Hukum Perdata Hukum Waris

Hukum Perdata: Hukum Waris
hukum , Hukum Perdata , Hukum Waris
Hukum yang diterapkan Indonesia sangat beraneka ragam, ada tiga hukum yang berjalan di
Indonesia sendiri. Dikarenakan tiga sistem hukum kewarisan yang berlaku dahulu sangat
berpengaruh dalam pembentukan hukum kewarisan sendiri yang dijalankan bengsa Indonesia
sendiri. Ada tiga sistem sendiri yaitu:
Sistem Hukum Kewarisam Perdata Barat(Eropa), yang termaktub dalam Burgelijk
Wetboek(BW). Biasa dikenal KUH perd. Yang berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S. Jo.
Staatsblad 1917 nomor 12 tentang penundukan diri terhadap Hukum Eropa , Maka BW
berlaku tidak secara mutlak diterapkan diIndonesia dan berlaku bagi sebagian orang yaitu:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan denagn orang Eropa.
b. Orang Timur Asing Tionghoaa
c. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada
hukum Eropa.
Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam ini juga dipengaruhi banyaknya etnis,
suku, ras yang ada diIndonesia. Contohnya pembagian kewarisam sistem matrinial di Minang
kabau, patrinial di Batak, bilateral di Jawa, alteneren unilateral seperti di Rejang Lebong atau
Lampung Papadon, yang diperlakuakan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat
hubungannya dengan masyarakat Hukum Adat yang belaku di masyarakat setempat.
Sistem Hukum Kewarisam Islam, yang berpengaruh dari banyaknya orang yang menganut
agama Islam namun sistemnya berlaku secara plurarisme. Yaitu dari Syiah, hazairin, yang

paling dominan dianut di Indonesia ialah ajaran ahlus sunnah wal jamaah tapi paling dominan
adalah madzhab dari Imam Syafi’i yang beriringan dengan ajaran Hazairin. Ajaran Hazairin
mulai berpengaruh mulai tahun 1950. Di imdonesia sebaga suatu ijtihad untuk menguraikan
hukum kewarisan hukum kewarisan yang ada di Al quran secara bilateral.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini disamping hukum perkawinan, maka
hukum kewarisan merupakan bagian dari Hukum Kekeluargaan. Merupakan peran yang
sangat penting dan juga ini menentukan sepertia apa Hukum kekeluargaan yang berlaku
dalam masyarakat tsb.
Hal inidisebabkan karena hukum kewarusan sangat erat kaitanyya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia. Semua manusia akan melalui segala peristiw penting yang terjadi dalam
hidupnya begitu pula dengan kematiana pasti semua orang akan melaluinya.
Bisa jadi ini akan menimbulkan peristiwa hukum yang berkibat keluarga terdekat akan
kehilangan orang yang dicintai dan hal ini akan dapat meninggalka akibat hukum. Akibat
hukumnya adala bagaimana cata melanjutkan pengurusan hak-hak dan kewajiban orang
sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalkan nya seseirang diatur oleh
hukum Kewarisan.
Hukum Kewarisan dalam Perdata (BW)
1. Pengertian Kewarisan

· Hukum waris atau kewarisan adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga,

karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya,baik
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[1]
· Hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli
waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal dunia, bagaimana
kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.[2]
· Wirdjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan
bahwa “hukum waris adalah hukum –hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang
apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.[3]
Pengertian waris timbul karena adanya kematian yang terjadi pada anggota keluarga,
misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang meninggal itu mempunyai harta kekayaan.
Maka, yang menjadi persoalan bukanlahperistiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dengan demikian jelas, waris itu disatu sisi berakar pada keluarga karena menyangkut siapa
yang menjadi ahli waris dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut waris atas harta
yang ditinggalkan oleh almarhum. Dalam pengertian waris, yaitu anggota keluarga yang
meninggal dan anggota yang ditinggalkannya atau yang diberi wasiat oleh almarhum.
Peristiwa kematian yang menjadi penyebab timbulnya pewaris kepada ahli waris. Obyek
waris adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Jika disimpulkan, maka Hukum Waris

adalah peristiwa hukum yang mengatur tentang beralihnya warisan dari peristiwa karena
kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk.[4] Adapun ini adalah istilah-istilah
yang dipergunakan dalam kewarisan perdata:
Ø Pewaris: adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan.
Ø Ahli waris: adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia menggantikan kedudukan
pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.
Ø Hukum waris: adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia, mengatur peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh seseorang ysng meninggal, serta akibat-akibatnya bagi para ahli waris.
Ø Harta warisan: adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang
ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang berupa
aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris disebut boedel.[5]
Dasar Hukum Waris
Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 830 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu[6]“Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”,
pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut adalah, bahwa jika seseorang
meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli
warisnya.[7]Sehingga dalam hal ini pewarisan akan terjadi, bila terpenuhinya tiga
persyaratan, yaitu :


§ Ada seseorang yang meninggal dunia.
§ Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat
pewaris meninggal dunia.
§ Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggal pewaris.[8]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menetapkan tertib keluarga yang berhak menjadi
ahli waris, yaitu suami atau isteri yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari
pewaris, menurut Undang-Undang ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:[9]
a. Sebagai ahli waris menurut Undang-Undang (ab intestato).
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).
Adapun menurut yang lain, ahli waris dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Golongan Pertama, yaitu sekalian anak beserta keturunannya dalam garis keturunannya
lancang ke bawah.[10]Dalam Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan:“Anak-anak atau sekalian mereka biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan
sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah antara
laki-laki ataupun perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu,
mereka mewarisi kepala demi mereka. Jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga
dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka
mewarisi pancang demi pancang. Jika sekalian atau sekedar sebagian mereka bertindak
sebagai pengganti”.
b. Golongan Kedua, yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris pada dasarnya bagi orang

tua disamakan dengan saudara-saudara pewaris tetapi ada jaminan dimana bagian orang tua
tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) harta peninggalan.[11]
c. Golongan Ketiga, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 853 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yaitu:“Apabila si meninggal tidak meningglakan keturunan maupun suamiisteri, maupun saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 859
warisannya harus dibagi dalam bagian yang sama, ialah satu untuk bagian sekalian keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus ke atas dan bagian untuk sekalian keluarga yang sama
dalam garis seibu. Waris yang terdekat derajat dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah
dari bagian dalam garis, dengan mengesampingkan segala waris lainnya, semua keluarga
dalam garis lurus ke atas dalam derajat yang sama mendapat bagian mereka kepala demi
kepala.”
Sedangkan dalam Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan,
yaitu:“Apabila seseorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun
suami-isteri, sedang bapak ibunya masih hidup, maka dari mereka mendapatkan sepertiga
dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki ataupun
perempuan yang mana mendapatkan sepertiga, selebihnya si bapak dan si ibu masing-masing
mendapatkan seperempat, jika si meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki ataupun
perempuan, dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki-laki
ataupun perempuan”.[12]

d. Golongan Keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke sampaing dan sanak keluarga

lainnya sampai derajat keenam.
Ruang Lingkup Kewarisan Hukum Perdata
Dalam sistematika kitab Undang-Undang HukumPerdata (BW) hak dan kewajiban di bidangbidang kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata
tentang benda,dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan. Terhadap ketentuan tersebut di
atas, ternyata ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih,
misalnya:
ü Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya
sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat pribadi, mengandung prestasi
yang kaitannya sangat erat dengan pewaris. Contoh: hubungan kerja pelukis, pematung,
sebagaimana diatur dalam pasal 1601 dan pasal 1318 KUHPerdata.
ü Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam pasal 1646 ayat (4)
KUHPerdata.
ü Pemberian kuasa berakhir dengan meinggalnya orang yang memberi kuasa, diatur dalam
pasal 1813 KUHPerdata.
ü Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang dibawah kekuasaan
orangtua atau dibawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur dalam pasal
314 KUHPerdata.
ü Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur
dalam pasal 807 KUHPerdata.[13]
Sebaliknya ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga yang ternyata dapat

diwariskan, misalnya:
ü Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat dilanjutkan oleh para ahli
warisnya, sebagaimana diatur dalam pasal257 jo. Pasal 252jo. Pasal 259 KUHPerdata.
ü Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau
tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara
perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam pasal 269, 270,
dan pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan bahwa seorang anak dapat
mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan sebagai anak sah.
Tempat Pengaturan Hukum Waris dalam KUHPerdata
Hukum waris ditempatkan dalam buku II KUHPerdata (tentang benda), dengan alasan:
ü Hak mawaris diidentikan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam pasal 528
KUHPerdata.
ü Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan

dalam pasal 584 KUHPerdata.
Penempatan hukum waris dalam buku II KUHPerdata tersebut di atas, menimbulkan reaksi
dikalangan para ahli hukum. Para ahli hukum berpendapat, bahwa dalam hukum mawaris
tidak hanya terdapat aspek hukum benda saja, tetapi terdapat juga aspek-aspek yang lainnya,
meskipun tiak dapat disangkal bahwa sebenarnya hukum waris termasuk dalam hukum harta.
[14]Aspek-aspek hukum lainnya yang terkait adalah:

§ Aspek hukum harta kekayaan, tentang perikatan harta peninggalan selain berupa hak hak
kebendaan yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan dapat
dapat juga berupa sejumlah utang-utang yang melibatkan pihak ketiga (hak perorangan).
§ Aspek hukum keluarga, pada pewarisan menurut Undang-Undang syarat utama untuk
tampil sebagai ahli waris adalah adanya hubungandarah. Hal ini berarti terkait dengan aspek
hukum keluarga.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, para ahli hukum berpendapat, untuk menetapkan hukum
waris sebagai bagian yang terpisah atau buku tersendiri, tidak diatur dalam hukum benda
(buku IIKUHPerdata).
Hukum Kewarisan Adat
Pengertian Hukum Waris Adat
· Pewarisan adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta
kekayaan yang akan ditinggalkan atau pembagian harta warisan kepada ahli warisnya oleh si
pewaris.[15]
· Di dalam hal hukum adat waris, menurut Prof. Soepomo, hukum waris adalah peraturanperaturan yang mengatur proses penerusan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele geoderen) dari suatu generasi kepada
keturunannya.[16]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat adalah hukum yang
mengatur peralihan (perpindahan) atau penerusan (pengoperan) harta warisan material dan
non material dengan segala akibatnya dari suatu generasi ke generasi berikutya sebagai akibat

dari meninggalnya si pewaris.
Sistem Pewarisan Dalam Masyarakat Adat
Sistem pewarisan menurut hukum adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh struktur
kemasyarakatan setempat, sehingga terjadi perbedaan daerah satu dengan daerah lainnya. Di
yaitu Indonesia dikenal 3 jenis organisasi kemasyarakatan pokok:
Ø Matrilineal yaitu masyarakat yang bertumpu kepada hubungan darah melalui garis
keturunan permepuan, sehingga yang berhak melanjutkan garis generasi hanyalah anak
perempuan, meskipun anak laki-laki juga berhak mewarisi dari ibu kandungnya dan dari
mamak melalui garis keturunan perempuan. Daerah yang menggunakan sistem ini yaitu
masyarakat suku Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung Buru, Seram, Nusa Tenggara dan suku
Irian.

Ø Patrilineal yaitu masyarakat yang bertumpu kepada hubungan darah melalui garis
keturunsn laki-laki, sehingga yang berhak meneruskan garis keturunan hanyalah anak lakilaki, sedangkan anak perempuan yang menikah direnggutkan dari kerabat patrilineal dan
dimasukkan kedalam kerabat patrilineal suaminya. Sistem ini digunakan di daerah
masyarakat suku Minangkabau, Enggono dan suku Timor.
Ø Parental atau Bilateral yaitu dasar dari masyarakat yang menganut sistem ini adalah
perjodohan (hubungan sah laki-laki dan perempuan selaku suami isteri berdasarkan nikah),
sehingga baik ayah maupun ibu menjadi pewaris bagi anak kandungnya, baik yang laki-laki
maupun perempuan dengan bagian yang asasnya sama. Sistem ini dapat dilihat pada

masyarakat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya.[17]
Dan untuk pola pokok pembagiannya menurut hukum adat, dibagi menjadi tiga sistem
kewarisan diantaranya:
v Sistem Kewarisan Individual, adalah suatu sistem kewarisan dimana harta peninggalan
dapat dibagi-bagikan dan dimiliki secara individual diantara para ahli waris. Sistem tersebut
dianut masyarakat parental di Jawa.
v Sistem Kewarisan Kolektif, adalah suatu sistem kewarisan dimana harta peninggalan
diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan persekutuan hak dimana harta itu
merupakan pusaka yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para waris untuk dimiliki secara
individual. Contohnya pada masyarakat matrilineal di Minangkabau, pada masyarakat
parental di Minahasa, dan terdapat pula pada masyarakat patrilineal di Ambon.
v Sistem Kewarisan Mayorat, adalah suatu sistem kewarisan dimana anak tertua laki-laki,
pada saat pewaris wafat berhak tunggal untuk mewaris seluruh atau sejumlah harta pokok
dari harta peninggalan. Contohnya untuk laki-laki di Batak dan Bali, perempuan di Tanah
Semendo Sumatra Selatan dan suku Dayak di Kalimantan Barat.[18]
Konsep Hukum Waris Adat
Walaupun hukum waris adat berbeda-beda menurut daerah hukum adat, namun pada
dasarnya konsep pewarisan menurut hukum adat di setiap daerah adalah sama, yaitu :
ü Harta peninggalan harus diutamakan guna menutupi biaya pemakaman dan pemeliharaan
jenazah.

ü Jika harta kekayaan tidak tercukupi, biaya-biaya tersebut ditanggung ahli waris.
ü Utang pewaris dibebankan pada harta peninggalan.
ü Utang tidak diwarisi, tetapi dapat dianggap kewajiban moral bagi ahli waris untuk
melunasi, namun di Pulau Bali utang pewaris diwariskan kepada ahli waris.
ü Harta warisan tidak merupakan kesatuan yang dalam keseluruhannya beralih dari pewaris
kepada ahli waris.
ü Tidak ada hak ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut (meminta) pambagian
ü Tidak ada tenggang waktu untuk membagikan hasil warisan, melainkan sesuai kesepakatan.

ü Pembagian warisan diberikan berangsung-angsur yaitu anak-anak satu persatu mendapat
bagian pada waktu mereka mendirikan rumah tangga sendiri.
ü Semasa hidupnya, seorang pewaris dapat mengadakan penetapan mengenai harta kekayaan
dengan membuat surat wasiat yang menyebutkan harta kekayaan kelak harus dibagikan
antara para ahli waris, dan dilaksanakan pembagiannya setelah meninggal.
ü Bilamana seorang ahli waris meninggal dunia sebelum pewaris, tempatnya dapat diganti
oleh anak-anaknya.
ü Anak angkat yang diangkat dengan resmi mendapat hak waris, tetapi tidak sama seperti
anak kandung.[19]
Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan Menurut Hukum Adat
Pewaris
Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris
atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau
dibagikan kepada ahli waris.[20]Pewarisan ditentukan dari ada tidaknya harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh pewaris. Hukum adat, hukum Islam maupun hukum BW telah mengatur
adanya pewarisan ini, sehingga secara otomatis jika ada seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan maka sudah ada peraturan yang mengatur pembagian harta
warisan kepada para ahli warisnya. Namun demikian pewaris dapat juga mempunyai
kehendak sendiri terhadap harta yang akan ditinggalkannya itu, yang disebut dengan wasiat.
Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang mempunyai hak untuk menerima harta warisan. Anak
dari sepeninggal pewaris merupakan golongan ahli waris yang utama, karena mereka pada
hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris. Menurut hukum adat, hukum Islam
maupun hukum BW, ahli waris dapat ditentukan sesuai dengan urutannya yang terpenting,
yaitu:Janda—Duda—Anak Kandung—Anak Angkat—Orang Tua Kandung—Saudara
Kandung—Cucu.
Harta Warisan
Harta warisan adalah wujud harta kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada para ahli
waris. Harta waris dapat berupa barang tidak bergerak, barang bergerak, dan barang pusaka.
Barang tidak bergerak misalnya tanah, sawah, rumah, ladang kebun, dan sebagainya. Barang
bergerak berupa mobil, motor, sepeda, binatang ternak, dan lain sebagainya. Barang pusaka
adalah barang-barang yang tidak bernilai ekonomis tinggi, namun sangat dihargai dan dirawat
dengan baik dan hati-hati, seperti keris, tombak, kitab kuno, dan lain-lain.
Jenis-Jenis Harta Warisan
ü Harta Asal
Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dimiliki dan dikuasai pewaris sejak semula,
berupa harta bawaan ataupun harta peninggalan yang dibawa kedalam perkawinan yang
diperoleh dari harta warisan orangtuanya, hasil kerja dan pemberian orang lain yang
memungkinkan bertambah selama masa perkawinan.Ditinjau dari asal mulanya, harta asal
dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:
1) Harta Bawaan

· Harta Suami
Harta bawaan dapat dibedakan dalam harta pembujangan/penantian dan harta pembekalan.
Harta pembujangan adalah harta dalam perkawinan jujur yang menyerap sang isteri ke dalam
marga sang suami (petrilokal). Harta penantian berupa tanah, rumah beserta alat
perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, harta penantian suami merupakan harta pokok,
sedangkan bawaan isteri menjadi harta tambahan yang bersatu dengan harta pokok (dalam
sistem pewarisan kolektif mayorat) atau tetap terpisah dari harta pokok (dalam sistem
pewarisan kolektif matrilineal).Harta pembekalan adalah harta bawaan suami yang ikut
menetap di pihak isteri dalam perkawinan semenda (matrilineal). Bila terjadi perceraian harta
bawaan mereka kembali kepada pemilik/kerabat asalnya, kecuali dalam perkawinan
“manggih kaya” (Jawa Tengah, Jawa Timur) atau “nyalindung kagelung” (Jawa Barat), yang
berakibat bahwa semua harta berturut-turut dikuasai oleh suami (manggih kaya) atau isteri
(nyalindung kagelang).
· Harta Bawaan Isteri, berupa:
a. Harta bawaan ke tempat suami karena sistem perkawinan jujur.
b. Harta bawaan sebagai harta penantian isteri berdasarkan ikatan perkawinan semenda
(matrilineal).
c. Harta bawaan pembekalan dalam hubungan perkawinan bebas mandiri, terlepas dari
naungan bebas kerabat.
2) Harta Peninggalan
· Peninggalan Tak Terbagi:
a. Harta pusaka (Minagkabau)
b. Tanah buway, tanoh manyanak (Lampung)
c. Tanah tembawang (Daya Benawas)
d. Tanah kalakeran (Minahasa)
e. Tanah dati (Ambon)
Harta kekayaan tersebut adalah harta peninggalan turun temurun dan merupakan milik
bersama sekerabat, di bawah kekuasaan dan pengawasan tetua adat setempat. Harta tersebut
biasa disebut harta pusaka tinggi dan tidak terbagi kepemilikannya. Hanya hak pakainya saja
yang selanjutnya dapat diwariskan dari pewaris kepada ahli waris tertentu.Biasanya harta
tersebut tidak hanya pantang dibagi, tetapi juga tidak boleh dijual lepas dan hanya dapat
dijual gadai pada situasi-situasi tertentu yang sangat mendesak.
· Peninggalan Terbagi
Dalam perkembangannya harta pusaka menjadi harta keluarga yang dikelola oleh ayah dan

ibu, sebagai akibat melemahnya ikatan kerabat maka lambat laun harta tersebut tidak hanya
dapat dibagi-bagi hak pakainya, tetapi juga hak miliknya sehingga berkembang menjadi hak
milik perorangan.
· Peninggalan Belum Terbagi
Harta peninggalan yang seharusnya dapat diteruskan kepada para waris, namun ditangguhkan
waktu pembagiannya, karena berdasarkan berbagai pertimbangan:
a. Masih ada orang tua (ayah/ibu), janda/duda si pewaris yang dapat mengelola harta warisan.
b. Harta peninggalannya terbatas sedangkan ahli warisnya banyak. Misalnya harta
peninggalannya hanya sebuah rumah saja, sedangkan anak-anaknya sebelas anak.
c. Harta tersebut tertentu jenis dan macamnya. Misalnya senjata pusaka harus diwariskan
kepada anak laki-laki, sedangkan ia masih kecil.
d. Pewaris tidak mempunyai keturunan, jandanya masih dapat mempunyai anak dari
perkawinan berikutnya (misalnya si janda menikah dengan adik almarhum suaminya).
e. Para waris belum dewasa, belum mampu mengelola harta warisannya, sehingga untuk
sementara diurus oleh orangtua (janda) atau saudara pewaris.
f. Belum ada waris pengganti, keturunannya semuanya perempuan, sedangkan yang berhak
memperoleh harta warisan hanyalah anak laki-laki, jadi ditunggu sampai lahir cucu laki-laki
dan mungkin anak perempuan yang ditentukan untuk itu.
g. Ada pewaris yang belum hadir, sehingga musyawarah belum dapat diselenggarakan,
terlebih lagi bahwa dialah yang berhak menentukan pembagiannya.
h. Utang piutang pewaris belum diketahui dengan jelas.
ü Harta Pencarian
Harta pencarian adalah semua harta yang diperoleh suami atau isteri atau keduanya secara
bersamaan selama perkawinan (gono-gini). Harta pencarian dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Harta Bersama
Yaitu semua penghasilan suami isteri selama masa perkawinan (selain harta asal/harta
pemberian yang mengikuti harta asal). Dalam masyarakat bersistem parental dengan
perkawinan bebas seharkat-sederajat, harta pencarian bersama itu (terlepas dari harta asal)
dapat dibagi, baik karena perceraian maupun sebab pewarisan.Di Jawa, gono-gini adalah
“karyane wong loro” yaitu hasil karya dua orang, dan karena itu juga “duweke wong loro”
yaitu milik dua orang serta merupakan harta tak terbagi bila perjodohan berlangsung lestari.
Sebaliknya jika perkawinan putus harta gono-gini dibagi berdua antara sumi dan isteri.
2) Harta suami
Menurut adat Jawa harta suami adalah harta yang dimiliki suami karena pencarian sendiri

disebabkan adanya perkawinan yang tidak sederajat. Dengan begitu suami berhak
menentukan pewarisannya. Dan jika ia tak punya keturunan, maka harta tersebut kembali ke
kerabatnya beserta dengan harta asal. Namun jika ia mempunyai keturunan maka harta
tersebut semuanya jatuh kepada keturunannya itu.
3) Harta Isteri
Yaitu harta yang diperoleh karena bekerja dan berusaha mandiri. Isteri berhak melakukan apa
saja dengan harta tersebut tanpa persetujuan suami. Jika perkawinan putus, maka harta isteri
beserta harta bawaannya menjadi harta asal yang dapat diwariskan kepada anak kandungnya,
baik yang sah maupun di luar nikah.
ü Harta Pemberian (Hibah Wasiat)
Hukum adat tidak menentukan apakah hibah wasiat itu bersifat terbuka, atau rahasia, atau
harus ditulis sendiri. Namun menurut adat di beberapa daerah, cukup diikrarkan dihadapan
isteri, anak-anak atau warga kerabat dekat lainnya. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam
sub bab wasiat.
v Warisan yang Berupa Hak dan Kewajiban
Harta warisan tidak hanya berupa harta benda saja, bisa berupa hak dan kewajiban.
1) Hak Pakai
Di daerah tertentu, pewarisan hak pakai berlaku atas harta pusaka tinggi atau harta pusaka
rendah yang tak terbagi. Mungkin juga yang menyangkut harta warisan yang seharusnya
dibagi, tetapi karena pertimbangan tertentu masih dibiarkan dalam keadaan utuh. Cantoh:
a. Di Minang atas harta pusaka (ganggam bauntuah)
b. Di wilayah Semenda, Sumatera Selatan terdapat harta yang dikuasai tunggu tubang (wanita
tertua)
c. Di Lampung atas rumah kerabat atau alat-alat perlengkapan adat yang dikuasai anak
tertentu (anak penyimbang, pemuka adat)
2) Hak Tagihan
Pewaris yang meninggal mungkin meninggalkan hutang usaha dalam jumlah besar kepada
perorangan, organisasi atau instansi. Sebaliknya mungkin juga almarhum mempunyai
simpanan di Bank, piutang pada orang lain yang seharusnya diterima oleh para ahli warisnya.
5. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat
Waktu Pembagian
Di kebanyakan masyarakat, pembagian warisan yaitu pada waktu nyeribu hari atau hari ulang
tahun wafatnya pewaris dan para ahli waris diharapkan berkumpul di tempat almarhum
pewaris.

Ø Juru bagi (yang membagikan), antara lain:
§ Orang tua yang masih hidup (janda/duda pewaris).
§ Anak tertua lelaki atau perempuan.
§ Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana.
§ Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat, ditunjuk atau dipilih oleh para waris
untuk bertindak sebagai juru bagi.
Cara Pembagian dan Besarnya Bagian yang Diterima
Menurut hukum adat, terutama adat jawa terdapat dua cara, yaitu (1) dengan cara segendong
sepikul, artinya bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, (2) dengan cara
dundum kupat, artinya bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan sama.
a. Bagian yang diterima oleh isteri/janda
ü Hak janda atas gono-gini, menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, seorang janda
mendapat separoh dari harta gono-gini.
ü Hak janda atas barang-barang gono-gini, selama seorang janda belum kawin lagi, barangbarang gono-gini yang dipegang olehnya tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin hidupnya.
ü Hak janda atas barang-barang gono-gini sampai ia meninggal atau sampai ia kawin lagi.
b. Bagian yang diterima oleh suami/duda, pada dasarnya hak duda sama dengan hak janda.
c. Bagian yang diterima oleh anak kandung
Menurut hukum adat di Jawa Tengah, seorang janda berhak membagi-bagikan harta warisan
antara anak, asalkan setiap anak memperoleh bagian yang pantas. Kadang ada juga kebiasaan
bahwa anak laki-laki mendapat bagian tanah-tanah usaha (sawah, ladang atau kebun),
sedangkan anak perempuan mendapat tanah pekarangan dan rumah tinggal.Sedangkan
menurut hukum adat di Tulungagung, semua ahli waris mempunyai hak yang sama. Namun
setelah masuknya pengaruh islam, anak laki-laki mendapatkan dua bagian, anak perempuan
mendapatkan satu bagian.
d. Bagian yang diterima anak angkat
Menurut hukum adat di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta
gono-gini dari orangtua angkatnya. Terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak
berhak mewarisinya.[21]
III. Hukum Kewarisan dalam Islam
1. Pengertian Mewaris

· Perkataan mewaris di dalam bahasa Arab berasal dari kata “warisa-yarisu-irsanwamiirasan”.[22]Dalam al-Qur’an contoh ayat yang memuat perkataan mewaris misalnya:
(16:‫وورث سليمان داود )النمل‬
“ dan sulaiman telah mewaris”
· Menurut lughot, arti kata mewaris adalah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari satu golongan kepada golongan yang lain. Pengertian ini mempunyai cakupan
yang lebih luas, karena tidak hanya menyangkut harta benda saja, melainkan juga mengenai
ilmu atau kemuliaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah sabda Rasulullah saw:
‫العلماءورثةالنبياء‬
“Ulama’ adalah pewaris para Nabi”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi mewariskan sesuatu kepada para ulama. Padahal Nabi
tidak pernah mewariskan harta ataupun uang, tetapi hanya mewariskan ilmu. Dengan
demikian, siapa pun yang mempelajari ilmu (agama), maka ia akan mewarisi ilmu dari Nabi.
· Menurut Istilah, mewaris adalah perpindahan pemilikan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang kebutuhan hidup
atau hak-hak syar’iyah.[23]
2. Pengertian Peninggalan
Peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik
berupa uang atau hak-hak materi lainnya. Menurut jumhur fuqaha (kesepakatan ahli fiqh),
semua yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia tersebut “peninggalan”.
Pengertian ini sudah mencakup semuanya, baik ia mempunyai hutang piutang atau tidak.
Sedangkan yang dimaksud dengan hutang piutang adalah baik yang berupa uang ataupun
bentuk lainnya (misalnya berupa tanggungan dan lain-lain).[24]
Hak-Hak yang Berkaitan Dengan Peninggalan
Hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan dari orang yang meninggal dunia adalah sebagai
berikut:[25]
1. Pengurusan Jenazah
Jenazah yang meninggal dunia itu wajib dirawat seperlunya, dikafani dengan kain kafan yang
sesuai dengan kondisi status sosial ekonominya. Merawat jenazah merupakan suatu pekerjaan
yang harus dilakukan sejak seseorang meninggal dunia sampai saat pemakaman. Biaya yang
dibutuhkan untuk merawat jenazah terdiri dari biaya memandikan, mengkafani, menguburkan
dan biaya lainnya yng berkaitan dengan proses pemakamannya tersebut. Besarnya biaya
perawatan jenazah disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan, baik kondisi sosial
ekonominya maupun jenis kelamin jenazah.
2. Dibayarkan hutang-hutangnya
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada para ahli waris, semua hutangnya harus dibayar

(dilunasi) terlebih dahulu. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Jiwa seorang mukmin
tergantung kepada hutangnya, sampai dibayarkan”.Sedangkan hutang-hutang dari orang yang
meninggal dunia kepada Allah yang tidak dimintakan tanggung jawabnya kepada manusia,
seperti hutang mengeluarkan zakat, membayar kafarat, memenuhi nadzar dan lain-lain tidak
perlu dipenuhi menurut madzhab Abu Hanifah. Tetapi menurut jumhur ulama hal tersebut
wajib dipenuhi sebelum harta peninggalan dibagikan kepada para ahli waris.
ü Dasar Hukum yang Melandasi Pendapat Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah, perbuatan mengeluarkan zakat, membayar kafarat dan sebagainya,
merupakan ibadah. Padahal ibadah menjadi gugur jika seseorang meninggal dunia. Sebab
untuk menunaikan ibadah, harus dilakukan dengan niat dan usaha. Kedua hal itu tidak
mungkin dikerjakan oleh orang yang meninggal dunia.Meskipun kewajiban orang tersebut
menjadi gugur setelah meninggal dunia, namun ia tetap berdosa dan akan dimintai
pertanggungjawabannya di akherat kelak. Mengenai siksa yang akan ditanggungnya di
akhirat, al itu diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. Jika Allah menghendaki orang
tersebut mendapatkan siksa, maka ia pun akan disiksa. Tetapi jika Allah mengampuni dengan
kasih sayang-Nya, maka orang tersebut akan terbebas dari siksa. Ketentuan ini tidak berlaku
jika sebelum meninggal dunia, orang tersebut sudah berwasiat agar semua kewajibannya
dipenuhi oleh ahli warisnya. Dengan kondisi seperti itu, maka semua kewajibannya harus
dipenuhi dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada para ahli waris.
ü Dasar Pemikiran Jumhur Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa semua hutang kepada Allah wajib dipenuhi, seperti halnya
hutang kepada manusia. Membayar hutang kepada Allah tidak membutuhkan niat, sebab hal
itu bukan merupakan ibadah murni. Karena hutang kepada Allah itu ada kaitannya dengan
uang, maka harus dipenuhi meskipun orang yang meninggal dunia tidak pernah berwasiat
kepada keluarganya. Bahkan menurut Mazhab Syafi’i, hutang-hutang kepada Allah harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum hutang-hutang kepada manusia. Tetapi menurut Mazhab
Hambali, hutang kepada Allah dipenuhi sesudah memenuhi hutang kepada manusia.
3. Melaksanakan Wasiat
Wasiat dari orang yang meninggal dunia harus dilaksanakan sepanjang tidak melebihi dari
sepertiga bagian dari harta peninggalan. Wasiat tidak ditujukan kepada para ahli waris dan
tidak perlu meminta persetujuan dari mereka. Pelaksanaan wasiat dilakukan setelah semua
proses perawatan terhadap jenazah orang yang meninggal dunia selesai sampai dengan
pemakamannya.Setelah semua hutang orang yang meninggal dunia dilunasi, barulah wasiat
dilaksanakan. Jika jumlah wasiat itu lebih dari sepertiga bagian harta peninggalan, maka
wasiat tersebut tidak dapat dilaksanakan, kecuali mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli
waris. Ketentuan tersebut didasarkan pada sabda rasulullah saw yang disampaikan kepada
Saad bin Abi Waqqash yang artinya: “sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, hal itu lebih
baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka memintaminta kepada orang lain”. Ditegaskan pula oleh beliau dalam sabdanya yang lain yang
artinya: “sesungguhnya Allah memberi sadaqah kepadamu ketika kamu meninggal dunia
dengan sepertiga hartamu untuk menambah amal-amalmu”.
Setelah semua hutang dan wasiat dari orang yang meninggal dunia diselesaikan, barulah harta
peninggalan yang tersisa dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan al-

Qur’an, hadits dan ijma’. Mula-mula harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang
mempunyai bagian tetap , kemudian kepada ahli waris yang ditentukan pembagiannya
berdasarkan kelebihan harta dan golongan ahli waris peringka selanjutnya.[26]
Ø Hukum Wasiat
ü Wajib, bila wasiat itu sebagai pemenuhan hak-hak Tuhan yang dilalaikan, seperti:
pembayaran zakat, kafarat, nadzar, fidyah puasa,haji,dll. Atau sebagai pemenuhan hak-hak
sesama yang tidak diketahui selain oleh si pewarisnya sendiri.
ü Sunnat, bila wasiat itu untuk orang yang tidak dapat menerima pusaka atau untuk motif
sosial, seperti berwasisat pada fakir miskin, anak yatim, dsb, dengan tujuan bertaqqarub pada
Allah dan menambah amal shaleh.
ü Haram, bila wasiat itu untuk tujuan maksiat seperti mendirikan tempat berjudian, pelacuran.
ü Makruh, bila wasiat tersebut diwasiatkan kepada orang fasik dan orang ahli maksiat yang
dengan wasiat itu mereka menjadi tambah fasik dan maksiat.
ü Mubah, bila wasiat tersebut di tujukan pada kerabat atau tetangga yang penghidupan
mereka sudah kekurangan.[27]
Ø Konsep Wasiat Wajibah
Wasiat adalah suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan
bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk
memberikan wasiat.[28] Dan kewajiban wasiat bagi seseorang itu disebabkan karena
keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah SWT, seperti tidak menunaikan haji, enggan
membayar zakat, melanggar larangan-larangan berpuasa yang elah diwajibkan oleh syariat
sendiri bukan oleh penguasa atau hakim.
Nash-nash syariat yang mewajibkan adalah keumuman ayat-ayat al-Quran yang
memerintahkan untuk melaksanakan amanat dan sabda Nabi Muhammad. Akan tetapi
penguasa dan hakim sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa
atau memberi surat putusan wajib wasiat yang terkenal dengan istilah wasiat wajibah, kepada
orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibahkarena disebabkan karena
dua hal:
1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui
perundang-undanganatau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat
dan persetujuan si penerima wasiat.
2. Adanya kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal pnerimaan
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan, baik
pancar (cucu laki-laki yang lahir dari keturunan laki-laki) laki-laki mupun pancar prempun
yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek/neneknya.[29]
4. Tingkatan Para Ahli Waris
Tingkatan para ahli waris tidaklah sama, tetapi dibedakan dengan urutan sebagai berikut:

a. Golongan ahli waris yang mempunyai bagian tetap (ashhabul furudh).
b. Golongan ahli waris yang disebut Ashobaat Nasabiyah
c. Mengembalikan harta peninggalan kepada dzawil furudh.
d. Membagi harta peninggalan kepada dzawil arham.
e. Mengembalikan harta peninggalan kepada suami istri.
f. Mendapatkan bagian kelebihan harta peninggalan karena suatu sebab.
g. Menerima warisan lebih dari sepertiga bagian.
h. Menyerahkan harta peninggalan kepada kas kaum muslimin.[30]
5. Sebab-Sebab Mewaris
Terdapat tiga sebab pewarisan, yaitu:
a. Karena hubungan kerabat.
Misalnya kedua orang tua (ayah dan ibu), anak-anak, saudara laki-laki ayah (paman) dan
sebagainya.
b. Karena hubungan pernikahan.
Yaitu suami istri yang telah melakukan pernikahan secara sah meskipun belum pernah
berkumpul sebagai layaknya suami istri. Sedangka suami istri melakukan perkawinan secara
tidak sah, maka hak pewarisannya btal demi hukum.
c. Wala’
Yaitu pewrisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian
orang yang dimerdekakan itu menjadi kaya. Jika hamba yang dimerdekakan itu meninggal
dunia, maka orang yang memerdekakannya dahulu berhak mendapatkan warisan. Wala’ yang
dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum ini, dapat disebut juga Wala’ul Itqi dan
atau Walaa’un ni’mah. Hal ini disebabkan karena karena pemberian kenikmatan kepada
seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai budak sahaya.[31]
6. Rukun-Rukun Pewarisan
Rukun pewarisan ada 3 macam, yaitu:
a. Pemberi warisan
Orang yang memberi warisan, yaitu orang yang meninggal dunia dan akan memindahkan
harta peninggalannya kepada orang-orang yang berhak menerimannya.

b. Penerima waris
Ahli waris yaitu orang-orang yang berhak menerma harta peninggalan dari orang yang
meninggal dunia karena sebab-sebab tertentu seperti karena hubungan kekeluargaan,
perkawinan dan sebagainya.
c. Barang yang diwariskan
Barang yang diwariskan yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
berupa uang, barang-barang kebutuhan kebutuhan hidup seperti rumah, kendaraan dan
sebagainya. Barang yang akan diwariskan dapat disebut warisan, harta peninggalan dan
sebagainya.[32]
7. Syarat-Syarat Pewarisan
a. Kematian
Harta peninggalan tidak mungkin dapat dibagi-bagikan sebelum seseorang yang mempunyai
harta peninggalan itu dinyatakan meninggal dunia secara hakiki atau atas dasar keputusan
hakim. Jika seseorang hilang sehingga tidak diketahui keadaan sebenarnya, maka untuk
menentukan statusnya apakah ia masih hidup ataukah sudah mati, dapat ditentukan
berdasarkan keputusan hakim dengan bukti-bukti yang uatentik. Setelah ada keputusan hakim
tentang kematian seseorang, barulah harta peninggalannya dapat dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya.
b. Para Ahli Waris harus masih hidup
Para ahli waris harus benar-benar masih hidup ketika orang yang memberi warisan meninggal
dunia. Ketentuan ini merupakan suatu syarat mutlak agar seseorang berhak menerima
warisan. Sebab oarng yang sudah meninggal dunia tidak mampu untuk membelanjakan
hartanya, baik yang diperoleh karena pewarisan atau sebab-sebab lainnya.
c. Posisi Penerima Warisan harus diketahui dengan Jelas.
Posisi dari masing-masing ahli waris, harus diketahui secara pasti, sehingga bagian yang
diperolehnya pun sesuai dengan ketentuan ilmu faroidh. Sebab ketentuan hukum
pewarisanselalu berubah-ubah sesuai dengan tingkatan ahli waris. Para ahli waris mempunyai
hukum pewarisan tersendiri. Ada di antara mereka yang mempunyai hak mewaris dengan
bagian tetap, mewaris dengan sistem ashobah, ada yang terhalang dan ada pula yang tidak
terhalang.[33]
8. Pantangan/Halangan Mewaris
Pantangan mewaris adalah suatu keadaan yang menjadikan seseorang tertutup peluangnya
untuk mendapatkan warisan. Ada tiga hal yang menjadi pantangan mewaris, yaitu:
ü Hamba sahaya
ü Membunuh

ü Perbedaan agama[34]
9. Kewarisan Islam dalam KHI
KHI lahir dan dituangkan dalam bentuk Instruksi RI No. 1 Tahun 1991, meskipun Instruksi
presiden tidak termasuk dalam susunan peraturan perundang-undangan dan bahwa KHI
bukan aturan hukum setingkat peraturan perundang-undangan, tetapi kekuatannya tidak
diragukan lagi dan telah menjadi kitab hukum yang menjadi rujukan hakim-hakim pada
peradilan agama dalam menyelesaikan perkara: Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan, dll.
maka kekuatan hukum KHI menjadi sumber hukum “yurisprudensi”. Keberadaan KHI yang
menjadi rujukan hakim pada peradilan agama dalam memutus sengketa di antara orang-orang
yang beragama Islam. Ketentuan hukum waris Islam di Indonesia yang tertuang dalam KHI
mengenai ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama diduga kuat telah
dipengaruhi oleh hukum adat dan hukum barat.[35]
Kedudukan ahli waris pengganti yang dinyatakan oleh hazairin sebagai hasil ijtihadnya dan
diakui kemujtahidannya oleh pengikut-pengikutnya, pendapatnya tersebut telah dikukuhkan
dalam Pasal 185 KHI serta diikuti oleh hakim-hakim pada peradilan agama seluruh
Indonesia. Kedudukan hukum waris pengganti dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits diatur
sedemikian rupa, yakni rukun waris ada tiga, yaitu:
a. Al-Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmiy
“suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati
sebenarnya ia belum meninggal dunia, yang meninggalkan harta atau hak” dalam KHI
disebut “Pewaris”.
b. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi,
meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang dalam KHI disebut “Ahli Waris”.
c. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan yang dalam KHI disebut “Harta
warisan”.
Ahli waris (Al-Waris) adalah anak, bapak, ibu, saudara (QS. 4: 11), suami atau istri (QS. 4:
12). Ahli waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang,
mendapatkan harta waris karena hukum untuk menjadi ahli waris.[36]
Mendudukan anak angkat menjadi ahli waris dalam Islam dilarang berdasarkan teguran
langsung Allah swt atas pengangkatan anak oleh Rasulullah saw terhadap Zaid bin Haritsah.
Dalam Islam anak angkat bukanlah ahli waris. Namun KHI memberi kedudukan istimewa
dengan pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya. Ketentuan ini ada dalam Pasal 209 KHI, sesuai dengan teori
maslahah al-ummah.
Ulama ahli tafsir, hadits, dan fikih bersepakat bahwa perbedaan agama pewaris dan ahli waris
menjadi penghalang untuk mendapatkan harta warisan. Sedangkan dalam KHI tidak diatur
jika seseorang terhalang hak waris karena berbeda agama dapat ditentukan menurut putusan
hakimyang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Hal ini terdapat dalam Pasal 173 KHI
yang menyatakan bahwa: seseorang terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada
pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lma tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.
Berdasarkan uraian tersebut, Abdurrahman berpendapat bahwa jika perbedaan agama tidak
termasuk kelompok penghalang, maka logika hukumnya sama dengan yang diatur dalam
hukum adat dan perdata B.W. jika perbedaan agama bukan merupakan suatu penghalang
mendapatkan warisan.[37]
10. Asas- asas dalam hukum Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al- Qur’an dan penjelasannya dijelaskan oleh Rasululloh SAW. Maka dari itu ada
dijelaskan lima asas yaitu:
a. Asas ijbari
b. Asas bilateral
c. Asas individual
d. Asas keadilan berimbang
e. Asas kewarisan semata akibat kematian
maka dari itu akan dijelaskan dibawah ini:
a. Asas ijbari
Didalam hukum Islam harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal
akakn secara otomatis akan menjadi hak bagi orang-orang yang masih hidup. Ini dikatakan
oleh hukum Islan menjadi asas Ijbari. Peralihan harta s\orang yang yang telah meninggal
dunia keoada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
bergantung kepada kehendak ahli waris ataupun pewarisnya. Ahli waris pun juga langsung
menerima harta peninggalannya sesuai ukuran yang telah ditentukan. Maka pewaris pun tidak
bisa menolak peraliahan tsb
Adanya asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa hal menurut Hukum Kewarisan Islam:
1. Segi peralihan
Dari segi peralihan harta dapat dilihat dari firman Allah Q.S Annisaayat 7:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi
orangb wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik
sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Dari kata-kata ada bagian harat peninggalan ibu, bapak dan saudara-saudara, disadari atau
tidak telah ada bagian ahli waris dengan tidak perlu menjanjikan akan memberikan sebelum
ia meninggal dunia begitu juga sebaliknya.

2. Segi jumlah pembagiannya
Segi kumlah pembagiannya adalah pembagiannya telah ditetapkan oleh Allah ini terbukti
pada Q. S Annisa ayat 7 yaitu pada akhir surat.
3. Segi kepada siapa harta itu beralih
Kepada siapa harta itu beralih maka lihat Q.S Annisa ayat 11, 12,33 dan 176.
Yaitu anak-anak beserta
b. Kedua asas bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang menerima warisan dari
kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun dari
pihak kerabat garis keturunan perempuan. Ini secara nyata dapat dilihat dari Firman Allah
dalam surat Annisa ayat 7, 12,33
c. Ketiga asas individual
Asas individual artinya ialah dalam sistem hukum kewarisan Islam, harta peninggalan yang
ditinggal mati oleh si yang meninggal dunia dibagi secara individual secara pribadi langsung
kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam ini dapat dipelajari dari QS Annisa ayat 11 :
§ Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan.
§ Bahwa anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya duapertiga dari harta
peninggalan.
§ Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan bahwa setiap orag memounyai kemampuan
untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban. Menurut ushul fiqh dinamakan “ahliyat al
wujub”.
4. Asas keadilan berimbang
Semua bentuk hubungan keperdataan berasas adil dan seimbang dalam hak dan kewajiban
untung dan rugi. Hubungan keperdataan yang mengandung unsur penganiayaan, penindasan
keadilan dam penipuan tidak dibenarkan. Ada pada Q. S Al Maidah 90.
5. Asas Kewarisan semata akibat kematian
Hukum kewarissn Islam menetapkan bahwa peralihan harta peninggalan seseorang kepada
orang lain dengan nama kewarisan berlaku sesudah meninggalkannya yang mempunyai harta.
Daftar Pustaka

Ahlan Sjarif,Surini,Intisari Hukum Waris menurut BW (Burgerlijk Wetboek) Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,1983.
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad, Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Iklas,1995.
Ali Ash-Shabuniy, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani
Press,cet. ke-2,1996.
Ali Ash-Shabuniy, Syaikh Muhammad, Hukum Waris, Solo: Pustaka Mantiq,1994.
Apeldoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, (terj.) Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya
Paramita,1993.
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, Seminar
Hukum Waris, Jakarta: Departemen Agama RI,1993.
Darmabrata, Wahyono, Asas-asas Hukum Waris Perdata, Jakarta: cet. I,1994.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,2011.
Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,1993.
Pudja, Gede, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali Dan
Lombok, Jakarta: CV.Unesco,1977.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT.Alma’arif,tth.
Ramulyo, M. Idris,Hukum Kewarisan Islam (studi kasus perbandingan ajaran Syafi’i
(patrilineal) Hazairin (bilateral) KUH Perdata (BW) praktek di Pengadilan Agama/Negeri,
Jakarta: Ind. Hilco,1987.
Ramulyo, M. Idris,Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan Kewarisan
Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus),
Jakarta: CV.Pedoman Ilmu Jaya,1992.
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Waris Indonesia, Jakarta: Intermasa,1989.
Sadilah, Emiliana, dkk., Pengetahuan, Sikap, Keyakinan dan Perilaku Dikalangan Generasi
Muda Berkenaan Dengan Pewarisan Tradisional Di Kota Semarang Jawa Tengah (Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta), Yogyakarta: 2002.
Sjarif Ahlan dan Nurul Elmiyah, Surini,Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta: Kencana
Renada Media Group,2006.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rinika Cipta,1990.
Suparman, Eman,Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT.Cipta Adi Pusaka,1988.
Suparman, Eman,Hukum Waris Indonesia, dalam Prespektif Islam, Adat, dan BW , Bandung:
PT.Refika Aditama,2007.

[1] Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris menurut BW (Burg