MENENGAH PERIODE 2017-2019 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3

DAFTAR BOKS

Halaman

Boks II.6.1 Penerbitan SBN Dalam Rangka Pre-funding ....................................... II.6-9 Boks III.2.1 Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Pengadaan

Infrastruktur dengan Skema Availability Payment ............................... III.2-10

Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016 Bagian I

RINGKASAN RAPBN PERUBAHAN TAHUN 2016

1. Pendahuluan

Perekonomian global yang melemah sepanjang tahun 2015 dan berlanjut hingga triwulan I tahun 2016 memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja perekonomian domestik. Hal ini terlihat pada perkembangan realisasi asumsi dasar ekonomi makro terutama pada harga minyak mentah Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang masih jauh bila dibandingkan dengan asumsi yang ditetapkan dalam APBN tahun 2016. Meskipun demikian, Pemerintah berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi domestik sampai dengan triwulan I tahun 2016 di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global dan mempertahankan tingkat inflasi dalam kondisi stabil.

Penurunan harga minyak dan penguatan nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap proyeksi realisasi APBN tahun 2016 secara keseluruhan. Pendapatan negara khususnya penerimaan perpajakan dari sektor migas dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) migas diperkirakan mengalami penurunan. Tidak tercapainya realisasi penerimaan pajak tahun 2015 sebagai basis perhitungan target penerimaan pajak pada APBN tahun 2016 juga memengaruhi penurunan proyeksi realisasi pendapatan negara tahun 2016.

Di sisi lain, Pemerintah tetap berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur serta perbaikan iklim investasi yang telah memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2016. Pemerintah juga tetap menjaga pemenuhan belanja yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan.

Perkiraan penurunan realisasi pendapatan negara dari target APBN tahun 2016 dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja negara yang masih mengacu pada APBN tahun 2016 mengakibatkan adanya potensi pelebaran defisit anggaran hingga melebihi ambang batas. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3,0 persen dari produk domestik bruto.

Berangkat dari perkembangan perekonomian tersebut, Pemerintah melakukan konsolidasi fiskal baik dalam pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan kebijakan fiskal terutama ditempuh melalui: (1) perubahan kebijakan pada bidang pendapatan negara terutama dilakukan dengan kebijakan tax amnesty/voluntary disclosure dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan dan penguatan tax base perpajakan di Indonesia; (2) penghematan dan pemotongan belanja kementerian negara/lembaga yang kurang produktif; (3) rasionalisasi anggaran pada Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK); (4) kebijakan perubahan besaran fixed subsidi; (5) peningkatan dana tambahan infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; dan (6) peningkatan pengeluaran pembiayaan yang mendukung program pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun Anggaran 2016, apabila terjadi deviasi yang signifikan antara realisasi indikator ekonomi makro dengan asumsinya dalam tahun 2016, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, pergeseran anggaran antarunit organisasi atau antarprogram, serta pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL) dalam tahun 2016, maka Pemerintah dapat mengajukan rancangan perubahan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2016. Oleh karena

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 I-1

Bagian I Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016

itu, Pemerintah selanjutnya menuangkan perubahan-perubahan tersebut dalam RAPBNP tahun 2016 agar pelaksanaan APBN tahun 2016 dapat berjalan secara efektif serta tercipta kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

Penyampaian RUU APBNP tahun 2016 beserta Nota Keuangannya ke DPR dimaksudkan agar langkah-langkah pengamanan pelaksanaan APBN tahun 2016 dapat segera dibahas bersama dengan DPR untuk kemudian ditetapkan, sehingga segera dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel.

2. Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam RAPBNP

Tahun 2016

Berdasarkan perkembangan kondisi perekonomian global dan domestik terkini, serta berbagai tantangan perekonomian yang dihadapi, Pemerintah mengajukan perubahan terhadap asumsi dasar ekonomi makro yang telah ditetapkan dalam APBN tahun 2016. Asumsi dasar ekonomi makro yang diusulkan dalam RAPBNP tahun 2016 sebagai berikut.

Laju inflasi sepanjang tahun 2016 diperkirakan sebesar 4,0 persen, lebih rendah dibandingkan asumsi dalam APBN tahun 2016 yang ditetapkan sebesar 4,7 persen. Besaran inflasi sepanjang tahun 2016 akan terpengaruh oleh perkembangan ekonomi global dan tren pelemahan harga komoditas terutama energi. Sementara dari sisi domestik, stabilitas inflasi akan didukung oleh sinergi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga harga kebutuhan pokok masyarakat.

Beberapa faktor positif terutama penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, perbaikan kinerja transaksi berjalan, inflasi yang rendah, serta membaiknya perekonomian diharapkan mampu menjaga stabilisasi dan meredam depresiasi nilai tukar rupiah. Dengan mempertimbangkan kondisi terkini dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan, maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bergerak pada kisaran Rp13.500 per dolar AS, menguat dibandingkan asumsinya dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp13.900 per dolar AS.

Tren penurunan harga minyak mentah dunia diperkirakan memengaruhi kinerja industri hulu migas Indonesia. ICP diproyeksikan berada pada kisaran US$35 per barel lebih rendah dibandingkan dengan asumsi dalam APBN tahun 2016 sebesar US$50 per barel. Perubahan tersebut antara lain disebabkan masih lemahnya perekonomian global, di tengah pasokan minyak yang masih tinggi.

Lifting minyak dan gas bumi pada tahun 2016 diperkirakan mencapai 1.925 ribu barel setara minyak per hari, yang meliputi lifting minyak bumi sebesar 810 ribu barel per hari dan lifting gas bumi sebesar 1.115 ribu barel setara minyak per hari. Tren penurunan produksi minyak berpengaruh pada lifting gas bumi.

Perubahan asumsi dasar ekonomi makro tersebut tetap mengacu pada sasaran-sasaran pembangunan jangka menengah yang terdapat pada RPJMN tahun 2015-2019 serta sasaran- sasaran tahunan dalam RKP tahun 2016. Rincian asumsi dasar ekonomi makro tahun 2015 dan 2016 disajikan dalam Tabel I.1 .

I-2 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016 Bagian I

TABEL I.1

ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO TAHUN 2015 DAN 2016

Indikator Ekonomi

APBN RAPBNP

a. Pertumbuhan ekonomi (% yoy)

5,3 5,3 b. Inflasi (% yoy)

4,7 4,0 c. Nilai Tukar (Rp/USD)

13.900 13.500 d. Tingkat Bunga SPN 3 Bulan rata-rata (%)

5,5 5,5 e. Harga Minyak Mentah Indonesia (USD/barel)

49 50 35 f. Lifting Minyak Bumi (ribu barel per hari)

830 810 g. Lifting Gas Bumi (ribu barel setara minyak per hari)

1.155 1.115 Sumber: Kementerian Keuangan

3. Perubahan Kebijakan dalam RAPBNP Tahun 2016

RAPBNP tahun 2016 diajukan sebagai langkah untuk menyesuaikan perubahan asumsi dasar ekonomi makro, menampung perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2016 dan tetap menjaga pencapaian berbagai sasaran pembangunan nasional.

Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal dan langkah-langkah pengamanan pelaksanaan APBN tahun 2016 dilakukan baik pada pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran.

Secara umum langkah-langkah pengamanan pendapatan negara dilakukan melalui kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Adapun kebijakan di bidang perpajakan antara lain: (1) optimalisasi perpajakan dengan memerhatikan iklim investasi; (2) mempertahankan stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat; (3) meningkatkan produktivitas dan daya saing industri domestik; dan (4) mengendalikan konsumsi untuk barang kena cukai.

Untuk mengamankan pendapatan perpajakan maka Pemerintah merancang kebijakan tax amnesty/ voluntary disclosure dan melakukan upaya extra effort atas penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai. Kebijakan insentif fiskal berupa tax allowance, tax holiday, dan pembebasan PPN untuk sektor industri strategis nasional juga tetap akan diberikan untuk menjaga daya saing industri dan mendorong produktivitas industri domestik.

Selain itu, kebijakan PNBP diarahkan antara lain: (1) menahan turunnya lifting minyak dan gas serta melakukan efisiensi cost recovery; (2) optimalisasi penerimaan royalti (iuran produksi) dari pertambangan mineral dan batubara; (3) penyempurnaan berbagai peraturan PNBP, seperti revisi Undang-Undang PNBP dan Peraturan Pemerintah terkait tarif PNBP; dan (4) penerapan kebijakan payout ratio yang tepat untuk mendukung penguatan permodalan BUMN.

Pada sisi belanja pemerintah pusat, perubahan dalam RAPBNP tahun 2016 antara lain: (1) perubahan belanja akibat perubahan asumsi dasar ekonomi makro seperti perubahan pembayaran bunga utang dan subsidi; (2) penghematan dan pemotongan belanja K/L yang kurang produktif dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2016; (3) tambahan belanja, baik untuk kebutuhan mendesak maupun untuk kekurangan pembayaran beberapa komponen belanja hasil audit BPK; dan (4) tambahan belanja dalam rangka penyelesaian piutang pemerintah, seperti piutang PDAM.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 I-3

Bagian I Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Kebijakan anggaran transfer ke daerah dan dana desa dalam RAPBNP tahun 2016 pada dasarnya tetap mengacu pada APBN tahun 2016. Namun, dalam perkembangannya terjadi perubahan asumsi dasar ekonomi makro yang mengakibatkan perubahan pada pendapatan negara. Perubahan tersebut selanjutnya berakibat pada perubahan transfer ke daerah dan dana desa. Perubahan tersebut antara lain mencakup: (1) penurunan DBH seiring dengan penurunan penerimaan negara yang dibagihasilkan, di sisi lain terdapat kebijakan untuk mengalokasikan kurang bayar DBH dan kebijakan optimalisasi penggunaan sisa DBH SDA Kehutanan dari Dana Reboisasi; (2) penurunan DAK antara lain disebabkan oleh pemotongan alokasi DAK Fisik berdasarkan usulan pengurangan secara mandiri oleh masing- masing daerah, kebijakan untuk mengalokasikan tambahan DAK sebagai kompensasi atas kekurangan penyaluran triwulan IV tahun 2015, pengurangan dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD karena perubahan data jumlah guru yang mempunyai sertifikasi kependidikan, dan pengurangan dana bantuan operasional kesehatan (BOK) dan bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) karena perbaikan data jumlah masyarakat miskin penerima bantuan kesehatan. Di samping itu, dialokasikan tambahan Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur dan konektivitas antarwilayah pada bidang jalan, jembatan, dan sarana pembangunan.

Kebijakan pembiayaan anggaran dalam RAPBNP tahun 2016 masih tetap mengacu pada kebijakan pembiayaan anggaran dalam APBN tahun 2016. Perubahan kebijakan pembiayaan anggaran dalam RAPBNP tahun 2016 antara lain: (1) mendukung program 35.000 MW melalui alokasi PMN kepada PT PLN (Persero); (2) mendukung pembangunan infrastruktur melalui alokasi pembiayaan investasi kepada BLU Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN); (3) mendukung kebijakan penyelesaian permasalahan program kesejahteraan rakyat melalui PMN kepada BPJS Kesehatan dan alokasi cadangan pembiayaan untuk dana antisipasi pembayaran kepada masyarakat terdampak lumpur Sidoarjo; dan (4) pemanfaatan dana SAL.

Selain itu, dalam RAPBNP tahun 2016 juga mengakomodir perubahan anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan sejalan dengan perubahan volume belanja negara untuk memenuhi amanat peraturan perundang-undangan dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal.

4. Pokok-pokok Perubahan dalam Postur RAPBNP Tahun 2016

Pada tahun 2016 pendapatan negara diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88.045,0 miliar dari APBN tahun 2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP sebesar Rp68.437,5 miliar yang disebabkan antara lain oleh: (1) penurunan harga minyak mentah Indonesia; (2) penurunan lifting migas; (3) penundaan kenaikan tarif royalti batu bara; dan (4) penurunan harga komoditas tertentu SDA nonmigas. Selanjutnya, penerimaan perpajakan juga diperkirakan turun sebesar Rp19.550,9 miliar dari APBN tahun 2016 menjadi Rp1.527.113,8 miliar yang terutama berasal dari turunnya penerimaan PPh migas dan PPN. Untuk mengamankan pendapatan negara terutama sektor perpajakan, Pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan, antara lain: (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP); (2) mengupayakan peningkatan tax ratio dan tax buoyancy; (3) peningkatan tax coverage melalui penggalian potensi perpajakan pada beberapa sektor unggulan; (4) penguatan dan perluasan basis data perpajakan; dan (5) pelaksanaan kebijakan tax amnesty/voluntary disclosure . Sementara itu, tax ratio RAPBNP tahun 2016 sebesar 12,08 persen, namun tax ratio dalam arti luas (termasuk PNBP SDA migas dan pertambangan umum) adalah sebesar 12,44 persen.

I-4 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016 Bagian I

Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp2.047.841,4 miliar, turun 2,3 persen dari pagu APBN tahun 2016. Belanja negara tahun 2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289.537,6 miliar dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp758.303,8 miliar. Belanja Pemerintah Pusat terdiri dari belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) sebesar Rp 743.548,1 miliar dan belanja non K/L sebesar Rp545.989,5 miliar. Belanja Pemerintah Pusat dalam RAPBNP tahun 2016 lebih rendah dari APBN tahun 2016 sejalan dengan kebijakan penghematan dan pemotongan belanja K/L, perubahan pagu penggunaan PNBP, dan perubahan pagu pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN). Sedangkan penurunan dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) memberikan kontribusi yang cukup besar atas penurunan alokasi transfer ke daerah dan dana desa.

Sejalan dengan penurunan belanja pemerintah pusat dalam RAPBNP tahun 2016, maka belanja berdasarkan klasifikasi fungsi juga mengalami penurunan, kecuali fungsi perumahan dan fasilitas umum yang mengalami peningkatan sebesar 9,2 persen, fungsi ketertiban dan keamanan sebesar 1,6 persen, dan fungsi pertahanan sebesar 0,4 persen. Fungsi ekonomi masih mendominasi belanja pemerintah pusat dengan kontribusi sebesar 26,9 persen, sedangkan 73,1 persen tersebar pada 10 fungsi lainnya.

Pokok-pokok perubahan pembiayaan anggaran meliputi, antara lain: (1) PMN kepada BUMN diperkirakan meningkat Rp13.560,0 miliar; (2) pembiayaan investasi kepada BLU LMAN diperkirakan sebesar Rp16.000,0 miliar; (3) PMN kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp6.827,9 miliar; (4) pemanfaatan SAL sebesar Rp19.011,1 miliar; dan (5) tambahan penerbitan SBN (neto) diperkirakan Rp57.759,2 miliar. Postur ringkas RAPBNP tahun 2016 disajikan dalam Tabel I.2 .

TABEL I.2 RINGKASAN LKPP Unaudited 2015, APBN 2016, DAN RAPBNP 2016 (Miliar Rupiah)

APBN RAPBNP A. Pendapatan Negara

Uraian

LKPP Unaudited

I. Pendapatan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

2.031,8 1.97 5,2 B. Belanja Negara

II. Pendapatan Hibah

I. Belanja Pem erintah Pusat

1. Belanja K/L

541.425,7 545.989,5 a.l. Subsidi

2. Belanja Non K/L

II. T ransfer ke Daerah dan Dana Desa

1. Transfer ke Daerah

a. Dana Perimbangan

1) Dana Transfer Umum

2) Dana Transfer Khusus

b. Dana Insentif Daerah

c. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Y ogyakarta

2. Dana Desa

C. Keseim bangan Prim er

(88.238,2) (121.609,0) D. Surplus/ (Defisit) Anggaran

(27 3.17 8,9) (313.340,6) % Defisit terhadap PDB

(2,15) (2,48) E. Pem biay aan

27 2.7 80,7 315.867 ,5 II. Pembiayaan Luar Negeri

I. Pembiayaan Dalam Negeri

398,2 (2.526,9) Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 I-5

Bagian I Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016

5. Dampak Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Terhadap Postur RAPBNP Tahun 2016

Dalam penyusunan APBN, asumsi dasar ekonomi makro digunakan sebagai dasar perhitungan postur APBN. Oleh karena itu, perubahan pada variabel asumsi dasar ekonomi makro dari yang semula ditetapkan akan memengaruhi besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran yang bermuara pada perubahan besaran defisit APBN. Dampak dari perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap postur RAPBNP tahun 2016 dapat dijelaskan dalam bentuk analisis sensitivitas.

Beberapa variabel asumsi dasar ekonomi makro yang berdampak mengurangi defisit atau menambah surplus terhadap postur RAPBNP tahun 2016 adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, peningkatan ICP, serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi. Peningkatan pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan pendapatan negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan PNBP, dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran transfer ke daerah, terutama DBH. Selanjutnya, kenaikan anggaran transfer ke daerah tersebut akan menyebabkan peningkatan belanja negara yang harus diikuti dengan peningkatan anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan. Sesuai perhitungan analisis sensitivitas, meningkatnya besaran asumsi dasar ekonomi makro tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan negara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan belanja negara, sehingga secara total peningkatan tersebut akan berdampak pada pengurangan defisit anggaran. Sebaliknya variabel asumsi dasar ekonomi makro yang akan menambah defisit anggaran adalah kenaikan tingkat suku bunga SPN 3 bulan dan penguatan nilai tukar rupiah per dolar AS. Perubahan tingkat suku bunga SPN 3 bulan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara terutama pembayaran bunga utang sehingga akan menambah defisit RAPBNP. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berdampak pada turunnya pendapatan negara maupun belanja negara, meskipun penurunan pendapatan negara relatif lebih besar dibandingkan dengan penurunan belanja negara.

Kondisi perekonomian yang terus berkembang menyebabkan asumsi dasar ekonomi makro yang terus berubah. Untuk itu, angka sensitivitas RAPBNP tahun 2016 digunakan untuk melakukan perhitungan cepat postur RAPBNP tahun 2016. Perhitungan cepat tersebut diharapkan mampu menangkap perubahan asumsi dasar ekonomi makro yang terjadi dan memberikan gambaran atas arah besaran defisit RAPBNP tahun 2016.

TABEL I.3

SENSITIVITAS RAPBNP 2016 TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

(triliun rupiah)

Pertum buhan

Inflasi ↑

SPN ↑

Nilai T ukar

ICP ↑ Lifting ↑

URAIAN

Ekonom i

Rupiah ↑

+USD1 +10rb A. Pendapatan Negara

+Rp100/USD

- 1 ,0 0,2 - 0,4 b. PNBP

a. Penerimaan Perpajakan

B. Belanja Negara

2 ,6 0,1 - 0,3 b. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

a. Belanja Pemerintah Pusat

1,3 1,3 - 1,9 D. Pem biay aan

C. Surplus/(Defisit) Anggaran

- Kelebihan/(Kekurangan) Pem biay aan

Sumber: Kementerian Keuangan

I-6 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Ringkasan RAPBN Perubahan Tahun 2016 Bagian I

Tabel tersebut hanya menggambarkan postur RAPBNP tahun 2016 yang didasarkan pada sensitivitas sebagai dampak perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Selain menggunakan analisis sensitivitas, penyusunan postur RAPBNP tahun 2016 perlu memerhatikan dampak dari kebijakan Pemerintah.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 I-7

Bab 1: Pendahuluan Bagian II

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Umum

Arah pembangunan nasional tahun 2016 disesuaikan dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN tahun 2016 yakni “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Fondasi Pembangunan yang Berkualitas”. Secara sistematis pembangunan nasional terinci dalam program kerja Kabinet Kerja yang selaras dengan Nawa Cita dengan memfokuskan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang menjamin pemerataan dan keadilan untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan antarpenduduk, ketimpangan kewilayahan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, kawasan barat dan timur, serta antara kota-kota dan kota-desa.

Dukungan APBN untuk berbagai proyek infrastruktur telah memberikan kontribusi positif terhadap kinerja ekonomi domestik. Pembangunan infrastruktur tetap mendapatkan fokus utama dalam tahun 2016. Komitmen Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur tercermin dari (1) peningkatan alokasi anggaran untuk mendukung pembangunan infrastruktur; (2) percepatan pembangunan infrastruktur melalui percepatan mekanisme lelang dan penyediaan pendanaan; dan (3) deregulasi melalui penyusunan paket-paket kebijakan ekonomi dalam rangka meningkatkan peran swasta dan investasi dalam pembangunan infrastruktur.

Pelaksanaan APBN sebagai instrumen utama pendorong perekonomian nasional tentu perlu menyesuaikan kondisi perkembangan ekonomi dan fiskal terkini agar APBN dapat dijalankan dengan lebih kredibel, realistis, dan akuntabel. Beberapa faktor perkembangan ekonomi dan fiskal tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, kondisi ekonomi global dan domestik yang memengaruhi asumsi dasar ekonomi makro. Beberapa capaian kinerja ekonomi makro pada triwulan I tahun 2016 memiliki perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan target APBN tahun 2016, meskipun membaik bila dibandingkan dengan tahun 2015. Perkembangan asumsi dasar ekonomi makro yang sangat signifikan adalah harga minyak mentah Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Penurunan harga minyak global yang dipicu oleh meningkatnya pasokan minyak dunia, baik yang bersumber dari negara-negara Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) maupun dari negara Non-OPEC berpengaruh besar pada pergerakan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Perkiraan penurunan harga minyak mentah Indonesia berdampak pada sisi fiskal yakni menurunnya penerimaan perpajakan dari sektor migas dan penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) migas. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dibayangi oleh faktor eksternal terutama potensi kenaikan suku bunga the Fed. Namun demikian, faktor internal berupa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, perbaikan kinerja transaksi berjalan, inflasi yang rendah, serta perbaikan perekonomian domestik memberikan dorongan positif. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdampak pada penguatan leverage khususnya terkait pembiayaan luar negeri.

Kedua, tidak tercapainya target pendapatan negara tahun 2015 khususnya sektor perpajakan yang menjadi dasar/basis dalam penghitungan dari target pendapatan negara pada APBN tahun 2016. Pada tahun 2015, realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar 83,3 persen

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 II.1-1

Bagian II Bab 1: Pendahuluan

dari target dalam APBNP tahun 2015. Realisasi penerimaan perpajakan lebih rendah karena perlambatan ekonomi terutama sebagai akibat dari turunnya permintaan pada sektor industri pengolahan dan pertambangan. Berdasarkan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2015 tersebut, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap target penerimaan perpajakan tahun 2016.

Ketiga, pelebaran besaran defisit anggaran. Perkiraan penurunan realisasi pendapatan negara dari target APBN tahun 2016 dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja negara yang masih mengacu pada APBN tahun 2016 mengakibatkan adanya potensi pelebaran defisit anggaran hingga melebihi ambang batas. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3,0 persen dari produk domestik bruto.

Namun demikian, Pemerintah tetap berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi serta mengupayakan pencapaian sasaran- sasaran pembangunan nasional pada tahun 2016 dengan melakukan penyesuaian strategi fiskal baik dalam pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan kebijakan pada bidang pendapatan negara terutama dilakukan melalui kebijakan tax amnesty/voluntary disclosure dalam rangka optimalisasi pendapatan perpajakan dan penguatan tax base perpajakan di Indonesia.

Sementara itu, Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa untuk mendukung pelaksanaan berbagai program dan sasaran pembangunan, baik pada dimensi pembangunan manusia, dimensi pembangunan sektor unggulan, serta dimensi pemerataan dan kewilayahan Perubahan kebijakan belanja pemerintah pusat terutama dilakukan dengan penghematan dan pemotongan belanja kementerian negara/lembaga yang kurang produktif dan kebijakan perubahan besaran fixed subsidi. Sedangkan kebijakan pada transfer ke daerah difokuskan pada penghematan dana bagi hasil (DBH) dan penurunan anggaran dana alokasi khusus (DAK) serta penambahan dana tambahan infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan konektivitas di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan sesuai dengan Nawa Cita pembangunan Indonesia dari pinggiran. Perubahan kebijakan juga terdapat pada pembiayaan anggaran terutama dilakukan dalam rangka mendukung program pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, APBN sebagai kunci utama dalam pencapaian sasaran pembangunan ekonomi dan program pembangunan nasional tahun 2016 perlu disesuaikan dengan perkembangan ekonomi makro terkini dengan memerhatikan kebijakan strategis yang tepat. Perubahan asumsi asumsi dasar ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran serta kebijakan-kebijakan strategis terangkum dalam RAPBNP tahun 2016.

1.2 RAPBNP Tahun 2016

Berdasarkan perkembangan terkini dari perekonomian global, domestik, dan berbagai kebijakan yang telah diambil Pemerintah, maka dipandang perlu untuk dilakukan penyesuaian terhadap beberapa asumsi dasar ekonomi makro dari APBN tahun 2016. Sehubungan dengan

II.1-2 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Bab 1: Pendahuluan Bagian II

hal tersebut, Pemerintah mengusulkan perubahan atas asumsi dasar ekonomi makro tahun 2016, sebagai berikut:

1) Inflasi diperkirakan sebesar 4,0 persen atau lebih rendah dari asumsi APBN tahun 2016 sebesar 4,7 persen.

2) Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan berada pada kisaran Rp13.500 per dolar AS menguat dari asumsinya dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp13.900 per dolar AS.

3) Harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan akan berada pada kisaran rata-rata USD35 per barel atau lebih rendah dari asumsi ICP dalam APBN tahun 2016 sebesar USD50 per barel.

4) Lifting minyak diperkirakan sebesar 810 ribu barel per hari, lebih rendah dibandingkan dengan asumsinya dalam APBN tahun 2016 yang ditetapkan sebesar 830 ribu barel per hari.

5) Lifting gas bumi diperkirakan mencapai 1.115 ribu barel setara minyak per hari, lebih rendah bila dibandingkan dengan asumsi lifting gas bumi pada APBN tahun 2016 yang ditetapkan sebesar 1.155 ribu barel setara minyak per hari.

Selanjutnya, perubahan postur RAPBNP tahun 2016 dapat disampaikan sebagai berikut. Pendapatan negara tahun 2016 diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88.045,0 miliar dari APBN tahun 2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP sebesar Rp68.437,5 miliar dan penerimaan perpajakan sebesar Rp19.550,9 miliar. Rendahnya realisasi penerimaan perpajakan serta realisasi lifting dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama tahun 2015 menyebabkan Pemerintah menurunkan target penerimaan perpajakan pada RAPBNP tahun 2016 menjadi sebesar Rp1.527.113,8 miliar, yang utamanya disebabkan oleh penurunan penerimaan PPh migas dan PPN. Dalam upaya untuk mencapai target penerimaan perpajakan tersebut serta sebagai upaya untuk tetap dapat mengamankan tax ratio Indonesia, Pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di sektor perpajakan antara lain: (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak, terutama kepatuhan wajib pajak orang pribadi usaha dan wajib pajak badan, antara lain melalui pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak, (2) mengupayakan peningkatan tax ratio dan tax buoyancy, (3) peningkatan tax coverage melalui penggalian potensi perpajakan pada beberapa sektor unggulan, (4) penguatan dan perluasan basis data perpajakan; dan (5) pelaksanaan kebijakan tax amnesty/voluntary disclosure. Dengan upaya-upaya tersebut, tax ratio (arti sempit) dalam RAPBNP tahun 2016 ditargetkan sebesar 12,08 persen, sedangkan tax ratio dalam arti luas (termasuk penerimaan SDA migas dan pertambangan umum) ditargetkan sebesar 12,44 persen.

Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp2.047.841,4 miliar, turun 2,3 persen dari pagu APBN tahun 2016. Belanja negara tahun 2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289.537,6 miliar dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp758.303,8 miliar. Belanja Pemerintah Pusat dalam RAPBNP tahun 2016 diperkirakan akan lebih rendah dari

APBN tahun 2016, terutama disebabkan oleh kebijakan penghematan dan pemotongan belanja kementerian negara/lembaga (K/L), meskipun di sisi lain terdapat tambahan belanja untuk kegiatan yang bersifat mendesak. Sedangkan penurunan dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) merupakan kontribusi terbesar dari penurunan transfer ke daerah dan dana desa.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 II.1-3

Bagian II Bab 1: Pendahuluan

Untuk menjaga defisit anggaran sebagai dampak perubahan pendapatan negara dan belanja negara tersebut serta untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pengeluaran pembiayaan, maka pembiayaan anggaran diperkirakan menjadi Rp313.340,6 miliar atau meningkat sebesar Rp40.161,7 miliar dari target pembiayaan anggaran pada APBN tahun 2016. Pembiayaan anggaran dalam RAPBNP tahun 2016 bersumber dari pembiayaan utang sebesar Rp385.845,7 miliar dan pembiayaan nonutang sebesar negatif Rp72.505,1 miliar. Perubahan kebijakan pembiayaan anggaran dalam RAPBNP tahun 2016 antara lain (1) mendukung program 35.000 MW melalui alokasi PMN kepada PT. PLN (Persero); (2) mendukung pembangunan infrastruktur melalui alokasi pembiayaan investasi kepada BLU Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN); (3) mendukung kebijakan penyelesaian permasalahan program kesejahteraan rakyat melalui PMN kepada BPJS Kesehatan dan alokasi cadangan pembiayaan untuk dana antisipasi pembayaran kepada masyarakat terdampak lumpur Sidoarjo; dan (4) pemanfaatan dana SAL.

1.3 Kebijakan APBN Jangka Menengah

Kebijakan APBN Jangka Menengah merupakan kelanjutan dari kebijakan APBN tahun 2016. Dalam kebijakan APBN jangka menengah menampung proyeksi asumsi dasar ekonomi makro, kebijakan pendapatan negara, kebijakan belanja negara, dan kebijakan pembiayaan anggaran.

Dinamika ekonomi global dan domestik turut memengaruhi pergerakan dan prospek ekonomi nasional ke depan. Di samping itu, dengan adanya perubahan strategi fiskal turut menyebabkan pergeseran target-target dan asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi selama periode 2017 hingga 2019 diperkirakan bergerak pada kisaran 5,3 persen hingga 7,4 persen dengan kecenderungan terus meningkat; (2) tingkat inflasi terus dikendalikan pada tingkat yang rendah dengan kecenderungan menurun. Tingkat inflasi pada periode 2017 ditargetkan pada kisaran 4,0 ± 1 persen menurun menjadi 3,5 ± 1 persen pada periode 2018-2019; (3) perkembangan nilai tukar rata-rata selama periode 2017-2019 diperkirakan bergerak pada kisaran Rp13.650 per dolar AS hingga Rp14.300 per dolar AS, yang masih dipengaruhi oleh kebijakan moneter AS dan stabilitas perekonomian nasional; (4) suku bunga SPN 3 bulan dalam periode 2017-2019 diperkirakan bergerak pada kisaran 5,0 sampai 6,0 persen dengan kecenderungan menurun; (5) perkembangan harga ICP masih tetap dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah dunia secara umum, harga ICP diperkirakan bergerak pada kisaran USD35 hingga USD55 per barel; (6) perkembangan lifting minyak mentah pada periode 2017-2019 diperkirakan bergerak pada kisaran 540 hingga 760 ribu barel per hari dengan kecenderungan menurun; dan (7) lifting gas bumi diperkirakan bergerak pada kisaran 1.050 hingga 1.200 ribu barel setara minyak per hari dengan kecenderungan meningkat.

Di bidang pendapatan negara, kebijakan yang akan dilaksanakan dalam jangka menengah adalah: (1) melaksanakan program transformasi kelembagaan dan penataan organisasi Direktorat Jenderal Pajak; (2) membenahi sistem reward and punishment; (3) mengembangkan sistem layanan dan pengawasan yang berjenjang dan terotomasi; (4) pembangunan sebuah manajemen risiko terintegrasi untuk impor, ekspor, cukai, dan kawasan berikat; (5) melanjutkan renegosiasi kontrak karya dan perjanjian karya pengusaha batubara untuk sektor pertambangan; (6) perbaikan metode perhitungan PNBP perikanan; (7) peningkatan kinerja BUMN dan penerapan pay out ratio dividen BUMN yang sesuai dengan kemampuan keuangan BUMN; dan (8) ekstensifikasi dan intensifikasi melalui

II.1-4 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Bab 1: Pendahuluan Bagian II

inventarisasi potensi PNBP pada K/L dan perbaikan peraturan perundang-undangan terkait PNBP.

Selanjutnya, kebijakan belanja pemerintah pusat jangka menengah mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN tahun 2015-2019), besaran asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah sejalan dengan perkembangan ekonomi terkini, serta kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah yang memiliki time frame jangka menengah. Secara umum, kebijakan belanja pemerintah pusat dalam jangka menengah adalah sebagai berikut: (1) belanja pemerintah pusat diarahkan untuk mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan dalam RPJMN tahun 2015 – 2019; (2) mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, antara lain dengan melanjutkan reformasi birokrasi, pengendalian belanja pendukung penyelenggaraan pemerintahan, dan efisiensi belanja; (3) mendukung pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan agenda prioritas, atau memberi peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi pada beberapa sektor prioritas; (4) mendorong tumbuhnya investasi yang meningkatkan produktifitas rakyat; (5) melanjutkan pelaksanaan SJSN kesehatan dan ketenagakerjaan; (6) mendukung upaya peningkatan kualitas pendidikan, dengan menjaga pengalokasian anggaran pendidikan tetap memenuhi rasio minimal anggaran pendidikan sebesar 20 persen sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945; dan (7) pemenuhan anggaran kesehatan 5 persen.

Di bidang transfer ke daerah dan dana desa, Pemerintah telah menunjukkan komitmennya melalui kebijakan desentralisasi fiskal dan pembangunan daerah secara konsisten, antara lain: (1) penyaluran kurang bayar DBH yang telah diaudit; (2) pengalokasian DAK agar lebih efektif, selektif, dan optimal pemanfaatannya; (3) pengalokasian dana otonomi khusus untuk Papua, Papua Barat, dan Aceh, termasuk dana tambahan infrastruktur untuk provinsi Papua dan Papua Barat; (4) pengalokasian dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mendukung penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY; dan (5) mendukung implementasi UU Desa agar pembangunan desa lebih cepat dengan menjaga governance dan akuntabilitas.

Untuk memenuhi pembiayaan anggaran jangka menengah, Pemerintah menggunakan pembiayaan anggaran yang bersumber dari pembiayaan utang dan nonutang. Terkait pengelolaan pembiayaan anggaran, kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan antara lain: (1) mendukung pembangunan infrastruktur melalui alokasi PMN, dana bergulir, pembiayaan investasi, dan kewajiban penjaminan; (2) optimalisasi perencanaan dan pemanfaatan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur; dan (3) pengembangan instrumen dan perluasan basis/investor utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih sumber utang.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 II.1-5

Bab 2: Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Proyeksi Jangka Menengah

Bagian II

BAB 2 PERUBAHAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN PROYEKSI JANGKA MENENGAH

2.1 Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kinerja perekonomian dunia menunjukkan perlambatan, dari 3,4 persen di tahun 2012 menjadi 3,1 persen di tahun 2015. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kinerja ekonomi dan proses pemulihan di negara-negara maju yang belum optimal sejak dilanda krisis pada tahun 2008 dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang juga menunjukkan perlambatan sebagai akibat lemahnya aktivitas perdagangan dunia serta rendahnya harga komoditas. Di samping itu, faktor ketidakpastian juga masih membayangi sektor keuangan global karena sebagian negara maju menerapkan kebijakan stimulus (quantitative easing) sedangkan yang lain menerapkan kebijakan ekonomi ketat.

Berdasarkan perkiraan IMF dalam World Economic Outlook (WEO) yang dirilis pada bulan April 2016, perekonomian global pada tahun ini diperkirakan tumbuh 3,2 persen atau mengalami perbaikan dibandingkan tahun 2015 yang tercatat 3,1 persen. Meskipun demikian, perkiraan ini masih lebih rendah dibandingkan perkiraan pada bulan Januari, sebesar 3,4 persen.

TABEL II.2.1 PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI 2015-2016

Amerika Serikat

Perdagangan Negara Maju

4,5 Sumber: WEO - IMF

Negara Berkembang

IMF juga merevisi ke bawah perkiraaan pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2016. Perekonomian AS diproyeksikan tumbuh sebesar 2,4 persen, sama dengan pertumbuhan di tahun 2015. Momentum positif ekonomi AS diperkirakan masih terus berlanjut, dengan didukung perbaikan pada sejumlah indikator ekonomi, antara lain tingkat pengangguran yang menurun, inflasi yang rendah dan indeks manufaktur maupun indeks produksi industri yang menunjukkan tren meningkat. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi AS masih menghadapi sejumlah risiko terkait dengan perkembangan ekonomi global dan domestik.

Menghadapi perekonomian global yang belum menujukkan pemulihan, masing-masing negara di dunia menerapkan kebijakan yang diyakini sesuai untuk mendorong kinerja ekonomi domestiknya. Negara-negara maju menerapkan kebijakan yang tidak seragam. AS cenderung memberlakukan kebijakan moneter ketat melalui penghentian program quantitative easing.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 II.2-1

Bab 2: Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Bagian II

dan Proyeksi Jangka Menengah

Selain itu, Bank Sentral AS (The Fed) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25 hingga 0,5 persen per 16 Desember 2015. Kenaikan suku bunga acuan tersebut diperkirakan akan kembali terjadi secara bertahap di tahun 2016, dengan mempertimbangkan perkembangan indikator ekonomi AS lebih lanjut.

Sementara perekonomian kawasan Eropa di tahun 2016 diperkirakan tumbuh sebesar 1,5 persen. Perkembangan positif tersebut tidak lepas dari makin membaiknya kinerja ekonomi negara-negara besar di Eropa seperti Jerman, Perancis, Italia dan Spanyol. Saat ini, kawasan Eropa masih menghadapi risiko deflasi. Kawasan Eropa kembali mengalami deflasi pada bulan Maret 2016 sebesar 0,1 persen (yoy), setelah pada bulan Februari 2016 juga mencatat deflasi sebesar 0,2 persen (yoy). Selain deflasi, kawasan Eropa masih menghadapi beberapa risiko lain seperti perlambatan pertumbuhan produktivitas dan peningkatan defisit fiskal di tengah rasio utang terhadap PDB yang tinggi. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menyokong kondisi kawasan Eropa antara lain terkait dengan penurunan harga minyak, kebijakan fiskal yang lebih netral, serta depresiasi nilai tukar euro.

Beberapa negara di Eropa dan Jepang juga masih bertumpu pada kebijakan moneter longgar melalui pemberian stimulus dan penerapan suku bunga negatif. European Central Bank (ECB) mengumumkan kebijakan quantitative easing pada 22 Januari 2015 dengan pembelian aset finansial berskala besar hingga mencapai 60 miliar euro per bulan. Kebijakan tersebut rencananya akan diperpanjang hingga tahun 2017 untuk mencapai target inflasi kawasan Eropa, sekitar 2 persen. Hal yang sama juga terjadi di Jepang, Bank of Japan (BoJ) juga akan melanjutkan kebijakan quantitative easing yang telah dilaksanakan mulai tahun 2015. BoJ akan mengucurkan dana sebesar 80 triliun yen per tahun, meningkat dari stimulus sebelumnya yang hanya 60-70 triliun yen per tahun. Hampir serupa dengan kondisi perekonomian kawasan Eropa, Jepang masih menghadapi sejumlah risiko ekonomi antara lain pertumbuhan produk industri dan pertumbuhan penjualan eceran yang rendah dan tingkat inflasi yang juga rendah. BoJ pada bulan Januari 2016 juga memutuskan untuk menerapkan kebijakan tingkat suku bunga negatif berlaku per Februari 2016 dengan memangkas suku bunga ke level negatif 0,1 persen. Penerapan suku bunga negatif diharapkan dapat mendorong perekonomian dan mencegah terjadinya deflasi yang berkepanjangan di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Jepang di tahun 2016 diperkirakan sebesar 0,5 persen.

Arah kebijakan ekonomi negara-negara maju turut mempengaruhi kebijakan ekonomi di negara- negara berkembang. Pelemahan ekonomi global telah memukul ekonomi Tiongkok sebagai negara yang bergantung pada ekspor. Untuk menyikapi kondisi global yang kurang kondusif, pemerintah Tiongkok mengambil langkah untuk menyeimbangkan sumber pertumbuhan tidak hanya dari investasi dan ekspor, tetapi juga konsumsi rumah tangga (rebalancing). Namun demikian, proses rebalancing masih terhambat dengan konsumsi rumah tangga yang belum sekuat yang diharapkan. Untuk mengompensasi hal tersebut, People’s Bank of China (PBoC) melakukan devaluasi yuan, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dan menurunkan tingkat suku bunga acuan guna membuat produk-produk ekspor Tiongkok menjadi lebih kompetitif sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka memperkuat konsumsi dan mendorong perekonomian, PBoC telah beberapa kali menurunkan suku bunga acuan. Per Maret 2016, suku bunga acuan ditetapkan 4,35 persen, lebih rendah dari posisi akhir 2012 yang tercatat 6 persen. Tiongkok juga memangkas GWM menjadi 17 persen.

Senada dengan kebijakan Tiongkok, Reserve Bank of India (RBI) juga memangkas suku bunga acuan. Per Maret 2016, suku bunga acuan di India berada di level 6,75 persen, jauh lebih rendah

II.2-2 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Bab 2: Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Proyeksi Jangka Menengah

Bagian II

di banding posisi pada akhir 2012 yang tercatat 8 persen. Pada sisi lain, arah kebijakan moneter di negara-negara ASEAN umumnya juga menuju pada kebijakan moneter longgar. Hal tersebut terlihat pada penurunan suku bunga bank sentral di Indonesia dan Thailand, sementara Malaysia dan Philipina relatif masih tetap.

Pelemahan ekonomi global serta berbagai tantangan yang dihadapi perekonomian domestik menjadi tantangan bagi kinerja perekonomian nasional. Namun demikian, pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 4,8 persen (yoy). Meski lebih rendah dari asumsinya dalam APBNP tahun 2015, namun pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Capaian ini terutama didukung oleh kinerja komponen kunci di sisi pengeluaran seperti sektor konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah dan investasi. Dari sisi produksi, sektor industri, pertanian dan jasa yang merupakan sektor- sektor utama menunjukkan pertumbuhan yang positif dan relatif stabil.

Salah satu komponen penopang pertumbuhan ekonomi yang perannya diharapkan semakin besar adalah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB). Di tahun 2015, PMTB mulai meningkat dan tumbuh 5,1 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 4,6 persen. Hal ini terutama ditopang oleh akselerasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur sebagai dampak dari peningkatan anggaran infrastruktur secara signifikan. Selain itu, pertumbuhan PMTB juga didukung oleh berbagai upaya berkesinambungan yang dilakukan Pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi. Perbaikan iklim investasi dilakukan melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur perizinan investasi baik di pusat maupun daerah, kesinambungan reformasi birokrasi, penciptaan kepastian hukum bagi investor dan penyediaan insentif fiskal baik dalam bentuk tax holiday maupun tax allowance.

Di sisi lain, pertumbuhan sektor pertambangan menunjukkan tren penurunan sebagai dampak dari harga komoditas yang mengalami pelemahan, terutama pada tahun 2015 yang tumbuh negatif. Sejalan dengan itu, secara kewilayahan, kawasan yang bergantung pada barang komoditas juga mengalami penurunan pertumbuhan yang relatif dalam seperti Sumatera dan Kalimantan. Pulau Jawa yang merupakan wilayah berbasis industri mampu tumbuh relatif lebih stabil.

Kinerja indikator ekonomi makro lainya juga menunjukkan perkembangan yang relatif stabil. Selama tahun 2015, inflasi terkendali pada tingkat 3,35 persen, jauh di bawah asumsi dalam APBNP tahun 2015 yang sebesar 5 persen. Indikator realisasi investasi langsung yang terus meningkat menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki daya tarik yang tinggi bagi investor asing maupun domestik. Pasar obligasi pemerintah masih tetap tumbuh walaupun ada tekanan gejolak pasar keuangan terhadap pasar modal. Defisit Transaksi Berjalan di tahun 2015 mengalami perbaikan karena didukung oleh peningkatan kinerja pada neraca pendapatan dan neraca jasa.

Untuk menjaga stabilitas, Bank Indonesia (BI) menerapkan kebijakan moneter yang ketat guna menekan impor, sementara Pemerintah berupaya untuk menjaga agar kondisi fiskal tetap sehat. Penurunan impor migas dan kenaikan di sektor jasa, khususnya sektor pariwisata, memberikan kontribusi positif bagi neraca berjalan. Cadangan devisa pada akhir tahun 2015 berada pada posisi US$105,9 miliar atau masih di atas standar kecukupan internasional. Jumlah tersebut dapat menutup kebutuhan 7,4 bulan impor dan pembayaran cicilan utang luar negeri pemerintah.

Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016 II.2-3

Bab 2: Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Bagian II

dan Proyeksi Jangka Menengah

Pada tahun 2016, Pemerintah tetap mewaspadai berbagai potensi tantangan dan risiko, baik yang berasal dari eksternal maupun internal. Atas hal ini, Pemerintah berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi struktural yang telah digulirkan sejak awal tahun 2015 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Reformasi tersebut dilakukan dengan mendorong pertumbuhan sektor-sektor bernilai tambah dan industri pengolahan komoditas primer serta meningkatkan peran investasi sebagai mesin pendorong utama pertumbuhan. Pelaksanaan reformasi struktural tersebut didukung oleh reformasi anggaran yang mencakup tiga pilar yaitu optimalisasi pendapatan, peningkatan kualitas belanja, dan kesinambungan pembiayaan anggaran.

Dengan memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian terkini baik global maupun domestik serta berbagai kebijakan yang diambil Pemerintah, diperkirakan akan terdapat deviasi beberapa asumsi yang ditetapkan pada APBN tahun 2016 dengan outlook terkini (RAPBNP tahun 2016).

2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian domestik pada tahun 2016 diperkirakan meningkat seiring dengan realisasi pembangunan infrastruktur dan dorongan dari konsumsi pemerintah yang lebih efektif dan efisien serta relatif terjaganya konsumsi rumah tangga. Peningkatan belanja infrastruktur yang merupakan program lanjutan yang telah dimulai sejak tahun 2015, diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar dalam proses pembangunan. Dari sisi global, perdagangan dunia diperkirakan meningkat meskipun tidak terlalu signifikan. Kondisi ini diharapkan dapat memberikan dorongan aktivitas ekonomi global yang pada gilirannya juga dapat mendukung kinerja ekonomi domestik. Meskipun demikian, masih terdapat risiko-risiko ekonomi yang patut diwaspadai sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional seperti perekonomian Tiongkok yang diperkirakan tumbuh moderat dan perkiraan harga komoditas yang masih cukup rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi dalam RAPBNP tahun 2016 diperkirakan sebesar 5,3 persen, sama dengan perkiraan dalam APBN tahun 2016.

Tantangan dari perekonomian global yang diperkirakan masih cukup GRAFIK II. 2.1 5,7

PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL, 2014-2016

berat telah diantisipasi dengan terus

(persen)

berjalannya reformasi fiskal yang 5,3 menitikberatkan pada realokasi belanja 5,2

untuk mendorong pembangunan yang lebih produktif. Realokasi dana subsidi

BBM dan program penghematan 4,7 belanja pemerintah yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan

belanja yang lebih produktif seperti 4,2

pendidikan dan kesehatan diharapkan RAPBNP

APBN

mampu mempertahankan asumsi 2016 tingkat pertumbuhan ekonomi tahun Sumber: Kementerian Keuangan

2016 sebesar 5,3 persen. Pada tahun 2015, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,0 persen, sedikit lebih rendah

dari realisasi tahun 2014 yang mencapai 5,2 persen. Tingkat inflasi yang relatif terkendali di

II.2-4 Nota Keuangan dan RAPBN Perubahan Tahun 2016

Bab 2: Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Proyeksi Jangka Menengah

Bagian II