Model bio ekonomi opsi rehabilitasi sumber daya perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE

ACEH DARUSSALAM

I N D R A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Bio-Ekonomi Opsi Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2007

Indra Nrp. C261020011


(3)

INDRA. Model Bio-Ekonomi Opsi Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan MENNOFATRIA BOER.”

Proses rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) banyak menemukan kendala sehingga proses rehabilitasi tersebut menjadi lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya data yang akurat tentang kerusakan ekosistem pesisir dan lautan akibat tsunami, yang meliputi mulai dari kerusakan fisik perikanan hingga meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumber daya. Hal ini penting dilakukan, karena kegagalan pembangunan perikanan selama ini disebabkan tidak adanya investasi dibidang data collection dan perhitungan stok sumber daya yang salah. Penelitian ini mencoba memberikan kontribusi dalam kerangka rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) melakukan perbandingan (compare) model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi, (2) mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock, (3) menganalisis tingkat efisiensi dan kapasitas perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya, (4) menganalisis interaksi antara sumber daya perikanan dengan ekosistem mangrove, dan (5) melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangannya di daerah penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi aktual selama periode pengamatan telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya pelagis dengan pola yang terus meningkat. Pengelolaan perikanan di Provinsi NAD semakin akhir periode pengamatan semakin tidak efisien. Untuk mencapai efisien perlu dikurangi effort 0 – 34.0% di Pantai Timur dan 0 – 46.3 % di Pantai Barat. Jumlah armada baru untuk menggantikan armada rusak/hilang karena tsunami berkisar 3 570 – 5 131 unit. Ekosistem mangrove memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap di Provinsi NAD sekitar 27.21%. Estimasi luas mangrove optimal di Pantai Timur 100 946.70 ha dan Pantai Barat 13 029.91 ha, sedangkan estimasi jumlah effort optimal di Pantai Timur 105 950.00 trip dan Pantai Barat 74 456 trip. Dampak jangka pendek dari tsunami adalah berkurangnya input dan hasil tangkapan (catch). Namun secara ekonomi, telah meningkatkan penerimaan hingga 50%, rente 16% – 41%, dan nilai surplus produsen lebih dari 100%. Hal ini menunjukkan perlu adanya rasionalisasi input di Provinsi NAD. Kebutuhan biaya rehabilitasi per hektar tambak berkisar antara Rp. 5.9 juta – 32.8 juta tergantung tingkat kerusakan, sedangkan biaya operasional berkisar 12.6 juta – 26.77 juta tergantung teknologi budidaya. Dalam rehabilitasi tambak diharapkan menggunakan pedoman lingkungan dari DKP/FAO/NACA.


(4)

INDRA. Bioeconomic Model of Rehabilitation Fishery Resources in Nanggroe Aceh Darussalam, under supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MENNOFATRIA BOER.”

Fishery rehabilitation faced some problems that affected rehabilitation process in The Province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Such a problem is no accurate data about coastal and marine ecosystems which had been destroyed by the tsunami. The data included bio-physics and non physic of fishery, for example updated stock assessment. This step is very importance for rehabilitation fishery sector. As a matter of fact that failure of fishery development is due to disinvestation on data collection and invalid stok assessment. The research attempts to contribute data and information to project workers, so that the rehabilitation process can work properly.

The aim the research are: (1) to compare Gordon-Schaefer model with and without “shock” and its effect to biomass, catch, effort, and economic rent, (2) to determine the welfare effect of GS model with and without “shock”, (3) to analyze the relative efficiency and capacity of capture fishery, (4) to analyze interaction between mangrove ecosystem and fisheries harvest (5) to analyze economic aspects of capture fishery and its rehabilitation strategies.

The results of the research showed that effort and harvest increased gradually, but catch per unit effort (CPUE) decreased from year to year. At certain years actual yield exceeded sustainable yield. Based on actual yield, the degradation and depreciations of pelagic has increased. Harvesting of fishery was not efficient, especially at the end of observation period. To be efficient, effort must be reduced from 0 – 34.0% in the east coast and 0 – 46.3% in the west coast. The NAD needs 3 570 – 5 131 unit boats to replace some boats that have broken/lost because of tsunami. Mangrove ecosystem contribute 27.21% on capture fisheries yield in NAD. In short run, tsunami impact had decreased effort gradually in NAD. Economically, it has increased total revenue (TR) until 50%, economic rent 16-41%, and producer’s surplus >100%. This is also an indication that input rationalization on capture fishery was needed quickly in NAD. The cost requirement to rehabilitation a hectare of brackish water is Rp. 5.9 million – Rp. 32.8 million depend on damage levels and operational cost was 12.6 million – Rp. 26.77 million depend on brackish water technologies. It is suggested that on rehabilitation process of brackish water used environmental rule created by DKP/FAO/NACA.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE

ACEH DARUSSALAM

I N D R A

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam N a m a : Indra

Nrp : C261020011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen

Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan di Pantai Barat dan Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mulai bulan Oktober 2004 – Desember 2005, berjudul Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Proses rehabilitasi sektor perikanan di NAD banyak menemukan kendala sehingga proses rehabilitasi tersebut menjadi lambat. Salah satu faktor penyebab-nya adalah tidak tersediapenyebab-nya data yang akurat tentang kerusakan ekosistem pesisir dan lautan akibat tsunami, yang meliputi mulai dari kerusakan fisik perikanan hingga meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumber daya. Hal ini penting dilakukan, karena kegagalan pembangunan perikanan selama ini disebab-kan tidak adanya investasi dibidang data collection dan perhitungan stok sumber daya yang salah. Penelitian ini mencoba memberikan kontribusi dalam kerangka rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Fauzi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan saran. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemda NAD dan ICRAF Bogor yang telah membantu biaya penelitian, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, dan Lembaga Panglima Laot Provinsi NAD yang telah memberikan data-data dan informasi lainnya untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua (H. Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj. Maryamu Ali), istri (Halimursyadah, SP., M.Si.), anak-anak (Rayya dan Qassim), dan seluruh saudaraku atas doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu penelitian ini penulis ucapkan terima kasih.

Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2007


(9)

Penulis dilahirkan di Desa Siem Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 9 September 1963 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj. Maryamu Ali. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan menamatkannya pada tahun 1997. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPPS Dikti.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Unsyiah sejak tahun 1990. Mata Kuliah yang penulis asuh adalah ekonomi produksi, evaluasi proyek, metode kuantitatif I (Analisis Regresi), Kuantitatif II (Linear Programming), dan Ekonomi Mikro.


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran dalam penyusunan disertasi ini.

2. Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Pertanian Unsyiah yang telah memberikan peluang sekolah untuk saya.

3. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor.

4. Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar atas bantuan beasiswa NAD.

5. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe, atas bantuan dalam penyediaan data.

6. Direktur ICRAF Bogor, khususnya Pak Suseneno, Mbak Diah, Ibu Josephin, yang telah membantu biaya penelitian dan fasilitas lainnya.

7. Seluruh staf pengajar dan karyawan PS-SPL Sekolah Pascasarja IPB Bogor. 8. Yang terhormat dan tercinta kedua orang tua H.Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj.

Maryamu Ali, istriku Halimursyadah, SP., M.Si., kedua anakku Rayya Filza Indria dan Qassim Albar Indra, Cut Abang (Sabirin Zainun, S.Sos), Kak Dah (Dahlia Zainun), Awi (Asnawi Zainun, SH), Adi (Aswadi Zainun, SH), dan seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.

9. Teman-teman dari Aceh dibawah FORUM UNSYIAH dan IKAMAPA.

10.Teman-teman angkatan VII S3 SPL dan teman-teman satu bimbingan yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen Zulham, Dr. Georgina, Dr. Sofyan, Dr. T. Efrizal, Dr. Parwinia, dan Dr. Desniarti.

11.Seluruh teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2007


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Sumber daya Pesisir ... 9

2.2 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) ... 11

2.3 Teori Optimisasi Sumber daya Perikanan ... 16

2.4 Teori Degradasi Sumber daya... 23

2.5 Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ... 27

2.6 Konsep Efisiensi Perikanan Tangkap ... 32

3. METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian ... 36

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 37

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4 Analisis Data ... 40

3.4.1 Standarisasi Effort ... 40

3.4.2 Uji Stationary ... 41

3.4.3 Model Bio-Ekonomi Sumber daya Perikanan... 42

3.4.4 Estimasi Parameter Ekonomi ... 45

3.4.5 Laju Degradasi dan Depresiasi Sumber daya Perikanan... 48

3.4.6 Optimalisasi Pengelolaan Sumber daya Perikanan ... 49

3.4.7 Analisis Rezim Pengelolaan... 52

3.4.8 Interaksi Mangrove dan Perikanan ... 54

3.4.9 Aspek Kesejahteraan ... 56

3.4.10 Model Analisis Kebijakan... 57

3.4.11 Analisis Finansial dan Usahatani Tambak ... 59

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

4.1 Produksi Perikanan ... 62

4.2 Standarisasi Unit Effort ... 67

4.3 Estimasi Parameter Biologi ... 70

4.4 Estimasi Produksi Lestari (Sustainable Yield) ... 71

4.5 Degradasi Sumber daya Perikanan ... 77


(12)

4.6.1 Struktur Biaya... 80

4.6.2 Estimasi Discount Rate... 82

4.7 Depresiasi Sumber daya Perikanan ... 83

4.8 Pengelolaan Sumber daya yang Optimal... 88

4.9 Analisis Instrumen Kebijakan (Efisiensi)... 101

4.10 Kondisi Perikanan Tangkap Setelah Tsunami... 114

4.10.1 Kerusakan Fisik dan Sumber daya Manusia ... 114

4.10.2 Perkembangan Produksi... 116

4.10.3 Rehabilitasi Perikanan... 120

4.11 Analisis Perikanan Budidaya ... 125

4.11.1 Keragaan Tambak Sebelum Tsunami ... 126

4.11.2 Dampak Tsunami Terhadap Usahatani Tambak ... 134

4.11.3 Upaya Rehabilitasi Tambak ... 135

4.11.4 Opsi Teknologi... 141

4.11.5 Analisis Sensitivitas ... 144

4.11.6 Permasalahan Pengelolaan Tambak di NAD ... 148

4.11.7 Strategi Rehabilitasi Tambak ... 149

4.12 Konflik lahan Tambak dan Mangrove... 153

4.13 Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan ... 157

4.14 Integrasi Analisis Bio-Ekonomi Perikanan di NAD... 166

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 179

5.1 Simpulan ... 179

5.2 Saran-saran ... 180

DAFTAR PUSTAKA ... 182

LAMPIRAN ... 192


(13)

Halaman 1. Data produksi ikan pelagis (ton) sebagai target spesies yang digunakan

dalam penelitian, Tahun 1984 – 2004 di Provinsi NAD…………... 63 2. Share produksi ikan pelagis tongkol dan cakalang dari alat tangkap

pukat cincin dan pancing tonda di daerah penelitian periode 1984 – 2004………... 66 3. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis

untuk Pantai Timur Aceh………. 68 4. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis

untuk Pantai Barat Aceh... 69 5. Hasil uji Dickey Fuller di Pantai Timur dan Pantai Barat... 70 6. Hasil analisis nilai parameter biologi ………... 71 7. Perbandingan produksi aktual dan lestari di Pantai Timur dan Pantai

Barat Aceh... 72 8. Rata-rata biaya rill penangkapan ikan per unit effort menurut lokasi

penelitian (Rp. ribu per trip), tahun 1984-2004... 81 9. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumber daya perikanan (Rp.

Milyar)... 84 10. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai

Timur dengan market dan Kula Discount Rate... 89 11. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai

Barat dengan market dan Kula Discount Rate... 90 12. Rente optimal lestari di Pantai Timur Aceh (Rp. Milyar)... 95 13. Rente optimal lestari di Pantai Barat Aceh (Rp. Milyar)... 95 14. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Timur Aceh (Rp.

Milyar) ……….. 97

15. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Barat Aceh (Rp.

Milyar)……… 97

16. Perbandingan effort optimal dan aktual serta rente optimal dan lestari (δ=15%)……….... 99 17. Skor efisiensi unit fisik DEA Pantai Timur dan Barat Aceh……... 102 18. Potensi perbaikan efisiensi dari Decision Making Unit (DMU).…... 105 19. Kapasitas perikanan tangkap di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi

NAD (Rp juta) ... 107 20. Efisiensi armada di Provinsi NAD ……….. 109 21. Performance armada di Provinsi NAD ………... 111 xiii


(14)

akibat tsunami 26 Desember 2004………... 115 23. Dampak tsunami terhadap nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD….. 116 24. Perkembangan produksi beberapa jenis krustacea dan moluska di

Provinsi NAD………... 119 25. Rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD………... 121 26. Distribusi boat di Pantai Barat dan Provinsi NAD (2004-2006)…... 122 27. Jumlah Boat/Kapal yang sudah didistribusikan di Provinsi NAD (22

September 2005)……….. 123 28. Jumlah Boat yang sedang dibuat dan tahap janji (kontrak) untuk

didistribusi di Provinsi NAD (Data pada 22 September 2005)………… 124 29. Rata-rata Produksi dan Nilai Hasil Produksi per Hektar per Tahun dari

Usaha Tambak Tradisional Plus di Daerah Studi………. 129 30. Tingkat pendapatan usaha tambak, perikanan tangkap (nelayan) dan

usahatani padi sawah di daerah studi... 130 31. Margin pemasaran udang windu di lokasi studi………... 133 32. Estimasi tingkat kerusakan tambak (dalam ha) pasca tsunami di

Provinsi NAD dan daerah studi……… 134 33. Prediksi kerugian produksi perikanan budidaya (tambak) di Provinsi

NAD... 135 34. Estimasi kebutuhan biaya rehabilitasi tambak berdasarkan tingkat

kerusakan………... 137 35. Kebutuhan tenaga kerja (hok) untuk rehabilitasi dan operasional pada

budidaya tambak menurut teknologi dan tingkat kerusakan tambak……….. 139 36. Nilai return to labor budidaya tambak menurut jenis teknologi tambak

dan tingkat kerusakan di daerah studi……….. 140 37. Parameter finansial budidaya tambak pada Discount Rate = 15%... 142 38. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika harga

benur Rp. 100/ekor dan harga pakan meningkat 20 % (scenario-1)…… 145 39. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika

tingkat survival rate turun 20% (scenario-2)……… 146 40. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika harga

jual output turun 20% (scenario-3)………... 147 41. Perbedaan antara produksi sumber daya perikanan baseline dengan

Model Fozal... 158 42. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD)……….. 161


(15)

43. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2003……… 162 44. Rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD (2005-2006)………... 163 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi

NAD…... 166

46. Hasil perhitungan bio-ekonomi perikanan di Provinsi NAD…………... 172


(16)

Halaman

1. Kerangka pemikiran ………... 7

2. Batasan wilayah pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2002) ……….. 9

3. Kurva yield effort ………..………... 19

4. Model Gordon-Schaefer ………. 19

5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan ……... 22

6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay ………. 28

7. Pengukuran surplus konsumen ………... 29

8. Penurunan surplus Konsumen ……….………... 30

9. Producer’s surplus (PS) dan distribusinya surplus …..……….……….. 32

10. Peta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ... 38

11. Alur Penelitian ………... 39

12. Market Discount Rate ……… 47

13. Perkembangan data produksi ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……… 64

14. Perbandingan hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)………... 66

15. Jumlah alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……... 69

16. Produksi aktual dan lestari di Pantai Timur (a) dan di Pantai Barat (b). 73 17. Fungsi produksi lestari Gompertz di daerah penelitian………... 74

18. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Timur Aceh ... 74

19. Copes Eye Ball loop fungsi produksi lestari Gompertz Pantai Timur Aceh………... 75

20. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Barat Aceh... 75

21. Copes eye ball loop fungsi produksi lestari Gompertz di Pantai Barat Aceh………... 75

22. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi aktual untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……… 78

23. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi lestari untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……... 79

24. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual... 79

25. Perbandingan laju degradasi sumber daya perikanan dengan effort untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)………... 80


(17)

27. Present value rente dan depresiasi di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)...

86

28. Hubungan effort dan depresiasi sumber daya ikan pelagis di Pantai

Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 86

29. Trajektori biomas dan produksi optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 91

30. Trajektori produksi aktual, lestari, dan optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 92

31. Trajektori effort aktual dan optimal (1000 trip) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 93

32. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 96

33. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 98

34. Trajektori perbedaan effort optimal dan aktual di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100

35. Trajektori perbedaan rente optimal dan lestari di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100

36. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Timur Aceh………... 102

37. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Barat Aceh………... 103

38. Trajektori skor efisiensi DEA Pantai Timur dan Barat Aceh……... 104

39. Potensi perbaikan effort (a) produksi aktual (b) di Pantai Timur dan Barat Aceh……….. 106

40. Trajektori jumlah aktual armada dan efisiensi armada di Provinsi NAD ………... 110

41. Perbandingan jumlah armada dan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD.………... 111

42. Perbandingan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD... 117

43. Luas tambak dan rumah tangga perikanan budidaya (RT) di Pantai Timur dan Barat Aceh, tahun 2003………... 127

44. Rantai pemasaran udang di Provinsi NAD………... 132

45. Kebutuhan biaya operasional usahatani tambak berdasarkan tingkat teknologi di daerah studi………. 138

46. Nilai return to labor dari usahatani tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan di daerah studi... 140


(18)

teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi……… 143 48. Langkah-langkah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tambak di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)………... 151 49. Perkembangan Luas Tambak di Provinsi Nanggroe Darussalam

(NAD) Tahun 1969 – 2003………... 154 50. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1984

– 2004………... 159 51. Yield-effortcurves tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan

Pantai Barat (b)………... 168 52. Model Gordon-Schaefer (GS) tanpa dan dengan tsunami di Pantai

Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 169 53. Korelasi antara effort dan biomas dari model GS... 171 54. Rezim pengelolaan biomas di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)… 173 55. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas ... 174 56. Perbedaan effort, produksi, dan rente berdasarkan rezim pengelolaan

di Pantai Timur tanpa tsunami (a), dengan tsunami (b) dan Pantai Barat tanpa tsunami (c) dan dengan tsunami (d)... 175 57. Surplus Produsen tanpa “shock” dan dengan ”shock”... 176


(19)

Halaman

1. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Timur Aceh…... 192 2. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Barat Aceh……... 193 3. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur

Aceh... 194 4. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur

Aceh... 195 5. Print out analisis CYP Pantai Timur Aceh………. 196 6. Print out analisis CYP Pantai Barat Aceh……….. 198 7. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi

lestari) di Pantai Timur Aceh………. 200 8. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan rata-rata

geometrik produksi aktual) di Pantai Timur Aceh... 201 9. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi

lestari) di Pantai Barat Aceh……….. 202 10. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Rata-rata

Geometrik Produksi Aktual) di Pantai Barat Aceh... 203 11. Print Out Perhitungan Discount Rate Kulla………... 204 12. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Timur Aceh (∂ = 15%)………... 205 13. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Timur Aceh (∂ = 5,68%)……… 207 14. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Barat Aceh (∂ = 15%)……… 209 15. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Barat Aceh (∂ = 5,68%)………. 211 16. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Timur

Aceh………... 213 17. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Barat

Aceh... 215 18. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Timur Aceh………... 217 19. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Barat Aceh... 218 20. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Pantai Timur dan Barat

Aceh... 219 21. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Severely damage, Back

Hoe)……… 220


(20)

Hoe)……… 221

23. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Manual)……….. 222

24. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage, Back Hoe)……… 223

25. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage. Manual….. 224

26. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Severely damage, Back Hoe)……….. 225

27. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Back Hoe)……….. 226

28. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Manual)……….. 227

29. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Back Hoe)……… 228

30. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Manual)……….. 229

31. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensive (Severely Damage, Back Hoe)……….. 230

32. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Back Hoe)……… 231

33. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Manual)……….. 232

34. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Back Hoe)……… 233

35. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Manual)……….. 234

36. Analisis Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan (Model Fozal)... 235

37. Print Out Perhitungan Model Fozal ……….. 236

38. Persamaan Model Fozal... 238

39. Dampak tsunami pada nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD…... 239

40. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Timur Aceh... 240

41. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Barat Aceh... 241

42. Maple output model Fozin-1 Pantai Timur ...……...………... 242

43. Maple output model Fozin-1 Pantai Barat ... 246


(21)

1.1. Latar Belakang

Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat dan Indonesia dikenal memiliki sumber daya pesisir dan lautan yang cukup melimpah, seperti: mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria yang menghasilkan sumber daya ikan dan biota lainnya, migas, mineral, dan jasa-jasa lingkungan. Indonesia mempunyai banyak perairan, teluk, dan pulau kecil yang relatif tenang dan bersih, lebih dari 12 genera hutan mangrove (diperkirakan luas areal mangrove di Indonesia 2.25 – 4.45 juta ha), 70 genus terumbu karang yang tersebar dalam hamparan seluas 85.000 km2 (terluas di dunia), dan padang lamun yang cukup luas, walaupun sebagian dari sumber daya di atas berada dalam kondisi rusak akibat campur tangan manusia.

Indonesia mempunyai panjang garis pantai 81 000 km (14 persen dari total garis pantai bumi dan merupakan garis pantai kedua di dunia terpanjang setelah Kanada), perairan darat 0.55 juta km2, luas laut 5.8 juta km2, potensi (ikan) lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) 6.4 juta ton/tahun, jumlah tangkapan (tahun 2001) 4.0 juta ton, artinya masih punya peluang untuk meningkatkan produksi 1.12 – 2.40 juta ton/tahun. Indonesia juga mempunyai 141 820 ha perairan umum dengan potensi produksi 356 020 ton ikan/tahun (Dahuri 2002).

Untuk perikanan budidaya, Indonesia mempunyai potensi luas budidaya laut (marikultur) lebih dari 2 juta ha, yang dapat dibudidaya ikan kakap, kerapu, tiram, kepiting, teripang, dan lain-lain dengan potensi produksi mencapai ± 46.73 juta ton/tahun. Disamping itu, Indonesia juga potensi lahan tambak 866 550 ha yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 40 persen. Menurut Dahuri (2002), jika dari luas potensi tambak tersebut dapat dimanfaatkan 500.000 ha saja dengan produksi rata-rata 2 ton/ha/tahun, maka Indonesia akan menghasilkan udang 1 juta ton/tahun, dan jika nilai ekspor udang US$ 2/kg, maka akan menghasilkan devisa US$ 10 milyar.


(22)

Melimpahnya sumber daya di kawasan pesisir seperti disebutkan di atas, tidak tercermin pada penerimaan PDB dan keadaan sosial ekonomi masyarakat pesisir (nelayan) yang berkaitan langsung dengan sumber daya tersebut. Kenyata-an menunjukkKenyata-an bahwa lebih dari 80 persen masyarakat pesisir masih tergolong miskin (BPS 1998). Paradoks kemiskinan nelayan Indonesia identik dengan apa yang pernah diucapkan Peter Pearse, seorang ekonom Kanada, ketika melihat kenyataan pahit nelayan di pantai timur Kanada yang terbelenggu oleh kemis-kinan di tengah melimpahnya sumber daya perikanan di daerah tersebut. Kondisi yang sama dialami oleh nelayan Indonesia. Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yaitu miskin di tengah kekayaan potensi sumber daya perikanan yang ada di sekitarnya. Berbagai pertanyaan kemudian muncul mengapa hal ini bisa terjadi?. Apakah ini semata-mata karena natural resource curse? (kutukan sumber daya alam), yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan bagi penduduknya? (Fauzi 2003).

Dari sisi penerimaan, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional pada Tahun 1998 sebesar 20.06 persen dan kontribusi sektor perikanan saja hanya 2.16 persen dengan nilai ekspor US$ 1.76 milyar jauh lebih kecil dibanding negara Irlandia, Norwegia, Cina dan Jepang dengan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masing-masing sebesar 65%, 25%, 48%, dan 54% (Dahuri 2002). Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai nilai ekspor perikanan US$ 4.2 milyar dan dengan luas lahan tambak 80 000 ha menghasilkan 300 000 ton udang pada Tahun 2000, pada periode yang sama Indonesia dengan luas lahan tambak 344 759 ha hanya menghasilkan 120 000 ton udang.

Ketidaksesuaian antara kelimpahan sumber daya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, pada tingkat regional juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aceh juga dikenal mempunyai sumber daya pesisir dan lautan yang melimpah. Terdapat 17 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan pantai, panjang garis pantai 2 467 km (Medrilzam et al. 2005), potensi lestari (MSY) di Pantai Barat 366 260 ton/tahun dan Pantai Timur 127 670 ton/tahun (PT. Oxalis Subur 2006). Luas areal budidaya 43 173.5 ha, yang terdiri dari tambak 36 615 ha dan selebihnya merupakan perairan umum, produksi perikanan


(23)

budidaya 30 572.9 ton dengan nilai 637 milyar (DKP 2004b). Disamping itu, Aceh juga mempunyai sumber daya budidaya laut yang cukup baik, terumbu karang, ekosistem mangrove, dan lain-lain. Dari tahun 70-an, Aceh dikenal dengan keunggulan udang windu dan udang putih yang diekspor ke Eropah sebagai udang pealed (sudah dikupas kulitnya) untuk dihidangkan sebagai shrimp cocktail (FP Unsyiah 2000).

Kekayaan sumber daya alam di atas masih belum mampu mengangkat harkat masyarakat Aceh. Tahun 1996 persentase orang miskin di NAD 10.79 persen dan tahun 2000 meningkat menjadi 26.50 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional pada periode yang sama, yaitu 16.07 persen (Abidin 2004). Pada Tahun 2004, jumlah penduduk NAD 4.2 juta orang dan diperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 40 persen, sekitar 1.7 juta orang (Nazamuddin 2004), dan sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di kawasan pesisir adalah tergolong miskin, karenanya hampir seluruh desa di kawasan pesisir termasuk desa tertinggal. Sebelum tsunami, penduduk miskin di Aceh mencapai 29% dari jumlah penduduk dan merupakan provinsi ke-4 termiskin di Indonesia dan setelah tsunami penduduk miskin meningkat menjadi 36%, daerah termiskin ke di Indonesia (Word Bank 2006).

Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa pada sektor perikanan di Provinsi NAD. Diperkirakan sekitar 1000 km garis pantai tersapu tsunami, hampir setara dengan jarak Jakarta – Surabaya jalan darat (Mangkusubroto 2006), 17 552 nelayan hilang/tewas atau 22.8% dari total nelayan di NAD yang berjumlah 76 970 orang pada tahun 2004 (DKP 2005a), 11 124 armada hilang/rusak (FAO 2005a), 38 PPI rusak/hilang (Meldrilzam et al. 2005), 20 429 ha tambak rusak atau 42.9% dari total luas tambak di NAD 47 621 ha dan paling kurang 40 000 pembudidaya tambak kehilangan pekerjaan (FAO 2005b), 105 260 ha hutan mangrove rusak (Dephut 2005, diacu dalam Meldrilzam et al. 2005).

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sedang dilakukan di Provinsi NAD, namun sejauh ini belum memberikan hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah informasi dan data yang digunakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut belum mendekati kondisi riel. Penelitian ini dilakukan


(24)

untuk menggambarkan secara menyeluruh tentang keragaan (performance) sumber daya perikanan tangkap dan budidaya (tambak) di Provinsi NAD. Keragaan sumber daya ini penting diketahui karena akan menentukan konsep dan strategi kebijakan yang tepat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para

stakeholder khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya di lokasi penelitian. Yang diharapkan adalah setiap kegiatan pembangunan dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Untuk pemanfaatan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah disebutkan di atas, Provinsi NAD memiliki potensi produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, yang cukup tinggi. Namun tingginya potensi ini tidak tercermin dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, khususnya para nelayan. Hampir semua desa nelayan di Indonesia dan juga di NAD tergolong dalam desa tertinggal dan berpenduduk miskin.

Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas di sektor perikanan, antara lain adalah : (1) kapasitas (stok) sumber daya ikan yang telah menurun di beberapa daerah penangkapan ikan, (2) sumber ekonomi perikanan mengalami terdistorsi, dimana beberapa produk perikanan memiliki pasar monopsoni sedangkan inputnya bersifat monopolistik, (3) kualitas sumber daya manusia di sektor perikanan relatif rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, (4) eksploitasi perikanan di beberapa daerah telah melebihi kapasitas sumber dayanya, (5) di beberapa daerah penangkapan, diduga telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan, (6) belum terintegrasi pengembangan wilayah pesisir dengan pembangunan sektor perikanan.

Masalah tangkap lebih (overfishing) merupakan isu pokok yang terjadi di beberapa daerah penangkapan ikan. Gordon (1954), diacu dalam Fauzi (2004)


(25)

menyatakan bahwa sumber daya ikan pada umumnya open access. Tidak seperti sumber daya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumber daya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki sumber daya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol ini. Menurut beberapa hasil penelitian, di Selat Malaka dan Laut Jawa telah terjadi tangkap lebih, biological overfishing. Namun, yang umum terjadi di Indonesia, termasuk di NAD, adalah economical overfishing

yang ditandai dengan tingginya penggunaan input, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan output dan returns secara proporsional.

Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan dalam bidang perikanan oleh Schaefer pada tahun 1957. Dari sinilah teori Schaefer kemudian dikenal. Secara eksplisit model Gordon-Schaefer (GS) menjelaskan bahwa dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan akan tercapai pada tingkat upaya E∞, dimana

penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan sudah tidak menerima rente ekonomi sumber daya (manfaat ekonomi), karena seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak lagi intensif untuk masuk (entry) dan keluar (exit) serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Tingkat upaya pada posisi ini adalah upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai “Bioeconomic Equilibrium of Open Access Fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2004).

Keuntungan lestari yang maksimum diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak antara TR dan TC paling besar, tingkat upaya ini disebut dengan Maximum Economic Yield (MEY). Tingkat upaya pada keseimbangan open access (E∞) jauh

lebih tinggi dari tingkat upaya MEY (Eo). Dari sudut pandang ekonomi,

keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumber daya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya


(26)

yang lebih produktif. Hal inilah inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economicoverfishing.

Model GS seperti dijelaskan di atas mengasumsikan sumber daya dalam kondisi keseimbangan (equilibrium). Namun, dalam kenyataannya kondisi sumber daya tidak selalu equilibrium. Dengan faktor “shock” (seperti tsunami) dapat menyebabkan sumber daya tidak seimbang (disequilibrium). Disamping itu, model GS hanya melihat perikanan dalam suatu perairan. Pada kenyataannya kondisi perairan dipengaruhi oleh ekosistem pantai, seperti hutan mangrove, yang berfungsi selain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat berlindung beberapa biota laut (termasuk ikan) juga dengan produksi serasah (bahan organik) dapat menyuburkan perairan sehingga akan mempengaruhi tingkat populasi ikan (tingkat biomas) di perairan tersebut.

Pertanyaan umum yang muncul dari bahasan di atas adalah bagaimana model Gordon-Schaefer (GS) melihat kondisi perikanan yang mengalami “shock”?. Beberapa pertanyaan yang dapat diturunkan secara khusus adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan

disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya

shock tersebut?

2. Bagaimana dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock?

3. Apakah pengelolaan perikanan tangkap di daerah penelitian sudah efisien? 4. Bagaimana kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi

perubahan ekosistem akibat adanya shock?

5. Bagaimana keragaan perikanan budidaya (tambak), permasalahan, strategi rehabilitasi dan pengembangannya di daerah penelitian serta apakah perikanan budidaya tersebut dapat menjadi substitusi dan komplementer ketika perikanan tangkap mengalami shock?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka dibuat alur pemikiran yang sistematis seperti terlihat pada Gambar 1.


(27)

Gambar 1. Kerangka pemikiran

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bio-ekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Provinsi NAD yang harmonis, lestari, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat di daerah penelitian.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Melakukan analisis perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya

shock tersebut.

2. Mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock.

3. Menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya.

Equilibrium Disequilibrium

TSUNAMI

Input

Teori Gordon-Schaefer (GS)

Output Gordon Schaefer

Equilibrium

Output Baru Gordon-Schaefer

Disequilibrium

Rehabilitasi Rekonstruksi

Kebijakan

Analisis

Comparative

Model Copes Analisis Degradasi dan

Depresiasi

Analisis DEA

Interaksi Mangrove-Sumber

Daya Ikan

Input ??

Output ?? Mangrove Tambak

Assessment dan

Analisis Ekonomi

Opsi Rehabilitasi Perikanan Budidaya


(28)

4. Menganalisis kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya shock.

5. Melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangan serta hubungannya dengan produksi perikanan tangkap setelah shock.

Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat dijadikan masukan dan acuan kebijakan dalam rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD.


(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumber Daya Pesisir

Pesisir merupakan suatu jalur daratan yang kering dan ruang laut dekatnya, termasuk kolom air dan daratan dibawahnya, dimana ekosistem darat dan penggunaannya berdampak terhadap ekosistem laut dan sebaliknya (Rais 2002). Wilayah pesisir merupakan wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi garam sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2002). Secara ekologis, batasan kawasan pesisir dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2001)

Karakteristik utama wilayah pesisir adalah : (1) terdiri dari berbagai macam habitat/ekosistem (seperti pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria) yang menghasilkan berbagai sumber daya (ikan, migas,

CONTINENTAL INTERIOR OPEN OCEAN COASTAL ZONE z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z RIVER BASIN UPLAND LOWLAND CONTINENTAL SHELF

INNER SHELF OUTER SHELF

NEARSHORE ESTUARY SALTMARSH DUNES SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME SHELF

EDGE ZONE

OCEAN FLOOR CONTINENTAL SLOPE SHEL F BR E AK SH EL F SEA / OC EAN IN TE RF A C E SH OR E LIN E LA

ND / SE

A IN TERF ACE CONTINENTAL INTERIOR OPEN OCEAN COASTAL ZONE z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z RIVER BASIN UPLAND LOWLAND CONTINENTAL SHELF

INNER SHELF OUTER SHELF

NEARSHORE ESTUARY SALTMARSH DUNES SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME SHELF

EDGE ZONE

OCEAN FLOOR CONTINENTAL SLOPE SHEL F BR E AK SH EL F SEA / OC EAN IN TE RF A C E SH OR E LIN E LA

ND / SE

A

IN

TERF


(30)

mineral, dan lain-lain) dan jasa-jasa lingkungan (seperti proteksi alamiah terhadap badai dan gelombang, rekreasi, dan penyerapan limbah) bagi masyarakat, khususnya yang bermukim di pesisir, (2) kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan laut oleh berbagai stakeholders yang seringkali mengakibatkan konflik/pertikaian diantara mereka serta perusakan integritas fungsional dari ekosistem, (3) biasanya berkepadatan penduduk tinggi dan lokasi yang disukai untuk pengembangan perkotaan, dan (4) sumber utama ekonomi nasional, di mana menyumbang devisa negara secara signifikan (Dahuri et al. 2001).

Secara umum, wilayah pesisir (yang termasuk kedalamnya estuaria,

coastal wetlands, mangrove, karang, continental shelves, dan lain-lain) memberikan penghidupan yang cukup besar bagi manusia yang ditandai dengan 50 – 70% manusia hidup dan bekerja di wilayah ini. Walaupun luas wilayah pesisir hanya 8% dari permukaan bumi, namun memberikan kontribusi produksi biologi global sebesar 26%. Angka ini cukup besar bila dibandingkan dengan luas daratan yang mencapai 27% dari permukaan bumi dengan produksi biologis 41% dan luas lautan 65% dengan produksi biologis 33% (Rais 2002). Lebih jauh, Odum (1976), Berwick (1983), dan FAO (1998), diacu dalam Dahuri (2002) menyatakan bahwa 85% kehidupan biota tropis tergantung pada ekosistem pesisir dan 90% hasil tangkap ikan berasal dari laut dangkal/pesisir. Beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa kawasan pesisir sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang cukup tinggi, karenanya menjadi pilihan tempat tinggal dan mencari nafkah potensial bagi manusia.

Wilayah pesisir, sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh manusia. Bengen (1999), diacu dalam Sjafi’i (2000) mengatakan terkonsentrasinya kehidupan di wilayah pesisir disebabkan oleh tiga alasan yaitu : (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologi sangat produktif, (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan lainnya, dibandingkan dengan daerah lahan atas, (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan. Oleh karena itu, maka wilayah ini akhirnya mendapatkan


(31)

tekanan yang serius dan membahayakan kelestariannya. Tekanan-tekanan ini dapat berupa eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hayati, polusi dari aktivitas di darat dan laut serta degradasi fisik dari habitat pesisir. Melihat pentingnya wilayah pesisir untuk kehidupan manusia, maka eksistensinya harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan ini harus mengarah kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

2.2. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dikenal setelah diterbitkan laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumber daya alam oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland (Conrad 1999). Dalam laporan tersebut didefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Pada tahun 1992, dalam Konferensi Bumi di Rio de Janeiro, pembangunan berkelanjutan menjadi tema umum yang mengaitkan sejumlah konvensi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Konvensi ini dihadiri oleh lebih dari 140 negara sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dapat diterima di seluruh dunia.

Menurut Perman et al. (1996), setidaknya ada tiga alasan mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, menyangkut alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumber daya tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban tersebut mencakup


(32)

tidak mengekstraksi sumber daya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk menikmatinya.

Kedua, menyangkut alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya, memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, adalah alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria keberlanjutan. Disisi lain, dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup komplek, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada kesejahteraan antar generasi (inter generation welfare maximization)

Selanjutnya Perman et al. (1996), mencoba mengelaborasi konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian, yaitu :

1. Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non declining consumption).

2. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang.

3. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stok) tidak berkurang sepanjang waktu (non declining).

4. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam.

5. Keberlanjutan adalah kondisi dimana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.

Senada dengan pemahaman di atas, Daly (1990), diacu dalam Fauzi (2004) menambahkan beberapa aspek mengenai definisi pembangunan berkelanjutan, antara lain:

1. Untuk sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources): Laju pemanenan paling tinggi harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). 2. Untuk masalah lingkungan: Laju pembuangan limbah harus setara dengan


(33)

3. Sumber daya energi yang tidak terbarukan (non renewable resources) harus dieksploitasi secara quasi sustainable, yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi.

Haris (2000), diacu dalam Fauzi (2004) melihat konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:

1. Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinyu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.

2. keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. 3. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem

yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Arti berkelanjutan secara ekstrim dapat dikatakan sebagai keseimbangan statis, dimana dalam keseimbangan tersebut tidak terdapat perubahan, meskipun tentu saja terdapat perubahan dalam lokasi dari waktu ke waktu (Boulding 1991 dan Pezzey 1992). Berkelanjutan dapat pula berarti keseimbangan yang dinamis (Clark 1989) yang memiliki dua arti. Pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan. Kedua, keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan, misalnya, dalam populasi akan memicu restorasi nilai populasi awal tersebut.

Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumber daya di antara pihak-pihak yang berkepentingan (Clark 1989). Tujuan ekonomis dari alokasi sumber daya (alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan ekstraksi sumber daya tersebut. Sumber daya diasumsikan tidak terbatas karena kemajuan teknologi dan preferensi individual dipandang sebagai “given” dan merupakan faktor dominan. Dengan demikian,


(34)

dalam kerangka ekonomi, pembangunan berkelanjutan merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada konsep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimisasi (Daly 1991). Lebih jauh, steady state mengacu pada karakteristik sistem sumber daya alam dimana laju produksi/ekstraksi dibatasi pada aliran komponen sistem dan sediaan sumber daya alam tidak berubah sepanjang waktu (Burt and Cummings 1977). Optimisasi statis kemudian dikembangkan untuk menggambarkan trade-off yang tercakup dalam alokasi sumber daya, antara konsumsi (pemanfaatan) dan sediaan (stock). Karakteristik dari sumber daya alam adalah dinamis, demikian pula halnya dengan implikasi sosial dari pemanfaatan sumber daya. Dengan demikian, ekstraksi optimal dari sumber daya alam secara inherent adalah dinamis.

Pada kenyataannya, efisiensi tidak dapat menjadi ukuran suatu pembangunan yang berkelanjutan. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan berkelanjutan bermakna sediaan total dari sumber daya digunakan dalam sistem ekonomi menentukan kesempatan ekonomi yang luas, yang juga berarti jaminan kesejahteraan bagi generasi kini dan yang akan datang. Seringkali, efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki obyektif yang sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi ekonomi (inter temporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang sama, efisiensi tidak menjamin sustainability. Dengan demikian, bila kegiatan pembangunan ekonomi bertujuan berkelanjutan dan efisien, alokasi optimal dari sumber daya ekonomi dan lingkungan harus memenuhi kriteria yang bertujuan untuk mencapai kedua objektif ini.

Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan, sebagaimana dijelaskan oleh Djajadiningrat (1997), diacu dalam Efrizal (2005) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Sebaliknya, kerusakan lingkungan juga terjadi apabila pertumbuhan ekonomi


(35)

berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumber daya alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.

Howart dan Norgard (1990), diacu dalam Fauzi (2004) memperlihatkan konsep keberlanjutan ini dengan mengembangkan kerangka Overlapping Generation Model (OLG). Dengan memasukkan aspek antar generasi, tampak bahwa pemenuhan konsumsi sepanjang waktu akan sangat diperbaharui oleh distribusi kesejahteraan antar generasi. Secara matematis, formula OLG dapat ditulis sebagai berikut :

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − α ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∂ + + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = π + + + 1 1 1 1 1 1 t t t t t t h x ch p h x ch p

max (2.1)

dengan kendala :

( )

t t t

t x F x h

x +1 = + − (2.2)

Dimana F(xt) adalah fungsi pertumbuhan sumber daya alam, dan (1/(1+∂)) adalah

discount factor sebagai konsekuensi perbandingan manfaat antar generasi. Dengan mensubstitusi persamaan (2.2) kedalam persamaan (2.1), maka diperoleh persamaan manfaat ekonomi generasi sekarang yang telah mempertimbangkan konsumsi dan ketersediaan stok untuk generasi mendatang dalam bentuk:

( )

(

)

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ α ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∂ + + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − =

π t t t t

t

t x F x h

c p h x ch p max 4 1 1 2

1 (2.3)

Jika diasumsikan bahwa variabel sumber daya alam bersifat given

(eksogen), maka persamaan (2.3) dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat panen generasi kini yang tidak akan mengurangi tingkat panen generasi mendatang. Dengan menurunkan persamaan (2.3) terhadap ht akan diperoleh

solusi optimal dari ht sebesar:

(

)

[

]

(

+∂

)

α − ∂ + = 1 8 1 4 c x p c p h t


(36)

Solusi optimal di atas menggambarkan tingkat panen yang harus dilakukan oleh generasi t yang didasarkan pada harapan untuk mewariskan panen yang positif pada generasi mendatang. Dengan mengetahui fungsi F(x) yang eksplisit, kita dapat menentukan solusi biomas yang optimal untuk generasi kini yang kemudian, dengan teknik substitusi, akan kita ketahui nilai panen yang optimal generasi mendatang.

Aspek keberlanjutan dapat juga diukur dengan pendekatan depresiasi. Konsep ini telah pernah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2002) yang mengukur keberlanjutan sumber daya perikanan.

2.3. Teori Optimasi Sumber daya Perikanan

Perikanan, seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan terhadap suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Jika tidak, maka ketersediaan (stok) sumber daya ini dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada spesies (ikan) tertentu, akan habis. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa sebagian daerah penangkapan ikan, baik di dunia maupun di Indonesia, telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Pertanyaan bagaimana sebaiknya mengelola sumber daya ini telah menjadi topik yang hangat dibidang pengelolaan sumber daya perikanan.

Pada awalnya, pengelolaan sumber daya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield

(MSY) atau tangkap maksimum yang lestari. MSY adalah penangkapan rata-rata tertinggi yang dapat diambil secara kontinyu (sustained) dari suatu stok ikan dibawah kondisi lingkungan rata-rata. MSY ini sering digunakan sebagai suatu tujuan pengelolaan sumber daya. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004).


(37)

Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami (Biomas pada t + 1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami). Artinya, jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan mortalitas alami di atas. Hal ini senada dikemukakan oleh Hilborn and Walter (1992), diacu dalam Anna (2003), bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap, jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap.

Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954). Model Schaefer ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika dimisalkan x adalah biomas dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi, K adalah daya dukung lingkungan, maka dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan (non-fishing), laju perubahan biomas sepanjang waktu dapat diformulasikan:

) (x f dt dx

= (2.5)

dimana f(x) adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik, yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

) 1 (

K x rx dt dx

= (2.6)

dengan mengintroduksi fungsi penangkapan, H=qxE ke dalam model di atas, kemudian diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linier terhadap biomas (x) dan input produksi (E), maka laju pertumbuhan biomas menjadi :

qxE K

x rx dt dx

− −

= (1 ) (2.7)

Kemudian apabila diasumsikan bahwa laju pertumbuhan mendekati nol (dx/dt = 0), maka diperoleh suatu hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan input yang digunakan. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3.


(38)

Gambar 3. Kurva Yield Effort (Fauzi 2004)

Kurva di atas dapat dilihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort

= 0), maka produksi nol. Kemudian effort akan mencapai titik maksimum pada EMSY kaitannya dengan tangkap maksimum lestari (HMSY). Dalam pendekatan ini,

pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dilakukan pada titik HMSY,

karena pada titik ini diperoleh tingkat produksi yang maksimum.

Konsep pengelolaan sumber daya perikanan dengan pendekatan MSY seperti yang disebutkan di atas, belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek-aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam. Conrad dan Clark (1987), diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa beberapa kelemahan pendekatan MSY antara lain:

1. tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stockdepletion),

2. didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state,

3. tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen

(imputed value),

4. mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya, dan

5. sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species)

Hmsy

Effort (E) Emsy

Pr

odu

ksi Lestar

i

MSY H(E)


(39)

Menyadari beberapa kelemahan dari konsep MSY seperti yang dikemukakan di atas, maka pada tahun 1950-an, Gordon mengembangkan model Schaefer di atas dengan memasukkan faktor ekonomi, harga dari output (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort). Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan manfaat bersih, yaitu selisih antara Total Revenue (TR) yang dihasilkan dari sumber daya perikanan dan Total Cost (TC) dari input produksi (effort) yang digunakan. Model Gordon-Schaefer adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input (effort). Model ini kemudian dikenal dengan model Gordon-Schaefer, yang secara grafik dapat dilihat pada Gambar 4.

Inti dari teori Gordon berawal dari sintesis Hardin (1968) mengenai

“Tragedy of the Common” yang menyatakan bahwa sumber daya alam yang berada dalam rezim common property dengan akses yang terbuka (open access) akan menyebabkan hilangnya rente ekonomi optimal (dissipated) yang semestinya diperoleh.

Gambar 4 menunjukkan bahwa dalam kondisi open access, sumber daya perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat EOA dimana Total

Revenue (TR) sama dengan Total Cost (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja dan rente ekonomi sumber daya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini disebut sebagai tingkat effort

keseimbangan yang dikenal sebagai bio-economic equilibrium of open access fishery (keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka).

Gambar 4. Model Gordon-Schaefer

Effort (E) Emsy

Revenue-Cos

t TC=c.E

MEY MSY

TR=p.Y(E)

EOA

E*

A C


(40)

Dari Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa pada setiap tingkat effort di bawah EOA, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga para pelaku perikanan

(nelayan) akan berusaha (lebih tertarik) untuk masuk dalam usaha perikanan. Sementara sebaliknya, pada tingkat effort di atas EOA, biaya total akan melebihi

penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan (nelayan) akan keluar dari usaha perikanan.

Keuntungan maksimum secara lestari akan diperoleh pada tingkat effort

E*. Pada titik ini rente ekonomi yang diperoleh pelaku perikanan (nelayan) adalah maksimal, yang pada Gambar 4 di atas ditunjukkan oleh selisih TR dan TC terbesar (garis AC). Tingkat upaya ini disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY). Dengan demikian konsep MEY menggambarkan kondisi pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomi, dimana faktor input yang dimanfaatkan seefisien mungkin sehingga diperoleh rente sumber daya yang maksimum. Kondisi MEY diperoleh pada tingkat effort yang lebih rendah dibandingkan dengan titik keseimbangan pada kondisi open access. Biomas yang dipertahankan (menjadi stok) relatif lebih banyak, tangkapan per unit effort tinggi, dan profit juga tinggi. Perikanan yang dikelola untuk mendapatkan MEY disebut juga perikanan yang dikelola dengan cara yang sangat conservative secara biologi.

Jika dibandingkan dengan model pendekatan biologi di atas, model Gordon-Schaefer lebih baik, karena menekankan pada efisiensi input dengan rente ekonomi yang maksimum mengingat jumlah input produksi yang digunakan pada model ini sedikit jauh lebih daripada EMSY dan EOA. Jika dibandingkan tingkat

upaya pada keseimbangan open akses dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E*), maka dapat dilihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Sehingga keseimbangan open access ini dapat menyebabkan timbulnya alokasi sumber daya alam yang tidak benar, karena kelebihan sumber daya input (tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan untuk perikanan seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Hal inilah yang merupakan inti prediksi Gordon bahwa kondisi open access akan menimbulkan economic overfishing. Kemudian dari gambar di atas juga dapat


(41)

disimpulkan bahwa tingkat effort Emey terlihat lebih “conservative minded

dibandingkan dengan tingkat effort Emsy.

Dalam kaitannya dengan depresiasi sumber daya, pada pendekatan biologi, depresiasi sumber daya tidak diperhitungkan sama sekali, sementara pada model Gordon, depresiasi sumber daya perikanan dilihat sebagai hilangnya rente ekonomi (dissipated) akibat mismanagement sumber daya perikanan yang open access.

Copes (1972) mencoba mengisi kekurangan model Gordon dengan memasukkan faktor welfare effect di dalam modelnya, berdasarkan keterkaitan antara output dari sumber daya perikanan (ikan) dengan biaya dan harga. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat (konsumen) dan pelaku sendiri (produsen). Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumber daya perikanan. Salah satu hal yang penting dari teori Copes adalah mengenai "back ward bending supply curve" dari perikanan. Kurva itu menggambarkan bahwa suplai dari produk perikanan tidak tak terbatas karena faktor daya dukung lingkungan tidak akan mampu terus menerus mendukung produksi. Dengan demikian pengelolaan perikanan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, baik model Gordon maupun model Copes menganalisis pengelolaan perikanan di dalam framework statis. Artinya aspek intertemporal (antar waktu) yang terkait dengan sumber daya perikanan maupun pelaku industri sendiri tidak diperhitungkan. Misalnya, di dalam model Gordon, pengalihan excess effort dari kondisi open access ke EMEY dilakukan

seketika tanpa memperhitungkan faktor penyesuaian. Padahal, stok ikan sendiri memerlukan waktu untuk tumbuh, demikian juga pengurangan input dari tingkat EOA ke EMSY memerlukan waktu untuk penyesuaian. Menyadari kelemahan inilah

Clark dan Munro mengembangkan model dinamis pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal. Di dalam model mereka, sumber daya ikan diperlakukan sebagai aset yang memiliki opportunity cost atau biaya korbanan. Artinya di dalam mengelola sumber daya ikan kita dihadapkan pada pilihan intertemporal, apakah akan dipanen saat ini dengan menghasilkan nilai ekonomi kini, atau


(42)

dibiarkan diperairan sehingga bisa tumbuh dan bisa dipanen di masa mendatang sehingga bisa menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Trade-off antara memanen stok saat ini atau nanti inilah yang menjadi ciri khas dalam model intertemporal yang dikembangkan oleh Clark dan Munro. Salah satu solusi dari model Clark dan Munro adalah fenomena yang disebut sebagai most rapid approach (MRAP) atau "bang-bang approach” yang menyatakan bahwa penyesuaian ke arah tingkat eksploitasi yang optimal (biomas, tangkap dan input) harus dilakukan secepat mungkin (Gambar 5).

Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika x* adalah kondisi optimal biomas yang lestari, maka pada pendekatan "bang-bang", strategi yang optimal adalah melakukan eksploitasi yang maksimurn (h=hmax) pada saat x > x* (dimulai dari

titik B). Sebaliknya jika x < x* (dimulai dari titik A), strategi optimal adalah tidak melakukan eksploitasi. Melihat model ini, depresiasi sumber daya perikanan sebenarnya akan terjadi secara cepat jika strategi pertama dilakukan. Clark dan Munro secara implisit menyatakan bahwa deplesi akan terjadi manakala strategi pertama dilakukan dan dimana kondisi parameter harga per satuan output jauh lebih besar dari biaya per satuan input.

Gambar 5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan

Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang dikemukakan di atas, tidak secara

x* Stok

Waktu, t

A

h = hmax

h=0


(43)

eksplisit membahas depresiasi sumber daya perikanan. Model-model dasar di atas melihat bahwa depresiasi terjadi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan (model Gordon dan Copes). Pada model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumber daya akan terjadi manakala penggunaan

input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumber daya ikan itu sendiri.

2.4. Teori Degradasi Sumber daya

Definisi degradasi agak bersifat subjektif, memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Misalnya, untuk sumber daya hutan, sebagian orang mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi adalah suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil.

Degradasi sumber daya dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena permintaan yang tinggi terhadap jasa ekosistem akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu (individual choice), serta mekanisme pasar yang tidak menjamin keberlangsungan jasa konservasi ekosistem.

Wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan sumber daya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumber daya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).


(44)

Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, pelagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan teknologi penangkapan semacam ini banyak terjadi di daerah-daerah. Teknologi penangkapan yang digunakan umumnya menyebabkan kerusakan dan kehancuran sumber daya perikanan. Teknologi tersebut misalnya penggunaan alat tangkap trawl, potassium cyanide, dan penggunaan bom ikan.

Dari hasil penelitian para peneliti ekonomi sumber daya dari International Center for Living Aquatic Resource Management (ICLARM) yang melakukan kajian tentang hal tersebut. Salah satu kesimpulan dari kajiannya adalah nelayan terdorong atau terpaksa menangkap ikan dengan cara-cara merusak (destructive) karena kesalahan manajemen sumber daya perikanan (ICLARM 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa jika manajemen sumber daya perikanan itu tidak dilakukan dengan baik, akhirnya akan terjadi kelebihan penangkapan ikan

(overfishing). Tangkap lebih ini dibagi dalam beberapa tipe bergantung pada tingkat keseriusannya, yaitu:

1. Recruitment overfishing, yaitu kondisi ikan-ikan muda (juvenile) yang ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dengan kata lain, pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa.

2. Biologically overfishing, yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok


(45)

sumber daya ikan menurun secara drastis dan akhirnya membuat perikanan berhenti secara total.

3. Economically overfishing, dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub optimum (lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan). Pada kondisi seperti ini, berarti industri penangkapan ikan beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi, oleh karena itu kondisi seperti tidak lagi efisien.

4. Malthusian overfishing. Kondisinya sama seperti yang dikemukakan Malthus, yaitu pertumbuhan penduduk begitu cepat, sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi penduduk sangat lambat. Dalam perikanan kondisi ini berarti ada sedikit ikan yang tersedia di laut dan diperebutkan oleh banyak nelayan.

Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumber daya perikanan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan rakyatnya. Akibatnya, setiap nelayan berkompetisi secara bebas, maka timbul daya kreasi setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi itu diwujudkan dengan dihasilkannya atau direkayasakannya metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan efisien secara ekonomi, namun ternyata merusak dan merugikan lingkungan. Metode dan teknik yang digunakan antara lain: bom, dinamit, racun, aliran listrik, serta alat-alat penangkap ikan yang kontemporer bersifat merusak. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan, jika tidak dilakukan, orang lain yang akan melakukannya (tragedy of common) Malthusian overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua orang (Nikijuluw 2002).

Permasalahan degradasi sumber daya perikanan dan kemiskinan di wilayah pesisir sangat kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan, degradasi dapat terjadi akibat tangkap lebih dan kemiskinan. Namun degradasi juga dapat menjadi sebab terjadinya kemiskinan. Beberapa variabel kunci yang


(46)

menyebabkan terjadinya hubungan timbal balik antara kemiskinan dan degradasi sumber daya pesisir dan laut, yaitu: ketidakstabilan pendapatan, rendahnya akses masyarakat dan rendahnya kontrol mereka dalam pengelolaan sumber daya laut. Belajar dari kelemahan masyarakat tersebut maka upaya pemberdayaan harus mengacu pada upaya mengatasi kelemahan-kelemahan pokok masyarakat pesisir agar mereka berdaya dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan (Hidayati 2000).

Seperti diketahui bahwa sebagian besar sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia telah mengalami degradasi, dimana faktor penyebabnya yang dominan adalah karena aktivitas manusia. Namun demikian pada dasarnya masih belum banyak dilakukan penilaian seberapa besar sebenarnya laju dari degradasi dan depresiasi dari sumber daya pesisir dan laut ini termasuk sumber daya perikanan, hal ini disebabkan karena memang belum ada teknik pengukuran besaran laju degradasi/depresiasi khusus untuk sumber daya perikanan.

Model matematis untuk menghitung besaran laju degradasi sumber daya lahan yang dilakukan oleh Amman and Durraipah (2001) dalam penelitian mengenai "Land Tenure and Conflict Resolution: A Game Theoretic Approach in the Narok District in Kenya", adalah sebagai berikut:

φ =

t , i Avg

q qi

e

+

1

1

(2.8)

qi,tAvg = qit jika Vj dljti≤ 0 (2.9)

d q

qiAvg,t = it (2.10)

Variabel qi,t adalah komponen degradasi yang disebabkan oleh agent i

dari seluas lahan tertentu. Jika output qi,t(seluas tertentu ha) lebih besar dari

kemampuan daya dukung lingkungan (carrying capacity) pada waktu t, maka kehilangan efisiensi dalam bentuk faktor degradasi akan muncul. Peneliti menggunakan fungsi logistik untuk menjelaskan hal ini, seperti persamaan di atas. Variabel qiAvg,t secara mendasar akan menangkap efek degradasi bersama dari pemilik dan penyewa lahan (Anna 2003).


(47)

Untuk aplikasi bidang perikanan, laju degradasi Amman dan Durraipah dimodifikasi sebagai berikut (Anna 2003) :

δ α δ

h h h %

D = − (2.11)

dimana : D = persentase degradasi

=

δ

h Produksi sustainable

=

α

h Produksi aktual

Sementara koefisien degradasi dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini :

α δ

Φ

h h D

e

+ =

1 1

(2.12)

Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut :

α δ Π Π

Φ

e

D + =

1 1

(2.13)

Dimana : φ, = Laju depresiasi δ

Π = Rente sustainable α

Π = Rente aktual.

2.5. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen.

Surplus Konsumen (Consumer’s Surplus)

Surplus konsumen atau Dupuit’s consumers surplus, yang pertama kali diperkenalkan oleh Dupuit tahun 1952, adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan berapa yang sebenarnya ia bayar (Fauzi 2000a). Dengan kata lain, surplus konsumen diartikan sebagai perbedaan antara keinginan marjinal seorang konsumen untuk membayar (marginal willingness to pay) kepada barang dan atau jasa yang akan dibelinya dengan harga yang berlaku di pasar. Jadi surplus konsumen merupakan ukuran tingkat kepuasan (utility) konsumen yang dapat diperoleh dari barang dan jasa dalam bentuk uang. Secara grafik konsep surplus konsumen dapat dilihat pada Gambar 6.


(48)

0 Q* Q CS = Consumers Surplus

Gambar 6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay

Pada Gambar 6. terlihat ada kurva permintaan D terhadap barang Q yang ditarik dari kiri atas ke kanan bawah dengan slope negatif. Kurva tersebut menunjukkan keinginan konsumen untuk mengkonsumsi sejumlah barang pada setiap harga yang berbeda sepanjang sumbu P. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan tersebut menunjukkan keinginan membayar (willingness to pay) dari individu terhadap barang Q. Titik-titik sepanjang kurva permintaan D menunjukkan keinginan membayar untuk setiap tambahan barang Q, atau disebut

marginal willingness to pay.

Jika keseimbangan harga di pasar adalah pada P*, maka konsumen akan mengkonsumsi barang sebesar Q*. Walaupun konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun yang sebenarnya ia bayar adalah sebesar P*. Berarti ada kelebihan keinginan membayar yang ditunjukkan oleh daerah yang di shading, yaitu sebesar P*EA. Dalam ekonomi klasik daerah ini disebut dengan surplus konsumen (consumers surplus).

Nilai surplus konsumen dapat berubah, misalnya karena perubahan harga barang atau peningkatan pendapatan konsumen. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 7.

P* P

A

E

D CS


(1)

> TRdst:=pst*hdst-c*E; :=

TRdst 18.16394112E(1 − .01177080877E) − .7E > plot({TRtst,TRdst,TC,TCs}, E=0..140, Rev=0..500, color=[blue,red,magenta,green]);

> Eoats:=solve(TRtst-TC=0,E); :=

Eoats 0. 110.4669580, > Eoadst:=solve(TRdst-TCs=0,E);

:=


(2)

> pitst:=diff(TRtst,E); :=

pitst 7.7092320 − .1269018741E > Emeytst:=solve(pitst=0,E);

:=

Emeytst 60.74955200 > pidst:=diff(TRdst,E);

:=

pidst 17.46394112 − .4276085549E > Emeydst:=solve(pidst=0,E);

:=

Emeydst 40.84095353 > hmeytst:=qt*Kt*Emeytst*(1-qt*Emeytst/rt);

:=

hmeytst 212.8391397 > maxrentst:=p*hmeytst-c*Emeytst;

:=

maxrentst 234.1661952 > hmeydst:=qt*Kt*Emeydst*(1-qt*Emeydst/rt);

:=

hmeydst 182.7737986 > maxrendst:=pst*hmeydst-cs*Emeydst;

:=

maxrendst 271.8155026 > deltaren:=maxrentst-maxrendst;

:=


(3)

Lampiran 42. Maple output Model Fozin-1 untuk Pantai Barat > plot(htsb,E=0..80,yield=0..250,color=red);

> hdsb:=lambda*qb*Kb*E*(1-(qb*E*lambda)/rb);

:=

hdsb 15.82495200E(1 − .02045097011E)

> plot(hdsb,E=0..80,yield=0..250, color=green);

> plot({htsb, hdsb}, E=0..80, yield=0..250, color=[green,red]);


(4)

> A:=diff(htsb,E); :=

A 10.144200 − .2659727319E

> Emsytsb:=solve(A=0,E);

:=

Emsytsb 38.14000002 > B:=diff(hdsb,E);

:=

B 15.82495200 − .6472712407E

> Emsydsb:=solve(B=0,E);

:=

Emsydsb 24.44871795 > hmsytsb:=subs(E=Emsytsb, htsb);

:=

hmsytsb 193.4498941 > hmsydsb:=subs(E=Emsydsb,hdsb);

:=

hmsydsb 193.4498941 > TC:=c*E;

:= TC .7E > TCs:=cs*E;

:= TCs 1.4E > TRtsb:=p*htsb-c*E;

:=

TRtsb 13.1874600E(1 − .01310959622E) − .7E > plot(TRtsb,E=0..80,color=blue);


(5)

> TRdsb:=psb*hdsb-c*E; :=

TRdsb 28.48491360E(1 − .02045097011E) − .7E > plot({TRtsb,TRdsb,TC,TCs}, E=0..80,

Rev=0..500,color=[red,magenta,blue,green]);

> Eoats:=solve(TRtsb-TC=0,E); :=

Eoats 0. 68.18200390, > Eoadsb:=solve(TRdsb-TCs=0,E);

:=


(6)

> pitsb:=diff(TRtsb,E); :=

pitsb 12.4874600 − .3457645515E > Emeytsb:=solve(pitsb=0,E);

:=

Emeytsb 36.11550098 > pidsb:=diff(TRdsb,E);

:=

pidsb 27.78491360 − 1.165088233E > Emeydsb:=solve(pidsb=0,E);

:=

Emeydsb 23.84790509 > hmeytsb:=qb*Kb*Emeytsb*(1-qb*Emeytsb/rb);

:=

hmeytsb 192.9048365 > maxrentsb:=p*hmeytsb-c*Emeytsb;

:=

maxrentsb 225.4954367 > hmeydsb:=qb*Kb*Emeydsb*(1-qb*Emeydsb/rb);

:=

hmeydsb 166.2855700 > maxrendsb:=p*hmeydsb-c*Emeydsb;

:=

maxrendsb 199.4777074 > deltaren:=maxrentsb-maxrendsb;

:=