Model bio-ekonomi opsi rehabilitasi sumber daya perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

1.1. Latar Belakang

Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat dan Indonesia dikenal memiliki sumber daya pesisir dan lautan yang cukup melimpah, seperti: mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria yang menghasilkan sumber daya ikan dan biota lainnya, migas, mineral, dan jasa-jasa lingkungan. Indonesia mempunyai banyak perairan, teluk, dan pulau kecil yang relatif tenang dan bersih, lebih dari 12 genera hutan mangrove (diperkirakan luas areal mangrove di Indonesia 2.25 – 4.45 juta ha), 70 genus terumbu karang yang tersebar dalam hamparan seluas 85.000 km2 (terluas di dunia), dan padang lamun yang cukup luas, walaupun sebagian dari sumber daya di atas berada dalam kondisi rusak akibat campur tangan manusia.

Indonesia mempunyai panjang garis pantai 81 000 km (14 persen dari total garis pantai bumi dan merupakan garis pantai kedua di dunia terpanjang setelah Kanada), perairan darat 0.55 juta km2, luas laut 5.8 juta km2, potensi (ikan) lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) 6.4 juta ton/tahun, jumlah tangkapan (tahun 2001) 4.0 juta ton, artinya masih punya peluang untuk meningkatkan produksi 1.12 – 2.40 juta ton/tahun. Indonesia juga mempunyai 141 820 ha perairan umum dengan potensi produksi 356 020 ton ikan/tahun (Dahuri 2002).

Untuk perikanan budidaya, Indonesia mempunyai potensi luas budidaya laut (marikultur) lebih dari 2 juta ha, yang dapat dibudidaya ikan kakap, kerapu, tiram, kepiting, teripang, dan lain-lain dengan potensi produksi mencapai ± 46.73 juta ton/tahun. Disamping itu, Indonesia juga potensi lahan tambak 866 550 ha yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 40 persen. Menurut Dahuri (2002), jika dari luas potensi tambak tersebut dapat dimanfaatkan 500.000 ha saja dengan produksi rata-rata 2 ton/ha/tahun, maka Indonesia akan menghasilkan udang 1 juta ton/tahun, dan jika nilai ekspor udang US$ 2/kg, maka akan menghasilkan devisa US$ 10 milyar.


(2)

Melimpahnya sumber daya di kawasan pesisir seperti disebutkan di atas, tidak tercermin pada penerimaan PDB dan keadaan sosial ekonomi masyarakat pesisir (nelayan) yang berkaitan langsung dengan sumber daya tersebut. Kenyata-an menunjukkKenyata-an bahwa lebih dari 80 persen masyarakat pesisir masih tergolong miskin (BPS 1998). Paradoks kemiskinan nelayan Indonesia identik dengan apa yang pernah diucapkan Peter Pearse, seorang ekonom Kanada, ketika melihat kenyataan pahit nelayan di pantai timur Kanada yang terbelenggu oleh kemis-kinan di tengah melimpahnya sumber daya perikanan di daerah tersebut. Kondisi yang sama dialami oleh nelayan Indonesia. Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yaitu miskin di tengah kekayaan potensi sumber daya perikanan yang ada di sekitarnya. Berbagai pertanyaan kemudian muncul mengapa hal ini bisa terjadi?. Apakah ini semata-mata karena natural resource curse? (kutukan sumber daya alam), yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan bagi penduduknya? (Fauzi 2003).

Dari sisi penerimaan, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional pada Tahun 1998 sebesar 20.06 persen dan kontribusi sektor perikanan saja hanya 2.16 persen dengan nilai ekspor US$ 1.76 milyar jauh lebih kecil dibanding negara Irlandia, Norwegia, Cina dan Jepang dengan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masing-masing sebesar 65%, 25%, 48%, dan 54% (Dahuri 2002). Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai nilai ekspor perikanan US$ 4.2 milyar dan dengan luas lahan tambak 80 000 ha menghasilkan 300 000 ton udang pada Tahun 2000, pada periode yang sama Indonesia dengan luas lahan tambak 344 759 ha hanya menghasilkan 120 000 ton udang.

Ketidaksesuaian antara kelimpahan sumber daya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, pada tingkat regional juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aceh juga dikenal mempunyai sumber daya pesisir dan lautan yang melimpah. Terdapat 17 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan pantai, panjang garis pantai 2 467 km (Medrilzam et al. 2005), potensi lestari (MSY) di Pantai Barat 366 260 ton/tahun dan Pantai Timur 127 670 ton/tahun (PT. Oxalis Subur 2006). Luas areal budidaya 43 173.5 ha, yang terdiri dari tambak 36 615 ha dan selebihnya merupakan perairan umum, produksi perikanan


(3)

budidaya 30 572.9 ton dengan nilai 637 milyar (DKP 2004b). Disamping itu, Aceh juga mempunyai sumber daya budidaya laut yang cukup baik, terumbu karang, ekosistem mangrove, dan lain-lain. Dari tahun 70-an, Aceh dikenal dengan keunggulan udang windu dan udang putih yang diekspor ke Eropah sebagai udang pealed (sudah dikupas kulitnya) untuk dihidangkan sebagai shrimp cocktail (FP Unsyiah 2000).

Kekayaan sumber daya alam di atas masih belum mampu mengangkat harkat masyarakat Aceh. Tahun 1996 persentase orang miskin di NAD 10.79 persen dan tahun 2000 meningkat menjadi 26.50 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional pada periode yang sama, yaitu 16.07 persen (Abidin 2004). Pada Tahun 2004, jumlah penduduk NAD 4.2 juta orang dan diperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 40 persen, sekitar 1.7 juta orang (Nazamuddin 2004), dan sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di kawasan pesisir adalah tergolong miskin, karenanya hampir seluruh desa di kawasan pesisir termasuk desa tertinggal. Sebelum tsunami, penduduk miskin di Aceh mencapai 29% dari jumlah penduduk dan merupakan provinsi ke-4 termiskin di Indonesia dan setelah tsunami penduduk miskin meningkat menjadi 36%, daerah termiskin ke di Indonesia (Word Bank 2006).

Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa pada sektor perikanan di Provinsi NAD. Diperkirakan sekitar 1000 km garis pantai tersapu tsunami, hampir setara dengan jarak Jakarta – Surabaya jalan darat (Mangkusubroto 2006), 17 552 nelayan hilang/tewas atau 22.8% dari total nelayan di NAD yang berjumlah 76 970 orang pada tahun 2004 (DKP 2005a), 11 124 armada hilang/rusak (FAO 2005a), 38 PPI rusak/hilang (Meldrilzam et al. 2005), 20 429 ha tambak rusak atau 42.9% dari total luas tambak di NAD 47 621 ha dan paling kurang 40 000 pembudidaya tambak kehilangan pekerjaan (FAO 2005b), 105 260 ha hutan mangrove rusak (Dephut 2005, diacu dalam Meldrilzam et al. 2005).

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sedang dilakukan di Provinsi NAD, namun sejauh ini belum memberikan hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah informasi dan data yang digunakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut belum mendekati kondisi riel. Penelitian ini dilakukan


(4)

untuk menggambarkan secara menyeluruh tentang keragaan (performance) sumber daya perikanan tangkap dan budidaya (tambak) di Provinsi NAD. Keragaan sumber daya ini penting diketahui karena akan menentukan konsep dan strategi kebijakan yang tepat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para

stakeholder khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya di lokasi penelitian. Yang diharapkan adalah setiap kegiatan pembangunan dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Untuk pemanfaatan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah disebutkan di atas, Provinsi NAD memiliki potensi produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, yang cukup tinggi. Namun tingginya potensi ini tidak tercermin dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, khususnya para nelayan. Hampir semua desa nelayan di Indonesia dan juga di NAD tergolong dalam desa tertinggal dan berpenduduk miskin.

Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas di sektor perikanan, antara lain adalah : (1) kapasitas (stok) sumber daya ikan yang telah menurun di beberapa daerah penangkapan ikan, (2) sumber ekonomi perikanan mengalami terdistorsi, dimana beberapa produk perikanan memiliki pasar monopsoni sedangkan inputnya bersifat monopolistik, (3) kualitas sumber daya manusia di sektor perikanan relatif rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, (4) eksploitasi perikanan di beberapa daerah telah melebihi kapasitas sumber dayanya, (5) di beberapa daerah penangkapan, diduga telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan, (6) belum terintegrasi pengembangan wilayah pesisir dengan pembangunan sektor perikanan.

Masalah tangkap lebih (overfishing) merupakan isu pokok yang terjadi di beberapa daerah penangkapan ikan. Gordon (1954), diacu dalam Fauzi (2004)


(5)

menyatakan bahwa sumber daya ikan pada umumnya open access. Tidak seperti sumber daya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumber daya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki sumber daya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol ini. Menurut beberapa hasil penelitian, di Selat Malaka dan Laut Jawa telah terjadi tangkap lebih, biological overfishing. Namun, yang umum terjadi di Indonesia, termasuk di NAD, adalah economical overfishing

yang ditandai dengan tingginya penggunaan input, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan output dan returns secara proporsional.

Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan dalam bidang perikanan oleh Schaefer pada tahun 1957. Dari sinilah teori Schaefer kemudian dikenal. Secara eksplisit model Gordon-Schaefer (GS) menjelaskan bahwa dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan akan tercapai pada tingkat upaya E∞, dimana

penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan sudah tidak menerima rente ekonomi sumber daya (manfaat ekonomi), karena seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak lagi intensif untuk masuk (entry) dan keluar (exit) serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Tingkat upaya pada posisi ini adalah upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai “Bioeconomic Equilibrium of Open Access Fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2004).

Keuntungan lestari yang maksimum diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak antara TR dan TC paling besar, tingkat upaya ini disebut dengan Maximum Economic Yield (MEY). Tingkat upaya pada keseimbangan open access (E∞) jauh

lebih tinggi dari tingkat upaya MEY (Eo). Dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumber daya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya


(6)

yang lebih produktif. Hal inilah inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economicoverfishing.

Model GS seperti dijelaskan di atas mengasumsikan sumber daya dalam kondisi keseimbangan (equilibrium). Namun, dalam kenyataannya kondisi sumber daya tidak selalu equilibrium. Dengan faktor “shock” (seperti tsunami) dapat menyebabkan sumber daya tidak seimbang (disequilibrium). Disamping itu, model GS hanya melihat perikanan dalam suatu perairan. Pada kenyataannya kondisi perairan dipengaruhi oleh ekosistem pantai, seperti hutan mangrove, yang berfungsi selain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat berlindung beberapa biota laut (termasuk ikan) juga dengan produksi serasah (bahan organik) dapat menyuburkan perairan sehingga akan mempengaruhi tingkat populasi ikan (tingkat biomas) di perairan tersebut.

Pertanyaan umum yang muncul dari bahasan di atas adalah bagaimana model Gordon-Schaefer (GS) melihat kondisi perikanan yang mengalami “shock”?. Beberapa pertanyaan yang dapat diturunkan secara khusus adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan

disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya

shock tersebut?

2. Bagaimana dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock?

3. Apakah pengelolaan perikanan tangkap di daerah penelitian sudah efisien? 4. Bagaimana kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi

perubahan ekosistem akibat adanya shock?

5. Bagaimana keragaan perikanan budidaya (tambak), permasalahan, strategi rehabilitasi dan pengembangannya di daerah penelitian serta apakah perikanan budidaya tersebut dapat menjadi substitusi dan komplementer ketika perikanan tangkap mengalami shock?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka dibuat alur pemikiran yang sistematis seperti terlihat pada Gambar 1.


(7)

Gambar 1. Kerangka pemikiran

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bio-ekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Provinsi NAD yang harmonis, lestari, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat di daerah penelitian.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Melakukan analisis perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya

shock tersebut.

2. Mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock.

3. Menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya.

Equilibrium Disequilibrium

TSUNAMI

Input

Teori Gordon-Schaefer (GS)

Output Gordon Schaefer

Equilibrium

Output Baru Gordon-Schaefer

Disequilibrium

Rehabilitasi Rekonstruksi

Kebijakan

Analisis

Comparative

Model Copes Analisis Degradasi dan

Depresiasi

Analisis DEA Interaksi Mangrove-Sumber

Daya Ikan

Input ??

Output ?? Mangrove Tambak

Assessment dan Analisis Ekonomi

Opsi Rehabilitasi Perikanan Budidaya


(8)

4. Menganalisis kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya shock.

5. Melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangan serta hubungannya dengan produksi perikanan tangkap setelah shock.

Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat dijadikan masukan dan acuan kebijakan dalam rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD.


(9)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumber Daya Pesisir

Pesisir merupakan suatu jalur daratan yang kering dan ruang laut dekatnya, termasuk kolom air dan daratan dibawahnya, dimana ekosistem darat dan penggunaannya berdampak terhadap ekosistem laut dan sebaliknya (Rais 2002). Wilayah pesisir merupakan wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi garam sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2002). Secara ekologis, batasan kawasan pesisir dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2001)

Karakteristik utama wilayah pesisir adalah : (1) terdiri dari berbagai macam habitat/ekosistem (seperti pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria) yang menghasilkan berbagai sumber daya (ikan, migas,

CONTINENTAL INTERIOR OPEN OCEAN COASTAL ZONE z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z RIVER BASIN UPLAND LOWLAND CONTINENTAL SHELF

INNER SHELF OUTER SHELF

NEARSHORE ESTUARY SALTMARSH DUNES SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME SHELF

EDGE ZONE

OCEAN FLOOR CONTINENTAL SLOPE SHEL F BR E AK SH EL F SEA / OC EAN IN TE RF A C E SH OR E LIN E LA

ND / SE

A IN TERF ACE CONTINENTAL INTERIOR OPEN OCEAN COASTAL ZONE z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z RIVER BASIN UPLAND LOWLAND CONTINENTAL SHELF

INNER SHELF OUTER SHELF

NEARSHORE ESTUARY SALTMARSH DUNES SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME SHELF

EDGE ZONE

OCEAN FLOOR CONTINENTAL SLOPE SHEL F BR E AK SH EL F SEA / OC EAN IN TE RF A C E SH OR E LIN E LA

ND / SE

A

IN

TERF


(10)

mineral, dan lain-lain) dan jasa-jasa lingkungan (seperti proteksi alamiah terhadap badai dan gelombang, rekreasi, dan penyerapan limbah) bagi masyarakat, khususnya yang bermukim di pesisir, (2) kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan laut oleh berbagai stakeholders yang seringkali mengakibatkan konflik/pertikaian diantara mereka serta perusakan integritas fungsional dari ekosistem, (3) biasanya berkepadatan penduduk tinggi dan lokasi yang disukai untuk pengembangan perkotaan, dan (4) sumber utama ekonomi nasional, di mana menyumbang devisa negara secara signifikan (Dahuri et al. 2001).

Secara umum, wilayah pesisir (yang termasuk kedalamnya estuaria,

coastal wetlands, mangrove, karang, continental shelves, dan lain-lain) memberikan penghidupan yang cukup besar bagi manusia yang ditandai dengan 50 – 70% manusia hidup dan bekerja di wilayah ini. Walaupun luas wilayah pesisir hanya 8% dari permukaan bumi, namun memberikan kontribusi produksi biologi global sebesar 26%. Angka ini cukup besar bila dibandingkan dengan luas daratan yang mencapai 27% dari permukaan bumi dengan produksi biologis 41% dan luas lautan 65% dengan produksi biologis 33% (Rais 2002). Lebih jauh, Odum (1976), Berwick (1983), dan FAO (1998), diacu dalam Dahuri (2002) menyatakan bahwa 85% kehidupan biota tropis tergantung pada ekosistem pesisir dan 90% hasil tangkap ikan berasal dari laut dangkal/pesisir. Beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa kawasan pesisir sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang cukup tinggi, karenanya menjadi pilihan tempat tinggal dan mencari nafkah potensial bagi manusia.

Wilayah pesisir, sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh manusia. Bengen (1999), diacu dalam Sjafi’i (2000) mengatakan terkonsentrasinya kehidupan di wilayah pesisir disebabkan oleh tiga alasan yaitu : (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologi sangat produktif, (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan lainnya, dibandingkan dengan daerah lahan atas, (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan. Oleh karena itu, maka wilayah ini akhirnya mendapatkan


(11)

tekanan yang serius dan membahayakan kelestariannya. Tekanan-tekanan ini dapat berupa eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hayati, polusi dari aktivitas di darat dan laut serta degradasi fisik dari habitat pesisir. Melihat pentingnya wilayah pesisir untuk kehidupan manusia, maka eksistensinya harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan ini harus mengarah kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

2.2. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dikenal setelah diterbitkan laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumber daya alam oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland (Conrad 1999). Dalam laporan tersebut didefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Pada tahun 1992, dalam Konferensi Bumi di Rio de Janeiro, pembangunan berkelanjutan menjadi tema umum yang mengaitkan sejumlah konvensi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Konvensi ini dihadiri oleh lebih dari 140 negara sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dapat diterima di seluruh dunia.

Menurut Perman et al. (1996), setidaknya ada tiga alasan mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, menyangkut alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumber daya tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban tersebut mencakup


(12)

tidak mengekstraksi sumber daya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk menikmatinya.

Kedua, menyangkut alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya, memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, adalah alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria keberlanjutan. Disisi lain, dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup komplek, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada kesejahteraan antar generasi (inter generation welfare maximization)

Selanjutnya Perman et al. (1996), mencoba mengelaborasi konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian, yaitu :

1. Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non declining consumption).

2. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang.

3. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stok) tidak berkurang sepanjang waktu (non declining).

4. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam.

5. Keberlanjutan adalah kondisi dimana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.

Senada dengan pemahaman di atas, Daly (1990), diacu dalam Fauzi (2004) menambahkan beberapa aspek mengenai definisi pembangunan berkelanjutan, antara lain:

1. Untuk sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources): Laju pemanenan paling tinggi harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). 2. Untuk masalah lingkungan: Laju pembuangan limbah harus setara dengan


(13)

3. Sumber daya energi yang tidak terbarukan (non renewable resources) harus dieksploitasi secara quasi sustainable, yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi.

Haris (2000), diacu dalam Fauzi (2004) melihat konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:

1. Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinyu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.

2. keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. 3. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem

yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Arti berkelanjutan secara ekstrim dapat dikatakan sebagai keseimbangan statis, dimana dalam keseimbangan tersebut tidak terdapat perubahan, meskipun tentu saja terdapat perubahan dalam lokasi dari waktu ke waktu (Boulding 1991 dan Pezzey 1992). Berkelanjutan dapat pula berarti keseimbangan yang dinamis (Clark 1989) yang memiliki dua arti. Pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan. Kedua, keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan, misalnya, dalam populasi akan memicu restorasi nilai populasi awal tersebut.

Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumber daya di antara pihak-pihak yang berkepentingan (Clark 1989). Tujuan ekonomis dari alokasi sumber daya (alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan ekstraksi sumber daya tersebut. Sumber daya diasumsikan tidak terbatas karena kemajuan teknologi dan preferensi individual dipandang sebagai “given” dan merupakan faktor dominan. Dengan demikian,


(14)

dalam kerangka ekonomi, pembangunan berkelanjutan merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada konsep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimisasi (Daly 1991). Lebih jauh, steady state mengacu pada karakteristik sistem sumber daya alam dimana laju produksi/ekstraksi dibatasi pada aliran komponen sistem dan sediaan sumber daya alam tidak berubah sepanjang waktu (Burt and Cummings 1977). Optimisasi statis kemudian dikembangkan untuk menggambarkan trade-off yang tercakup dalam alokasi sumber daya, antara konsumsi (pemanfaatan) dan sediaan (stock). Karakteristik dari sumber daya alam adalah dinamis, demikian pula halnya dengan implikasi sosial dari pemanfaatan sumber daya. Dengan demikian, ekstraksi optimal dari sumber daya alam secara inherent adalah dinamis.

Pada kenyataannya, efisiensi tidak dapat menjadi ukuran suatu pembangunan yang berkelanjutan. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan berkelanjutan bermakna sediaan total dari sumber daya digunakan dalam sistem ekonomi menentukan kesempatan ekonomi yang luas, yang juga berarti jaminan kesejahteraan bagi generasi kini dan yang akan datang. Seringkali, efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki obyektif yang sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi ekonomi (inter temporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang sama, efisiensi tidak menjamin sustainability. Dengan demikian, bila kegiatan pembangunan ekonomi bertujuan berkelanjutan dan efisien, alokasi optimal dari sumber daya ekonomi dan lingkungan harus memenuhi kriteria yang bertujuan untuk mencapai kedua objektif ini.

Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan, sebagaimana dijelaskan oleh Djajadiningrat (1997), diacu dalam Efrizal (2005) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Sebaliknya, kerusakan lingkungan juga terjadi apabila pertumbuhan ekonomi


(15)

berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumber daya alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.

Howart dan Norgard (1990), diacu dalam Fauzi (2004) memperlihatkan konsep keberlanjutan ini dengan mengembangkan kerangka Overlapping Generation Model (OLG). Dengan memasukkan aspek antar generasi, tampak bahwa pemenuhan konsumsi sepanjang waktu akan sangat diperbaharui oleh distribusi kesejahteraan antar generasi. Secara matematis, formula OLG dapat ditulis sebagai berikut :

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − α ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∂ + + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = π + + + 1 1 1 1 1 1 t t t t t t h x ch p h x ch p

max (2.1)

dengan kendala :

( )

t t

t

t x F x h

x +1 = + − (2.2)

Dimana F(xt) adalah fungsi pertumbuhan sumber daya alam, dan (1/(1+∂)) adalah discount factor sebagai konsekuensi perbandingan manfaat antar generasi. Dengan mensubstitusi persamaan (2.2) kedalam persamaan (2.1), maka diperoleh persamaan manfaat ekonomi generasi sekarang yang telah mempertimbangkan konsumsi dan ketersediaan stok untuk generasi mendatang dalam bentuk:

( )

(

)

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ α ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∂ + + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − =

π t t t t

t

t x F x h

c p h x ch p max 4 1 1 2

1 (2.3)

Jika diasumsikan bahwa variabel sumber daya alam bersifat given

(eksogen), maka persamaan (2.3) dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat panen generasi kini yang tidak akan mengurangi tingkat panen generasi mendatang. Dengan menurunkan persamaan (2.3) terhadap ht akan diperoleh solusi optimal dari ht sebesar:

(

)

[

]

(

+∂

)

α − ∂ + = 1 8 1 4 c x p c p h t


(16)

Solusi optimal di atas menggambarkan tingkat panen yang harus dilakukan oleh generasi t yang didasarkan pada harapan untuk mewariskan panen yang positif pada generasi mendatang. Dengan mengetahui fungsi F(x) yang eksplisit, kita dapat menentukan solusi biomas yang optimal untuk generasi kini yang kemudian, dengan teknik substitusi, akan kita ketahui nilai panen yang optimal generasi mendatang.

Aspek keberlanjutan dapat juga diukur dengan pendekatan depresiasi. Konsep ini telah pernah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2002) yang mengukur keberlanjutan sumber daya perikanan.

2.3. Teori Optimasi Sumber daya Perikanan

Perikanan, seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan terhadap suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Jika tidak, maka ketersediaan (stok) sumber daya ini dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada spesies (ikan) tertentu, akan habis. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa sebagian daerah penangkapan ikan, baik di dunia maupun di Indonesia, telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Pertanyaan bagaimana sebaiknya mengelola sumber daya ini telah menjadi topik yang hangat dibidang pengelolaan sumber daya perikanan.

Pada awalnya, pengelolaan sumber daya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield

(MSY) atau tangkap maksimum yang lestari. MSY adalah penangkapan rata-rata tertinggi yang dapat diambil secara kontinyu (sustained) dari suatu stok ikan dibawah kondisi lingkungan rata-rata. MSY ini sering digunakan sebagai suatu tujuan pengelolaan sumber daya. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004).


(17)

Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami (Biomas pada t + 1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami). Artinya, jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan mortalitas alami di atas. Hal ini senada dikemukakan oleh Hilborn and Walter (1992), diacu dalam Anna (2003), bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap, jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap.

Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954). Model Schaefer ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika dimisalkan x adalah biomas dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi, K adalah daya dukung lingkungan, maka dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan (non-fishing), laju perubahan biomas sepanjang waktu dapat diformulasikan:

) (x f dt dx

= (2.5)

dimana f(x) adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik, yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

) 1 (

K x rx dt dx

= (2.6)

dengan mengintroduksi fungsi penangkapan, H=qxE ke dalam model di atas, kemudian diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linier terhadap biomas (x) dan input produksi (E), maka laju pertumbuhan biomas menjadi :

qxE K

x rx dt dx

− −

= (1 ) (2.7)

Kemudian apabila diasumsikan bahwa laju pertumbuhan mendekati nol (dx/dt = 0), maka diperoleh suatu hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan input yang digunakan. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3.


(18)

Gambar 3. Kurva Yield Effort (Fauzi 2004)

Kurva di atas dapat dilihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort

= 0), maka produksi nol. Kemudian effort akan mencapai titik maksimum pada EMSY kaitannya dengan tangkap maksimum lestari (HMSY). Dalam pendekatan ini, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dilakukan pada titik HMSY, karena pada titik ini diperoleh tingkat produksi yang maksimum.

Konsep pengelolaan sumber daya perikanan dengan pendekatan MSY seperti yang disebutkan di atas, belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek-aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam. Conrad dan Clark (1987), diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa beberapa kelemahan pendekatan MSY antara lain:

1. tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stockdepletion),

2. didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state,

3. tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen

(imputed value),

4. mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya, dan

5. sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species)

Hmsy

Effort (E) Emsy

Pr

odu

ksi Lestar

i

MSY H(E)


(19)

Menyadari beberapa kelemahan dari konsep MSY seperti yang dikemukakan di atas, maka pada tahun 1950-an, Gordon mengembangkan model Schaefer di atas dengan memasukkan faktor ekonomi, harga dari output (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort). Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan manfaat bersih, yaitu selisih antara Total Revenue (TR) yang dihasilkan dari sumber daya perikanan dan Total Cost (TC) dari input produksi (effort) yang digunakan. Model Gordon-Schaefer adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input (effort). Model ini kemudian dikenal dengan model Gordon-Schaefer, yang secara grafik dapat dilihat pada Gambar 4.

Inti dari teori Gordon berawal dari sintesis Hardin (1968) mengenai

“Tragedy of the Common” yang menyatakan bahwa sumber daya alam yang berada dalam rezim common property dengan akses yang terbuka (open access) akan menyebabkan hilangnya rente ekonomi optimal (dissipated) yang semestinya diperoleh.

Gambar 4 menunjukkan bahwa dalam kondisi open access, sumber daya perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat EOA dimana Total Revenue (TR) sama dengan Total Cost (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja dan rente ekonomi sumber daya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini disebut sebagai tingkat effort

keseimbangan yang dikenal sebagai bio-economic equilibrium of open access fishery (keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka).

Gambar 4. Model Gordon-Schaefer

Effort (E) Emsy

Revenue-Cos

t TC=c.E

MEY MSY

TR=p.Y(E)

EOA E*

A C


(20)

Dari Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa pada setiap tingkat effort di bawah EOA, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga para pelaku perikanan (nelayan) akan berusaha (lebih tertarik) untuk masuk dalam usaha perikanan. Sementara sebaliknya, pada tingkat effort di atas EOA, biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan (nelayan) akan keluar dari usaha perikanan.

Keuntungan maksimum secara lestari akan diperoleh pada tingkat effort

E*. Pada titik ini rente ekonomi yang diperoleh pelaku perikanan (nelayan) adalah maksimal, yang pada Gambar 4 di atas ditunjukkan oleh selisih TR dan TC terbesar (garis AC). Tingkat upaya ini disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY). Dengan demikian konsep MEY menggambarkan kondisi pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomi, dimana faktor input yang dimanfaatkan seefisien mungkin sehingga diperoleh rente sumber daya yang maksimum. Kondisi MEY diperoleh pada tingkat effort yang lebih rendah dibandingkan dengan titik keseimbangan pada kondisi open access. Biomas yang dipertahankan (menjadi stok) relatif lebih banyak, tangkapan per unit effort tinggi, dan profit juga tinggi. Perikanan yang dikelola untuk mendapatkan MEY disebut juga perikanan yang dikelola dengan cara yang sangat conservative secara biologi.

Jika dibandingkan dengan model pendekatan biologi di atas, model Gordon-Schaefer lebih baik, karena menekankan pada efisiensi input dengan rente ekonomi yang maksimum mengingat jumlah input produksi yang digunakan pada model ini sedikit jauh lebih daripada EMSY dan EOA. Jika dibandingkan tingkat upaya pada keseimbangan open akses dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E*), maka dapat dilihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Sehingga keseimbangan open access ini dapat menyebabkan timbulnya alokasi sumber daya alam yang tidak benar, karena kelebihan sumber daya input (tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan untuk perikanan seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Hal inilah yang merupakan inti prediksi Gordon bahwa kondisi open access akan menimbulkan economic overfishing. Kemudian dari gambar di atas juga dapat


(21)

disimpulkan bahwa tingkat effort Emey terlihat lebih “conservative minded” dibandingkan dengan tingkat effort Emsy.

Dalam kaitannya dengan depresiasi sumber daya, pada pendekatan biologi, depresiasi sumber daya tidak diperhitungkan sama sekali, sementara pada model Gordon, depresiasi sumber daya perikanan dilihat sebagai hilangnya rente ekonomi (dissipated) akibat mismanagement sumber daya perikanan yang open access.

Copes (1972) mencoba mengisi kekurangan model Gordon dengan memasukkan faktor welfare effect di dalam modelnya, berdasarkan keterkaitan antara output dari sumber daya perikanan (ikan) dengan biaya dan harga. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat (konsumen) dan pelaku sendiri (produsen). Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumber daya perikanan. Salah satu hal yang penting dari teori Copes adalah mengenai "back ward bending supply curve" dari perikanan. Kurva itu menggambarkan bahwa suplai dari produk perikanan tidak tak terbatas karena faktor daya dukung lingkungan tidak akan mampu terus menerus mendukung produksi. Dengan demikian pengelolaan perikanan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, baik model Gordon maupun model Copes menganalisis pengelolaan perikanan di dalam framework statis. Artinya aspek intertemporal (antar waktu) yang terkait dengan sumber daya perikanan maupun pelaku industri sendiri tidak diperhitungkan. Misalnya, di dalam model Gordon, pengalihan excess effort dari kondisi open access ke EMEY dilakukan seketika tanpa memperhitungkan faktor penyesuaian. Padahal, stok ikan sendiri memerlukan waktu untuk tumbuh, demikian juga pengurangan input dari tingkat EOA ke EMSY memerlukan waktu untuk penyesuaian. Menyadari kelemahan inilah Clark dan Munro mengembangkan model dinamis pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal. Di dalam model mereka, sumber daya ikan diperlakukan sebagai aset yang memiliki opportunity cost atau biaya korbanan. Artinya di dalam mengelola sumber daya ikan kita dihadapkan pada pilihan intertemporal, apakah akan dipanen saat ini dengan menghasilkan nilai ekonomi kini, atau


(22)

dibiarkan diperairan sehingga bisa tumbuh dan bisa dipanen di masa mendatang sehingga bisa menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Trade-off antara memanen stok saat ini atau nanti inilah yang menjadi ciri khas dalam model intertemporal yang dikembangkan oleh Clark dan Munro. Salah satu solusi dari model Clark dan Munro adalah fenomena yang disebut sebagai most rapid approach (MRAP) atau "bang-bang approach” yang menyatakan bahwa penyesuaian ke arah tingkat eksploitasi yang optimal (biomas, tangkap dan input) harus dilakukan secepat mungkin (Gambar 5).

Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika x* adalah kondisi optimal biomas yang lestari, maka pada pendekatan "bang-bang", strategi yang optimal adalah melakukan eksploitasi yang maksimurn (h=hmax) pada saat x > x* (dimulai dari titik B). Sebaliknya jika x < x* (dimulai dari titik A), strategi optimal adalah tidak melakukan eksploitasi. Melihat model ini, depresiasi sumber daya perikanan sebenarnya akan terjadi secara cepat jika strategi pertama dilakukan. Clark dan Munro secara implisit menyatakan bahwa deplesi akan terjadi manakala strategi pertama dilakukan dan dimana kondisi parameter harga per satuan output jauh lebih besar dari biaya per satuan input.

Gambar 5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan

Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang dikemukakan di atas, tidak secara

x*

Stok

Waktu, t A

h = hmax

h=0


(23)

eksplisit membahas depresiasi sumber daya perikanan. Model-model dasar di atas melihat bahwa depresiasi terjadi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan (model Gordon dan Copes). Pada model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumber daya akan terjadi manakala penggunaan

input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumber daya ikan itu sendiri.

2.4. Teori Degradasi Sumber daya

Definisi degradasi agak bersifat subjektif, memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Misalnya, untuk sumber daya hutan, sebagian orang mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi adalah suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil.

Degradasi sumber daya dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena permintaan yang tinggi terhadap jasa ekosistem akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu (individual choice), serta mekanisme pasar yang tidak menjamin keberlangsungan jasa konservasi ekosistem.

Wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan sumber daya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumber daya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).


(24)

Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, pelagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan teknologi penangkapan semacam ini banyak terjadi di daerah-daerah. Teknologi penangkapan yang digunakan umumnya menyebabkan kerusakan dan kehancuran sumber daya perikanan. Teknologi tersebut misalnya penggunaan alat tangkap trawl, potassium cyanide, dan penggunaan bom ikan.

Dari hasil penelitian para peneliti ekonomi sumber daya dari International Center for Living Aquatic Resource Management (ICLARM) yang melakukan kajian tentang hal tersebut. Salah satu kesimpulan dari kajiannya adalah nelayan terdorong atau terpaksa menangkap ikan dengan cara-cara merusak (destructive) karena kesalahan manajemen sumber daya perikanan (ICLARM 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa jika manajemen sumber daya perikanan itu tidak dilakukan dengan baik, akhirnya akan terjadi kelebihan penangkapan ikan

(overfishing). Tangkap lebih ini dibagi dalam beberapa tipe bergantung pada tingkat keseriusannya, yaitu:

1. Recruitment overfishing, yaitu kondisi ikan-ikan muda (juvenile) yang ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dengan kata lain, pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa.

2. Biologically overfishing, yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok


(25)

sumber daya ikan menurun secara drastis dan akhirnya membuat perikanan berhenti secara total.

3. Economically overfishing, dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub optimum (lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan). Pada kondisi seperti ini, berarti industri penangkapan ikan beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi, oleh karena itu kondisi seperti tidak lagi efisien.

4. Malthusian overfishing. Kondisinya sama seperti yang dikemukakan Malthus, yaitu pertumbuhan penduduk begitu cepat, sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi penduduk sangat lambat. Dalam perikanan kondisi ini berarti ada sedikit ikan yang tersedia di laut dan diperebutkan oleh banyak nelayan.

Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumber daya perikanan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan rakyatnya. Akibatnya, setiap nelayan berkompetisi secara bebas, maka timbul daya kreasi setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi itu diwujudkan dengan dihasilkannya atau direkayasakannya metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan efisien secara ekonomi, namun ternyata merusak dan merugikan lingkungan. Metode dan teknik yang digunakan antara lain: bom, dinamit, racun, aliran listrik, serta alat-alat penangkap ikan yang kontemporer bersifat merusak. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan, jika tidak dilakukan, orang lain yang akan melakukannya (tragedy of common) Malthusian overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua orang (Nikijuluw 2002).

Permasalahan degradasi sumber daya perikanan dan kemiskinan di wilayah pesisir sangat kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan, degradasi dapat terjadi akibat tangkap lebih dan kemiskinan. Namun degradasi juga dapat menjadi sebab terjadinya kemiskinan. Beberapa variabel kunci yang


(26)

menyebabkan terjadinya hubungan timbal balik antara kemiskinan dan degradasi sumber daya pesisir dan laut, yaitu: ketidakstabilan pendapatan, rendahnya akses masyarakat dan rendahnya kontrol mereka dalam pengelolaan sumber daya laut. Belajar dari kelemahan masyarakat tersebut maka upaya pemberdayaan harus mengacu pada upaya mengatasi kelemahan-kelemahan pokok masyarakat pesisir agar mereka berdaya dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan (Hidayati 2000).

Seperti diketahui bahwa sebagian besar sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia telah mengalami degradasi, dimana faktor penyebabnya yang dominan adalah karena aktivitas manusia. Namun demikian pada dasarnya masih belum banyak dilakukan penilaian seberapa besar sebenarnya laju dari degradasi dan depresiasi dari sumber daya pesisir dan laut ini termasuk sumber daya perikanan, hal ini disebabkan karena memang belum ada teknik pengukuran besaran laju degradasi/depresiasi khusus untuk sumber daya perikanan.

Model matematis untuk menghitung besaran laju degradasi sumber daya lahan yang dilakukan oleh Amman and Durraipah (2001) dalam penelitian mengenai "Land Tenure and Conflict Resolution: A Game Theoretic Approach in the Narok District in Kenya", adalah sebagai berikut:

φ =

t , i Avg

q qi

e

+

1

1

(2.8)

qi,tAvg = qit jika Vj dljti≤ 0 (2.9)

d q

qiAvg,t = it (2.10)

Variabel qi,t adalah komponen degradasi yang disebabkan oleh agent i dari seluas lahan tertentu. Jika output qi,t(seluas tertentu ha) lebih besar dari kemampuan daya dukung lingkungan (carrying capacity) pada waktu t, maka kehilangan efisiensi dalam bentuk faktor degradasi akan muncul. Peneliti menggunakan fungsi logistik untuk menjelaskan hal ini, seperti persamaan di atas. Variabel qiAvg,t secara mendasar akan menangkap efek degradasi bersama dari pemilik dan penyewa lahan (Anna 2003).


(27)

Untuk aplikasi bidang perikanan, laju degradasi Amman dan Durraipah dimodifikasi sebagai berikut (Anna 2003) :

δ α δ

h h h %

D = − (2.11)

dimana : D = persentase degradasi

= δ

h Produksi sustainable

= α

h Produksi aktual

Sementara koefisien degradasi dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini :

α δ

Φ

h h D

e

+ =

1 1

(2.12)

Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut :

α δ Π Π Φ

e

D + =

1 1

(2.13)

Dimana : φ, = Laju depresiasi

δ

Π = Rente sustainable

α

Π = Rente aktual.

2.5. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen. Surplus Konsumen (Consumer’s Surplus)

Surplus konsumen atau Dupuit’s consumers surplus, yang pertama kali diperkenalkan oleh Dupuit tahun 1952, adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan berapa yang sebenarnya ia bayar (Fauzi 2000a). Dengan kata lain, surplus konsumen diartikan sebagai perbedaan antara keinginan marjinal seorang konsumen untuk membayar (marginal willingness to pay) kepada barang dan atau jasa yang akan dibelinya dengan harga yang berlaku di pasar. Jadi surplus konsumen merupakan ukuran tingkat kepuasan (utility) konsumen yang dapat diperoleh dari barang dan jasa dalam bentuk uang. Secara grafik konsep surplus konsumen dapat dilihat pada Gambar 6.


(28)

0 Q* Q

CS = Consumers Surplus

Gambar 6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay

Pada Gambar 6. terlihat ada kurva permintaan D terhadap barang Q yang ditarik dari kiri atas ke kanan bawah dengan slope negatif. Kurva tersebut menunjukkan keinginan konsumen untuk mengkonsumsi sejumlah barang pada setiap harga yang berbeda sepanjang sumbu P. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan tersebut menunjukkan keinginan membayar (willingness to pay) dari individu terhadap barang Q. Titik-titik sepanjang kurva permintaan D menunjukkan keinginan membayar untuk setiap tambahan barang Q, atau disebut

marginal willingness to pay.

Jika keseimbangan harga di pasar adalah pada P*, maka konsumen akan mengkonsumsi barang sebesar Q*. Walaupun konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun yang sebenarnya ia bayar adalah sebesar P*. Berarti ada kelebihan keinginan membayar yang ditunjukkan oleh daerah yang di shading, yaitu sebesar P*EA. Dalam ekonomi klasik daerah ini disebut dengan surplus konsumen (consumers surplus).

Nilai surplus konsumen dapat berubah, misalnya karena perubahan harga barang atau peningkatan pendapatan konsumen. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 7.

P* P

A

E

D CS


(29)

P

a

d

c e

0 Qo Q1 Q

Gambar 7. Pengukuran surplus konsumen

Pada harga Po konsumen akan membeli barang sebesar Qo. Keinginan membayar (WTP) konsumen adalah sebesar a + b c, namun yang benar-benar dibayar sebesar b + c, maka surplus konsumen dicerminkan luas segitiga a.

Jika harga barang turun dari Po ke P1, maka konsumen akan membeli barang sebanyak Q1. Namun, konsumen tidak ingin membeli pada jumlah Q1, akan tapi dia (konsumen) tetap membeli sejumlah unit yang sama seperti sebelumnya Qo. Maka konsumen akan membayar dengan jumlah bayaran yang lebih kecil, karena harganya turun menjadi P1. Oleh karena itu konsumen menjadi lebih beruntung sebesar b, yang merupakan selisih antara sejumlah uang yang dibayarkan untuk memperoleh barang Qo pada harga Po dan jumlah uang yang dibayarkan pada harga P1.

Jika konsumen menambah jumlah pembelian komoditas dari Qo menjadi Q1, maka dia sebenarnya hanya membayar tambahan sebanyak e, namun memperoleh nilai yang lebih tinggi yaitu sebesar d + e. Oleh karenanya dengan membeli lebih banyak (dari Qo ke Q1 ) konsumen beruntung sebesar d. Jadi perubahan dalam surplus konsumen terjadi merupakan akibat dari penurunan harga komoditas adalah b + d. Sedangkan total surplus konsumen dari pembelian sebanyak Q1 pada harga P1 ditunjukkan oleh nilai sebesar a + b + d.

b Po

P1


(30)

Dalam ekonomi sumber daya, konsep surplus konsumen dapat digunakan untuk menghitung tingkat kehilangan akibat kerusakan ekosistem. Contoh praktisnya adalah sebagai berikut (Fauzi 2000b) :

Dimisalkan bahwa dalam kondisi lingkungan yang belum rusak, konsumen membayar harga ikan sebesar Rp 500 per kg, dengan keinginan membayar maksimum (maximum willingness to pay) sebesar Rp 1000 per kg. Pada tingkat harga tersebut, konsumen mampu membeli sebanyak 10 kg per bulan atau 120 kg per tahun. Meskipun konsumen mampu membayar Rp 1000 per kg, tapi yang sebenarnya ia bayar hanya Rp 500 per kg. Dengan demikian terjadi surplus konsumen sebesar selisih antara keinginan membayar dengan yang sebenarnya dia bayar. Selisih tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. berikut yang merupakan luas segitiga PoEoM atau 60 x 500 = Rp 30 000.

Dimisalkan sekarang bahwa, hutan mangrove sebagai tempat memijah ikan rusak sehingga ikan/udang semakin susah ditangkap. Kondisi ini akan menyebabkan kenaikan harga ikan karena supply yang berkurang. Katakanlah akibat kerusakan ini menyebabkan harga ikan naik menjadi Rp 750 per kg. Pada tingkat harga ini, konsumen hanya mampu membeli sebanyak 100 kg per tahun. Dengan demikian surplus konsumen berkurang menjadi daerah P1E1M atau 50 x 250 = Rp 10 250. Sehingga kita bisa menghitung akibat perubahan kondisi

P

P0 = 500 M =1000

E1

D E0

P1 =750

100 120 Q


(31)

sumber daya ini mengakibatkan perubahan surplus konsumen sebesar Rp 30 000 – Rp 10 250 = Rp 10.750 unit moneter.

Surplus Produsen (Producer’s Surplus)

Berbeda dengan pengukuran surplus konsumen, surplus produsen diukur dari sisi manfaat dan kehilangan dari sisi produsen atau pelaku ekonomi (Fauzi 2000b). Surplus produsen adalah ukuran keuntungan yang diperoleh produsen karena mereka beroperasi pada suatu pasar komoditas (Sugiarto et al. 2002). Surplus produsen pada dasarnya adalah surplus yang diperoleh produsen yang merupakan selisih antara harga yang diterima oleh produsen dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi output (Anna 2003). Identik dengan surplus konsumen, besaran surplus produsen juga akan tergantung dari perubahan harga dan biaya. Secara grafik surplus produsen dapat dijelaskan pada Gambar 9.

Dari Gambar 9, dapat dijelaskan bahwa surplus produsen ditunjukkan oleh area P*EB, di atas garis supply dan di bawah garis harga. Oleh karena kurva supply menunjukkan biaya marginal dari tiap unit barang yang diproduksi, maka area OBEQ* adalah total biaya variabel. Area OP*EQ* adalah penerimaan kotor (Sadoulet dan Janvry 1995).

Area P*EA adalah surplus konsumen pada kondisi awal, sementara P*EB merupakan daerah surplus produsen pada kondisi awal. Jika tidak ada kebijakan menyangkut harga atau output, keseimbangan, terjadi pada P* dan Q*. Jika pemerintah kemudian melakukan kebijakan yang menyebabkan output bergeser ke Q1 (misalnya karena pajak), maka surplus konsumen dan produsen akan berubah. Perubahan kedua surplus tersebut menyebabkan redistribusi surplus dari produsen dan konsumen ke pemerintah sebagai pemilik sumber daya mewakili publik. Dengan adanya redistribusi surplus tersebut, terbentuk rente sumber daya sebesar CFGP1 yang merupakan transfer dari kedua pihak tersebut.


(32)

Gambar 9. Producer’s Surplus (PS) dan Retribusinya Surplus

Dampak terhadap consumers welfare dicerminkan oleh perubahan dari consumers surplus (ΔCS) dan dampak dari producer welfare diukur dengan perubahan producer surplus (ΔPS) (Sadoulet dan Janvry 1995). Analisa ini dapat dipisahkan antar kelompok produsen dan konsumen jika keduanya mempunyai

share awal yang berbeda terhadap produksi dan konsumsi total dan atau mempunyai elastisitas harga yang berbeda terhadap supply dan demand. Sebagai contoh, konsumen miskin mempunyai elastisitas yang lebih tinggi terhadap permintaan makanan karena untuk membeli makanan tersebut mereka mengeluarkan bagian pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan konsumen kaya. Petani kecil mempunyai elastisitas yang rendah dalam merespon supply food crops dibanding petani besar.

2.6. Konsep Efisiensi Perikanan Tangkap

Apabila suatu ketika di suatu perairan terjadi gejala penurunan produksi perikanan tangkap, dengan asumsi input yang digunakan sama atau lebih tinggi dari periode sebelumnya, maka biasanya kita menduga bahwa di sana telah terjadi

overfishing, namun tidak jelas overfishing apa yang terjadi, apakah Malthusian overfishing, biological overfishing, recruitment overfishing, atau economical overfishing. Disinilah pentingnya dilakukan perhitungan kapasitas perikanan, yaitu untuk mengetahui apakah perikanan tersebut sudah efisien dalam kaitannya

P* P

A

E

D

CS

O

1

Q* Q

B

S

PS

PS

P1

Q1

C F


(33)

dengan economic overfishing. Dengan mengetahui hal tersebut, maka dapat dibuat suatu diagnosa terhadap permasalahan di atas, sehingga solusi kebijakan yang akan diterapkan akan lebih tepat.

Berbagai metode telah diaplikasikan oleh para peneliti untuk mengukur efisiensi perikanan tangkap, diantaranya dengan metode Atkinson, metode

utilitarian, metode Dalton, dan lain-lain (Simkin 1998). Metode-metode tersebut pada dasarnya lebih kepada penilaian mengenai seberapa efisien suatu kebijakan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat dalam konteks ketidakmerataan (inequality). Pendekatan ekonometrik biasa pada dasarnya tidak mampu menjadi solusi untuk memecahkan masalah efisiensi, khususnya jika yang menjadi variabel pertimbangan memiliki multiple inputs dan output (Seiford and Thrall 1990). Penilaian terhadap kebijakan yang menyangkut efisiensi, pada dasarnya dapat dilakukan dengan Data Envelopment Analysis (DEA), juga biasa disebut

Frontier Analysis (Charnes, Cooper, and Rhodes 1978). Teknik ini dikenal juga dengan CCR (singkatan nama depan ketiga penemunya), merupakan pengukuran/penilaian terhadap performance untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambil keputusan (Decision Making Unit, DMU) dalam suatu analisis. Sejak teknik ini diperkenalkan, sudah banyak analisis teoritis dan empiris yang dikembangkan dan diaplikasikan pada perbankan, rumah sakit, perpajakan, sekolah, juga sumber daya alam (Beasley 2000).

Pada prinsipnya DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgment) dari pengambil keputusan. Teknik ini didasarkan pada pemograman matematis (mathematical programming) untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala. DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple input dan output (Dyson et al. 1990, diacu dalam Fauzi dan Anna 2005).

Kelebihan DEA adalah (1) dapat mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, seperti pajak, Total Allowable Catch (TAC), distribusi regional atau ukuran kapal, larangan penangkapan pada waktu tertentu, dan kendala sosial ekonomi lainnya, (2) mampu mengakomodasi multiple outputs


(34)

dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun non-diskret, (3) dapat menentukan tingkat potensial maksimum dari effort atau variabel input secara umum dan laju utilitas optimalnya.

Dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut :

=

k

kjm k i

ijm i

m

y v

y w

MaxE (2.14)

Dengan kendala :

1

k

kjm k i

ijm i

y v

y w

untuk setiap unit ke-j

wi , vk ≥ε

Pemecahan masalah pemograman matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v ) yang mengarah ke

efisiensi. Jadi, jika nilai Em = 1 artinya unit ke-m tersebut dikatakan efisien relatif

terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai Em < 1, maka unit lain lebih efisien

relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimasi unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan (2.14) adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit dipecahkan melalui pemograman linear. Namun dengan melakukan linearisasi, persamaan tersebut dapat diubah menjadi persamaan linear (linear programming), sebagai berikut :

=

i

ijm i

m w y

MaxE (2.15)

Dengan kendala:

ϖ =

kjm

k kx v

i k

kjm k ijm

iy v x

w 1


(35)

Dalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi bersifat constant returns to scale (CRS). Artinya, jika input dinaikkan dua kali lipat, maka output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat juga). Model ini sangat bersifat linear dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linear. Namun, model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasi pada aktivitas produksi yang mengalami non-constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan, bersifat decreasing returns to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCR ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker, Charnes, and Cooper (1984) dan dikenal dengan BCC DEA, yang memungkinkan dilakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale (Fauzi dan Anna 2005).

Aplikasi model DEA meliputi proses yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu : (1) mendefinisikan DMU yang akan dianalisis, yaitu seluruh unit yang menjadi bahan pertimbangan harus mewakili tugas sama dengan tujuan yang sama, dan berada pada set kondisi market yang sama serta harus menggunakan input yang sama untuk memproduksi jenis output yang sama, (2) menentukan variabel input dan output yang akan digunakan dalam menganalisis efisiensi relatif dari DMU yang terpilih, (3) mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya (Golany and Roll 1989, diacu dalam Anna 2003).


(36)

3.

METODE

PENELITIAN

3.1. Kerangka Pendekatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian seperti tercantum dalam Bab 1, maka dibuatlah suatu alur fikir (road map) penelitian seperti terlihat pada Gambar 1. Alur ini mencoba melihat permasalahan pesisir dan lautan di daerah studi secara menyeluruh (comprehensive) dan interaksi antar sumber daya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya ikan (perikanan tangkap), perikanan budidaya (tambak), dan ekosistem hutan mangrove.

Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan assessment terhadap sumber daya-sumber daya tersebut. Untuk perikanan tangkap, penilaian dilakukan dengan model bio-ekonomi. Dengan analisis model bio-ekonomi akan diketahui produksi aktual dan lestari (sustainable), stok biomas, effort dan tangkapan (catch) optimal serta rente ekonomi dari sumber daya ikan. Besaran nilai-nilai di atas dipengaruhi oleh tiga parameter biofisik, yaitu pertumbuhan

intrinsic (r), carrying capacity (K), dan catch-ability coefficient (q). Ketiga parameter ini akan sangat menentukan besaran stok dan jumlah ikan yang ditangkap serta manfaat ekonomi yang diperoleh. Selain itu, juga dilakukan analisis surplus produsen, dan analisis efisiensi relatif dan kapasitas perikanan tangkap. Semua analisis di atas dikaitkan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Secara fisik, ada keterkaitan yang jelas antara ekosistem mangrove dan produksi ikan dari perikanan tangkap. Hal ini disebabkan karena ekosistem mangrove merupakan tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat pembesaran beberapa spesies biota laut termasuk ikan, udang, dan kepiting. Untuk melihat interaksi antara ekosistem mangrove dan produksi perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan model interaksi hutan mangrove dengan stok dan tangkapan ikan, yaitu dengan memasukkan variabel keberadaan (ha) dalam model carrying capacity. Dengan model tersebut dapat dihitung tingkat kontribusi (%) hutan mangrove terhadap


(37)

produksi ikan di suatu wilayah pesisir. Disamping itu, juga dapat dihitung biomas, tangkapan lestari, dan effort dengan masukkan variabel hutan bakau dalam model.

Selanjutnya, dilakukan penilaian (assessment) terhadap perikanan budidaya (tambak) yang meliputi, luasan, produksi dan produktivitas, rente ekonomi, dan return to labor pada kondisi tambak sebelum terjadi tsunami. Pada kondisi setelah tsunami, dihitung jumlah (ha) tambak dengan berbagai tingkat kerusakan (dikelompokkan dalam rusak berat, sedang, dan ringan serta tambak yang tidak mengalami kerusakan). Kemudian dihitung jumlah biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi (memperbaiki) tambak-tambak tersebut dengan berbagai tingkat kerusakan. Pada akhir analisis, dihitung biaya dan manfaat dari usaha tambak di Aceh dengan berbagai opsi teknologi (tradisional, tradisional plus, semi intensif, dan intensif). Disamping itu, juga dianalisis permasalahan, konsep dan strategi pengembangan tambak ke depan.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pantai Timur Aceh dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang. Sedangkan Pantai Barat meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Jaya, Nagan Raya, Barat Daya, Aceh Barat, Singkil, Aceh Selatan, dan Simeulu. Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Oktober 2004 sampai Desember 2005. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.


(38)

Gambar 10. Peta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode survey. Ada 2 jenis data yang diperlukan, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan partisipasi langsung di lapangan. Data primer yang diperlukan meliputi struktur biaya dari upaya penangkapan ikan dan harga komoditas perikanan. Data ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui survei dengan teknik cluster random sampling. Cluster sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompok-kelompok unit yang kecil atau

cluster. Unsur-unsur dalam cluster sifatnya tidak homogen (heterogen) (Nazir 1999). Untuk Pantai Timur terpilih Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, sedangkan

Pantai Timur Aceh


(39)

untuk Pantai Barat diwakili oleh Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Data struktur biaya dibagi dalam beberapa kelas kapal/boat/armada (fleet) dan kemudian dilakukan pembobotan untuk memperoleh rataan tertimbang (weighted average). Secara umum, struktur biaya perikanan dihitung dengan menggunakan formula berikut (Anna 2003) :

=

= n 1 j

j jc

w

C (3.1)

Dimana bobot (weighted) didasarkan pada rasio landing antar armada j dengan total lending atau =

j j j

j h / h

w .

Jumlah sampel responden yang diambil didasarkan pada formula Fauzi (2001) sebagai berikut:

{

( 1)

} {

(0.25)

}

) 25 . 0 (

2 2

2 Z N

d

NZ s

+ −

= (3.2)

dimana:

s = Jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi

Z = Nilai standar deviasi (dari tabel statistik) d = tingkat ketelitian

Penelitian ini banyak menggunakan data sekunder, berupa data urut waktu (time series) meliputi data hasil tangkapan (catch) dan input yang digunakan (effort), jumlah trip dari masing-masing alat tangkap (fishing gear) pertahun, data luasan hutan mangrove, data Indeks Harga Konsumen (IHK) ikan segar (fresh fish) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta data penunjang lainnya. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), beberapa Kantor DKP di tiap kabupaten/kota di Pantai Timur dan Barat, Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi NAD, BPS Jakarta, Kantor Panglima Laot Aceh, dan lain-lain.

Secara skematis jenis data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.


(40)

Gambar 11. Alur Penelitian

3.4. Analisis Data

3.4.1. Standarisasi Effort

Dalam melakukan pendugaan parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan standarisasi unit upaya, mengingat beragamnya alat tangkap yang beroperasi di wilayah penelitian. Standarisasi alat tangkap diperlukan untuk menyeragamkan satuan upaya penangkapan dari berbagai alat tangkap dengan menggunakan salah satu alat tangkap yang paling dominan sebagai alat tangkap standar.

Penentuan standarisasi unit upaya (effort) dalam penelitian ini digunakan jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap, yaitu pukat cincin (purse seine) dan pancing tonda. Alasan penggunaan trip sebagai upaya daripada jumlah alat

Tujuan Umum Tujuan Khusus Jenis Data Metode

Analisis

Mengembangkan model bio-ekonomi perikanan akibat adanya eksternal

shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Provinsi NAD

Melakukan analisis perbandingan model perikanan equilibrium

(tanpa shock) dan

disequilibrium (dengan

shock) terhadap x, h, E, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat shock tersebut. Mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock

Menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya

Time series

Catch, Effort, Struktur biaya,

dan harga

Endogenous Model Bioeconomic, Model Copes, dan Model Fozin-1 Surplus Produsen DEA Analysis Keluaran Terciptany

a suatu analisis y

ang k ompre hensif menyangkut p engelolaan sumber daya p erik anan yang dap at dijad ikan masukan dan acu an k ebijakan dalam

rehabilitasi sektor pe

rikanan di Provinsi NAD

Menganalisis kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya

shock

Melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangannya

Catch, Effort, Coverage

Model Fozal dan Fozin-2

Data Primer dan Sekunder

deskripsi dan

Economic dan

Financial Analysis Endogenous


(41)

tangkap adalah untuk menghilangkan bias dari alat tangkap yang tidak beropresi. Teknik standarisasi effort antar alat tangkap digunakan formula yang dikembangkan oleh King (1995), dengan formula sebagai berikut :

jt jt

jt D

E(3.3)

Dimana :

st jt jt

u u

=

ϑ (3.4)

dimana:

Ejt = Effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandarisasi

Djt = Jumlah trip dari alat tangkap j pada waktu t

jt

ϑ = Nilai fishing power dari alat tangkap j pada periode t

ujt = Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t

ust = Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis

standarisasi

Untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandarisasi berdasarkan alat tangkap pukat cincin (purse seine).

3.4.2. Uji Stationary

Untuk data time series, sebelum dilakukan estimasi regresi perlu terlebih dahulu dilakukan uji stationer (stationary test). Uji ini mutlak diperlukan karena hanya data yang bersifat stationer yang bisa menggunakan Ordinary Least Square

(OLS). Sedangkan data yang tidak stasioner (non stationary), penggunaan OLS akan bersifat spurious regression akibat terjadi autokorelasi, artinya koefisien hasil estimasi regresi tidak valid dan tidak dapat digunakan.

Untuk menganalisis sifat stationary dari data time series digunakan Dickey Fuller unit root test (Dickey et al. 1994) sebagai berikut :

y = a1yt-1 + εt (3.5)

Persamaan di atas bermakna bahwa viriabel yt tergantung pada nilai y pada periode sebelumnya dan error term. Variabel yt tersebut bersifat stationery jika


(1)

43. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD) tahun 2003……… 162

44. Rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD (2005-2006)………... 163 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi

NAD…... 166 46. Hasil perhitungan bio-ekonomi perikanan di Provinsi NAD…………... 172


(2)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran ………... 7

2. Batasan wilayah pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2002) ……….. 9

3. Kurva yield effort ………..………... 19

4. Model Gordon-Schaefer ………. 19

5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan ……... 22

6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay ………. 28

7. Pengukuran surplus konsumen ………... 29

8. Penurunan surplus Konsumen ……….………... 30

9. Producer’s surplus (PS) dan distribusinya surplus …..……….……….. 32

10. Peta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ... 38

11. Alur Penelitian ………... 39

12. Market Discount Rate ……… 47

13. Perkembangan data produksi ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……… 64

14. Perbandingan hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)………... 66

15. Jumlah alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……... 69

16. Produksi aktual dan lestari di Pantai Timur (a) dan di Pantai Barat (b). 73 17. Fungsi produksi lestari Gompertz di daerah penelitian………... 74

18. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Timur Aceh ... 74

19. Copes Eye Ball loop fungsi produksi lestari Gompertz Pantai Timur Aceh………... 75

20. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Barat Aceh... 75

21. Copes eye ball loop fungsi produksi lestari Gompertz di Pantai Barat Aceh………... 75

22. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi aktual untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……… 78

23. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi lestari untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)……... 79

24. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual... 79

25. Perbandingan laju degradasi sumber daya perikanan dengan effort untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)………... 80


(3)

26. Biaya penangkapan ikan per unit effort periode 1984 – 2004 ... 82

27. Present value rente dan depresiasi di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 86 28. Hubungan effort dan depresiasi sumber daya ikan pelagis di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 86

29. Trajektori biomas dan produksi optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 91

30. Trajektori produksi aktual, lestari, dan optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 92

31. Trajektori effort aktual dan optimal (1000 trip) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 93

32. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 96

33. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 98

34. Trajektori perbedaan effort optimal dan aktual di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100

35. Trajektori perbedaan rente optimal dan lestari di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100

36. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Timur Aceh………... 102

37. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Barat Aceh………... 103

38. Trajektori skor efisiensi DEA Pantai Timur dan Barat Aceh……... 104

39. Potensi perbaikan effort (a) produksi aktual (b) di Pantai Timur dan Barat Aceh……….. 106

40. Trajektori jumlah aktual armada dan efisiensi armada di Provinsi NAD ………... 110

41. Perbandingan jumlah armada dan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD.………... 111

42. Perbandingan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD... 117

43. Luas tambak dan rumah tangga perikanan budidaya (RT) di Pantai Timur dan Barat Aceh, tahun 2003………... 127

44. Rantai pemasaran udang di Provinsi NAD………... 132

45. Kebutuhan biaya operasional usahatani tambak berdasarkan tingkat teknologi di daerah studi………. 138

46. Nilai return to labor dari usahatani tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan di daerah studi... 140


(4)

47. Nilai NPV usahatani tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi……… 143 48. Langkah-langkah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tambak di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)………... 151 49. Perkembangan Luas Tambak di Provinsi Nanggroe Darussalam

(NAD) Tahun 1969 – 2003………... 154 50. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1984

– 2004………... 159 51. Yield-effort curves tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan

Pantai Barat (b)………... 168 52. Model Gordon-Schaefer (GS) tanpa dan dengan tsunami di Pantai

Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 169 53. Korelasi antara effort dan biomas dari model GS... 171 54. Rezim pengelolaan biomas di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)… 173 55. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas ... 174 56. Perbedaan effort, produksi, dan rente berdasarkan rezim pengelolaan

di Pantai Timur tanpa tsunami (a), dengan tsunami (b) dan Pantai Barat tanpa tsunami (c) dan dengan tsunami (d)... 175 57. Surplus Produsen tanpa “shock” dan dengan ”shock”... 176


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Timur Aceh…... 192 2. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Barat Aceh……... 193 3. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur

Aceh... 194 4. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur

Aceh... 195 5. Print out analisis CYP Pantai Timur Aceh………. 196 6. Print out analisis CYP Pantai Barat Aceh……….. 198 7. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi

lestari) di Pantai Timur Aceh………. 200 8. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan rata-rata

geometrik produksi aktual) di Pantai Timur Aceh... 201 9. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi

lestari) di Pantai Barat Aceh……….. 202 10. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Rata-rata

Geometrik Produksi Aktual) di Pantai Barat Aceh... 203 11. Print Out Perhitungan Discount Rate Kulla………... 204 12. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Timur Aceh (∂ = 15%)………... 205 13. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Timur Aceh (∂ = 5,68%)……… 207 14. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Barat Aceh (∂ = 15%)……… 209 15. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai

Barat Aceh (∂ = 5,68%)………. 211 16. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Timur

Aceh………... 213

17. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Barat Aceh... 215 18. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Timur Aceh………... 217 19. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Barat Aceh... 218 20. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Pantai Timur dan Barat

Aceh... 219 21. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Severely damage, Back


(6)

22. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Back

Hoe)……… 221

23. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Manual)……….. 222

24. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage, Back Hoe)……… 223

25. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage. Manual….. 224

26. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Severely damage, Back Hoe)……….. 225

27. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Back Hoe)……….. 226

28. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Manual)……….. 227

29. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Back Hoe)……… 228

30. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Manual)……….. 229

31. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensive (Severely Damage, Back Hoe)……….. 230

32. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Back Hoe)……… 231

33. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Manual)……….. 232

34. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Back Hoe)……… 233

35. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Manual)……….. 234

36. Analisis Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan (Model Fozal)... 235

37. Print Out Perhitungan Model Fozal ……….. 236

38. Persamaan Model Fozal... 238

39. Dampak tsunami pada nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD…... 239

40. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Timur Aceh... 240

41. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Barat Aceh... 241

42. Maple output model Fozin-1 Pantai Timur ...……...………... 242

43. Maple output model Fozin-1 Pantai Barat ... 246