110
Bila menyimak sejarah perkembangan ADR dinegara tempat pertama kali dikembangkan Amerika Serikat, pengembangan ADR dilatarbelakangi oleh
kebutuhan sebagi berikut: 1. Mengurangi kemacetan dipengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke
pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan
sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan
memuaskan. 5. Proses penyelesain sengketa mengharuskan para pihak mengembangkan
penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar pada sistem pengaturan sendiri yang dapat ditemukan dinegara Indonesia.
90
3. Pengertian Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa merupakan hal yang bagi sebagian orang kadang kala tabu dibicarakan , namun juga sering kali menjadi perdebatan yang hangat dan sengit.
Dikatakan tabu oleh karena secara alamiah tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa, apapun bentuk dan macamnya. Walaupun demikian kenyataan
menunjukkan bahwa sengketa, bagaimanapun orang berusaha menghindarinya, pasti
90
Suyud Margono SH,Op.cit , hal 35
Universitas Sumatera Utara
111
akan selalu muncul, meski dengan kadar “keseriusan” yang berbeda- beda. Selanjutnya sengketa akan menjadi hangat dan sengit jika ternyata sengketa tersebut
tak kunjung memperoleh penyelesaian bagi pihak- pihak yang terlibat dalam persengketaan tersebut.
91
Setiap sengketa atau penyelesaian yang terjadi dalam anggota masyarakat pada umumnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat bagi kepentingan
bersama. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh dikatakan akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak anggota
masyarakat. Selain proses dan jangka waktu yang relatif lama dan berlarut-larut, serta oknum-oknum yang cenderung mempersulit proses pencarian keadilan, peradilan
yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, bahkan kadang kala “memperkosa” rasa keadilan dan kepatutan yang
berkembang dalam masyarakat. Dunia usaha seringkali juga, secara langsung atau tidak langsung merasa “terpukul” oleh sistem dan cara kerja peradilan yang dianggap
kurang tanggap terhadap kebutuhan ekonomi dunia usaha. Pada tanggal 12 agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Isi dari Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999
tersebut bahwa Undang- undang ini tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang telah cukup dikenal di
91
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2001, hal 25
Universitas Sumatera Utara
112
Indonesia saat ini, melainkan juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1 Angka 10 dan alinea Ke 9 dari Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dikatakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi,
atau penilaian ahli. Ketentuan yang ada dan diatur dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun
1999 mengenai alternatif penyelesaian sengketa dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut diatur dalam Bab II yang ternyata hanya terdiri dari satu pasal
yaitu pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam Pasal 1 angka 10 dan rumusan pasal 6 ayat 1, secara jelas dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan alternatif
penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.
Pranata alternatif penyelesaian sengketa diperkenalkan oleh undang- undang No 30 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 6 terdiri dari:
a. Penyelesian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para hal dalam bentuk “ Negosiasi” sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tersebut b. Penyelesian sengketa yang diselenggarakan melalui dengan bantuan
pihak ketiga yang netral diluar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat 3 pasal 6 ayat 4 dan pasal 6 ayat 5
Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
113
c. Penyelesaian melalui arbitrase Pasal 6 ayat 9 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999
92
Selain pengertian dari “Arbitrase” dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini tidak diberikan adanya definisi atau pengertian dari apa yang dimaksud
dengan dalam perkataan “ Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi maupun penilaian ahli”
4. Penyelesian Sengketa melalui Arbitrase