Uji Karakteristik Minyak Nyamplung dan Aplikasinya Pada Kompor Tekan

(1)

Characteristic Performance of Tamanu Oil and Its Application to Pressure Stove Mada Hunter Pardede

Department of Mechanical And Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone +62 813 85661396, e-mail: hunter.pardede@live.com

ABSTRACT

In a rural area, tamanu oil is potential to produce energy which is able to replace kerosene as fuel in a pressure stove. To replace kerosene, tamanu oil must meet the likely criterias with kerosene. One of the most important criterias is in the matter of viscosity. Tamanu oil has higher viscosity than kerosene. Heating was done to decrease the viscosity of Tamanu oil. One of many ways to determine that the viscosity criteria of tamanu oil has been nearly equal to the viscosity of kerosene is by studying spraying criteria of tamanu oil. The purpose of this research was to determine and analyze the spraying criteria of tamanu oil in a pressure stove. This research also tested modified burner designed by Lestari (2011). Spraying testing was done by giving a treatment to tamanu oil in a certain temperature. From the testing result, tamanu oil had the nearly equal characteristic with the spraying kerosene when the temperature of tamanu oil reached ± 150oC. In this temperature, diameter and spraying angle of tamanu oil was 65,67 mm and 12.40o. Whereas, diameter and spraying angle of kerosene without heating treatment was 66,75 mm and 12.60o. According to Lestari (2011), heating must be done until the temperature of tamanu oil reached ±161.81oC, so that the viscosity of tamanu oil reached 5 cP or equal with the kerosene. From the result of the modified burner testing, apparently burner in a pressure stove could heat tamanu oil to reach 164.7oC temperature. Thus, we could conclude that modified burner in a pressure stove can decrease the viscosity of tamanu oil to reach a nearly equal with kerosene.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di daerah perkotaan maupun pedesaan di Indonesia, sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk keperluan rumah tangga adalah minyak tanah dan biomassa seperti kayu bakar. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara itu, produksi minyak bumi dalam negeri menunjukkan penurunan. Menurut Automotive Diesel Oil dalam Sudradjat (2006), konsumsi BBM selama tahun 2004 mencapai 61.7 juta kiloliter, dengan rincian 16.2 juta kiloliter premium, 11.7 juta kiloliter minyak tanah, 26.9 juta kiloliter minyak solar, 1.1 juta kiloliter minyak disesel, dan 5.7 juta kiloliter minyak bakar. Kemampuan produksi bahan bakar minyak di dalam negeri hanya sekitar 44.8 juta kiloliter, sehingga sebagian kebutuhan bahan bakar di dalam negeri harus diimpor. Setiap bulan, impor minyak mentah dan BBM mencapai 1.5 miliar dollar AS atau sekitar 15 triliun rupiah.

Minyak tanah umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga untuk memasak dan untuk penerangan, terutama di daerah yang belum tersedia listrik (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010). Hasil Survei Sosial ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS setiap 3 tahun menunjukkan bahwa minyak tanah dikonsumsi oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia (Dept. ESDM 2004). Pada 2007 harga minyak mentah dunia meningkat tajam mencapai 72 dollar AS per barrel (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010). Hal ini menyebabkan pemerintah memberikan subsidi yang lebih besar untuk minyak tanah agar harganya dapat terjangkau oleh masyarakat. Subsidi minyak tanah untuk rakyat sangat memberatkan pemerintah. Disaat anggaran pemerintah dibidang lain terus meningkat, pemerintah harus mengeluarkan subsidi minyak tanah untuk rakyat yang besarnya kurang lebih Rp 30 triliun setiap tahunnya, yang seharusnya dapat digunakan untuk alokasi dana yang lain khususnya bidang pendidikan (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010).

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka salah satu bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak tanah adalah minyak nabati (plant/vegetable oil) yang bahan bakunya tersedia secara lokal, mudah didapat dan terbarukan (renewable), antara lain minyak nyamplung, minyak kelapa, kelapa sawit, kemiri, jarak, kacang tanah, jarak pagar, bintaro dan minyak nabati tropik lainnya yang berpotensi (minyak biji karet, kapuk, biji sirsak, biji rambutan, biji nimba, dan biji mahoni). Selain itu, dengan adanya minyak nabati ini, maka masyarakat khususnya di pedesaan tidak perlu lagi menggunakan kayu sebagai bahan bakar.

Bahan bakar nabati merupakan bahan bakar yang berasal dari tanaman. Penelitian mengenai bahan bakar nabati ini sudah mulai berkembang. Banyak tanaman yang dinilai memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati setelah melalui serangkaian proses, salah satunya adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.). Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku bahan bakar nabati adalah bijinya mempunyai rendemen yang tinggi, yaitu mencapai 74%, dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Beberapa keunggulan ditinjau dari prospek pengembangan dan pemanfaatan lain, antara lain adalah tanaman tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia; regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan; tanaman relatif mudah dibudidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau hutan campuran (mixed-forest); dan cocok di daerah beriklim kering, produktivitas biji lebih tinggi dibandingkan jenis lain (jarak pagar 5 ton/ha; sawit 6 ton/ha; nyamplung 20 ton/ha).


(3)

Secara teknis minyak nyamplung murni dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati, namun demikian kekentalan dan kadar asam lemak bebas yang tinggi serta adanya senyawa pengotor masih menjadi kendala. Untuk itu perlu dilakukan kajian pemurnian dan karakterisasi minyak nyamplung terutama penurunan viskositasnya agar kriteria minyak nyamplung ini memenuhi kriteria minyak tanah yang digunakan sebagai bahan bakar pada kompor.

Salah satu cara untuk mengetahui kriteria viskositas minyak nyamplung apakah sudah mendekati viskositas minyak tanah adalah dengan mengetahui dan mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung untuk membandingkan antara karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu. Karakteristik penyemprotan minyak tanah juga akan dilakukan dan membandingkannya dengan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Setelah mengetahui karakteristik minyak nyamplung, maka karakteristik ini dapat diaplikasikan untuk merancang burner pada kompor tekan. Sehingga penelitian ini juga akan mengukur kinerja sebuah

burner termodifikasi pada kompor tekan yang dirancang oleh (Lestari 2011) terhadap karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dengan pemanasan yang dilakukan secara berkesinambungan dari nyala api hasil pembakaran pada burner itu sendiri.

Sasaran aplikasi hasil penelitian ini adalah masyarakat atau konsumen skala rumah tangga di daerah yang memiliki potensi tanaman nyamplung. Para konsumen tersebut diharapkan mau dan bisa menggunakan kompor tekan termodifikasi ini dengan minyak nyamplung sebagai bahan bakarnya. Sehingga pada akhirnya pemanfaatan minyak nyamplung sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada penggunaan minyak tanah yang harganya diperkirakan akan terus meningkat dan akan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Pemanfaatan minyak nyamplung diharapkan juga dapat mengurangi penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga yang dapat berdampak buruk terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.

1.2 TUJUAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menguji minyak nyamplung sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah pada kompor tekan. Adapun Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Menentukan tingkat pemanasan minyak nyamplung untuk memperoleh karakteristik

penyemprotan ideal untuk aplikasi pada kompor tekan

(2) Mengaplikasikan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung pada kompor tekan termodifikasi hasil rancangan Lestari (2011)


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TANAMAN NYAMPLUNG

Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.) dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Inggris (Alexandrian izaurel, Tamanu), di Jawa dan Sunda (Nyamplung), Madura (Nyamplong atau Camplong), Minangkabau (Punaga), Dayak (Kanaga atau Panaga), Bima (Mantau), Alor (Pantar), Ternate (Fitako) dan masih banyak nama lain di berbagai daerah (Heyne, 1987). Taksonomi tanaman nyamplung menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Bangsa : Guttiferales

Suku : Guttiferae

Marga : Calophyllum

Jenis : Calophyllum inophyllum L. Nama umum : Nyamplung

Gambar 1. Tanaman nyamplung

Tanaman nyamplung merupakan tanaman industri yang cukup baik untuk dikembangkan. Tanaman ini termasuk dalam famili Guttiferae yang dapat tumbuh dengan baik, dan biasa banyak dijumpai di sepanjang tepian pantai, tetapi tanaman ini dapat juga tumbuh pada tempat yang berada pada ketinggian 100 sampai 350 m dpl. Di Jawa, tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 20 m dan mempunyai diameter batang 1.50 m. Nyamplung memiliki cabang yang rendah dekat dengan permukaan tanah, dan tumbuh berkelompok (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).

Tanaman nyamplung memiliki kayu yang agak ringan hingga sedang dan lembut, tetapi padat dan agak halus, berurat kusut, hingga tidak dapat dibelah. Kayu nyamplung mempunyai dua warna, yakni kelabu atau semu kuning dan merah bata, mempunyai urat yang lebih halus dan seratnya juga lebih lurus. Sering digunakan sebagai papan, peti dan daun meja, pembuatan kapal, bejana, perabot rumah, bantalan kereta api dan sebagainya. Daun nyamplung yang direndam satu malam


(5)

mempunyai khasiat menyejukkan sehingga dapat digunakan untuk mencuci mata yang meradang (Heyne, 1987). Buahnya berbentuk bulat seperti peluru dengan bagian ujung meruncing, berwarna hijau terusi, pada saat tua warnanya menjadi kekuningan. Kulit biji yang tipis lambat laun akan menjadi keriput dan mudah mengelupas. Biji yang tersisa berupa daging buah berbentuk bulat ujung meruncing mengandung minyak berwarna kuning, terutama jika dijemur. Biji yang dijemur kering mengandung air 3.3% dan minyak sebesar71.4%. Minyak ini dapat digunakan sebagai bahan biodiesel, dengan rendemen 50% (1 liter : 2 kg biji) (Balitbang Kehutanan, 2008).

Tanaman nyamplung tersebar di berbagai daerah di seluruh tepian pantai serta dataran rendah yang menjorok ke pantai. Tanaman nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang mulai dikembangkan penanamannya di Indonesia pada 1950. Tujuan penanamannya adalah untuk melindungi pantai dari abrasi, penahan angin dari laut ke darat, penahan gelombang pasang, penahan tebing sungai dan pantai dari longsor dan penjaga kualitas air payau. Saat ini habitatnya tersebar mulai dari hutan di pantai, tepi sungai, rawa-rawa, hingga hutan di pegunungan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).

Di Indonesia, nyamplung dapat ditemui hampir di seluruh daerah, terutama di daerah pesisir pantai, antara lain: Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, Pulau Yapen Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (wilayah Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), dan Taman Nasional Berbak (Pantai Barat Sumatera). Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 255.35 ribu ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah penyebaran nyamplung diantaranya adalah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan NTT.

Tabel 1. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia No. Wilayah

Luasan Lahan Potensial Budidaya Nyamplung (ha) Bertegakan Nyamplung Tanah Kosong

dan Belukar Total

1 Sumatera 7400 16800 24200

2 Jawa 2200 3400 5600

3 Bali dan Nusa Tenggara 15700 4700 20400

4 Kalimantan 10100 19200 29300

5 Sulawesi 3100 5900 9000

6 Maluku 8400 9700 18100

7 Irian Jaya Barat 28000 34900 62900

8 Papua 79800 16400 96200

9 Seluruh Wilayah 177100 107100 284200

Total 549900

Sumber : Balitbang Kehutanan (2008)

Hutan nyamplung dikelola secara profesional oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas


(6)

sepanjang pantai laut selatan, dan pada tahun 2008 direncanakan menanam tanaman nyamplung seluas 300 ha.

2.2 MINYAK NYAMPLUNG

Buah nyamplung memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% (basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah (Heyne, 1987).

Tabel 2. Kandungan biji nyamplung Kandungan Nilai (%)

Minyak 50-70

Abu 1,7

Protein kasar 6,2

Pati 0,34

Air 10,8

Hemiselulosa 19,4

Selulosa 6,1

Sumber: Kilham (2003)

Minyak nyamplung merupakan minyak kental, berwarna coklat kehijauan, beraroma menyengat seperti karamel dan beracun. Minyak nyamplung dihasilkan dari buah yang telah matang dan mempunyai fungsi penyembuhan signifikan khususnya untuk jaringan terbakar (Kilham, 2003). Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen–komponen tak tersabunkan diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat sebanyak 0,5-2% yang dapat dimanfaatkan sebagai obat.

Kandungan minyak nyamplung (Gambar 2) tergolong tinggi dibandingkan tanaman lainnya, seperti jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54%). Menurut Heyne (1987), minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung di beberapa daerah juga digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadows, 2002).

A B


(7)

Minyak nyamplung diperoleh melalui tahapan proses: (1) pengupasan biji dari kulit yang keras, (2) perajangan hingga menjadi irisan tipis, (3) pengeringan dengan panas matahari selama dua hari, (4) penumpukan, (5) pengukusan, (6) pengepresan atau ekstraksi dengan pelarut organik, (7)

degumming, pemisahan getah dengan asam fosfat 1% (Pusat Informasi Kehutanan 2008). Karakteristik minyak nyamplung sebelum dan sesudah degumming dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung

Karakteristik Sebelum

degumming (crude oil)

Sesudah degumming (refined oil)

Kadar air 0.25% 0.41%

Densitas pada suhu 20oC 0.944 g/ml 0.940 g/ml

Viskositas pada suhu 40oC 56.7 cP 53.4 cP

Bilangan asam 59.94 mg KOH/g 54.18 mg KOH/g

Kadar asam lemak bebas 29.53% 27.21%

Bilangan penyabunan 198.1 mg KOH/g 194.7 mg KOH/g

Bilangan iod 86.42 mg/g 85.04 mg/g

Indeks refraksi 1.447 1.478

Penampakan/warna Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat

Kuning kemerahan dan kental Sumber: Balitbang Kehutanan (2008)

Menurut Andyna dalam Kraftiadi (2011), rendemen minyak nyamplung pada proses pengempaan atau pengepresan antara 40 hingga 70% dari massa biji kering. Sedangkan dari hasil proses degumming, rendemen minyak nyamplung yang dihasilkan mencapai 62.80 – 65.89% (Fathiyah, 2010).

Minyak nyamplung hasil degumming dengan proses sederhana kemudian dinetralisasi dengan NaOH dapat menjadi bio-kerosen, sebagai alternatif pengganti minyak tanah yang sangat bermanfaat untuk masyarakat pedesaan (http://www.esdm.go.id. 2009). Dari segi nilai kalor pembakaran, minyak nyamplung memiliki nilai kalor yang semakin tinggi setelah mengalami proses degumming dan pemurnian (Fathiyah, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathiyah (2010), minyak nyamplung kasar memiliki nilai kalor sebesar 9088.08 cal/g dan setelah degumming nilai kalornya meningkat menjadi 9121.84 cal/g. Adapun nilai kalor minyak tanah adalah sebesar 10284 cal/gr (Annamalai, 2006).

Minyak nyamplung memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan dengan minyak tanah, dimana 1 ml minyak nyamplung memiliki pembakaran 11.8 menit, sedangkan 1 ml minyak tanah memiliki pembakaran 5.6 menit. Minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Tabel 4 berikut menunjukkan bahwa minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).


(8)

Tabel 4. Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak pagar dan sawit

Komponen Minyak

nyamplung

Minyak jarak pagar

Minyak sawit

Asam miristat (C14) 0.09 % - 0.70 %

Asam palmitat (C16) 14.60 % 11.90 % 39.20 %

Asam stearat (C18) 19.96 % 5.20 % 4.60 %

Asam oleat (C18 : 1) 37.57 % 29.90 % 41.40 %

Asam linoleat (C18 : 2) 26.33 % 46.10 % 10.50 %

Asam Linolenat (C18: 3) 0.27 % 4.70 % 0.30 %

Asam arachidat (C20) 0.94 % - -

Asam erukat (C20 : 1) 0.72 % - -

Jumlah 98.46 % 93.10 % 95.70 %

Sumber: Balitbang Kehutanan (2008)

2.3 KOMPOR TEKAN

Rancangan kompor pada dasarnya digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu kompor sumbu (wick burner) dan kompor bertekanan (pressure burner). Secara umum, kompor bertekanan menghasilkan

power output dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, sehingga bahan bakar yang digunakan lebih kecil untuk setiap satuan berat bahan yang dimasak (Wichert et al., dalam Yunita 2008).

Prinsip kerja kompor tekan adalah mengubah bahan bakar dari fase cair menjadi fase gas atau uap dan membakarnya dengan oksigen sehingga menyala dan menghasilkan energi panas (Sudrajat dalam Yunita 2008).

Beberapa modifikasi rancangan kompor tekan (Stumpf dan Muhlbauer dalam Yunita 2008), antara lain: (1) pencampuran optimal minyak nabati dengan udara dalam vaporizer, (2) pencampuran optimal minyak nabati dengan minyak tanah (kerosen) atau etanol, (3) pemasangan lembaran tikar/ sumbu dari kapas, karung atau fiber glass untuk membantu mempercepat pembakaran awal, (4) percepatan mengalirnya minyak nabati dari tangki minyak dengan bantuan tekanan udara (pompa udara manual).

Kompor tekan memiliki beberapa bagian (Sudrajat dalam Yunita 2008), seperti: 1. Nosel

Berfungsi sebagai lubang pengeluaran bahan bakar sehingga terjadi proses pembakaran bahan bakar oleh udara (oksigen).

2. Saluran penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel

Berfungsi sebagai penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel, dimana selama proses penyaluran bahan bakar ikut dipanasi oleh proses pemanasan awal.

3. Mangkuk

Berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pemanasan awal sehingga dapat memanasi bahan bakar agar viskositasnya menurun maka proses pembakaran akan menjadi lebih mudah.

4. Penyangga kompor


(9)

Gambar 3. Kompor Tekan

2.4 ATOMISASI (PENGABUTAN) CAIRAN

Proses pembuatan butiran cairan di dalam fase gas disebut dengan atomisasi. Tujuan atomisasi adalah meningkatkan luas permukaan cairan dengan cara memecahkan butiran cairan menjadi banyak butiran kecil. Proses atomisasi dimulai dengan mendorong cairan melalui sebuah nosel. Energi potensial cairan (diukur sebagai tekanan cairan untuk nosel hidrolik atau tekanan udara dan cairan untuk nosel pneumatik) dengan bantuan geometri nosel menyebabkan cairan diubah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Bongkahan ini selanjutnya pecah menjadi pecahan yang sangat kecil yang biasanya disebut dengan butir (drop), butiran (droplet), atau partikel cairan.

Setiap semburan (spray) menghasilkan suatu rentang besar butir, rentang ini dinyatakan sebagai distribusi besar butir (drop size distribution). Distribusi besar butiran ini tergantung pada jenis nosel dan sangat bervariasi untuk setiap jenisnya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar butir adalah sifat-sifat fisik cairan, dan kondisi operasi.

Menurut Graco (1995), ada berbagai faktor yang mempengaruhi ukuran dari butiran (droplet). Diantara faktor-faktor tersebut adalah sifat-sifat cairan, seperti tegangan permukaan, viskositas, dan kerapatan.

1. Tegangan permukaan

Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan, mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi.

2. Viskositas

Viskositas fluida memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butiran droplet seperti pada tegangan permukaan. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan dan mengarah ke ukuran droplet yang rata-rata lebih besar. Gambar 4 menunjukkan hubungan antara viskositas dan ukuran droplet ketika atomisasi terjadi.


(10)

high

medium

low

Gambar 4. Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet (Graco 1995) 3. Densitas

Densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Densitas serupa dengan sifat-sifat baik tegangan permukaan dan viskositas, lebih tinggi cenderung menghasilkan ukuran tetesan yang rata-rata lebih besar.

Pada proses pembuatan butiran cairan di dalam fase gas, dalam hal ini densitas gas jauh lebih kecil dari densitas cairan. Sehingga mekanisme formasi butiran jauh berbeda untuk perbedaan densitas yang rendah, terutama pada kecepatan tinggi. Pengabutan banyak digunakan untuk keperluan-keperluan pengabutan bahan bakar, pembuatan produk berbentuk granular (bongkahan), operasi perpindahan massa, dan pelapisan permukaan (pengecatan, dan lain-lain).

Mekanisme atomisasi dilihat dari fluida kerja dapat dibagi atas atomisasi hidrolik dan pneumatik.

1. Atomisasi hidrolik

Pada atomisasi hidrolik, atomisasi terjadi karena tekanan cairan atau gaya gravitasi pada cairan yang keluar pada mulut nosel dan pecah pada waktu jet berbentuk lembaran.

2. Atomisasi pneumatik

Pada atomisasi pneumatik, atomisasi terjadi sebagai akibat saling aksi antara cairan dengan udara yang berkecepatan tinggi. Gaya gesek antara cairan dengan udara menyebabkan terdisintegrasinya cairan menjadi butiran. Jika ditinjau proses pencampuran dengan udara dengan cairan, nosel pneumatik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis pencampuran dalam dan pencampuran luar.


(11)

2.5 PROSES PEMBAKARAN

Pembakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan cahaya (api) dan panas akibat kombinasi kimia walaupun secara umum pembakaran dikenal sebagai suatu proses reaksi kimia antar bahan bakar dan oksidator dalam hal ini oksigen yang melibatkan pelepasan energi panas (Strehlow dalam Sunandar 2010).

Oksigen yang diperlukan diambil dari udara yang terdiri dari: ± 70% N2, ± 20% O2, dan ±

1% unsur lainnya (Daywin et al., 1991). Syarat terjadinya proses pembakaran pada bahan bakar (Daywin et al., 1991) adalah: adanya bahan bakar, adanya udara (oksigen), dan adanya titik nyala sebagai pemicu pembakaran.

Terdapat dua aspek penting dalam termodinamika kimia pembakaran, yaitu: pertama,

stoikiometri pembakaran, dalam stoikiometri kimia pembakaran, hal yang diinginkan adalah untuk mengetahui secara tepat atau secara stoikiometri jumlah udara yang harus dipergunakan untuk mengoksidasi bahan bakar. Jika udara yang masuk lebih besar dari jumlah stoikiometrinya, campuran ini disebut dengan fuel-lean, apabila lebih sedikit dari stoikiometri, campuran ini disebut fuel-rich. Perbandingan stoikiometri udara-bahan bakar ditetapkan dengan menulis neraca massa atom dengan asumsi bahwa bahan bakar bereaksi secara sempurna. Oksigen yang dipergunakan dalam kebanyakan proses pembakaran berasal dari udara yang umumnya tersusun atas 21% oksigen dan 79% nitrogen (%volume), sehingga untuk setiap mol oksigen dalam udara terdapat 0.79/0.21 mol N2 atau 3.76 mol

nitrogen. Untuk bahan bakar hidrokarbon CxHy (Kuo K.K dalam Sunandar 2010).

CxHy + a(O2 + 3.76 N2) xCO2 + (y/2) H2O + 3.76 aN2

Dimana a= x + (y/4). Sering ditemui permasalahan untuk mendapatkan pencampuran bahan bakar dengan udara yang diberikan. Dengan demikian udara diberikan dalam jumlah berlebih untuk memastikan terjadinya pembakaran secara sempurna, dikenal dengan istilah udara berlebih (excess air), dimana reaksinya dapat ditulis sebagai

CxHy + a/ø(O2 + 3.76 N2) xCO2 + (y/2) H2O + a5O2 + 3.76 aN2

Dimana a= x + (y/4) dan a5= a(1- ø)/ ø

Kedua, hukum termodinamika 1, besarnya energi yang dilepaskan pada saat reaksi pembakaran terjadi disebut dengan panas pembakaran. Besarnya panas pembakaran ini sangat tergantung dari jenis bahan bakar yang dipergunakan dan kondisi proses, isobar, isothermal atau isovol. Secara umum panas pembakaran suatu reaksi pembakaran dinyatakan dalam panas entalpi,

∆H, dengan satuan kJ/kg atau kJ/mol. Dalam termofluida, panas pembakaran didefinisikan sebagai

panas yang dilepaskan per satuan massa bahan bakar jika stoikiometrik reaktan (bahan bakar + udara) terbakar dimana reaktan dan produk atau hasil reaksi berada pada suhu 298.15 K dan tekanan 1 atm (Kuo K.K. dalam Sunandar 2010).

Menurut Turn R.S. dalam Sunandar (2010), kekentalan minyak bakar akan mempengaruhi panjang lidah api (flame length, Lf), sudut api (angle of flame,α), dan panas api yang dilepas (heat

realese) serta kecepatan api (flame speed). Semakin tinggi angka kekentalan minyak tersebut maka panjang lidah api akan semakin panjang, sudut semakin rendah, kecepatan api semakin rendah, dan pelepasan panasnya kecil sehingga penurunan kekentalan minyak diperlukan. Berdasarkan teori pembakaran, bahan bakar yang mengalir sepanjang sumbu nyala api menyebar secara radial keluar, sementara itu udara sebagai oksidator terhisap ke dalam. Ketika bahan bakar dan oksidator bertemu dalam keseimbangan stoikiometrik (stoichiometric equilibrium) akan terbentuk permukaan api (flame surface), dengan demikian permukaan api dapat didefinisikan sebagai titik dimana nilai equivalence


(12)

sebagai bahan bakar diperlukan tidak hanya karena masalah aliran fluida kental, tetapi akan membutuhkan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan fluida dengan kekentalan rendah.

2.6 PINDAH PANAS (

HEAT TRANSFER

)

Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari suatu daerah ke daerah lainnya sebagai akibat dari perbedaan suhu antara daerah-daerah tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.6.1 Konduksi

Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Konduksi adalah cara perpindahan panas melalui suatu zat, dimana molekul zat tersebut tidak ikut berpindah. Karena molekul-molekul zat yang dilewati energi panas secara konduksi tidak ikut berpindah, maka perpindahan energi panas secara konduksi hanya terjadi pada zat padat. Besarnya energi panas per satuan waktu yang melewati penampang benda yang dilewatinya disebut laju aliran panas (Kreith, 1973; Kamil; 1983).

Laju aliran panas dapat diketahui melalui persamaan berikut:

Q = kA (T1-T2) / L ... (1) Dimana : Q = Laju aliran panas (Watt)

k = Konduktivitas termal bahan (W/moC)

A = Luas penampang bahan, diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas (m2)

T1-T2 = Perbedaan Suhu (oC) L = Panjang bahan (m)

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa laju aliran panas bertambah apabila nilai konduktivitas suhu, luas penampang, angka konduktivitas termal bahan bertambah dan panjang bahan berkurang.

Nilai konduktivitas termal menunjukkan tingkat kemudahan suatu bahan dilewati oleh energi panas. Bila nilai konduktivitas termal besar, bahan tersebut semakin mudah dilewati oleh panas. Nilai konduktivitas termal juga dipengaruhi oleh suhu (Kamil, 1983).

2.6.2 Konveksi

Konveksi adalah perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan massa atau molekul zat yang dipanaskan. Umumnya konveksi hanya terjadi pada zat cair ataupun gas (fluida).

Bila perpindahan massa fluida disebabkan oleh perbedaan berat jenis fluida karena adanya perbedaan suhu, maka perpindahan panas ini dapat disebut konveksi alami. Namun bila perpindahan massa fluida terjadi karena bantuan suatu alat seperti kipas, blower, kompresor, maupun pompa, maka perpindahan panas ini dinamakan konveksi paksa (Kamil, 1983).


(13)

Besarnya laju aliran panas konveksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Q = h A (T1-T2) ... (2) Dimana : Q = Lajuran aliran panas (Watt)

H = Koefisien pindah panas konveksi (W/moC) A = Luas permukaan perpindahan panas konveksi (m2)

T1-T2 = Perbedaan suhu antara permukaan yang dipanasi dengan suhu fluida yang ditentukan umumnya jauh dari permukaan (oC)

Nilai koefisien pindah panas konveksi selalu berbeda untuk setiap titik pada fluida, namun biasanya digunakan nilai konveksi pindah panas rata-rata untuk mempermudah perhitungan. Karena perpindahan panas secara konveksi juga menyangkut gerakan massa fluida, maka konveksi tidak hanya tergantung pada sifat zatnya saja, namun juga tergantung pada sifat-sifat aliran fluida (Kamil, 1983).

2.6.3 Radiasi

Berbeda dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi, dimana perpindahan panas terjadi melalui perantara, perpindahan panas secara radiasi sama sekali tidak memerlukan zat perantara. Sifat-sifat perpindahan panas secara radiasi sama dengan sifat-sifat gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh adalah perpindahan panas dari matahari ke bumi (Kamil, 1983).

Besarnya laju aliran panas radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

Q = Є σ A T4 ... (3)

Dimana: Q = laju aliran panas (Watt)

Є = Angka emisi permukaan yang meradiasikan panas dan merupakan ukuran kemampuan meradiasikan energi panas

σ = Angka tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8W/m2K4) A = Luas Permukaan (m2)


(14)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Sumber Daya Air Wageningen, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama10 bulan yaitu dari bulan Februari 2011 sampai dengan November 2011.

3.2 BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Minyak nyamplung

2. Minyak tanah 3. Spiritus 4. Air

5. Kertas tissue

6. Potongan kain

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kompor bertekanan (semawar)

2. Galon bekas

3. Pompa udara manual dengan air pressure gauge

4. Timbangan 5. Pemanas (Heater) 6. Hybrid Recorder

7. Termokopel 8. Termostat

9. Pencatat waktu digital 10. Kalkulator

11. Kamera digital 12. Alat tulis 13. Gelas ukur


(15)

Mulai

Selesai

3.3 PROSEDUR PENELITIAN

Gambar 5. Diagram alir penelitian

3.3.1 Persiapan Alat Dan Bahan

Setiap alat yang digunakan diperiksa terlebih dahulu kondisi bagian-bagiannya, seperti pada kompor tekan dimana saluran penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel tidak tersumbat dan nosel juga harus bersih sehingga proses pengujian dapat berjalan lancar. Pompa udara yang digunakan harus dapat bekerja dengan baik. Alat lainnya seperti termostat, heater, dan juga pressure gauge harus diperiksa apakah bisa beroperasi dengan baik. Minyak nyamplung dan minyak tanah dipersiapkan dengan baik dimana minyak nyamplung yang akan diuji terlebih dahulu dilakukan proses degumming.

Persiapan alat dan bahan

Uji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung meliputi; pengukuran diameter, sudut, serta pola penyemprotan minyak nyamplung pada kompor tekan

Aplikasi karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap kompor tekan termodifikasi

meliputi; pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel pada burner termodifikasi, serta kondisi nyala api


(16)

bertujuan untuk menghilangkan gum yang ada pada minyak (degumming). Degumming dilakukan selama beberapa hari dengan menggunakan alat sederhana seperti galon bekas yang dimodifikasi. Proses degumming dilakukan dengan memasukkan minyak nyamplung ke dalam galon ditambah dengan air panas dan asam fosfat. Komposisinya adalah 1 liter minyak nyamplung ditambah dengan 20 ml asam fosfat 20%. Setelah itu dilakukan proses pengadukan selama 10 sampai dengan 20 menit. Lalu minyak dibiarkan selama 6 jam agar minyak terpisah dengan air. Setelah itu air dapat dibuang dengan membuka keran pada bagian bawah galon. Gum akan ikut terbuang bersamaan dengan keluarnya air tersebut. Proses ini dilakukan berulang kali agar minyak benar-benar bersih dari gum.

Gambar 6. Proses Degumming

3.3.2 Uji Karakteristik Penyemprotan Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung memiliki viskositas yang tinggi (53.4 cP), sehingga untuk dapat menggunakannya sebagai bahan bakar pada kompor tekan, maka minyak harus dipanaskan terlebih dahulu agar viskositasnya mendekati viskositas minyak tanah, yaitu 5 cP (Couper et al.,

2005)

Pemanasan minyak nyamplung dilakukan pada suhu yang berbeda-beda, yaitu: T1= suhu ruang

(30oC), T2= 50oC, T3= 70oC, T4= 90oC, T5= 110oC, T6= 130oC, T7= 150oC T8= 161.81oC.

Setelah pemanasan dilakukan, maka pengujian karakteristik penyemprotan minyak nyamplung bisa segera dilakukan. Pengujian semprot ini dilakukan untuk mengetahui hubungan profil atau karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu minyak setelah pemananasan dalam beberapa suhu tertentu. Uji penyemprotan dilakukan dengan kompor bertekanan yang telah dilengkapi pemanas dan termostat pada bagian dalam tangkinya. Termokopel yang telah terpasang di dalam tangki membaca suhu minyak yang diinginkan.

Pemanasan dilakukan dari suhu ruang (30oC) sampai ± 161.81oC. Menurut Lestari (2011) suhu ± 161.81oC adalah suhu pemanasan minyak nyamplung yang diharapkan akan dapat menurunkan viskositasnya hingga mencapai ± 5 cP (Couper et al. 2005) atau setara dengan viskositas minyak tanah. Percobaan diawali dengan mengisi tangki bahan bakar dengan minyak


(17)

nyamplung sebanyak 1 liter. Kemudian pemanas dinyalakan sampai minyak mencapai suhu yang diinginkan. Selanjutnya tangki bahan bakar diberi tekanan sebesar 2 bar, dan keran bahan bakar dibuka. Keran bahan bakar dibuka sekitar setengah putaran bukaan keran. Pembukaan keran setengah putaran adalah kondisi yang ideal untuk menghasilkan semprotan pada pengujian ini. Minyak yang tersemprot diambil profil semprotannya dengan cara membentangkan kertas milimeter blok diatas semburan minyak tersebut. Kondisi pengambilan profil semprotan dilakukan selama 2 detik. Setelah minyak tersemprot selama 2 detik, keran bahan bakar segera ditutup. Pengambilan data dilakukan sebanyak lima kali ulangan setiap masing-masing perlakuan suhu.

Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Pengambilan profil penyemprotan juga dilakukan untuk minyak tanah (sebagai kontrol) dengan prosedur yang sama dengan minyak nyamplung, namun tanpa pemanasan.

Gambar 7. Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar

Pada pengukuran diameter penyemprotan, digunakan kertas milimeter blok dengan jarak 30 cm dari ujung lubang nosel pipa. Hasil penyemprotan tersebut kemudian langsung difoto dengan menggunakan kamera digital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran bentuk penyemprotan bahan bakar akibat terserap oleh kertas milimeter blok, sehingga dapat mempengaruhi besarnya diameter hasil penyemprotan yang diukur.

Bentuk penyemprotan tidak selalu berbentuk lingkaran, sehingga untuk mendapatkan

θ

30 cm

Sumbu horizontal Sumbu vertikal

Kertas millimeter blok

Sudut penyemprotan


(18)

milimeter blok. Kedua sumbu ini akan menunjukkan panjang hasil penyemprotan yang diukur melalui dua titik penyemprotan terjauh secara vertikal dan horizontal. Diameter penyemprotan merupakan hasil rata-rata dari panjang penyemprotan di sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Berdasarkan data diameter hasil penyemprotan, menurut Suastawa et al., (2006) besarnya sudut penyemprotan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Ss= 2 tan− � .5Ds

Tn � ... (4)

dimana: Ss : Sudut penyemprotan (o) Ds : Diameter penyemprotan (mm) Tn : Tinggi nosel (mm)

Bentuk pola, diameter, dan sudut penyemprotan ini kemudian akan dibandingkan antara minyak tanah dengan minyak nyamplung untuk menentukan pengaruh pemanasan pada minyak nyamplung terhadap hasil penyemprotannya.

3.3.3 Aplikasi Pada Kompor Tekan Termodifikasi

Setelah mengetahui karaktarestik penyemprotan minyak nyamplung, maka pengetahuan akan karakteristik tersebut dapat diaplikasikan pada kompor tekan. Dalam aplikasinya, akan diukur suhu minyak nyamplung yang berhasil dipanaskan oleh burner termodifikasi pada sebuah kompor tekan hasil rancangan Lestari (2011). Pengujian ini juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan nyala atau sifat mampu bakar minyak setelah melalui burner termodifikasi tersebut. Sehingga pengamatan kondisi nyala api serta kualitas nyala api pada kompor tekan termodifikasi juga dilakukan dalam penelitian ini. Hasil pengukuran ini akan dibandingkan dengan uji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung sebelumnya. Parameter yang akan diamati pada tahap ini adalah suhu minyak yang berhasil terpanaskan hingga mencapai nosel, dan membandingkannya dengan uji penyemprotan minyak terhadap peningkatan suhu sebelumnya. Pengukuran suhu pada burner

termodifikasi ini dilakukan dengan pemanasan secara berkesinambungan dari nyala api hasil pembakaran pada burner itu sendiri. Pengujian dilakukan dengan kompor bertekanan dan burner

termodifikasi. Pengujian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Persiapan penyalaan kompor. Minyak nyamplung dimasukkan ke dalam tangki kompor sebanyak 800 ml. Memastikan bagian-bagian kompor bersih dari kotoran, seperti saluran minyak dari tangki ke kumparan pipa pemanas, dan juga lubang nosel dipastikan tidak tersumbat. Kemudian tangki diberikan tekanan sebesar 2 Bar dengan menggunakan pompa udara.

2. Proses pemanasan awal. Penyalaan kompor dimulai dengan memanaskan terlebih dahulu bagian kumparan pipa pemanas. Pemanasan awal ini dilakukan dengan menyalakan api dengan minyak tanah dan potongan kain sebagai penyulut dan bahan bakarnya. Setelah proses pemanasan awal selesai, kemudian keran bahan bakar dibuka sekitar seperempat bukaan keran agar minyak dari dalam tangki mengalir ke dalam kumparan pipa pemanas untuk dipanaskan. Beberapa saat kemudian, minyak segera menyembur dari nosel dan segera terbakar.

3. Pengambilan data. Setelah kompor menyala, dengan semburan minyak dan nyala api yang stabil, maka pengambilan data segera dilakukan. Proses pengambilan data dilakukan dengan dua metode berbeda. Metode pertama adalah kondisi dimana api pada kompor masih menyala. Data yang diambil adalah suhu semprotan minyak yang keluar dari nosel. Pengambilan data dilakukan dengan meletakkan termokopel langsung ke dalam semprotan minyak nyamplung.


(19)

Pengambilan data dilakukan sekitar 1 menit dan recorder merekam suhu semprotan minyak nyamplung tersebut. Metode pengambilan data kedua adalah ketika kondisi dimana api dipadamkan. Untuk memadamkan api, maka keran penyalur minyak harus ditutup terlebih dahulu, sampai api tidak ada. Setelah itu, keran dibuka kembali sehingga menghasilkan semprotan minyak dari nosel. Suhu dari minyak ini yang diambil sebagai data untuk metode kedua. Proses pengambilan datanya juga hampir sama dengan metode pertama diatas.


(20)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PERUBAHAN DENSITAS DAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG

TERHADAP SUHU

Untuk dapat dijadikan bahan bakar sebagai pengganti minyak tanah, minyak nyamplung harus memiliki karakteristik yang hampir sama dengan minyak tanah terutama angka kekentalannya (densitas). Densitas dari minyak nyamplung diturunkan melalui proses pemanasan. Sehingga dalam penerapannya, modifikasi dari peralatan diperlukan agar minyak nyamplung sebelum terbakar mengalami penurunan densitas mendekati minyak tanah. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa densitas dari minyak nyamplung menurun setelah melalui proses pemanasan seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan densitas minyak nyamplung (g/mL) terhadap suhu

Sampel Suhu (oC)

30 50 70

1 0.906 0.909 0.902

2 0.905 0.903 0.983

3 0.926 0.898 0.897

Sumber: Purwanto et al., 2011

Kekentalan suatu fluida adalah sifat fisik suatu fluida yang merupakan ukuran resistensinya terhadap laju deformasi apabila fluida dikenai gaya-gaya geser. Kekentalan dipengaruhi oleh suhu, komposisi dan tekanan fluida (Welty et al., 1976). Hasil pengukuran densitas terhadap waktu menunjukkan bahwa viskositas mengalami penurunan terhadap kenaikan suhu (Tabel 6). Hasil yang sama untuk minyak nabati lainnya diperoleh oleh Sunandar, 2010. Desrial et al., 2010 memperoleh kecenderungan yang sama atas penurunan densitas minyak nyamplung terhadap suhu dan pada suhu 70oC diperoleh nilai yang sama yaitu sekitar 0,18 Poise.

Tabel 6. Perubahan viskositas minyak nyamplung (Poise) terhadap suhu

Sampel Suhu (

o C)

30 50 70

1 0.48 0.27 0.20

2 0.55 0.29 0.18

3 0.79 0.31 0.20


(21)

4.2 UJI KARAKTERISTIK PENYEMPROTAN MINYAK NYAMPLUNG

Uji semprot dilakukan dengan menggunakan kompor tekan dengan burner yang belum dimodifikasi (Gambar 8). Posisi nosel pada burner diubah menjadi berada pada bagian atas burner. Hal ini dilakukan agar semprotan tidak terhambat oleh kumparan yang ada pada burner. Pada uji semprot ini, pengujian seharusnya dilakukan sampai dengan suhu mencapai 161.81oC atau sesuai dengan hasil pendugaan simulasi yang telah dilakukan oleh Lestari (2011). Namun untuk mencapai suhu tersebut sangat sulit tercapai. Hal tersebut terjadi karena kondisi seperti heater yang dimasukkan ke dalam tangki kompor kurang memiliki daya untuk memanaskan minyak nyamplung dalam waktu singkat. Heater yang dipakai memiliki daya sebesar 150 Watt. Oleh sebab itu, pengujian semprotan minyak nyamplung cukup sampai pada titik 150oC saja. Pada kondisi suhu ini, profil penyemprotan minyak nyamplung menunjukkan profil yang hampir sama dengan minyak tanah. Hasil pendugaan simulasi Lestari (2011), jika suhu minyak nyamplung berada pada titik 150oC maka besarnya viskositas adalah 5.55 cP atau masih tetap mendekati viskositas minyak tanah (5 cP).

Gambar 8. Pengambilan profil penyemprotan minyak nyamplung

Pengujian semprot terhadap minyak tanah terlebih dahulu dilakukan sebelum pengujian semprot minyak nyamplung. Dari Gambar 9 bisa dilihat contoh profil hasil semprotan minyak tanah dan juga minyak nyamplung pada berbagai suhu. Dari hasil semprotan ini diperoleh karakteristik minyak nyamplung berupa diameter, sudut dan juga pola semprotan.


(22)

17 mm

(a)

25 mm

(b)

30 mm

(c)

50 mm

(e)

55 mm

(f)

70 mm

(g)

35 mm 73 mm

(d) (h)

Gambar 9. Profil semprotan minyak nyamplung pada (a) suhu 30oC, (b) suhu 50oC, (c) suhu 70oC, (d) suhu 90oC, (e) suhu 110oC, (f) suhu 130oC, (g) suhu 150oC, dan (h) minyak tanah pada suhu 30oC


(23)

Karakteristik penyemprotan minyak tanah pada suhu 30oC diperoleh diameter rata-rata penyemprotan sebesar 66.75 mm. Pada minyak nyamplung, hasil yang mendekati diperoleh pada suhu pengukuran 150oC. Pada suhu ini, diameter penyemprotan minyak nyamplung adalah sebesar 65.67 mm. Untuk mengetahui hasil lengkap diameter penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Dari Gambar 10 dibawah, bisa dilihat bahwa kecenderungan perubahan diameter penyemprotan minyak nyamplung terhadap perubahan suhu yang semakin meningkat. Diameter penyemprotan cenderung semakin melebar bila diberi perlakuan panas. Hal ini disebabkan karena butiran-butiran semprotan pada minyak nyamplung berubah menjadi semakin halus akibat perubahan suhu yang semakin tinggi. Kenaikan suhu juga mengakibatkan molekul minyak nyamplung bergerak semakin cepat sehingga pengaruh interaksi antar molekul cairan minyak nyamplung berkurang.

Gambar 10. Grafik pengaruh suhu terhadap diameter penyemprotan minyak nyamplung

Setelah mengetahui diameter semprotan, maka dapat diketahui sudut semprotan. Pada minyak tanah, sudut penyemprotan yang diperoleh adalah sebesar 12.69o pada kondisi suhu 30oC. Pada penyemprotan minyak nyamplung, besar sudut penyemprotan yang mendekati sudut penyemprotan minyak tanah diperoleh pada kondisi suhu 150oC yaitu sebesar 12.49o. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga mempengaruhi perhitungan sudut semprotan. Pada pengujian ini, dengan memperhitungkan tinggi semprotan sebesar 30 cm, maka dihasilkan sudut semprotan minyak nyamplung seperti yang tertera pada Gambar 11. Sama halnya dengan perubahan diameter, perubahan suhu cenderung semakin besar bila diberi perlakuan panas. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan juga minyak tanah dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

R² = 0.9612

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 30 60 90 120 150 180

D ia m et er se mp ro ta n ( mm)

Suhu (oC)


(24)

Gambar 11. Grafik pengaruh suhu terhadap sudut penyemprotan minyak nyamplung

Dengan berubahnya suhu minyak dan diameter penyemprotan, maka sudut penyemprotan juga berubah. Semakin besar diameter semprotan akibat perubahan suhu, maka sudut semprotan juga semakin besar nilainya. Sebab sudut semprotan berbanding lurus dengan diameter semprotan, atau bisa dikatakan dengan rumus yang diperoleh Suastawa et al., (2006): Ss= 2 tan− � .5Ds

Tn �, dimana

Ss adalah sudut semprotan, dan Ds adalah diameter penyemprotan.

Dari hasil pengujian juga dapat terlihat perbedaan pola penyemprotan minyak nyamplung bila dibandingkan dengan minyak tanah. Butiran-butiran pengkabutan pada minyak tanah terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan pada minyak nyamplung baik tanpa pemanasan maupun dengan pemanasan cenderung lebih besar dan tidak merata. Misalnya saja dari contoh profil penyemprotan minyak nyamplung pada suhu150oC, dimana bentuk semprotan minyak terlihat tidak beraturan, berbeda dengan semprotan pada minyak tanah (suhu ruang) yang hampir berbentuk melingkar. Hal ini terjadi karena faktor kandungan getah pada minyak nyamplung yang masih banyak, sehingga mempengaruhi pola dan bentuk semprotannya.

Untuk efektifitas penyemprotan, agar karakteristik minyak nyamplung sesuai dengan minyak tanah, baik dari segi diameter penyemprotan maupun sudut penyemprotan, maka diperlukan suhu lingkungan minyak nyamplung adalah berkisar pada suhu 150oC. Kecenderungan pola dan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung yang sama juga diperoleh oleh Desrial et al., (2010) pada suhu pemanasan 110oC. Untuk melihat hasil gambar lengkap profil penyemprotan minyak nyamplung untuk setiap suhu pemanasan yang diuji, dapat dilihat pada Lampiran 3.

Menurut Surya (2010) karakteristik penyemprotan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa sifat-sifat fisik bahan bakar tersebut, diantaranya densitas, viskositas, dan tegangan permukaan. Ketiga sifat fisik ini nilainya akan menurun bila terjadi perubahan suhu bahan bakar yang semakin meningkat. Penurunan nilai ketiga sifat fisik ini menyebabkan pembentukan butiran-butiran semprotan menjadi lebih halus. Sehingga dapat dikatakan semakin besar nilai suhu perlakuan pemanasan terhadap minyak nyamplung, maka diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung akan semakin besar.

R² = 0.9614

0 2 4 6 8 10 12 14

0 30 60 90 120 150 180

S u d u t s e mp ro ta n ( o)

Suhu (oC)


(25)

Karakteristik penyemprotan ini bisa mempengaruhi proses pembakaran yang segera terjadi. Semprotan yang tidak tepat terjadi karena kualitas pengkabutan yang tidak sempurna. Kualitas pengkabutan minyak nyamplung yang kurang baik menyebabkan proses terjadinya pembakaran akan menjadi tidak sempurna. Minyak nyamplung hasil pemanasan sampai kondisi suhu tertentu akan memiliki karakteristik penyemprotan yang mendekati minyak tanah. Minyak nyamplung hasil perlakuan pemanasan memiliki ketersegeraan untuk terbakar menjadi lebih cepat terjadi bila dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak diberikan perlakuan panas sebelumnya.

4.3 APLIKASI PADA KOMPOR TEKAN TERMODIFIKASI

Setelah mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung, maka dilakukan modifikasi burner dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan pada simulasi yang dilakukan oleh Lestari (2011). Kompor tekan yang dimodifikasi adalah kompor tekan bermerek Zeppelin dengan berbahan bakar minyak tanah. Kompor tekan ini memiliki kapasitas tangki sebesar 2 liter, terbuat dari besi kuningan, dan memiliki panjang kumparan burner sepanjang 12 cm. Burner pada kompor tekan ini hanya memiliki tinggi 6.5 cm. Diameter nosel sebesar 0.5 mm dan diameter dalam pipa kumparan

burner sebesar 0.25 inch. Burner inilah yang akan dimodifikasi oleh Lestari (2011) agar bisa memanaskan minyak nyamplung suntuk menurunkan nilai viskositasnya. Pada Gambar 12 bisa dilihat gambar burner kompor tekan sebelum dimodifikasi.

Gambar 12. Burner kompor tekan sebelum modifikasi

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2011), simulasi dilakukan untuk menduga panjang burner atau kumparan pipa pemanas agar viskositas minyak nyamplung yang keluar dari nosel mendekati minyak tanah. Pada hasil simulasi tersebut, dibutuhkan suhu sekitar ± 161.81oCuntuk mencapai viskositas 5.34 cP atau mendekati viskositas minyak tanah yaitu 5 cP (Couper et al., 2005). Panjang kumparan pipa pemanas yang dibutuhkan adalah 25 cm untuk mencapai suhu tersebut. Pipa pemanas dibuat dari bahan besi jenis mild steel dengan diameter dalam pipa sebesar 0.25 inch dan diameter nosel sebesar 0.5 mm. Burner hasil modifikasi bisa dilihat pada Gambar 13 berikut.


(26)

Gambar 13. Burner kompor tekan hasil modifikasi

Pemanasan awal dilakukan pada saat penyalaan kompor. Pemanasan awal ini berguna untuk memanaskan bagian kumparan pipa pemanas atau burner pada kompor. Setelah melalui beberapa percobaan, ternyata pemanasan awal yang ideal tercapai pada lama waktu sekitar ± 10 menit. Dengan waktu ini, minyak pada kompor tekan sudah cukup panas untuk dapat menyembur dan terbakar dengan baik bila keran bahan bakar dibuka. Pada pengukuran suhu minyak nyamplung dengan burner

hasil modifikasi, pengambilan data suhu minyak nyamplung dilakukan dengan dua kondisi. Kondisi pertama adalah ketika nyala api masih menyala. Sedangkan kondisi kedua ketika nyala api pada kompor terlebih dahulu dipadamkan. Hasil pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel dapat dilihat pada Gambar 14. Untuk mengetahui data lengkap pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi, bisa dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 14. Grafik pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi

Dari hasil data pengukuran, diperoleh rata-rata suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel adalah sebesar 164.70oC dengan kondisi api padam, dan 168.52oC dengan kondisi api menyala. Hasil ini bisa dibilang mendekati nilai suhu yang diharapkan dapat menurunkan viskositas minyak nyamplung hingga mencapai ± 5 cP atau setara dengan minyak tanah, yaitu ± 161.81oC. Perbedaan kedua nilai ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya ada beberapa kondisi yang diabaikan pada perhitungan simulasi yang dilakukan oleh Lestari (2011) seperti pindah panas konveksi alamiah, pindah panas konduksi dari lingkungan ke pipa, dan juga radiasi dari api ke pipa. Kemudian hal ini

161.81 164.7 168.52

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

S

u

h

u

(

oC)

Kondisi pengambilan data


(27)

bisa juga terjadi karena pada saat pengukuran, minyak yang sudah mengalami pemanasan pada pipa sebagian mengalir kembali masuk ke dalam tangki kompor, sehingga suhu minyak pada tangki lebih besar daripada suhu awalnya. Jadi bisa dikatakan, suhu awal pada saat pengujian ini, tidak sama lagi dengan suhu awal yang dilakukan pada pendugaan di simulasi.

Perbedaan suhu yang didapat dari kedua data hasil pengukuran jelas terjadi karena adanya perbedaan kondisi disaat pengukuran. Suhu pengukuran pada saat api menyala lebih besar daripada suhu pengukuran pada saat api padam. Adapun data yang didapat pada saat kondisi api menyala lebih sedikit daripada data pada saat kondisi api padam, ini dikarenakan peneliti kesulitan mendapatkan suhu minyak yang diinginkan akibat pengaruh api yang masih menyala. Proses pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel

Hasil rancangan burner termodifikasi bila dibandingkan dengan pengujian karakteristik penyemprotan sebelumnya, maka burner termodifikasi ini bisa dikatakan dapat memanaskan minyak nyamplung sehingga menghasilkan karakteristik penyemprotan yang mendekati minyak tanah. Hal ini bisa dilihat dari kondisi suhu yang dihasilkan oleh burner yaitu 164.70oC dan 168.52oC tidak berbeda jauh dengan hasil pengujian semprot sebelumnya.

Pembakaran minyak nyamplung pada saat pengujian kinerja burner ini memilki kualitas yang baik. Dari hasi pengamatan, minyak yang tersembur keluar dari nosel hampir seluruhnya berhasil terbakar. Namun hal ini bisa terjadi apabila prosedur penyalaan kompor dilakukan dengan tepat, khususnya pengontrolan aliran minyak nyamplung dari tangki dengan keran. Keran aliran minyak nyamplung sebaiknya tidak dibuka seluruhnya. Bila keran terbuka lebar, maka debit minyak yang keluar dari nosel akan semakin besar. Hal ini menyebabkan banyak minyak hasil semprotan dari nosel tidak segara terbakar dan terbuang begitu saja. Hal ini yang harus dihindari. Pembukaan keran cukup hanya seperempat putaran saja, sehingga debit minyak yang mengalir tepat untuk mencapai terbakarnya seluruh minyak yang tersemprot dari nosel. Dilihat dari segi kualitas pembakaran minyak nyamplung yang dihasilkan, penyemprotan minyak nyamplung dengan burner termodifikasi ini bila dibandingkan dengan kualitas penyemprotan minyak tanah, keduanya memiliki karakteristik yang sudah hampir sama.


(28)

Bila semakin banyak bahan bakar minyak nyamplung yang terbakar, maka api akan menyala dengan warna kuning kemerahan. Kemudian nyala api yang dihasilkan juga sering tersendat-sendat atau tidak menyala dengan konstan. Hal ini bisa saja terjadi akibat pengaruh gum atau getah yang masih ada pada minyak nyamplung. Pada saat minyak terpanaskan, maka getah atau gum yang terdapat dalam minyak akan menumpuk di sekitar nosel sehingga menghambat laju minyak yang kelar dari nosel. Contoh nyala api yang dihasilkan saat pengujian dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Kondisi nyala api saat pengujian

Secara umum, uji kinerja burner termodifikasi ini sudah sesuai dengan harapan dari dilakukannya uji semprot sebelumnya. Bila dibandingkan dengan kesimpulan yang diperoleh Lestari (2011), kompor modifikasi berbahan bakar nyamplung dengan efisiensi 77% ini sudah memenuhi target teknis. Namun agar layak digunakan sebagai pengganti kompor minyak tanah, perlu dilakukan pelatihan dan pengenalan prosedur untuk menggunakan kompor tekan modifikasi ini dengan tepat, sehingga dapat menyala dan berfungsi dengan baik.


(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik penyemprotan minyak nyamplung pada kompor tekan dapat mendekati karakteristik penyemprotan minyak tanah bila diberikan perlakuan panas. Perlakuan panas agar karakteristik minyak nyamplung mendekati karakteristik minyak tanah dicapai pada suhu pemanasan sekitar 150oC.

2. Persamaan karakteristik tersebut dibuktikan dengan diameter semprotan dan sudut semprotan yang dihasilkan. Diameter semprotan minyak nyamplung pada pemanasan suhu 150oC adalah 65.67 mm sedangkan diameter penyemprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah sebesar 66.75 mm. Sudut semprotan minyak nyamplung pada pemanasan suhu 150oC adalah sebesar 12.49o dan sudut semprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah sebesar 12.69o. 3. Pada aplikasi karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap kompor tekan, dapat

disimpulkan bahwa burner termodifikasi pada kompor tekan rancangan Lestari (2011) mampu menurunkan viskositas minyak nyamplung dengan cara memanaskannya sehingga karakteristiknya mendekati karakteristik minyak tanah. Burner termodifikasi ini dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 164.70oC.

5.2 SARAN

1. Untuk penelitian selanjutnya, proses pemurnian minyak nyamplung sebaiknya dilakukan tidak hanya sampai pada proses degumming, namun dilakukan proses-proses kimiawi selanjutnya seperti proses netralisasi sehingga menghasilkan minyak yang lebih murni dan berkualitas. 2. Untuk keperluan penggunaan sehari-hari, kompor bertekanan dengan burner termodifikasi hasil

rancangan Lestari (2011) sebaiknya dilakukan pelatihan terhadap calon pengguna kompor, agar dapat menyalakan kompor tekan ini dengan baik. Pemurnian minyak secara sederhana, dalam hal ini proses degumming juga harus ditingkatkan.

3. Untuk mencegah terhambatnya saluran minyak melalui burner karena gum atau getah, maka ketika kompor telah selesai digunakan, untuk mematikan kompor terlebih dahulu dilakukan pembuangan angin atau udara dengan cara membuka keran pembuang udara. Sehingga bila tidak ada lagi tekanan, maka minyak yang berada pada burner akan turun ke bawah menuju tangki. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya proses pengerakan gum atau getah pada saluran burner.


(30)

UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG DAN

APLIKASINYA PADA KOMPOR TEKAN

SKRIPSI

MADA HUNTER PARDEDE

F14060138

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Annamalai, K., and Puri, I. K. 2006. Combustion Science and Engineering. CRC Press. pp. 851 Balitbang Kehutanan. 2008. Nyamplung Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Seminar Nasional 23

September 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan. Bogor.

Couper JR, Penney WR, Fair WR, and Walas SM. 2005. Chemical Process Equipment: Selection and Design. Elsevier. Burlington, USA.

Daywin, F. J., Djojomartono, M., dan Sitompul, R. G. 1991. Motor Bakar Internal dan Tenaga di Bidang Pertanian. JICA. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[Dept. ESDM]. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kebijakan Energi Nasional 2003-2020. 2004.

Desrial, Y.A. Purwanto, I.A. Kartika, J. Pitono dan N. Wahyudi. 2010. Rekayasa sistem penyaluran bahan bakar motor diesel untuk pemakaian minyak nyamplung murni sebagai bahan bakar alternatif. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 15-16 Desember 2010, Serpong. Dweek, A. C. dan T. Meadows. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) the Africa, Asia

Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci., 24:1-8.

Fathiyah, S. 2010. Kajian Proses Pemurnian Minyak Nyamplung Sebagai Bahan Bakar Nabati. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Graco. 1995. Atomization. Graco Inc. Minneapolis, USA.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Kamil, S. dan Pawito. 1983. Termodinamika Dan Perpindahan Panas. Depdikbud: Jakarta.

Kilham, C. 2003. Oil of Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) http://www.Newchapter.info/media [12 Februari 2011].

Kraftiadi, S. 2011. Analisis Energi Pada Proses Pembuatan Minyak Nyamplung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(32)

Nuryanti, S. 2007. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi Pada Sektor Rumah Tangga di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir di Surabaya. 21-22 November 2007.

Purwanto, Y.A., Desrial, S. Kraftiadi, N. L. Barlian, M. H. Pardede, dan K. Sunandar. 2011. Uji Karakteristik Minyak Nyamplung Sebagai Bahan Bakar Nabati Secara Langsung. Disampaikan pada Seminar Nasional Perteta di Jember. 19-23 Juli 2011.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2009. Tanaman Perkebunan Penghasil Bahan Bakar Nabati (BBN). IPB Press. Bogor.

Stumpf, J., and Muhlbauer, R. 2002. Jatopha Curcas L.As a Source for the Production of Biofuel in Nicaragua. Bioresource Technology, 58. pp. 77-82.

Suastawa, I. N., W. Hermawan, Desrial, R. G. Sitompul dan Gatot P. 2006. Pedoman Praktikum Alat Dan Mesin Budidaya Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor.

Sudradjat, H.R. 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunandar, K. 2010. Kajian Kapilaritas Minyak Nabati Pada Kompor Sumbu. Disertasi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Surya, I.G. 2010. Pendekatan Dengan CFD Untuk Pola Semprotan Single Hole Pada Ruang Bakar Dengan Bentuk D Dan M Design Dengan Bahan Bakar Biodiesel. Tesis. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Welty, J.R., R.E. Wilson., and C.E. Wick. 1976. Fundamentals of momentum heat and mass transfer. New York. Jhon Wiley and Son. Co.

Wichert, M., and Wilbur, L. C. 1987. Handbook of energi System Engineering Production and Utilization. John Wiley & Son, Inc.

Yunita, Delly. 2008. Uji Performansi Teknis Minyak Jarak Pada Kompor Tekan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(33)

UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG DAN

APLIKASINYA PADA KOMPOR TEKAN

SKRIPSI

MADA HUNTER PARDEDE

F14060138

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(34)

Characteristic Performance of Tamanu Oil and Its Application to Pressure Stove Mada Hunter Pardede

Department of Mechanical And Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone +62 813 85661396, e-mail: hunter.pardede@live.com

ABSTRACT

In a rural area, tamanu oil is potential to produce energy which is able to replace kerosene as fuel in a pressure stove. To replace kerosene, tamanu oil must meet the likely criterias with kerosene. One of the most important criterias is in the matter of viscosity. Tamanu oil has higher viscosity than kerosene. Heating was done to decrease the viscosity of Tamanu oil. One of many ways to determine that the viscosity criteria of tamanu oil has been nearly equal to the viscosity of kerosene is by studying spraying criteria of tamanu oil. The purpose of this research was to determine and analyze the spraying criteria of tamanu oil in a pressure stove. This research also tested modified burner designed by Lestari (2011). Spraying testing was done by giving a treatment to tamanu oil in a certain temperature. From the testing result, tamanu oil had the nearly equal characteristic with the spraying kerosene when the temperature of tamanu oil reached ± 150oC. In this temperature, diameter and spraying angle of tamanu oil was 65,67 mm and 12.40o. Whereas, diameter and spraying angle of kerosene without heating treatment was 66,75 mm and 12.60o. According to Lestari (2011), heating must be done until the temperature of tamanu oil reached ±161.81oC, so that the viscosity of tamanu oil reached 5 cP or equal with the kerosene. From the result of the modified burner testing, apparently burner in a pressure stove could heat tamanu oil to reach 164.7oC temperature. Thus, we could conclude that modified burner in a pressure stove can decrease the viscosity of tamanu oil to reach a nearly equal with kerosene.


(35)

MADA HUNTER PARDEDE F14060138. UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG DAN APLIKASINYA PADA KOMPOR TEKAN. Dibawah bimbingan Usman Ahmad dan Y. Aris Purwanto. 2012

RINGKASAN

Minyak tanah adalah bahan bakar utama untuk keperluan rumah tangga yang digunakan masyarakat di Indonesia. Dengan kelangkaan yang terjadi pada minyak tanah dewasa ini, maka harus dicari solusi untuk mengatasi masalah ini. Salah satu solusinya adalah dengan pemanfaatan minyak nabati menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah. Salah satu minyak nabati yang dapat dikembangkan menjadi bahan bakar adalah minyak nyamplung. Secara teknis minyak nyamplung murni dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar, namun kekentalan yang sangat tinggi dan terdapatnya senyawa pengotor dan gum atau getah masih menjadi kendala. Maka perlu dilakukan pengkajian pemurnian minyak nyamplung serta karakterisasi minyak nyamplung terutama viskositasnya agar kriteria minyak nyamplung dapat mendekati kriteria minyak tanah sebagai bahan bakar pada kompor rumah tangga.

Salah satu cara untuk mengetahui kriteria viskositas minyak nyamplung agar mendekati viskositas minyak tanah adalah dengan mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Pada penelitian ini diuji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dengan menggunakan kompor tekan dan dibandingkan dengan karakteristik penyemprotan minyak tanah. Data karakteristik minyak nyamplung ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi pada kompor tekan. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kinerja burner rmodifikasi pada kompor tekan hasil rancangan Lestari (2011). Pengaplikasian karakteristik semprotan minyak nyamplung pada burner

termodifikasi ini dilakukan dengan mengukur suhu sehingga dapat diketahui apakah burner tersebut dapat memanaskan minyak nyamplung agar memilki karakteristik yang mendekati minyak tanah. Hasilnya dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan pengujian semprot sebelumnya.

Parameter pengujian karakteristik penyemprotan adalah pola semprotan, diameter semprotan, dan sudut semprotan. Pengujian dilakukan dengan memberikan perlakuan panas pada minyak nyamplung. Semakin meningkatnya suhu minyak nyamplung, maka diameter serta sudut semprotan akan semakin tinggi. Karakteristik semprotan minyak nyamplung mendekati karakteristik semprotan minyak tanah diperoleh ketika minyak nyamplung berada pada suhu 150oC. Diameter serta sudut semprotan minyak nyamplung yang diperoleh adalah sebesar 65.67 mm dan 12.49o. Sedangkan diameter serta sudut semprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah 66.75 mm dan 12.69o. Jadi pada suhu 150oC, besarnya diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung sudah hampir sama dengan diameter dan sudut semprotan minyak tanah.

Dalam pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner modifikasi pada kompor tekan,

burner diharapkan dapat memanaskan minyak nyamplung sehingga viskositasnya dapat mendekati viskositas minyak tanah. Minyak tanah memiliki viskositas 5 cP pada suhu ruang. Menurut Lestari (2011) untuk mencapai viskositas tersebut minyak nyamplung harus dipanaskan hingga mencapai suhu ±161.81oC. Setelah dilakukan pengukuran, ternyata burner modifikasi dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 164.70oC.


(36)

UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG

DAN APLIKASINYA

PADA KOMPOR TEKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MADA HUNTER PARDEDE

F14060138

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(37)

Judul Skripsi : Uji Karakteristik Minyak Nyamplung dan Aplikasinya Pada Kompor Tekan Nama : Mada Hunter Pardede

NRP : F14060138

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc NIP : 19661228 199203 1 003 NIP: 19640307 198903 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP : 19661201 199103 1 004


(38)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Uji Karakteristik Minyak Nyamplung dan Aplikasinya Pada Kompor Tekan adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Yang membuat pernyataan,

MADA HUNTER PARDEDE F14060138


(39)

©

Hak cipta milik Mada Hunter Pardede, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(40)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 8 Agustus 1988. Penulis merupakan anak kedua, putra dari pasangan Bapak Manaor Pardede dan Ibu Elisabeth Pardede Br. Simbolon. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Katolik San Francesco Balige. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Budhi Dharma Balige pada tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Soposurung Balige lulus pada tahun 2006. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama masa kuliah penulis aktif di dalam organisasi kemahasiswaan, diantaranya UKM PMK IPB, dan GMKI Bogor. Penulis melaksanakan praktek lapangan pada Tahun 2009 dengan topik “Aspek Keteknikan Pertanian di PT. Perkebunan Nusantara VIII Panglejar, Jawa Barat”. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknik Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Uji Karakteristik Minyak Nyamplung dan Aplikasinya Pada Kompor Tekan” dibawah bimbingan Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr dan Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc.


(41)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Karakteristik Minyak Nyamplung dan Aplikasinya Pada Kompor Tekan”. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada personalia di bawah ini:

1. Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku dosen pembimbing akademik yang telah mengarahkan, membimbing dan membantu penulis dari awal hingga selesainya skripsi penulis.

2. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc selaku pembimbing kedua yang telah memberikan wawasan, arahan, masukan serta bimbingan kepada penulis.

3. Ayah dan Ibu terkasih Bapak Manaor Pardede dan Ibu Elisabeth Pardede Br. Simbolon serta ketiga saudara terbaikku Arjuna, Angga, dan Rida yang selalu menjadi sandaran baik suka maupun duka, yang telah memberikan segenap kasih sayang kepada penulis, terima kasih atas semua kasih sayang, doa, dukungan, semangat, motivasi, dan pengorbanannya.

4. Teman-teman seperjuangan Teknik Pertanian angkatan 43 yang telah berjuang bersama-sama selama kurang lebih empat tahun.

5. Saudari Nunik Lestari Barlian, teman seperjuangan dalam penelitian ini. 6. Sahabat-sahabat Pondok Emperor yang selalu ada dalam suka dan duka.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat membangun ke arah yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Maret 2012 Penulis


(42)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I.

PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN PENELITIAN ... 2

II.

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 TANAMAN NYAMPLUNG ... 3

2.2 MINYAK NYAMPLUNG ... 5

2.3 KOMPOR TEKAN ... 7

2.4 ATOMISASI (PENGABUTAN) CAIRAN ... 8

2.5 PROSES PEMBAKARAN ... 10

2.6 PINDAH PANAS (HEAT TRANSFER) ... 11

III.

METODE PENELITIAN ... 13

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 13

3.2 BAHAN DAN ALAT ... 13

3.3 PROSEDUR PENELITIAN ... 14

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 PERUBAHAN DENSITAS & VISKOSITAS MINYAK

NYAMPLUNG TERHADAP SUHU ... 19

4.2 UJI KARAKTERISTIK PENYEMPROTAN MINYAK

NYAMPLUNG ... 20

4.3 APLIKASI PADA KOMPOR TEKAN TERMODIFIKASI ... 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1 KESIMPULAN ... 28

5.2 SARAN ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

LAMPIRAN ... 31


(43)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia ... 4 Tabel 2. Kandungan biji nyamplung ... 5 Tabel 3. Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung ... 6 Tabel 4. Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak

pagar dan sawit ... 7 Tabel 5. Perubahan densitas minyak nyamplung (g/mL) terhadap suhu ... 19 Tabel 6. Perubahan viskositas minyak nyamplung (Poise) terhadap suhu ... 19


(44)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tanaman nyamplung ... 3 Gambar 2. Minyak nyamplung kasar (A) dan minyak yang telah dimurnikan (B)... 5 Gambar 3. Kompor Tekan ... 8 Gambar 4. Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet (Graco 1995) ... 9 Gambar 5. Diagram alir penelitian ... 14 Gambar 6. Proses degumming ... 15 Gambar 7. Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar ... 16 Gambar 8. Pengambilan profil penyemprotan minyak nyamplung ... 20 Gambar 9. Contoh profil semprotan minyak nyampluung dan minyak tanah ... 21 Gambar 10. Grafik pengaruh suhu terhadap diameter penyemprotan minyak nyamplung ... 22 Gambar 11. Grafik pengaruh suhu terhadap sudut penyemprotan minyak nyamplung ... 23 Gambar 12. Burner kompor tekan sebelum modifikasi ... 24 Gambar 13. Burner kompor tekan hasil modifikasi ... 25 Gambar 14. Grafik pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi ... 25 Gambar 15. Pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel ... 26 Gambar 16. Kondisi nyala api saat pengujian ... 27


(45)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tabel pengaruh suhu terhadap daya semprot minyak nyamplung ... 32 Lampiran 2. Tabel karakteristik semprotan minyak tanah ... 32 Lampiran 3. Gambar profil penyemprotan minyak tanah dan minyak nyamplung ... 32 Lampiran 4. Tabel hasil data pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi 34


(46)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di daerah perkotaan maupun pedesaan di Indonesia, sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk keperluan rumah tangga adalah minyak tanah dan biomassa seperti kayu bakar. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara itu, produksi minyak bumi dalam negeri menunjukkan penurunan. Menurut Automotive Diesel Oil dalam Sudradjat (2006), konsumsi BBM selama tahun 2004 mencapai 61.7 juta kiloliter, dengan rincian 16.2 juta kiloliter premium, 11.7 juta kiloliter minyak tanah, 26.9 juta kiloliter minyak solar, 1.1 juta kiloliter minyak disesel, dan 5.7 juta kiloliter minyak bakar. Kemampuan produksi bahan bakar minyak di dalam negeri hanya sekitar 44.8 juta kiloliter, sehingga sebagian kebutuhan bahan bakar di dalam negeri harus diimpor. Setiap bulan, impor minyak mentah dan BBM mencapai 1.5 miliar dollar AS atau sekitar 15 triliun rupiah.

Minyak tanah umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga untuk memasak dan untuk penerangan, terutama di daerah yang belum tersedia listrik (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010). Hasil Survei Sosial ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS setiap 3 tahun menunjukkan bahwa minyak tanah dikonsumsi oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia (Dept. ESDM 2004). Pada 2007 harga minyak mentah dunia meningkat tajam mencapai 72 dollar AS per barrel (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010). Hal ini menyebabkan pemerintah memberikan subsidi yang lebih besar untuk minyak tanah agar harganya dapat terjangkau oleh masyarakat. Subsidi minyak tanah untuk rakyat sangat memberatkan pemerintah. Disaat anggaran pemerintah dibidang lain terus meningkat, pemerintah harus mengeluarkan subsidi minyak tanah untuk rakyat yang besarnya kurang lebih Rp 30 triliun setiap tahunnya, yang seharusnya dapat digunakan untuk alokasi dana yang lain khususnya bidang pendidikan (Nuryanti & Herdine dalam Sunandar 2010).

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka salah satu bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak tanah adalah minyak nabati (plant/vegetable oil) yang bahan bakunya tersedia secara lokal, mudah didapat dan terbarukan (renewable), antara lain minyak nyamplung, minyak kelapa, kelapa sawit, kemiri, jarak, kacang tanah, jarak pagar, bintaro dan minyak nabati tropik lainnya yang berpotensi (minyak biji karet, kapuk, biji sirsak, biji rambutan, biji nimba, dan biji mahoni). Selain itu, dengan adanya minyak nabati ini, maka masyarakat khususnya di pedesaan tidak perlu lagi menggunakan kayu sebagai bahan bakar.

Bahan bakar nabati merupakan bahan bakar yang berasal dari tanaman. Penelitian mengenai bahan bakar nabati ini sudah mulai berkembang. Banyak tanaman yang dinilai memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati setelah melalui serangkaian proses, salah satunya adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.). Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku bahan bakar nabati adalah bijinya mempunyai rendemen yang tinggi, yaitu mencapai 74%, dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Beberapa keunggulan ditinjau dari prospek pengembangan dan pemanfaatan lain, antara lain adalah tanaman tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia; regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan; tanaman relatif mudah dibudidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau hutan campuran (mixed-forest); dan cocok di daerah beriklim kering, produktivitas biji lebih tinggi dibandingkan jenis lain (jarak pagar 5 ton/ha; sawit 6 ton/ha; nyamplung 20 ton/ha).


(47)

Secara teknis minyak nyamplung murni dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati, namun demikian kekentalan dan kadar asam lemak bebas yang tinggi serta adanya senyawa pengotor masih menjadi kendala. Untuk itu perlu dilakukan kajian pemurnian dan karakterisasi minyak nyamplung terutama penurunan viskositasnya agar kriteria minyak nyamplung ini memenuhi kriteria minyak tanah yang digunakan sebagai bahan bakar pada kompor.

Salah satu cara untuk mengetahui kriteria viskositas minyak nyamplung apakah sudah mendekati viskositas minyak tanah adalah dengan mengetahui dan mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung untuk membandingkan antara karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu. Karakteristik penyemprotan minyak tanah juga akan dilakukan dan membandingkannya dengan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Setelah mengetahui karakteristik minyak nyamplung, maka karakteristik ini dapat diaplikasikan untuk merancang burner pada kompor tekan. Sehingga penelitian ini juga akan mengukur kinerja sebuah

burner termodifikasi pada kompor tekan yang dirancang oleh (Lestari 2011) terhadap karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dengan pemanasan yang dilakukan secara berkesinambungan dari nyala api hasil pembakaran pada burner itu sendiri.

Sasaran aplikasi hasil penelitian ini adalah masyarakat atau konsumen skala rumah tangga di daerah yang memiliki potensi tanaman nyamplung. Para konsumen tersebut diharapkan mau dan bisa menggunakan kompor tekan termodifikasi ini dengan minyak nyamplung sebagai bahan bakarnya. Sehingga pada akhirnya pemanfaatan minyak nyamplung sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada penggunaan minyak tanah yang harganya diperkirakan akan terus meningkat dan akan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Pemanfaatan minyak nyamplung diharapkan juga dapat mengurangi penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga yang dapat berdampak buruk terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.

1.2 TUJUAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menguji minyak nyamplung sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah pada kompor tekan. Adapun Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Menentukan tingkat pemanasan minyak nyamplung untuk memperoleh karakteristik

penyemprotan ideal untuk aplikasi pada kompor tekan

(2) Mengaplikasikan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung pada kompor tekan termodifikasi hasil rancangan Lestari (2011)


(1)

g. minyak nyamplung (suhu 130oC)

h. minyak nyamplung (suhu 150oC)

Lampiran 4. Tabel hasil data pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi

No. Suhu Minyak dengan Kondisi Api Padam (oC)

Suhu Minyak dengan Kondisi Api Menyala (oC)

1 160.2 172.4

2 168.4 164.3

3 171.1 175.3

4 166.9 162.1

5 162.3

6 165.9

7 166.1

8 166.2

9 166.8

10 164.5

11 163.0

12 161.5

13 160.9

14 161.5


(2)

(3)

Lampiran 1. Tabel pengaruh suhu terhadap daya semprot minyak nyamplung

Su hu (oC)

Panjang (mm)

Diameter Penyemprotan (mm)

Sudut Penyemprotan

(o) Sumbu

Vertikal

Sumbu Horizontal

30 18.67 17.00 17.84 3.41

50 25.00 22.67 23.84 4.55

70 34.00 29.67 31.84 6.07

90 38.17 32.67 35.42 6.76

110 59.17 51.67 55.42 10.55

130 71.00 53.50 62.25 11.85

150 76.33 55.00 65.67 12.49

Lampiran 2. Tabel karakteristik semprotan minyak tanah Suh

u (oC)

Panjang (mm)

Diameter Penyemprotan (mm)

Sudut Penyemprotan (o) Sumbu

Vertikal

Sumbu Horizontal

30 69.33 64.17 66.75 12.69

Lampiran 3. Gambar profil penyemprotan minyak tanah dan minyak nyamplung

a. minyak tanah (suhu ruang)


(4)

c. minyak nyamplung (suhu 50oC)

d. minyak nyamplung (suhu 70oC)

e. minyak nyamplung (suhu 90oC)


(5)

g. minyak nyamplung (suhu 130oC)

h. minyak nyamplung (suhu 150oC)

Lampiran 4. Tabel hasil data pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi

No. Suhu Minyak dengan Kondisi Api Padam (oC)

Suhu Minyak dengan Kondisi Api Menyala (oC)

1 160.2 172.4

2 168.4 164.3

3 171.1 175.3

4 166.9 162.1

5 162.3

6 165.9

7 166.1

8 166.2

9 166.8

10 164.5

11 163.0

12 161.5

13 160.9

14 161.5


(6)

MADA HUNTER PARDEDE F14060138. UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG DAN APLIKASINYA PADA KOMPOR TEKAN. Dibawah bimbingan Usman Ahmad dan Y. Aris Purwanto. 2012

RINGKASAN

Minyak tanah adalah bahan bakar utama untuk keperluan rumah tangga yang digunakan masyarakat di Indonesia. Dengan kelangkaan yang terjadi pada minyak tanah dewasa ini, maka harus dicari solusi untuk mengatasi masalah ini. Salah satu solusinya adalah dengan pemanfaatan minyak nabati menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah. Salah satu minyak nabati yang dapat dikembangkan menjadi bahan bakar adalah minyak nyamplung. Secara teknis minyak nyamplung murni dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar, namun kekentalan yang sangat tinggi dan terdapatnya senyawa pengotor dan gum atau getah masih menjadi kendala. Maka perlu dilakukan pengkajian pemurnian minyak nyamplung serta karakterisasi minyak nyamplung terutama viskositasnya agar kriteria minyak nyamplung dapat mendekati kriteria minyak tanah sebagai bahan bakar pada kompor rumah tangga.

Salah satu cara untuk mengetahui kriteria viskositas minyak nyamplung agar mendekati viskositas minyak tanah adalah dengan mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung. Pada penelitian ini diuji karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dengan menggunakan kompor tekan dan dibandingkan dengan karakteristik penyemprotan minyak tanah. Data karakteristik minyak nyamplung ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi pada kompor tekan. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kinerja burner rmodifikasi pada kompor tekan hasil rancangan Lestari (2011). Pengaplikasian karakteristik semprotan minyak nyamplung pada burner

termodifikasi ini dilakukan dengan mengukur suhu sehingga dapat diketahui apakah burner tersebut dapat memanaskan minyak nyamplung agar memilki karakteristik yang mendekati minyak tanah. Hasilnya dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan pengujian semprot sebelumnya.

Parameter pengujian karakteristik penyemprotan adalah pola semprotan, diameter semprotan, dan sudut semprotan. Pengujian dilakukan dengan memberikan perlakuan panas pada minyak nyamplung. Semakin meningkatnya suhu minyak nyamplung, maka diameter serta sudut semprotan akan semakin tinggi. Karakteristik semprotan minyak nyamplung mendekati karakteristik semprotan minyak tanah diperoleh ketika minyak nyamplung berada pada suhu 150oC. Diameter serta sudut semprotan minyak nyamplung yang diperoleh adalah sebesar 65.67 mm dan 12.49o. Sedangkan diameter serta sudut semprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah 66.75 mm dan 12.69o. Jadi pada suhu 150oC, besarnya diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung sudah hampir sama dengan diameter dan sudut semprotan minyak tanah.

Dalam pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner modifikasi pada kompor tekan,

burner diharapkan dapat memanaskan minyak nyamplung sehingga viskositasnya dapat mendekati viskositas minyak tanah. Minyak tanah memiliki viskositas 5 cP pada suhu ruang. Menurut Lestari (2011) untuk mencapai viskositas tersebut minyak nyamplung harus dipanaskan hingga mencapai suhu ±161.81oC. Setelah dilakukan pengukuran, ternyata burner modifikasi dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 164.70oC.