakan armada penangkapan yang masih sederhana yaitu menangkap ikan dengan menggunakan perahu Soma dan Lopi yang digerakkan dengan layar dan
dayung dengan alat tangkap pancing atau kail yang oleh masyarakat setempat di sebut Hawi dan jaring tasik. Pada saat itu pola hubungan produksi nelayan masih
sangat sederhana dan hanya ada status pemilik dan buruh nelayan yang homogen. Pola hubungan antara pemilik perahu dan buruh nelayan merupakan pola
hubungan yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan. Sedangkan pola hubungan antara penjual dengan pemilik perahu merupakan pola hubungan yang didasarkan
pada sistem komisi.
Seiring dengan peningkatan jumlah nelayan yang memamfaatkan wilayah penangkapan di wilayah perairan laut Bugis Sape, maka terjadi pula peningkatan
persaingan pemanfaatan wilayah penangkapan, sehingga nelayan berusaha mengubah teknologi yang digunakan agar bisa mendapatkan hasil tangkapan yang
lebih memuaskan, perubahan teknologi yang dilakukan berupa perubahan jenis perahu, alat tangkap dan tenaga penggerak perahu. Perubahan moda produksi
nelayan berupa peralihan jenis dan spesifikasi armada penangkapan dari armada penangkapan tradisional Lopi dan Soma sampai pada pengunanaan armada
Tabel 11 Pola bagi hasil yang diterapkan pada armada penangkapan kapal motor 100 GT
SISTEM BAGI HASIL
STATUS BAGIAN
KETERANGAN Memakai mekanisme
upah khusus dan upah biasa :
-
Upah khusus diberlakukan
pada Tekong dan ABK penggurus
Kapal, sedangkan
-
Upah biasa diberlakukan
pada buruh nelayan biasa
Pemilik Sisa dari
keseluruhan biaya operasional dan
upah seluruh ABK
Pemilik menanggung biaya operasional, bonus
khusus Tekong, upah ABK, upah buruh
nelayan dan biaya kerusakan mesin.
Tekong Juru Mudi
Upah Khusus Bonus
Sesuai kesepakan antara Tekong dengan pemilik
kapal
ABK Pengurus
Kapal Upah Khusus
Besarnya upah hhusus : antara 1.500.000 s.d
2.500.000Bulan Buruh
Nelayan Upah Biasa
Besarnya upah biasa : antara Rp.900.000 s.d
1.500.000Bulan
46 penangkapan modern seperti perahu Payang dan kapal motor 100 GT dapat
dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Peralihan jenis dan spesifikasi armada penangkapan dari armada
penangkapan tradisional Lopi dan Soma sampai pada armada penangkapan modern perahu payang dan kapal motor 100 GT
I. Perahu Dayung Lopi
Sumber Perubahan
1. Bentuk Perahu
Lopi yaitu Perahu tradisional yang terbuat dari kayu gelondongan yang diberi lubang pada salah satu
sisinya, tenaga
pengerak perahu
ini masih
menggunakan dayung . 2.
Alat Tangkap Pancing Hawi, Jaring Tradisioanl Jaring Tasik
3. Kekuatan Jelajah
Pingiran Pantai 4.
Lama melaut 4 - 6 Jam Hari
5. Jumlah Pekerja
1- 2 0rang
II. Perahu Layar Soma
1.Bentuk Perahu Soma yaitu perahu tradisional yang terbuat dari kayu
gelondongan yang diberi lubang pada salah satu sisinya dan menggunakan kombinasi dayung dan
layar sebagai tenaga pengerak Nelayan Lokal
2.Alat Tangkap Pancing Hawi, Jaring Tasi, Jaring Nilon
3.Kekuatan Jelajah Pingiran Pantai 5 Km
4.Lama melaut 6-8
Jam Hari 5. Jumlah Pekerja
2- 3 0rang
III. Armada Penangkapan Perahu Mesin Tempel Sope
1. Bentuk Perahu
Sope yaitu perahu kayu yang sudah dikombinasikan dengan mesin tempel yang berkapasitas dari 5 sampai
10 PK. Pemerintah dan
Elit Nelayan Lokal
2. Alat Tangkap
Pancing ulur, pancing rawa, jaring tembang atau jaring rampus
3. Kekuatan Jelajah
Antara 6 - 10 Km 4.
Lama melaut 8
–12 jam hari 5.
Jumlah Pekerja 3
–5 0rang
IV. Armada Penangkapan Perahu Payang Jonso
1. Bentuk Armada
Perahu Payang Jonso yaitu jenis perahu yang tebuat dari kayu atau fiber dengan kapasitas mulai dari 30-
40 PK atau 10- 30 GT Elit Nelayan
Pendatang dari Sulawesi dan
Bali diikuti oleh Nelayan Lokal
2. Alat Tangkap
Jaring Payang atau Jaring lingkar 3.
Kekuatan Jelajah Atara 10
– 20 Km 4.
Lama melaut 3
– 7 Hari 5.
Jumlah Pekerja 10
–17 orang
V. Armada Penangkapan Kapal Motor 100GT
1. Bentuk Armada
Kapal Motor berkapasitas lebih dari 100 GT Elit Nelayan
Pendatang dari Sulawesi dan
Bali 2.
Alat Tangkap Jaring minitrawl dan alat tangkap longline
3. Kekuatan Jelajah 20 Km
4. Lama melaut
7 – 15 Hari
5. Jumlah Pekerja
10-15 Orang
47 Dengan bergulirnya perubahan moda produksi nelayan berupa peralihan
jenis dan spesifikasi armada penangkapan di wilayah perairan laut Bugis Sape maka terjadi pula perubahan pada pola hubungan produksi dan perubahan pada
pola bagi hasil dalam armada penangkapan. Dilihat dari sistem bagi hasil antara armada penagkapan tardisional seperti perahu perahu layar Bose dan perahu
mesin tempel Sope dengan armada penangkapan yang sudah menggunakan teknologi modern terlihat memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pada
armada penangkapan tradisional seperti perahu Lopi dan Bose menggunakan sistem bagi hasil yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Dalam armada penangkapan perahu mesin tempel Sope juga masih menggunakan sistem bagi hasil dengan perhitungan 2 bagian untuk juragan dan 1
bagian untuk masing-masing sawi setelah dipotong biaya operasinal, sedangkan pada armada penangkapan yang sudah menggunakan teknologi modern seperti
perahu Payang Jonso sudah menggunakan sistem bagi hasil yang dikombinasikan dengan sistem upah. Pada armada penangkapan Kapal Motor
100 GT tidak lagi menggunakan sistem bagi hasil tapi sudah menggunakan sistem upah yang bagi menjadi dua kategori yaitu sistem upah khusus bagi ABK
yang memiliki keahlian khusus dan upah biasa bagi ABK atau buruh nelayan biasa.
VI DAMPAK PERUBAHAN MODA PRODUKSI NELAYAN
Struktur Sosial Masyarakat Nelayan
Struktur dan stratifikasi sosial pada masyarakat nelayan di Desa Bugis cenderung sangat ditentukan oleh penguasaan aset dan alat produksi di bidang
perikanan. Meskipun beragam sektor pekerjaan lain mulai tumbuh di Desa ini, namun sektor perikanan masih menjadi sektor yang diunggulkan oleh masyarakat
setempat. Stratifikasi sosial yang muncul pada masyarakat nelayan di Desa Bugis dapat diidentifikasi dengan jelas dengan melihat ketidaksetaraan ekonomi antar
lapisan masyarakatnya.
Sebagaimana umumnya masyarakat pesisir, masyarakat nelayan di Desa Bugis mengenal istilah-istilah yang khas dalam kehidupan sehari-hari, seperti
istilah Eksportir, Tuan Takur atau yang lajim dikenal sebagai Bakul, Pu‟a atau
Juragan dan Burru atau yang biasa disebut Sawi atau Bidak istilah-istilah tersebut sekaligus menjadi penanda dalam struktur dan stratifikasi sosial pada komunitas
nelayan di Desa Bugis. Berikut diuraiakan masing-masing fungsi dan peran dari beberapa aktor dalam lapisan masyarakat nelayan di wilayah pesisir Bugis Sape :
Eksportir Dalam pola hubungan produksi pada kalangan nelayan, pihak eksportir
merupakan aktor yang sangat berpengaruh terhadap jaringan kerja nelayan. Pihak ekportir menampung ikan hasil tangkapan nelayan yang berkualitas ekspor seperti
ikan Tuna, Layur, Udang dan lain-lain. Biasanya yang menyetor ke eksportir adalah pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini menampung hasil
tangkapan yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pihak eksportir. Biasanya pihak eksportir menyediakan pinjaman berupa es balok dan umpan
untuk menangkap Ikan. Pinjaman diberikan kepada nelayan melalui Bakul atau
48 pedagang pengumpul dengan jaminan nelayan akan menjual hasil tangkapannya
kepada Bakul atau pedagang pengumpul yang telah ditentukan oleh pihak eksportir dengan tingkat harga yang biasanya lebih rendah dari tingkat harga
pasaran.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar nelayan di wilayah pesisir Bugis Sape mulai dari buruh nelayan,
pemilik perahu tradisional dan pemilik usaha perikanan komersial hampir semuanya terikat pada pemilik modal atau pihak eksportir ini. Ketidakmampuan
nelayan pemilik dalam menyediakan biaya operasional melaut menyebabkan mereka selalu terikat kepada pemilik modal tersebut. Demikian juga nelayan ABK,
karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya selama ditinggal melaut menyebabkan mereka terikat kepada pemilik modal seperti Bakul
atau Palele. Pengusaha Bakulan atau „Tuan Takur Besar‟
Istilah Tuan Takur ini dipakai untuk lapisan masyarakat nelayan yang berprofesi sebagai pengusaha Bakulan dan umumnya mempunyai aset yang besar
dalam bidang perikanan dan kepemilikan properti pribadi di darat maupun di laut, seperti kepemilikan kapal, bangunan rumah yang bagus, alat transportasi, barang-
barang elektronik dan sebagainya. Istilah Tuan Takur ini mulai dipakai oleh masyarakat nelayan di Desa Bugis pada saat awal-awal masuknya siaran Televisi
yang menayangkan film-film Bolywood dari India yang terkenal dengan slogan Tuan Takur yang merujuk pada bos yang memiliki harta dan kekayaan yang
melimpah.
Dalam struktur masyarakat nelayan di Desa Bugis Kelompok Tuan Takur ini tidak terlibat secara langsung dalam kegitan menangkap ikan, melainkan hanya
sebagai pembeli pengumpul atau mendistribusikan hasil tangkapan para nelayan. Tuan Takur yang sukses biasanya mempunyai jaringan yang luas baik jaringan
yang terbentuk dengan para nelayan maupun dengan para eksportir lokal maupun dengan eksportir di luar daerah.
Palel e atau „Tuan Takur Kecil‟
Palele adalah pengusaha perikanan berskala kecil atau bisa dikatakan sebagai bakul kecil yang menampung hasil tangkapan nelayan atau hasil isi rima
dari para buruh nelayan atau ABK. Ikan yang didapat oleh palele biasanya dijual langsung kepada konsumen atau menyetorkan kepada bakul besar. Selain menjual
langsung ikan yang didapat dari Juragan atau buruh nelayan, palele biasanya mempunyai kegiatan menampung hasil isi rima dan dilakukan dengan bekerja
sama dengan Bakul. Pola hubungan antara palele dengan bakul berdasarkan bagi keuntungan yaitu sekitas Rp.500 sampai Rp.1000 dari setiap 1 kilogram ikan yang
didapatkan.
Antara pemilik perahu dengan palele biasanya terdapat ikatan yang didasarkan pada pinjaman berupa biaya operasional untuk melaut dengan jaminan
Palele menampung hasil tangkapan utama dari pemilik perahu, sedangkan dalam pola hubungan antara ABK atau buruh nelayan dengan palele terikat uang
pinjaman atau hutang piutang yang biasanya digunakan untuk keperluan rumahtangga dan kehidupan sehari-hari sebelum berangkat melaut dengan
jaminan buruh nelayan tersebut harus menjual hasil isi rima atau bonus ikan dari hasil melaut kepada palele yang bersangkutan.
49 Pu‟a atau Juragan
Lapisan berikutnya adalah kelompok masyarakat nelayan yang disebut dengan
Pu‟a atau yang lajim dikenal sebagai Juragan atau pemilik armada
penangkapan. Pu‟a adalah nelayan yang memiliki alat-alat produksi dalam usaha
penangkapan ikan seperti perahu dan alat tangkap. Kelompok ini dianggap sebagai lapisan menengah. Sebagian besar para
Pu‟a di wilayah pesisir Bugis Sape ikut dalam kegiatan menangkap ikan, sehingga memiliki hubungan yang
dekat dengan para Sawi atau buruh nelayan. Dalam pola hubungan antara nelayan, Pu‟a atau yang lajim disebut juragan ini seringkali menjadi sandaran ekonomi
bagi nelayan buruh apabila mereka mengalami kesulitan ekonomi. Buruh Nelayan Sawi
atua „Burru‟ Istilah Burru atau yang lajim disebut sebagai sawi, bidak atau nelayan
buruh ini merupakan lapisan masyarakat yang paling bawah pada komunitas nelayan di Desa Bugis. Istilah Burru ini mengacu pada nelayan yang tidak
memiliki modal melainkan hanya mengandalkan modal tenaga dan kemauan saja. Kelompok ini adalah lapisan yang paling bawah, baik secara sosial mapun secara
ekonomi. Lapisan ini banyak bergantung pada hasil tangkapan, bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang Burru akan cukup untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari, namun apabila hasil tangkapan sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus menghutang terlebih dahulu kepada
Pu‟a atau Juragan.
Perubahan Struktur dan Formasi Sosial Nelayan
Perubahan moda produksi nelayan sebagai akibat dari proses modernisasi perikanan berdampak luas terhadap kehidupan sosial nelayan di wilayah perairan
laut Desa Bugis. Peralihan alat produksi lama ke alat produksi baru berupa peralihan penggunaan armada penangkapan lama yang masih sederhana ke
penggunaan armada penangkapan baru yang lebih modern telah menimbulkan diferensiasi sosial dalam bentuk munculnya unit-unit sosial baru yang berdampak
pada perubahan struktur dan formasi sosial pada masyarakat nelayan.
Perubahan struktur dan formasi sosial nelayan yang dipicu oleh perubahan alat produksi tersebut tidak hanya terjadi pada level kelompok kerja nelayan saja
namun juga mempengaruhi perubahan sturktur dan formasi sosial pada level komunitas nelayan. Pada komunitas nelayan di wilayah perairan laut Desa Bugis
sendiri umumnya kelompok nelayan ini dapat dibedakan berdasarkan beberapa lapisan yaitu lapisan nelayan pemilik alat produksi atau yang disebut Juragan,
kemudian lapisan nelayan pekerja pada pemilik alat produksi yang disebut buruh nelayan atau sawi dan nelayan tangkap yang biasanya bekerja secara individu atau
dalam kelompok kecil.
Seiring dengan perkembangan moda produksi nelayan berupa perubahan armada penangkapan dari armada penangkapan yang sederhana ke armada yang
lebih modern semakin memicu terjadinya diferensiasi sosial pada komunitas nelayan di wilayah perairan laut Desa Bugis. Hal ini dapat dilihat dari semakin
bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat
horisontal, melainkan vertikal atau berjenjang. Ukuran penjenjangan tersebut