Risiko Deviasi Pendapatan dan Belanja Negara
2.1.2 Risiko Deviasi Pendapatan dan Belanja Negara
Risiko deviasi pendapatan dan belanja negara diungkapkan untuk memberikan informasi atas berbagai kemungkinan terjadinya deviasi pada penerimaan dan belanja negara. Deviasi pendapatan dan belanja negara diukur dari selisih antara target penerimaan dan alokasi belanja negara dengan realisasinya. Hal ini dilakukan guna merumuskan langkah-langkah kebijakan (policy measures) yang akan ditempuh oleh Pemerintah dalam mengamankan APBN.
Dalam risiko deviasi pendapatan dan belanja negara akan dibahas mengenai risiko pelaksanaan pemungutan pajak dan risiko pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending).
2.1.2.1 Risiko Deviasi Pendapatan atas Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Kondisi ekonomi global yang masih belum stabil sangat memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Perbaikannya yang masih jauh dibawah ekspektasi menyebabkan tantangan yang dihadapi pada tahun 2016 masih relatif sama dengan tahun 2015. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak menjadi sumber risiko utama dalam APBNP tahun 2016.
III.2-6 Nota Keuangan dan APBN Perubahan Tahun 2016
Bab 2 Sumber Risiko Fiskal APBNP Tahun 2016 Bagian III
Sampai dengan kuartal pertama tahun 2016, dampak tekanan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia masih dirasakan cukup berat, terutama terhadap penerimaan negara. Dengan target penerimaan negara dalam APBN tahun 2016 yang lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun 2015 dan kondisi perekonomian yang masih relatif sama dengan tahun 2015, tantangan yang dihadapi dalam pencapaian target penerimaan negara menjadi lebih berat. Dalam rangka mencapai keseimbangan primer (primary balance) dan dengan memerhatikan kondisi perekonomian saat ini, kebijakan yang diambil dalam APBNP tahun 2016 adalah menurunkan target pendapatan negara, melakukan efisiensi belanja negara, dan mengoptimalkan pembiayaan anggaran.
Pada postur APBNP tahun 2016 penerimaan perpajakan ditargetkan lebih rendah, sekitar 1,28 persen dari target APBN tahun 2016, namun masih di atas realisasi tahun 2015. Dalam kondisi ekonomi yang masih labil dan tantangan yang semakin meningkat, perlu dilakukan extra effort untuk mencapai target yang tinggi tersebut. Kebijakan optimalisasi penerimaan pajak yang telah dilakukan pada tahun 2015 akan ditingkatkan pada tahun 2016 dengan menerapkan berbagai kebijakan, antara lain (1) melanjutkan kebijakan revaluasi aset (pengenaan pajak 4 persen dan 6 persen dari semula 10 persen bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset hingga akhir tahun 2016), (2) melakukan law enforcement untuk meningkatkan compliance melalui penegakan hukum, (3) menerapkan kebijakan tax amnesty dengan memberikan pengampunan pajak bagi wajib pajak (WP) yang menyimpan dana di luar negeri sebagai langkah awal basis data perpajakan yang sebenarnya, dan (4) meningkatkan upaya ekstensifikasi perpajakan melalui peningkatan kepatuhan dan intensifikasi perpajakan dengan meningkatkan penggalian potensi pajak WP orang pribadi (OP) dengan sasaran golongan pendapatan tinggi dan menengah atas, serta mengenakan pajak pada sektor ekonomi informal termasuk UKM melalui pendekatan end-to-end process.
Dalam pelaksanaannya, terdapat risiko bahwa upaya-upaya tersebut tidak terlaksana secara optimal sehingga perlu didukung dengan penetapan peraturan terkait kebijakan perpajakan pada awal tahun agar ada kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Dampak dari tidak tercapainya target penerimaan pajak karena risiko tersebut di atas akan berpengaruh pada meningkatnya defisit sehingga perlu dicarikan sumber pembiayaannya.
2.1.2.2 Risiko Pengeluaran Negara yang Diwajibkan (Mandatory Spending)
Pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending) adalah pengeluaran negara yang dimandatkan atau diwajibkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, Pemerintah wajib menjadikan mandatory spending sebagai prioritas utama pengalokasian anggaran belanja. Secara garis besar, yang dikategorikan sebagai mandatory spending adalah anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta pengeluaran yang diwajibkan lainnya (antara lain, pembayaran bunga utang dan subsidi). Perkembangan dan proyeksi alokasi anggaran mandatory spending terhadap total anggaran belanja negara dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2020, disajikan dalam
Grafik III.2.4.
Nota Keuangan dan APBN Perubahan Tahun 2016 III.2-7
Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal APBNP Tahun 2016
GRAFIK III.2.4 PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI MANDATORY SPENDING 2015-2020
triliun rupiah persen
Lainnya Transfer ke Daerah dan Dana Desa Anggaran Kesehatan Anggaran Pendidikan Persentase mandatory spending terhadap total alokasi belanja negara (RHS)
Sumber : Kementerian Keuangan
Berdasarkan grafik tersebut, rata-rata mandatory spending dalam kurun waktu 2015 hingga 2020 sekitar 77-85 persen terhadap total alokasi belanja negara. Berdasarkan hal ini, risiko fiskal yang dihadapi Pemerintah adalah keterbatasan ruang fiskal untuk mengalokasikan belanja prioritas lain di luar mandatory spending.