5 Content Domains of Intercultural Competence Instruments

2.1.2.2 Budaya Nasional dan Manajemen

Manajemen berasal dari kata “to manage” yang artinya mengatur (Hasibuan, 2004). Secara sederhana, manajemen adalah sebuah

rangkaian kegiatan yang terdiri dari planning (merencanakan), organizing (mengatur), actuating (melaksanakan), dan controlling (mengawasi). Adapun Davis dan Filley (1973) mengklasifikasikan manajemen menjadi sebagai berikut:

a. Manajemen sebagai sebuah posisi (administratif; operatif; “middle management”)

b. Manajemen sebagai sebuah pekerjaan atau aktivitas (pembuatan keputusan; mengkoordinasi melalui pemikiran dan tindakan; merencanakan, mengatur, mengawasi)

Manajemen merupakan sebuah nyawa dalam organisasi. Dengan manajemen yang baik, maka organisasi dapat meraih tujuan-tujuannya. Seperti yang dijelaskan oleh Bloom dan Van Reenen (2010) bahwa perusahaan dengan praktik manajemen yang baik cenderung memiliki performa yang lebih baik dalam dimensi yang lebih luas, yakni lebih Manajemen merupakan sebuah nyawa dalam organisasi. Dengan manajemen yang baik, maka organisasi dapat meraih tujuan-tujuannya. Seperti yang dijelaskan oleh Bloom dan Van Reenen (2010) bahwa perusahaan dengan praktik manajemen yang baik cenderung memiliki performa yang lebih baik dalam dimensi yang lebih luas, yakni lebih

Dengan keragaman yang ada di seluruh penjuru dunia, tentunya tiap negara memiliki karakteristik manajemennya masing-masing. Mohiuddin (2012) menyebutkan bahwa gaya manajemen telah terbukti dipengaruhi oleh budaya sosial di tiap negara. Adapun Bloom dan Van Reenen (2010) dalam kajiannya menjelaskan bahwa:

a. Praktik manajemen sangat berbeda antar perusahaan dan negara. Mayoritas perbedaan mengacu pada buruknya sistem manajemen

dalam perusahaan. Contohnya, di Amerika Serikat hanya terdapat beberapa perusahaan yang termasuk kategori “very badly managed ”. Namun sebaliknya perusahaan dengan kategori tersebut banyak terdapat di Brazil dan India.

b. Negara dan perusahaan memiliki praktik manajemen yang berbeda. Contohnya, Amerika Serikat memiliki sistem insentif yang lebih baik daripada Swedia. Namun sebaliknya, Swedia lebih baik daripada Amerika Serikat dalam hal pengawasan.

Penjelasan di atas cukup menjelaskan bahwa setiap negara memiliki ciri khasnya masing-masing dalam praktik manajemen. Ilmu manajemen memang berasal dari Barat, namun hal tersebut tidak berarti bahwa sistem manajemen Barat dapat diterapkan di semua negara.

Shukla, Balaji, & Rani (2015) menyebutkan bahwa gaya manajemen di dunia mengacu pada 2 hal, yakni individualisme dan

Barat, yang menjunjung tinggi semangat kebebasan dan fokus utama adalah meraih tujuan personal. Sedangkan kolektivisme dipraktikkan oleh negara- negara Timur, dengan frasa “there’s no me, but WE” dan memberikan kontribusi penuh terhadap kebutuhan organisasional.

Tabel 2.1

Characteristics of Top Management: A Comparison

Organic Type – Japan System Type – USA

Facilitator

Decision maker

Professional Group strength

Social leader

Individual initiative and creativity Emphasis on human relations

Emphasis on functional relations Management by consensus

Management by objectives Leader adapts to change

Systems adapt to change Sumber : “A Comparative Study on Different Styles of Management”,

European Journal of Business and Management, 2012, hal. 48

Tabel 2.1 telah menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam praktik manajemen antara Barat dan Timur. Walaupun demikian, bukan berarti masing-masing negara Timur maupun Barat memiliki keseragaman dalam praktik manajemen. Jika manajemen Tiongkok mengikuti prinsip-prinsip Konfusianisme, maka manajemen Uni Emirat Arab dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Demikian pula dengan praktik manajemen negara-negara di Eropa yang saling berbeda. Seperti yang dijelaskan oleh Perlitz dan Seger (2004), faktor utama yang melatarbelakangi perbedaan manajemen di Eropa adalah adanya Tabel 2.1 telah menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam praktik manajemen antara Barat dan Timur. Walaupun demikian, bukan berarti masing-masing negara Timur maupun Barat memiliki keseragaman dalam praktik manajemen. Jika manajemen Tiongkok mengikuti prinsip-prinsip Konfusianisme, maka manajemen Uni Emirat Arab dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Demikian pula dengan praktik manajemen negara-negara di Eropa yang saling berbeda. Seperti yang dijelaskan oleh Perlitz dan Seger (2004), faktor utama yang melatarbelakangi perbedaan manajemen di Eropa adalah adanya

Budaya nasional memiliki pengaruh besar terhadap praktik manajemen dalam organisasi, sehingga tidak dapat dipandang sebelah mata. Gerhart dan Fang (2005) menyebutkan bahwa ketidakcocokan antara budaya nasional dengan manajemen dapat mengurangi keefektifan organisasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tiap organisasi perlu memerhatikan dengan cermat budaya nasional yang berlaku untuk diterapkan dalam praktik manajemen. Dengan demikian, maka organisasi akan selangkah lebih maju dalam mencapai segenap tujuannya.

2.1.3 Budaya India

India merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang memiliki luas wilayah terbesar di Asia Selatan. 2 hal yang paling ikonik dari India tentunya adalah industri film (Bollywood) dan mahakarya arsitektural yang menjadi bagian dari keajaiban dunia, Taj Mahal. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, India juga merupakan sebuah negara dengan “great diversity”. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, India terdiri dari 28 negara bagian dan 7 teritori (Zimmermann, 2015). Selain itu juga merupakan rumah bagi beragam etnis, suku, kasta, dan agama (Cheema, 2011). Keragaman tersebut menimbulkan berbagai fenomena unik, salah satunya adalah ketiadaan bahasa resmi. Tidak semua masyarakat India berbicara dalam bahasa Hindi. Zimmermann menyebutkan bahwa beberapa India merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang memiliki luas wilayah terbesar di Asia Selatan. 2 hal yang paling ikonik dari India tentunya adalah industri film (Bollywood) dan mahakarya arsitektural yang menjadi bagian dari keajaiban dunia, Taj Mahal. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, India juga merupakan sebuah negara dengan “great diversity”. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, India terdiri dari 28 negara bagian dan 7 teritori (Zimmermann, 2015). Selain itu juga merupakan rumah bagi beragam etnis, suku, kasta, dan agama (Cheema, 2011). Keragaman tersebut menimbulkan berbagai fenomena unik, salah satunya adalah ketiadaan bahasa resmi. Tidak semua masyarakat India berbicara dalam bahasa Hindi. Zimmermann menyebutkan bahwa beberapa

bahwa budaya India saat ini merupakan hasil dari evolusi atas kelangsungan hidup dan perubahan budaya.

Sejarah mencatat bahwa India pernah mengalami masa kolonialisasi atau penjajahan oleh Inggris. Pada masa itu, bangsa India dianggap lebih rendah dari bangsa kulit putih Eropa. Kolonial Inggris membatasi segala pergerakan dalam setiap bidang seperti perekonomian, pendidikan, politik, hukum, dan lain sebagainya. Kemerdekaan yang diraih oleh India dipelopori dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi. Adapun cara yang dilakukan oleh Gandhi terbilang cukup unik. Gandhi tidak menyukai pertumpahan darah antar sesama manusia, sehingga dalam memerjuangkan kemerdekaan tidak melalui peperangan yang menjemukan. Perjuangan yang dilakukan adalah aktivitas yang lebih membangun, yakni dengan mencukupi kebutuhan primer secara mandiri seperti pakaian dan garam. Saat itu pihak Inggris tidak mengizinkan masyarakat India untuk memproduksi garam sendiri, namun diharuskan untuk membeli dengan harga yang tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk pakaian. Gandhi kemudian memopulerkan aktivitas memintal benang menjadi kain dengan alat pemintal tradisional sederhana, yang disebut dengan gerakan Khadi. Gerakan Khadi inilah yang kemudian menjadi simbol

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, budaya India saat ini merupakan sebuah hasil atas evolusi. Evolusi yang dimaksud tersebut adalah hasil perjalanan panjang dari masa kerajaan, kolonialisasi Inggris, masuknya Islam, hingga Westernisasi dan kedatangan imigran. Tiap fase yang dihadapi tersebut membawa karakteristiknya masing-masing dan membentuk bangsa India di masa kini. Berikut ini adalah penggambaran mengenai budaya India yang terangkum dalam Culture of India (n.d) dan Indian Culture (n.d), yang terdiri dari:

a. Humanity – bangsa India adalah bangsa yang humanis dan tenang, tidak mengenal kekerasan dalam prinsip dan ideologi yang dianut

b. Tolerance – gerakan satyagraha atau ahimsa yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi mengajarkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan dapat diraih tanpa harus menumpahkan darah antar sesama manusia

c. Unity – India merupakan sebuah kombinasi dari nilai-nilai tradisi lama dan prinsip-prinsip modern, yang memuaskan ketiga generasi yang ada saat ini

d. Secularism – kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi dan tidak ada batasan yang diterapkan bagi kepercayaan tertentu

e. Closely knit of social system – sistem sosial yang berlaku di masyarakat didasari oleh kerja sama dan persaudaraan Adapun Singh (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai inti budaya India terdiri dari: e. Closely knit of social system – sistem sosial yang berlaku di masyarakat didasari oleh kerja sama dan persaudaraan Adapun Singh (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai inti budaya India terdiri dari:

b. Siklus Waktu Dalam budaya India, waktu diyakini sebagai sebuah siklus yang selalu berjalan, bukan sebagai sejarah. Dengan pandangan yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha, manusia yang sudah meninggal akan terlahir kembali atau mengalami reinkarnasi, sebagai bentuk siklus waktu. Di samping itu juga terdapat kepercayaan bahwa posisi seorang manusia dalam masyarakat ditentukan oleh performa di kehidupan yang sebelumnya. Kepercayaan mengenai siklus waktu tersebut akhirnya menghasilkan masyarakat India dengan orientasi waktu jangka panjang.

c. Moralitas Dalam budaya India, Dharma merupakan panutan utama yang mengarahkan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang. Prinsip Dharma menitikberatkan pada berbagi limpahan rezeki serta peduli terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Dharma tidak c. Moralitas Dalam budaya India, Dharma merupakan panutan utama yang mengarahkan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang. Prinsip Dharma menitikberatkan pada berbagi limpahan rezeki serta peduli terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Dharma tidak

d. Moderasi Masyarakat India ditandai dengan adanya moderasi yang melekat

dalam kehidupan sehari hari. Sehingga sudah lumrah jika orang tua mengingatkan anaknya mengenai berbagai hal. Secara psikologis, bangsa India merupakan kombinasi antara kolektivisme dan individualisme. Adapun individualisme tersebut dapat berperan selama tidak melanggar norma-norma yang berlaku.

e. Kekerabatan Keluarga merupakan sebuah organisasi fundamental yang membentuk karakteristik individual. Di India, hierarki kekeluargaannya adalah masculine atau lebih didominasi oleh kaum pria. Adapun dalam tipikal keluarga India, wanita berperan sebagai pemegang status marginal dan pria sebagai pembuat keputusan mayoritas. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa nilai budaya

India tidak jauh berbeda dengan bangsa Asia pada umumnya. Tradisi warisan leluhur tetap dipelihara, dilestarikan, dan diselaraskan dengan kehidupan modern. Keragaman budaya yang ada tidak dianggap sebagai batasan atau penghalang, namun justru menjadi kunci bagi semangat kebersamaan yang berdiam dalam sanubari bangsa India.

2.1.4 Ekspatriasi

2.1.4.1 Pengertian dan Jenis Ekspatriat

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi global, sudah tidak asing lagi bagi seorang individu untuk menetap di suatu negara tertentu dalam rangka penugasan internasional (Shelton, 2006). Pernyataan tersebut merupakan penjelasan dari fenomena ekspatriasi atau expatriation yang lahir berkat globalisasi. Individu yang terlibat dalam proses ekspatriasi disebut dengan ekspatriat atau expatriate.

Umumnya ekspatriat dilandasi oleh faktor penugasan dan rekrutmen dari instansi atau perusahaan yang terkait. Ada pula yang mulanya hanya sekedar berwisata, namun kemudian menetap dan membangun usaha mandiri. Tidak sedikit pula yang akhirnya menjadi ekspatriat karena faktor keluarga, yakni meniti karier di luar negara asal karena mengikuti pasangan. Adapun dalam Reiche dan Harzing (2009), dari 3 kebijakan penggunaan staf internasional dalam perusahaan multinasional, 2 di antaranya dapat dikategorikan sebagai tipe ekspatriat berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan, yakni:

a. Parent Country National (PCN) – kebangsaan karyawan sama dengan perusahaan induk yang memberi penugasan (contoh: orang Jerman yang bekerja di Volkswagen cabang Tiongkok)

b. Third Country National (TCN) – kebangsaan karyawan berbeda dari perusahaan induk dan juga anak cabang b. Third Country National (TCN) – kebangsaan karyawan berbeda dari perusahaan induk dan juga anak cabang

Kemudian menurut Caligiuri dan Colakoglu (2007), terdapat 4 tipe ekspatriat berdasarkan penugasan, yakni:

a. Technical Assignments – ekspatriat yang melaksanakan tugas- tugas yang bersifat teknis. Contohnya yakni teknisi mesin,

praktisi IT (information technology), dan lain sebagainya.

b. Functional Assignments – ekspatriat yang menempati suatu posisi tertentu dalam perusahaan atau organisasi dan bertugas

untuk menjalankan fungsi-fungsi yang terkait. Contohnya adalah ekspatriat yang menempati posisi sebagai middle level manager, seperti manajer pemasaran, manajer keuangan, dan lain sebagainya.

c. Developmental Assignments – ekspatriat yang menempati suatu posisi tertentu dalam perusahaan atau organisasi untuk menjalankan berbagai tugas atau fungsi. Contohnya adalah ekspatriat yang menempati posisi sebagai middle level manager dan junior level manager.

d. Strategic Assignments – ekspatriat yang menempati posisi senior atau kritis, yang perannya sangat dibutuhkan oleh perusahaan atau organisasi. Contohnya adalah ekspatriat yang menempati posisi sebagai country manager.

2.1.4.2 Persiapan dan Pelatihan bagi Ekspatriat

Sebelum menjalankan penugasan internasional, seorang ekspatriat harus mempersiapkan berbagai hal terlebih dahulu. Rahim (dalam Briscoe et al., 2009) merinci hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang ekspatriat dalam persiapan dan pelatihan sebelum penugasan internasional. Persiapan dan pelatihan tersebut terdiri dari:

a. Menciptakan dan Menjaga Hubungan  Internal (perusahaan)  Eksternal (komunitas atau lingkungan sosial)  Keluarga  Pemerintah di negara tempat bertugas  Pemerintah di negara asal  Kepala Cabang

b. Objektif Persiapan  Memeriksa kembali syarat dan ketentuan yang berlaku

dalam penugasan  Meningkatkan kesadaran budaya  Meningkatkan pengetahuan mengenai negara tempat

bertugas  Menanamkan pengetahuan kerja dalam bahasa asing

 Meningkatkan keahlian manajemen konflik  Meminimalisasi permasalahan yang mungkin timbul akibat

repatriasi repatriasi

instruksi bahasa, cross-cultural T-group)  Simulasi perilaku  Studi kasus

 Pelatihan pasca kedatangan (orientasi budaya dan pelatihan, pemecahan masalah intra kelompok, penugasan tutor dan mentor lokal atau local buddy)

 Pelatihan dan orientasi mengenai repatriasi

d. Hasil Pelatihan  Pengetahuan mengenai faktor budaya, politik, ekonomi,

legal, dan sosial dari negara tempat bertugas  Kesadaran akan kebutuhan dan ekspektasi dari berbagai pihak yang berbeda yang tertarik dalam operasi

internasional  Kesadaran akan permasalahan mengenai hubungan

keluarga di negara tempat bertugas

Adapun Landis dan Brislin (dalam Black & Mendenhall, 2007), membuat metode pelatihan lintas budaya bagi ekspatriat, yang terdiri dari:

a. Information or Fact-Oriented Training – ekspatriat disajikan berbagai fakta mengenai negara tujuan melalui pengajar, video, dan membaca materi a. Information or Fact-Oriented Training – ekspatriat disajikan berbagai fakta mengenai negara tujuan melalui pengajar, video, dan membaca materi

c. Cultural Awareness Training – mempelajari nilai, sikap, dan perilaku yang umum di negara tujuan, sehingga ekspatriat dapat memahami lebih baik mengenai bagaimana budaya berpengaruh terhadap perilakunya

d. Cognitive-Behavior Modification – membantu ekspatriat dalam menghubungkan apa yang ditentukan mengenai

“reward and punishment” dalam subkulturnya, kemudian menguji reward and punishment tersebut dalam budaya lokal

di negara tujuan

e. Experimental Learning – memperkenalkan kehidupan alami dalam kebudayaan yang berbeda, yakni dengan cara

mengikutsertakan ekspatriat dalam kunjungan-kunjungan, permainan peran yang kompleks, dan simulasi budaya

f. Interaction Training – ekspatriat berinteraksi dengan native atau returnee agar merasa lebih nyaman dengan negara tujuan dan untuk belajar secara langsung dari pengalaman returnee

Penjelasan di atas merupakan contoh dari berbagai metode dan bentuk pelatihan yang terdapat dalam berbagai literatur. Adapun persiapan dan pelatihan tersebut penting untuk dilakukan oleh seorang ekspatriat demi mencegah timbulnya konflik akibat perbedaan budaya. Jika pun terjadi Penjelasan di atas merupakan contoh dari berbagai metode dan bentuk pelatihan yang terdapat dalam berbagai literatur. Adapun persiapan dan pelatihan tersebut penting untuk dilakukan oleh seorang ekspatriat demi mencegah timbulnya konflik akibat perbedaan budaya. Jika pun terjadi

2.1.4.3 Karakteristik Individual

Rangkaian persiapan dan pelatihan yang telah diuraikan di atas tentunya juga bertujuan untuk mencapai efektivitas kerja bagi ekspatriat, sebagaimana target yang ditentukan oleh perusahaan atau organisasi. Di samping persiapan dan pelatihan, karakteristik individual yang terdapat dalam diri ekspatriat juga turut berperan serta. Shelton (2006) menyebutkan bahwa terdapat 3 kecenderungan yang memengaruhi keunggulan seorang ekspatriat, yaitu:

a. Openness – merupakan suatu kemampuan untuk mau menerima informasi yang baru. Dalam konteks lintas budaya, karakteristik ini membuat seorang individu menerima dan menginterpretasi situasi tertentu tanpa menetapkan bias budaya terlebih dahulu. Individu menjadi awas terhadap

“filter” yang berlaku saat bekerja di lingkungan yang berbeda.

b. Positivity – merupakan sinonim dari optimisme. Seorang individu yang berpikir positif atau bersikap optimis memandang hal-hal negatif sebagai sesuatu yang sifatnya temporer yang disebabkan oleh faktor eksternal, dan akan bisa diselesaikan dengan perjuangan yang gigih.

c. Personality Strength – merupakan sinonim dari ketabahan dan ketekunan, yakni kemampuan untuk bangkit kembali dari

Shelton kemudian juga menambahkan karakteristik independen yang diasosiasikan dengan keunggulan interkultural, yang terdiri dari:

a. Voluntariness of The Experience / Motivation – ekspatriat yang memiliki motivasi kuat cenderung lebih menikmati

penugasan internasionalnya, karena tidak merasa terpaksa atau berat hati. Kenyamanan dalam melaksanakan tugas inilah yang kemudian dapat berujung pada performa atau kinerja yang baik.

b. Willingness to Change – ekspatriat harus memiliki kemauan untuk berubah. Perubahan yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemauan untuk keluar dari zona nyaman, karena perbedaan budaya yang ada tentu tidak bisa memberikan kenyamanan yang sama seperti di negara asal.

Berbeda dengan persiapan dan pelatihan, tidak ada metode yang pasti dalam pembentukan karakteristik individual. Ekspatriat harus mampu mengolah karakteristiknya secara mandiri untuk menunjang performa selama proses ekspatriasi.

2.1.4.4 Cross-Cultural Adjustment

Setelah tiba di negara tujuan, maka proses selanjutnya yang dihadapi oleh seorang ekspatriat adalah adjustment atau penyesuaian. Fase awal menjalani kehidupan di negara tujuan tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis seorang ekspatriat, yang berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan yang mungkin diperoleh Setelah tiba di negara tujuan, maka proses selanjutnya yang dihadapi oleh seorang ekspatriat adalah adjustment atau penyesuaian. Fase awal menjalani kehidupan di negara tujuan tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis seorang ekspatriat, yang berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan yang mungkin diperoleh

a. Initial Euphoria – ekspatriat masih bersikap selayaknya turis dan masih berpikiran positif. Semua yang dihadapi dipandang sebagai hal-hal baru dan menarik.

b. Irritability and Hostility – ekspatriat berpotensi mengalami stres atau frustrasi akibat perbedaan budaya yang dihadapi.

Ekspatriat merasa tidak nyaman dengan segala sesuatu dan hal-hal kecil dapat dianggap sebagai bencana besar.

c. Gradual Adjustment – ekspatriat sudah mampu menginterpretasi dan familiar dengan beberapa nilai budaya lokal yang berlaku, serta mulai merasa nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.

d. Adaptation or Biculturalism – ekspatriat telah berhasil mengatasi stres yang timbul akibat perbedaan budaya.

Ekspatriat akan merasakan kenyamanan dan mulai menghilangkan pikiran untuk lekas kembali ke negara asal.

Adapun model yang dikemukakan oleh Adler (dalam Cassiday, 2002) tidak jauh berbeda dengan 4 tahap di atas, hanya saja terdapat sebuah Adapun model yang dikemukakan oleh Adler (dalam Cassiday, 2002) tidak jauh berbeda dengan 4 tahap di atas, hanya saja terdapat sebuah

Di samping penjelasan di atas, Black (dalam Bhatti, Battour, & Ismail, 2013) membagi proses penyesuaian atau adaptasi menjadi 3 kategori, yakni work adjustment, general adjustment, dan interaction adjustment. Work adjustment mengacu pada kenyamanan seorang ekspatriat dengan pekerjaannya. General adjustment mengacu pada faktor-faktor kenyamanan nonkerja seperti bahasa, makanan, tempat tinggal, hingga hiburan. Dan interaction adjustment mengacu pada kenyamanan dalam interaksi sosial, baik di dalam maupun di luar pekerjaan.

2.1.4.5 Hubungan dengan Karyawan Lokal

Hubungan dengan karyawan lokal juga berperan serta bagi kesuksesan seorang ekspatriat. Toh dan DeNisi (2007) menyebutkan beragam peran karyawan lokal yang terdiri dari:

a. Informational Support – segala informasi yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dan organisasi yang baru, serta lingkungan budaya yang lebih besar akan sangat membantu seorang ekspatriat dalam mempelajari apa yang diharapkan, bagaimana menginterpretasi beragam aktivitas yang dihadapi dalam keseharian, dan perilaku apa yang tepat bagi tiap situasi

b. Cooperation – kooperasi yang baik dengan karyawan lokal perlu dijaga dengan baik karena jika tidak, akan menunjukkan b. Cooperation – kooperasi yang baik dengan karyawan lokal perlu dijaga dengan baik karena jika tidak, akan menunjukkan

c. Emotional Support – pertemanan yang baik dengan karyawan lokal dapat menyediakan “asuransi emosional” atau pertolongan yang dibutuhkan saat ekspatriat mengalami stres

Di samping penjelasan di atas, Toh dan DeNisi menambahkan bahwa organisasi (baik induk maupun cabang) dapat berperan serta dalam meningkatkan hubungan antara ekspatriat dan karyawan lokal, yakni dengan cara sebagai berikut:

a. At the Headquarters of the Organization  Change Existing Compensation Policies – kompensasi

yang diberikan pada ekspatriat menjadi lebih sejajar dengan karyawan lokal

 Select More Carefully – memastikan bahwa ekspatriat yang dipekerjakan benar-benar memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang sesuai dengan kompensasi yang diterima

 Use Transparent Pay and Promotion Policies – membangun kebijakan kompensasi yang adil dan jelas yang melibatkan semua pihak  Use Transparent Pay and Promotion Policies – membangun kebijakan kompensasi yang adil dan jelas yang melibatkan semua pihak

mengidentifikasi alternatif individu dari host country sebagai perbandingan atas manajer ekspatriat

 Breed Organizational Identification – membangun identitas organisasional tunggal, sehingga rasa persatuan

antara tenaga asing dan lokal dapat terbina dengan baik  Prepare Local Staff – karyawan lokal juga harus mendapat pelatihan yang baik dalam menghadapi ekspatriat,

sebagaimana ekspatriat yang dilatih sedemikian rupa untuk menghadapi karyawan lokal

 Use and Reward Local Mentors – mengidentifikasi kegiatan mentoring ekspatriat sebagai bagian dari tugas

karyawan lokal dan adanya penghargaan akan lebih meningkatkan kemungkinan terjadinya kegiatan tersebut

2.1.4.6 Perubahan Fundamental

Uraian di atas memang mendukung dalam menciptakan kesuksesan seorang ekspatriat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kendala dan konflik yang timbul akibat perbedaan budaya kerap dialami oleh seorang ekspatriat. Seiring berjalannya waktu, seorang ekspatriat akan mengalami perubahan fundamental, yakni; (1) world-view semakin meluas; (2) mengadopsi paradigma kognitif berganda; (3) meningkatkan kemampuan untuk melihat pola sosial, Uraian di atas memang mendukung dalam menciptakan kesuksesan seorang ekspatriat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kendala dan konflik yang timbul akibat perbedaan budaya kerap dialami oleh seorang ekspatriat. Seiring berjalannya waktu, seorang ekspatriat akan mengalami perubahan fundamental, yakni; (1) world-view semakin meluas; (2) mengadopsi paradigma kognitif berganda; (3) meningkatkan kemampuan untuk melihat pola sosial,

Tabel 2.2

Dynamics of the Expatriate Transformation Process

“Letting Go”

“Taking On”

Internalized perceptions of the Cultural certainty

other culture

Unquestioned acceptance of basic Internalized values of the other life and work assumptions

culture

Personal frames of reference New, broader cognitive schema Unexamined life

Constructed life Accustomed role or status

Role assigned by culture/job Accustomed habits and activities Substituting functional equivalents Habitual known routines

Addiction to novelty and learning Sumber : “The Elusive, yet Critical Challenge of Developing Global

Leaders”, European Management Journal, 2006, hal. 425

2.1.5 Cultural Intelligence (CQ)

2.1.5.1 Pengertian

Inteligensi manusia merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan terdiri dari berbagai lapisan. Hughes, Ginnett, & Curphy (2009) mendefinisikan inteligensi sebagai keefektifan seorang individu secara menyeluruh dalam segala aktivitas yang diarahkan oleh pikiran. Inteligensi inilah yang kemudian menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan kasta tertinggi dalam peradaban dunia.

Kajian mengenai inteligensi manusia telah hadir semenjak puluhan tahun yang lalu oleh beberapa praktisi, yang menjelaskan beragam inteligensi manusia beserta peranan atau fungsinya. Beberapa di antaranya dan sudah dikenal luas adalah social intelligence oleh Thorndike dan Stein, emotional intelligence oleh Mayer dan Slovein, dan practical intelligence oleh Sternberg et al. (dalam Ang & Van Dyne, 2008). Namun seiring dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi yang semakin kuat, maka hadir suatu kajian mengenai inteligensi manusia yang fokus pada kemampuan untuk bekerja dalam kondisi kebudayaan yang berbeda, yakni cultural intelligence (CQ).

Cultural intelligence (CQ) adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam suatu kondisi dengan kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Dyne, 2008). Adapun Earley dan Mosakowski (2004) menyebutkan bahwa CQ adalah kemampuan alami dalam diri individu untuk menginterpretasikan perilaku-perilaku yang asing atau berbeda, dengan cara yang akan dipahami oleh orang-orang di negara yang bersangkutan. Dunia bisnis yang semakin berkembang dalam era globalisasi di masa kini mengharuskan tiap individu memiliki CQ yang baik. Dengan CQ yang baik, maka beragam konflik atau permasalahan yang berpotensi timbul akibat perbedaan budaya dapat dihindari. Seperti yang dijelaskan oleh Levey-Leboyer, perbedaan budaya dapat memicu kesalahpahaman yang berujung pada konflik, degradasi moral, dan produktivitas kerja yang rendah (dalam Deng & Gibson, 2008).

baru dan berbeda, sehingga mampu bekerja atau berfungsi secara optimal. Baik dalam hubungan dengan segenap rekan kerja, mitra dari perusahaan atau organisasi lain, serta masyarakat dan pemerintah setempat. Dan tujuan yang paling utama tentunya adalah mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang tepat serta sesuai dengan situasi dan kondisi.

Earley dan Mosakowski (2004) secara gamblang menjelaskan bahwa CQ merupakan kombinasi antara head (kepala), body (tubuh), dan heart (hati). Kepala bertindak sebagai starting point, tubuh sebagai realisasi dari apa yang dipikirkan atau dibentuk oleh kepala, dan hati sebagai penyelaras antara tubuh dan kepala. Dalam artian apa yang sudah diperbuat oleh kepala dan tubuh akan menjadi kesia-siaan belaka jika individu tidak memiliki hati yang kuat untuk menghadapi atau menanggulangi rintangan yang menghadang. Adapun filosofi mengenai kepala, tubuh, dan hati tersebut merupakan penggambaran sederhana dari 4 dimensi dalam CQ, yakni metacognitive (kesadaran), cognitive (pengetahuan), motivational (motivasi), dan behavioral (perilaku).

2.1.5.2 Metacognitive CQ

Pengertian metacognitive CQ mengacu pada tingkat kesadaran budaya tiap individu pada saat melakukan interaksi lintas budaya (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Individu dengan tingkat metacognitive CQ yang kuat secara sadar akan mencerna, menyesuaikan, serta mengaplikasikan asumsi budayanya ketika Pengertian metacognitive CQ mengacu pada tingkat kesadaran budaya tiap individu pada saat melakukan interaksi lintas budaya (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Individu dengan tingkat metacognitive CQ yang kuat secara sadar akan mencerna, menyesuaikan, serta mengaplikasikan asumsi budayanya ketika

Metacognitive CQ merupakan suatu komponen penting dalam CQ. Menurut Ang dan Van Dyne (2008), hal tersebut didasari oleh beberapa alasan, yakni:

a. Metacognitive CQ merepresentasikan kemampuan berpikir secara aktif mengenai orang dan situasi dalam kondisi kebudayaan yang berbeda

b. Metacognitive CQ memicu individu untuk menguatkan keyakinan pada asumsi yang telah dibuat dan pemikiran yang terikat secara kebudayaan

c. Metacognitive CQ mengarahkan tiap individu untuk beradaptasi dan meninjau kembali strateginya, sehingga akan lebih mampu menempatkan diri secara tepat sesuai dengan kebudayaan yang berlaku dan lebih mendekatkan diri pada tujuan atau hasil yang diharapkan dalam pendekatan lintas budaya

Alasan-alasan tersebut secara jelas menasbihkan metacognitive sebagai kunci atau pemegang peranan utama dalam CQ, sekaligus sebagai langkah awal dalam adaptasi budaya. Pada tahap inilah individu membentuk strategi untuk berinteraksi dengan kebudayaan yang berbeda. Strategi yang dibentuk tentunya bertujuan agar individu bisa diterima dan bersosialisasi secara lancar dengan masyarakat di negara

Jika metacognitive fokus pada proses kognitif di tingkat yang lebih tinggi, maka cognitive CQ merepresentasikan pengetahuan mengenai norma, praktik, dan konvensi dalam kebudayaan yang berbeda yang telah diperoleh melalui berbagai sumber, baik pendidikan maupun pengalaman pribadi (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Dengan demikian, maka cognitive CQ mengacu pada tingkat pengetahuan budaya atau pengetahuan atas lingkungan budaya yang dimiliki oleh individu. Ang dan Van Dyne (2008) menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai budaya meliputi pengetahuan atas individu yang ditempatkan pada konteks budaya dalam lingkungan. Adapun menurut Triandis, pengetahuan budaya meliputi pengetahuan mengenai ekonomi, sistem legal, dan sosial dalam kebudayaan beserta subkulturnya (dalam Ang et al., 2007). Dengan demikian, ragam mengenai paham budaya yang luas membuat cognitive CQ mengindikasikan pengetahuan akan budaya universal sama baiknya seperti pengetahuan akan perbedaan budaya.

Cognitive CQ menjadi komponen penting dalam CQ karena pengetahuan budaya memengaruhi pemikiran dan perilaku pada individu. Memahami kebudayaan sosial dan komponennya membuat individu menjadi lebih baik saat mengapresiasi sistem yang membentuk dan menyebabkan pola-pola tertentu dalam interaksi sosial pada sebuah kebudayaan. Sehingga pada akhirnya individu dengan cognitive CQ Cognitive CQ menjadi komponen penting dalam CQ karena pengetahuan budaya memengaruhi pemikiran dan perilaku pada individu. Memahami kebudayaan sosial dan komponennya membuat individu menjadi lebih baik saat mengapresiasi sistem yang membentuk dan menyebabkan pola-pola tertentu dalam interaksi sosial pada sebuah kebudayaan. Sehingga pada akhirnya individu dengan cognitive CQ

2.1.5.4 Motivational CQ

Motivational CQ merepresentasikan kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan energi menuju pembelajaran dan berfungsi pada situasi yang dibentuk oleh perbedaan budaya (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Earley, Ang, & Tan menjelaskan bahwa fase ini meliputi 3 poin utama, yang terdiri dari; (1) enhancement, yakni keinginan untuk berprasangka baik mengenai diri sendiri; (2) growth, yakni keinginan untuk menantang dan memperbaiki diri sendiri; (3) continuality, yakni hasrat untuk melancarkan dan meramalkan kehidupan diri sendiri (dalam Rose et al., 2010).

Adapun menurut Dyne et al., motivational CQ ditandai dengan adanya intrinsic interest, extrinsic interest, dan self-efficacy to adjust (dalam Widyarini, 2004). Intrinsic interest adalah ketertarikan atau dorongan yang muncul dari dalam diri sendiri. Yakni dorongan yang dapat muncul ketika individu merasa senang atau menikmati setiap proses interaksi lintas budaya yang dilakukan. Extrinsic interest adalah ketertarikan atau dorongan yang muncul dari luar diri individu. Dorongan tersebut dapat muncul saat individu merasa akan memperoleh keuntungan dari interaksi lintas budaya yang dilakukan. Keuntungan tersebutlah yang kemudian memacu individu untuk belajar dan mempraktikkan perilaku yang efektif dan sesuai dengan kebudayaan yang berlaku. Self –efficacy to adjust adalah keyakinan akan Adapun menurut Dyne et al., motivational CQ ditandai dengan adanya intrinsic interest, extrinsic interest, dan self-efficacy to adjust (dalam Widyarini, 2004). Intrinsic interest adalah ketertarikan atau dorongan yang muncul dari dalam diri sendiri. Yakni dorongan yang dapat muncul ketika individu merasa senang atau menikmati setiap proses interaksi lintas budaya yang dilakukan. Extrinsic interest adalah ketertarikan atau dorongan yang muncul dari luar diri individu. Dorongan tersebut dapat muncul saat individu merasa akan memperoleh keuntungan dari interaksi lintas budaya yang dilakukan. Keuntungan tersebutlah yang kemudian memacu individu untuk belajar dan mempraktikkan perilaku yang efektif dan sesuai dengan kebudayaan yang berlaku. Self –efficacy to adjust adalah keyakinan akan

Sederet faktor dan tanda-tanda tersebut menasbihkan motivational CQ sebagai komponen penting dalam CQ, yang merupakan sumber dari pergerakan individu. Strategi yang telah dibentuk serta pengetahuan yang sudah dimiliki akan menjadi tidak berguna jika tidak dilandasi oleh motivasi yang kuat. Motivational CQ memacu usaha dan energi yang diarahkan untuk berfungsi secara optimal dalam konteks lintas budaya. Sehingga antara motivasi, strategi, dan pengetahuan dapat berjalan selaras dalam proses interaksi dengan kebudayaan yang berbeda.

2.1.5.5 Behavioral CQ

Behavioral CQ merepresentasikan kemampuan individu untuk menampilkan perilaku verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Behavioral CQ menjadi komponen penting karena perilaku verbal dan nonverbal adalah bagian yang paling menonjol dalam interaksi sosial. Seperti yang telah dijelaskan oleh Hall, kemampuan mental akan pemahaman budaya harus disertai atau dilengkapi oleh kemampuan untuk menampilkan perilaku verbal dan nonverbal yang tepat, yang berdasarkan nilai-nilai budaya pada konteks tertentu (dalam Ang et al., Behavioral CQ merepresentasikan kemampuan individu untuk menampilkan perilaku verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Behavioral CQ menjadi komponen penting karena perilaku verbal dan nonverbal adalah bagian yang paling menonjol dalam interaksi sosial. Seperti yang telah dijelaskan oleh Hall, kemampuan mental akan pemahaman budaya harus disertai atau dilengkapi oleh kemampuan untuk menampilkan perilaku verbal dan nonverbal yang tepat, yang berdasarkan nilai-nilai budaya pada konteks tertentu (dalam Ang et al.,

Lustig dan Koestler menjelaskan bahwa terdapat 3 macam perilaku dalam kebudayaan, yakni; (1) pada jangkauan perilaku tertentu yang telah ditetapkan; (2) pada aturan-aturan yang berlaku ketika dan di bawah keadaan ekspresi nonverbal spesifik seperti apa yang dibutuhkan, disukai, diizinkan, atau dicegah; (3) pada interpretasi atau pengertian yang ditujukan untuk perilaku-perilaku nonverbal yang istimewa (dalam Ang & Van Dyne, 2008). Individu dengan behavioral CQ yang tinggi akan mampu bertindak lebih fleksibel dan menyesuaikan perilakunya dengan spesifikasi tertentu pada setiap interaksi lintas budaya. Dalam berperilaku, individu harus cermat agar terhindar dari kesalahpahaman ketika berkomunikasi atau berinteraksi dalam konteks lintas budaya. Hal-hal sederhana seperti salam, sapaan, tata cara bertamu, bahkan hingga cara untuk menolak, semua tidak bisa asal dilakukan begitu saja. Dengan demikian, behavioral CQ menjadi penutup dari dimensi-dimensi sebelumnya dalam CQ. Yakni sebagai muara atas kesadaran, pengetahuan, dan motivasi dalam diri individu, yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah bentuk perilaku (verbal dan nonverbal) dalam interaksi lintas budaya.

2.1.6 Kepemimpinan

2.1.6.1 Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan

Pemimpin merupakan seorang tokoh sentral dalam organisasi. Organisasi tidak akan dapat berjalan tanpa adanya arahan dari seorang pemimpin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Drake (2002), bahwa tidak ada faktor tunggal lain yang begitu bermanfaat bagi organisasi selain kepemimpinan yang efektif. Perlu dipahami dengan jelas bahwa pemimpin berbeda dengan kepemimpinan. Pemimpin adalah subjeknya, sedangkan kepemimpinan adalah aktivitasnya. Atau seperti yang dijelaskan oleh Hughes et al., (2009) bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan sebuah posisi. Dalam Hasibuan (2004) terangkum pengertian mengenai pemimpin dari berbagai ahli, beberapa di antaranya adalah:

dengan wewenang kepemimpinannya yang mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan (Malayu S. P. Hasibuan)

a. Pemimpin

adalah

seseorang

b. Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasi, mengarahkan, dan mengontrol

para bawahan yang bertanggung jawab, agar semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan (Robert Tanenbaum) para bawahan yang bertanggung jawab, agar semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan (Robert Tanenbaum)

Kemudian dalam Wahjosumidjo (1987), juga terangkum pengertian mengenai kepemimpinan dari para praktisi terdahulu, beberapa di antaranya adalah:

a. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam memengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan giat demi tercapainya tujuan kelompok (George P. Terry)

b. Kepemimpinan adalah suatu aktivitas memengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan (Harold Koontz

dan Cyril O’Donnell)

c. Kepemimpinan adalah suatu proses memengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan

(Ralph M. Stogdill) Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian antara pemimpin dan

kepemimpinan jika digabungkan menjadi, “seseorang yang menduduki posisi puncak dalam suatu organisasi, yang melakukan aktivitas memengaruhi dan mengarahkan segenap anggotanya dalam rangka mencap ai tujuan organisasional”.

2.1.6.2 Pendekatan Kepemimpinan

1. Pendekatan Sifat (Trait Approach) Pendekatan sifat merupakan suatu teori yang mengemukakan

perlu adanya penelitian secara induktif, mengamati para pemimpin yang berhasil dan menyebutkan sifat-sifat (traits) yang dimilikinya (Hasibuan, 2004). Pernyataan tersebut sejalan dengan penjelasan Wahjosumidjo (1987), yakni keberhasilan seorang pemimpin disebabkan oleh adanya kelebihan pada sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri. Dengan demikian, sifat-sifat yang ada pada diri seorang pemimpin menjadi tolak ukur untuk menentukan potensi kepemimpinan. Namun seiring berjalannya waktu, pendekatan ini dianggap kuno karena ketiadaan korelasi yang jelas antara keberhasilan seorang pemimpin dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Seperti yang dijelaskan oleh Hasibuan, bahwa kelemahan dari pendekatan ini adalah begitu banyaknya sifat pemimpin yang harus diperhatikan dan juga masa berlaku dari sifat itu sendiri. Di suatu waktu bisa membawa keberhasilan, namun belum tentu berlaku di waktu yang lain.

2. Pendekatan Perilaku (Behavior Approach) Pendekatan perilaku lahir setelah pendekatan sifat dianggap tidak relevan. Jika pendekatan sifat memberikan suatu dasar untuk memilih orang-orang yang tepat, maka pendekatan perilaku mengandung makna bahwa individu dapat dilatih untuk menjadi pemimpin (Robbins & Judge, 2015). Dari berbagai riset yang dilakukan untuk meneliti pengaruh antara perilaku 2. Pendekatan Perilaku (Behavior Approach) Pendekatan perilaku lahir setelah pendekatan sifat dianggap tidak relevan. Jika pendekatan sifat memberikan suatu dasar untuk memilih orang-orang yang tepat, maka pendekatan perilaku mengandung makna bahwa individu dapat dilatih untuk menjadi pemimpin (Robbins & Judge, 2015). Dari berbagai riset yang dilakukan untuk meneliti pengaruh antara perilaku

Hasil riset Ohio State University menyebutkan bahwa terdapat 2 dimensi dalam pendekatan perilaku (dalam Wahjosumidjo, 1987; Robbins & Judge, 2015), yaitu:

a. Consideration atau keramahan, yakni sampai sejauh mana seorang pemimpin akan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan oleh rasa saling percaya, menghormati gagasan dari para bawahannya, dan menghargai perasaan mereka

b. Initiating structure atau memprakarsai struktur, yakni sampai sejauh mana seorang pemimpin akan mendefinisikan serta membuat strukturisasi peranan para karyawannya dalam pencapaian tujuan

Adapun dalam riset Michigan University, hasilnya juga menunjukkan bahwa terdapat 2 dimensi perilaku pemimpin (dalam Robbins & Judge, 2015), yaitu:

a. Employee-oriented leader atau pemimpin yang berorientasi pada pekerja, yakni seorang pemimpin yang menekankan hubungan interpersonal, menempatkan kepentingan pribadinya dalam kebutuhan para karyawan, dan menerima perbedaan individual dari para karyawan a. Employee-oriented leader atau pemimpin yang berorientasi pada pekerja, yakni seorang pemimpin yang menekankan hubungan interpersonal, menempatkan kepentingan pribadinya dalam kebutuhan para karyawan, dan menerima perbedaan individual dari para karyawan

Sama halnya dengan pendekatan sifat, perilaku-perilaku yang telah dijelaskan di atas tidak memberi jaminan penuh akan keberhasilan seorang pemimpin.

3. Pendekatan Situasional (Situational Approach) Pada pendekatan situasional, Hasibuan (2004) menjelaskan bahwa kepemimpinan dipengaruhi oleh berbagai keadaan yakni pemimpin, pengikut, organisasi, dan lingkungan sosial (ekonomi, kebudayaan, agama, moral, dan politik). Adapun dalam pendekatan situasional, terdapat 4 variabel yang terdiri dari:

a. Fiedler Contingency Model (Model Kontingensi Fiedler) Teori yang digagas oleh Fred Fiedler ini menyatakan bahwa kelompok efektif bergantung pada kecocokan yang tepat di antara gaya kepemimpinan dalam berinteraksi dengan para bawahan dan seberapa besar situasi memberikan kendali dan pengaruh kepada pemimpin (dalam Robbins & Judge, 2015). Secara ringkas, pemimpin paling efektif dalam situasi menguntungkan dan tidak menguntungkan, serta paling tidak efektif dalam situasi yang sebagian menguntungkan (Schriesheim, Tolliver, & Behling, 2002). Dalam model a. Fiedler Contingency Model (Model Kontingensi Fiedler) Teori yang digagas oleh Fred Fiedler ini menyatakan bahwa kelompok efektif bergantung pada kecocokan yang tepat di antara gaya kepemimpinan dalam berinteraksi dengan para bawahan dan seberapa besar situasi memberikan kendali dan pengaruh kepada pemimpin (dalam Robbins & Judge, 2015). Secara ringkas, pemimpin paling efektif dalam situasi menguntungkan dan tidak menguntungkan, serta paling tidak efektif dalam situasi yang sebagian menguntungkan (Schriesheim, Tolliver, & Behling, 2002). Dalam model

b. Situasional Leadership Theory (Teori Kepemimpinan Situasional)

Teori kepemimpinan situasional menitikberatkan pada pengikutnya. Yakni kepemimpinan yang berhasil akan bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan kontingensi yang tepat terhadap kesiapan dari para pengikutnya, sampai sejauh mana mereka bersedia dan mampu untuk menjalankan suatu tugas tertentu (Robbins & Judge, 2015). Atau secara singkat, tingkah laku seorang pemimpin harus selalu disesuaikan dengan kedewasaan anggotanya (Wahjosumidjo, 1987).

c. Path-Goal Theory (Teori Jalur-Tujuan) Teori yang dikembangkan oleh Robert House ini menyatakan bahwa sudah merupakan tugas bagi seorang pemimpin untuk menyediakan informasi, dukungan, atau sumber daya lainnya bagi para pengikutnya untuk mencapai tujuan-tujuan (dalam Robbins & Judge, 2015). Dalam teori ini, terdapat 3 prediksi mengenai perilaku kepemimpinan, yaitu:

 Kepemimpinan yang mengarahkan atau directive leadership akan menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi pada tugas yang bersifat ambigu atau penuh

tekanan dibandingkan pada tugas-tugas yang terstruktur dan ditata dengan baik

 Kepemimpinan yang mendukung atau supportive leadership akan menghasilkan kinerja dan kepuasan yang tinggi ketika para pekerja mengerjakan tugas yang terstruktur

 Kepemimpinan yang mengarahkan atau directive leadership lebih cenderung dipandang sebagai faktor

yang mubazir jika berada di antara para pekerja yang memiliki kemampuan tinggi atau yang memiliki pengalaman yang luas

d. Leader-Participation

Model

(Model Pemimpin-

Partisipasi) Model pemimpin-partisipasi merupakan sebuah model

yang menyatakan bahwa cara pemimpin dalam mengambil keputusan sama pentingnya dengan apa yang dia putuskan (Robbins & Judge, 2015). Model ini bersifat normatif, yakni memberikan pohon keputusan yang terdiri atas 7 gaya kontingensi dan 5 gaya kepemimpinan untuk menentukan bentuk dan jumlah partisipasi dalam pengambilan keputusan.

2.1.6.3 Fungsi Kepemimpinan

Sebagai pemegang peranan sentral dalam sebuah organisasi, maka seorang pemimpin memiliki beragam fungsi yang harus dijalankan. Seorang pemimpin tidak hanya sekedar memberi arahan pada karyawannya, namun juga mendorong, memotivasi, dan lain sebagainya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi. Hasibuan (2004) menyebutkan berbagai fungsi kepemimpinan dan beberapa di antaranya adalah:

a. Pengambilan keputusan beserta realisasinya

b. Pendelegasian wewenang dan pembagian kerja kepada para karyawan

c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna semua unsur manajemen

d. Memotivasi karyawan agar bekerja dengan lebih efektif dan semangat

e. Mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan loyalitas karyawan

f. Pemrakarsa, penggiatan, dan pengendalian rencana Adapun Rivai dan Mulyadi (2009) merumuskan 5 fungsi pokok

kepemimpinan secara operasional, yaitu:

a. Fungsi Instruksi Fungsi ini bersifat komunikasi searah. Yakni pemimpin

merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana,

b. Fungsi Konsultasi Fungsi ini bersifat komunikasi 2 arah. Pada tahap pertama

dalam pembuatan keputusan, pemimpin kerap membutuhkan bahan pertimbangan. Adapun bahan tersebut diperoleh dari para anggotanya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam membuat dan menerapkan keputusan. Tahap berikutnya adalah konsultasi dari pemimpin pada anggotanya dapat dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan.

c. Fungsi Partisipasi Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan para anggotanya, baik saat ikut serta dalam mengambil keputusan maupun saat melaksanakannya. Partisipasi yang diberikan bukan berarti bebas untuk berbuat apa saja, namun dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain.

d. Fungsi Delegasi Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat atau menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pemimpin.

Pemimpin harus yakin bahwa individu yang menerima delegasi merupakan pribadi yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi, dan aspirasi.

e. Fungsi Pengendalian Fungsi pengendalian mengandung maksud bahwa pemimpin yang efektif adalah yang mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan organisasional. Fungsi ini dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

2.1.6.4 Gaya Kepemimpinan

1. Continuum Leadership (Gaya Kepemimpinan Kontinum) Gaya kepemimpinan yang dipaparkan oleh Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt ini tergolong klasik (dalam Wahjosumidjo, 1987; Thoha, 2010). Pada dasarnya, gaya kepemimpinan kontinum berlandaskan pada 2 azas, yakni berorientasi kepada pemimpin dan berorientasi kepada bawahan.

2. Managerial Grid (Kerangka Manajemen) Dalam managerial grid, terdapat 5 gaya kepemimpinan yang

dirumuskan oleh Robert Rogers Blake dan Jane Srygley Mouton (dalam Wahjosumidjo, 1987; Thoha, 2010). Blake dan Mouton membuat sebuah grafik yang digunakan untuk menentukan gaya kepemimpinan. Dalam grafik tersebut, terdapat 2 dimensi dirumuskan oleh Robert Rogers Blake dan Jane Srygley Mouton (dalam Wahjosumidjo, 1987; Thoha, 2010). Blake dan Mouton membuat sebuah grafik yang digunakan untuk menentukan gaya kepemimpinan. Dalam grafik tersebut, terdapat 2 dimensi

a. Impoverished Leadership – pemimpin yang menghindari segala bentuk tanggung jawab, sehingga kurang memiliki hubungan yang baik dengan tugas maupun dengan karyawan

b. Middle of the Road – pemimpin cukup memerhatikan hubungan dengan karyawan, sehingga terbina dengan

baik. Namun pemimpin tidak memiliki dasar yang baik untuk berinovasi dan tidak kreatif.

c. Country Club Leadership – pemimpin lebih menekankan pada kepentingan bawahan atau hubungan kerja. Karena lebih fokus dengan hubungan pada karyawan, akibatnya hasil menjadi kurang diperhatikan.

d. Task Leadership – pemimpin sangat mementingkan tugas atau hasil, akibatnya karyawan diangap tidak penting dan berpotensi menyebabkan struktur organisasi yang kerap diganti.

e. Team Leadership – pemimpin menaruh perhatian besar terhadap hasil maupun hubungan kerja. Sehingga baik hubungan dengan karyawan maupun tugas dapat berjalan beriringan dan mendukung performa organisasional.

3. The 3D Theory (Teori 3 Dimensi) William J. Reddin mengembangkan teori mengenai gaya kepemimpinan yang didasarkan pada 3 dimensi (dalam Wahjosumidjo, 1987; Hasibuan, 2004; Thoha, 2010). Ketiga dimensi tersebut adalah orientasi tugas (task oriented), orientasi hubungan (relationship orientation), dan orientasi efektivitas (effectiveness oriented). Adapun gaya kepemimpinan yang dipaparkan dibagi menjadi 2, yakni lebih efektif dan kurang efektif. Gaya kepemimpinan yang lebih efektif terdiri dari:

a. Bureaucrat – pemimpin yang selalu menaati prosedur dan peraturan-peraturan perusahaan

b. Developer – pemimpin yang memiliki orientasi atas efektivitas dan hubungan baik dengan orang lain

c. Benevolent Autocrat – pemimpin yang memiliki orientasi pada tugas dan efektivitas

d. Executive – pemimpin yang memiliki orientasi terhadap tugas, hubungan baik, dan efektivitas Sedangkan gaya kepemimpinan yang kurang efektif terdiri dari:

a. Deserter – pemimpin yang memberi perhatian rendah baik terhadap produksi maupun kesejahteraan karyawan

b. Missionary – pemimpin yang hanya berorientasi pada individu yang melaksanakan tugasnya b. Missionary – pemimpin yang hanya berorientasi pada individu yang melaksanakan tugasnya

d. Compromiser – pemimpin yang perhatiannya terhadap produksi dan karyawan hanya sedang-sedang saja

4. Likert’s Management System Rensis Likert dan Lewin merumuskan gaya kepemimpinan yang merupakan penyempurnaan dari continuum leadership (dalam Wahjosumidjo, 1987; Hasibuan, 2004). Adapun gaya kepemimpinan tersebut terdiri dari:

a. Exploitative Autocracy – pemimpin menjalankan kepemimpinannya dengan berbagai cara yang tidak bersahabat, yakni memberikan perintah, paksaan, ancaman hukuman, dan komando

b. Benevolent Autocracy – pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya berdasarkan pada kebaikan, yakni

memberi pujian, bertindak bijaksana, dan berusaha untuk mendapatkan hasil yang diharapkan

c. Consultative – seorang pemimpin yang mengajak para karyawannya untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sebelum keputusan diambil atau ditetapkan oleh pemimpin

d. Participative Group Leadership – pemimpin yang d. Participative Group Leadership – pemimpin yang

5. Paul Hersey dan Ken Blanchard Paul Hersey dan Ken Blanchard merumuskan 4 gaya

kepemimpinan yang didasarkan pada level kematangan (maturity level) seorang pemimpin (dalam Wahjosumidjo, 1987; Hasibuan, 2004). Kematangan didefinisikan sebagai rangkaian kemampuan dan keinginan (ability and willingness) individu untuk memikul tanggung jawab dalam mengarahkan perilaku mereka sendiri. Adapun keempat gaya kepemimpinan tersebut terdiri dari:

a. Telling – pemimpin berperilaku direktif, yakni membatasi peranan karyawan dan menggunakan komunikasi searah, sehingga mengarahkan karyawan mengenai apa, bagaimana, kapan, dan di mana dalam melakukan berbagai tugas.

b. Selling – pemimpin menggunakan komunikasi 2 arah, masih memberikan arahan yang cukup besar pada karyawan namun juga menunjukkan perilaku suportif seperti mendengarkan keluhan atau perasaan karyawan.

c. Participating – pemimpin berperilaku suportif namun tidak direktif. Keikutsertaan karyawan dalam memecahkan

masalah dan pengambilan keputusan semakin bertambah, masalah dan pengambilan keputusan semakin bertambah,

d. Delegating – pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan karyawan dan selanjutnya

mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya kepada bawahan.

6. Malayu S. P. Hasibuan Hasibuan (2004) merumuskan 3 gaya kepemimpinan yang terdiri dari:

a. Otoriter – pemimpin menganut sistem sentralisasi wewenang. Pemimpin menganggap bahwa dirinyalah yang

memiliki kehebatan melebihi semua karyawannya. Orientasi kepemimpinannya fokus pada peningkatan produktivitas karyawan.

b. Partisipatif – pemimpin menjalankan perannya dengan cara persuasif. Pemimpin memotivasi para karyawan agar

memiliki keterikatan yang tinggi dengan perusahaan dan berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan.

c. Delegatif – pemimpin mendelegasikan wewenang kepada karyawannya dengan agak lengkap, sehingga karyawan dapat mengambil keputusan dengan agak bebas atau leluasa dalam melaksanakan tugasnya.

Di samping beragam gaya kepemimpinan di atas, masih terdapat Di samping beragam gaya kepemimpinan di atas, masih terdapat

a. Transformasional – pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk melampaui kepentingan diri mereka

sendiri dan yang berkemampuan untuk memiliki pengaruh secara mendalam dan luar biasa terhadap para pengikutnya

b. Transaksional – pemimpin yang membimbing atau memotivasi para pengikutnya, yang diarahkan menuju tujuan yang ditetapkan dengan menjelaskan peranan dan tugas yang dibutuhkan

c. Autentik – pemimpin yang mengetahui siapakah mereka, mengetahui apa yang mereka yakini dan nilai, serta bertindak dengan nilai tersebut dan meyakini secara terbuka dan berterus terang

d. Karismatik – pemimpin yang segala sifat, perilaku, hingga keahliannya dianggap benar oleh para pengikutnya dan oleh

karena itu dijadikan panutan

e. Socialized Charismatic – pemimpin yang melaksanakan model perilaku beretika, yakni dengan menyampaikan nilai

yang terpusat pada lainnya (bukan pada diri sendiri)

f. Servant – pemimpin yang tidak menghiraukan dirinya sendiri, namun menitikberatkan pada kesempatan untuk

membantu para pengikutnya agar tumbuh dan berkembang

2.1.6.5 Kepemimpinan yang Efektif

Kepemimpinan yang efektif tentu hanya akan timbul dari seorang pemimpin yang efektif pula. Hines (2002) menyebutkan bahwa pemimpin dikatakan efektif apabila melakukan berbagai hal sebagai berikut:

a. Bersikap luwes, memilih tindakannya dari kisaran perilaku pemimpin

b. Sadar mengenai dirinya, kelompok, dan situasi, sehingga hal-hal tersebut harus dipertimbangkan sebelum memilih

gaya kepemimpinan tertentu

c. Memberitahu bawahan mengenai pengaruh mereka pada setiap persoalan dan cara pemimpin dalam menggunakan wewenangnya

d. Memakai pengawasan umum, yakni bawahan mengerjakan secara terperinci pekerjaan harian mereka sendiri dan membuat keputusan mengenai pekerjaan dalam batas yang ditentukan

e. Selalu ingat baik masalah mendesak maupun keefektifan jangka panjang (individual maupun kelompok) sebelum

bertindak

f. Selalu mudah ditemukan jika bawahan ingin membicarakan masalah dan menunjukkan minat dalam gagasan mereka f. Selalu mudah ditemukan jika bawahan ingin membicarakan masalah dan menunjukkan minat dalam gagasan mereka

h. Menyediakan instruksi mengenai metode pekerjaan secara menyeluruh, meningkatkan keamanan, dan menghindari kesalahan dengan memerhatikan tingkat pengalaman karyawan (menjelaskan alasan mengapa instruksi diberikan)

Adapun McMaster (2002) menyebutkan bahwa terdapat 5 kualitas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mencapai efektifitas dalam kepemimpinan, yaitu:

a. Integritas – pemimpin yang berintegritas selalu memelihara standar kelakuan dan performa yang tinggi, baik bagi diri sendiri maupun karyawan

b. Kecerdasan – pemimpin yang cukup cakap untuk mengenali kekurangan dan mempunyai persepsi untuk mengembangkan diri

c. Keberanian – pemimpin yang memiliki ketetapan hati untuk tetap mempertahankan tindakan dan keputusannya serta membela apa yang benar

d. Inisiatif – pemimpin yang banyak akal, tekun, cekatan, serta selalu memperlihatkan kegairahan dan imajinasi

e. Penilaian – keputusan manajemen yang sehat berakar dari penilaian seorang pemimpin, yang memberikan persepsi bagi

Kemudian Rivai dan Mulyadi (2009) menjelaskan bahwa seorang pemimpin dikatakan efektif apabila memiliki 3 keterampilan sebagai berikut:

a. Keterampilan teknis – pengetahuan mengenai metode- metode, proses-proses, prosedur, serta teknik-teknik untuk melakukan kegiatan khusus dari unit organisasi

b. Keterampilan antar pribadi – pengetahuan mengenai perilaku manusia dan proses-proses kelompok, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi dari orang lain dan kemampuan untuk mengomunikasikan dengan jelas dan persuasif

c. Keterampilan konseptual – beberapa kemampuan kognitif seperti kemampuan analitis, berpikir logis, membuat konsep, pemikiran yang induktif, dan pemikiran deduktif

Berdasarkan penjelasan di atas, maka output yang dihasilkan dari seorang pemimpin yang efektif tentunya adalah kepemimpinan yang efektif pula, yakni berbagai hal yang terkait dengan performa organisasional. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Yukl dan Taber (2002) bahwa inti kepemimpinan yang efektif adalah pengaruhnya atas sikap dan perilaku bawahan. Penjelasan tersebut diperkuat oleh Hasibuan (2004), yang menyatakan bahwa kepemimpinan dapat dikatakan efektif apabila kontinuitas perusahaan terjamin dan semua pihak yang terkait memperoleh kepuasan.

2.1.7 Kepemimpinan Lintas Budaya

2.1.7.1 Kompetensi Lintas Budaya

Memahami interaksi internasional merupakan suatu hal esensial bagi perusahaan atau organisasi multinasional untuk berfungsi secara efektif dalam lingkungan bisnis global di masa kini (Jokinen, 2004). Pernyataan tersebut khususnya mengacu pada pemimpin dalam konteks global atau multikultural. Secara sederhana, pemimpin dalam konteks global atau multikultural adalah seseorang yang bertugas atau ditugaskan untuk memimpin sekelompok individu dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Di masa kini, pemimpin dengan kompetensi lintas budaya menjadi hal yang kritis bagi perusahaan dalam berkompetisi dan meraih kesuksesan di tingkat internasional (Caligiuri & Tarique, 2012). Caligiuri (2006) merumuskan 10 tugas umum yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam konteks global atau multikultural, yang terdiri dari:

a. Bekerja dengan rekan dari negara yang berbeda

b. Berinteraksi dengan klien eksternal baik dari negara asal maupun host country

c. Berinteraksi dengan klien internal dari negara lain

d. Berbicara dalam bahasa yang berbeda pada saat bekerja

e. Mengawasi karyawan yang berasal dari kebangsaan yang berbeda

f. Membangun rencana bisnis strategik dalam level f. Membangun rencana bisnis strategik dalam level

h. Melakukan negosiasi di negara lain atau dengan pihak-pihak dari negara lain

i. Mengatur pemasok-pemasok atau vendor asing j. Mengatur risiko dalam level internasional untuk unitnya Berdasarkan tugas-tugas di atas, maka seorang pemimpin dituntut untuk memiliki berbagai kompetensi yang menunjang kepemimpinannya. Tidak hanya kompetensi, namun karakteristik personal yang dimiliki juga turut berperan serta. Perlu kehati-hatian dalam mengolah keahlian dan karakteristik personal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Shelton (2006) yang menyatakan bahwa karakteristik personal dan skill seorang pemimpin seolah menjadi pedang bermata dua, yakni dapat mendukung kesuksesan namun juga dapat menjatuhkan.

Seorang pemimpin yang sukses di tingkat domestik, belum tentu akan mencapai hal yang sama saat menjalankan penugasan internasional (Jokinen, 2004). Oleh karena itu, seorang pemimpin diharuskan untuk membangun dan memiliki kompetensi kepemimpinan lintas budaya. Moran dan Reisenberger (dalam Jokinen, 2004) menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki berbagai kompetensi yang terdiri dari:

a. Global mindset

b. Mampu bekerja dalam kondisi yang sama dengan rekan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda b. Mampu bekerja dalam kondisi yang sama dengan rekan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda

e. Menciptakan sistem pembelajaran

f. Memotivasi karyawan untuk menjadi unggul

g. Menegosiasikan konflik

h. Memiliki kemahiran dalam mengatur siklus pekerjaan asing

i. Memimpin dan berpartisipasi secara efektif dalam kelompok multikultural j. Memahami nilai-nilai dan asumsi yang terkandung dalam diri mereka k. Mendemonstrasikan pengetahuan dan rasa hormat terhadap negara lain. Kemudian Mendenhall dan Oslando (dalam Mendenhall, 2006) dalam kajiannya menyatakan bahwa terdapat 53 kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam konteks global atau multikultural. Adapun ke-53 kompetensi tersebut dapat dibagi menjadi 6 dimensi, yang terdiri dari;

a. Relationship – kompetensi yang dibutuhkan untuk membangun dan menjaga hubungan interpersonal dalam konteks global / lintas budaya

b. Traits – kepribadian inti atau tendensi perilaku

c. Business expertise – ahli dalam pengetahuan bisnis global

d. Organizing expertise – kemampuan yang dibutuhkan untuk mengorganisasi dan membangun karyawan dan proses d. Organizing expertise – kemampuan yang dibutuhkan untuk mengorganisasi dan membangun karyawan dan proses

f. Vision – kemampuan untuk melihat arah organisasi dan kemampuan untuk mengerahkan karyawan dalam mencapai visi

Pada dasarnya, segala model kompetensi yang ada mengandung inti yang sama, yakni mengenai apa saja hal-hal yang harus dimiliki agar seorang pemimpin dapat berfungsi secara efektif dalam kondisi kebudayaan yang berbeda. Perlu proses yang panjang agar seorang pemimpin dapat memimpin secara efektif di luar negara asal. Keahlian dan pengetahuan yang dimiliki harus diiringi dengan ketekunan dan kegigihan. Dengan demikian, maka seorang pemimpin dapat menggiring para karyawan untuk mengerahkan seluruh energi dalam rangka mencapai tujuan organisasional.

Gambar 2.2

Development of Cross-Cultural Competence

Resolve differences awareness of one’s

Increased

Appreciate cultural

Integration own cultural

differences

Adaptation

Increasing transcultural

Education

Experience

Reflection Opennes Feedback

2.1.7.2 Leading in Diversity

F rasa “leading in diversity” merupakan penggambaran yang tepat bagi seorang pemimpin dalam konteks global atau multikultural. Yakni bagaimana seorang pemimpin dihadapkan pada situasi untuk memimpin dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan negara asal. Diversity atau keragaman tidak hanya terbatas pada soal budaya saja, namun juga mencakup gender, usia, tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, hingga orientasi seksual. Yukl (2010) membuat suatu panduan untuk memimpin dalam kondisi kebudayaan yang berbeda, yang terdiri dari:

a. Mengapresiasi perbedaan yang dilakukan dengan cara yang sesuai dengan perilaku masing-masing

b. Mendorong untuk menghargai setiap perbedaan individual yang ada

c. Memahami perbedaan nilai, kepercayaan, dan tradisi

d. Menjelaskan keuntungan yang dapat diperoleh dari perbedaan pada anggota tim atau organisasi

e. Mendorong dan mendukung siapapun yang menunjukkan toleransi terhadap perbedaan

f. Menghindari penggunaan stereotipe untuk mendeskripsikan orang lain

g. Mengidentifikasi nilai-nilai yang menyimpang dan ekspektasi peran dari kaum wanita atau minoritas g. Mengidentifikasi nilai-nilai yang menyimpang dan ekspektasi peran dari kaum wanita atau minoritas

i. Menyuarakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil yang berdasarkan prasangka

j. Menerapkan disiplin untuk menghentikan tindakan-tindakan

yang merugikan kaum wanita atau minoritas Kesepuluh panduan di atas penting untuk diperhatikan, dipahami, dan tentunya dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam konteks global atau multikultural. Berada dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda membuat seorang pemimpin harus cermat dalam menginterpretasi serta mengambil suatu tindakan tertentu agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Yakni segala tindakan yang berlandaskan pada toleransi multikultural dan tidak dihiasi oleh tendensi untuk merendahkan segala perbedaan yang ada.

2.1.7.3 Komunikasi Lintas Budaya

Hambatan utama ketika berada di luar negara asal tentunya adalah bahasa. Bahasa merupakan media berkomunikasi antar individu untuk saling mengutarakan maksud, bertukar pikiran, hingga memberi arahan tertentu. Robbins dan Judge (2015) menyatakan bahwa faktor lintas budaya jelas berpotensial menciptakan masalah komunikasi yang besar. Lebih lanjut, Robbins dan Judge menyebutkan berbagai hambatan mengenai bahasa dalam konteks lintas budaya, yaitu:

a. Hambatan yang disebabkan oleh semantik, yakni penggunaan a. Hambatan yang disebabkan oleh semantik, yakni penggunaan

b. Hambatan yang disebabkan oleh konotasi, yakni pemahaman antar budaya yang berbeda dalam menanggapi suatu kata

tertentu. Atau dengan kata lain, sebuah kata memiliki makna berbeda dalam bahasa yang berbeda.

c. Hambatan yang disebabkan oleh perbedaan nada pada saat berbicara, yakni gaya berbicara menurut situasi dan kondisi. Penggunaan bahasa formal dan informal pada tiap situasi dan kondisi menjadi berbeda tergantung budaya.

d. Hambatan yang disebabkan oleh perbedaan dalam toleransi untuk konflik dan metode untuk menyelesaikan konflik yang berbeda tergantung budaya. Contohnya kaum individualis yang lebih menyukai konflik secara langsung (to the point) dan penyelesaian secara terbuka. Namun sebaliknya, kaum kolektivis cenderung menghindari perselisihan dan mengakui konflik secara implisit.

Untuk mengantisipasi kesalahpahaman yang mungkin timbul akibat berbagai hambatan di atas, Casmir (dalam Robbins & Judge, 2015) merumuskan berbagai saran yang terkait dengan komunikasi lintas budaya, yaitu:

a. Kenali diri sendiri – dengan lebih memahami identitas budaya yang terdapat dalam diri sendiri, maka akan menunjang dalam a. Kenali diri sendiri – dengan lebih memahami identitas budaya yang terdapat dalam diri sendiri, maka akan menunjang dalam

c. Mempelajari konteks budaya dari setiap orang, untuk menemukan persamaan atau perbedaan yang akan berguna dalam menyusun kerangka komunikasi.

d. Jika ada keraguan, maka dengarkan terlebih dahulu. Hal ini penting agar lebih memahami bahasa antarbudaya dari orang lain.

e. Sampaikan kenyataan yang ada, bukan hasil interpretasi dari diri sendiri. Yakni suatu keharusan untuk menghilangkan

interpretasi yang menyertakan latar belakang budaya dalam menilai atau mengevaluasi sesuatu.

f. Pertimbangkan sudut pandang orang lain, atau dengan kata lain “put your self in other shoes”. Sebelum menyampaikan

pesan kepada penerima, tempatkan diri pada sudut pandang penerima, sekiranya berkenan atau tidak dengan pesan yang akan disampaikan.

g. Secara proaktif mempertahankan identitas dari kelompok, karena rasa toleransi dan saling menghargai membutuhkan waktu serta proses yang tidak sebentar.

Dengan memahami hambatan beserta cara untuk mengantisipasinya, maka seorang pemimpin dapat menghindari konflik yang rentan

2.1.8 Kepemimpinan India

2.1.8.1 Karakteristik Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan sebuah isu yang sangat populer di India (Chhokar, 2002). India telah melahirkan pemimpin-pemimpin legendaris yang telah mempraktikkan kepemimpinan yang efektif. Beberapa di antaranya adalah Raja Asoka dan Mahatma Gandhi. Tidak hanya itu, dalam epos Mahabarata dan Ramayana pun terdapat pula sederet raja dan ksatria yang digambarkan sebagai pemimpin yang arif, adil, dan bijaksana. India merupakan salah satu negara yang termasuk dalam riset GLOBE. Dalam summary yang ditulis oleh Chhokar (2002) mengenai riset GLOBE tersebut, disebutkan bahwa pemimpin India mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut:

a. Mengarahkan sekelompok individu untuk berkontribusi secara sukarela dalam mencapai tujuan

b. Kemampuan untuk membuat individu bekerja secara antusias dan sukarela dalam mencapai tujuan dan prioritas

organisasional Adapun dalam kajian yang dilakukan oleh Cappelli et al. (2010), terdapat 4 tanggung jawab utama yang diemban oleh pemimpin di India, yaitu:

a. Inisiator utama atas strategi bisnis

b. Penjaga atas budaya organisasi

c. Pemandu, guru, atau panutan bagi karyawan

Dengan demikian, sama halnya dengan pemimpin di seluruh penjuru dunia, pemimpin di India ditasbihkan sebagai pemegang peranan sentral yang membawa organisasi menuju segenap tujuannya.

Chhokar (2002) menyebutkan bahwa terdapat 6 karakteristik pemimpin India sebagai hasil riset GLOBE. Poin paling utama adalah communication dan direction, baru kemudian diikuti oleh vision, action- orientation, charisma, dan change. Pernyataan yang tidak jauh berbeda dipaparkan oleh Cappelli et al. (2010), yang menyebutkan bahwa pemimpin India mengalokasikan waktu paling banyak untuk merancang strategi dan memelihara komunikasi yang baik. Terkait dengan strategi, berikut ini adalah beberapa inisiatif yang kerap dilakukan oleh pemimpin India (Wilson et al., 2011), yaitu:

a. Start-up – membuka cabang atau kantor penjualan baru

b. Diversifikasi – mengembangkan produk baru atau meluncurkan kampanye yang menciptakan brand dan membangun loyalitas terhadap brand

c. Joint ventures dan kolaborasi – membangun kemitraan dengan sektor publik atau swasta, atau membangun rantai pasokan di tingkat internasional

d. Inisiatif kebijakan – memperjuangkan tren pengaturan legislasi yang menyertakan stakeholder tingkat tinggi Adapun Nagaraju (2006) menyebutkan bahwa pemimpin India cenderung autokratis, dengan karakteristik sebagai berikut: d. Inisiatif kebijakan – memperjuangkan tren pengaturan legislasi yang menyertakan stakeholder tingkat tinggi Adapun Nagaraju (2006) menyebutkan bahwa pemimpin India cenderung autokratis, dengan karakteristik sebagai berikut:

b. Memiliki etika dan moral dalam menyelesaikan tugas

c. Merasa kurang mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan yang bersifat politis

d. Memiliki rasa ketergantungan terhadap lingkungan eksternal Di samping uraian di atas, seorang praktisi bernama J. B. P.

Sinha mengembangkan sebuah model kepemimpinan alternatif yang lebih cocok dengan budaya India, yakni Nurturant-Task Leadership (dalam Ansari, 1986). Mengacu pada model tersebut, pemimpin ideal adalah sosok yang berorientasi pada tugas dan mengasuh para karyawan (dalam Sharma, 2002). Sinha mengembangkan model tersebut karena dilatarbelakangi oleh berbagai kecenderungan karyawan India (dalam Tripathi, Prabhakar, & Liddle, 2015), yaitu:

a. Ketergantungan yang berlebihan pada pemimpin walaupun tidak dibutuhkan. Hal tersebut menyebabkan karyawan mencari dukungan, arahan, dan dorongan yang berlebih.

b. Preferensi untuk hierarki, yang berasal dari kuatnya sistem kasta dan subkasta dalam masyarakat. Preferensi inilah yang menyebabkan adanya kepatuhan yang tinggi dari karyawan terhadap pemimpin.

c. Preferensi untuk membangun hubungan personal dengan pemimpin, yang sering berujung pada favoritisme dan

nepotisme.

Untuk menghadapi karyawan dengan berbagai kecenderungan di atas, maka seorang nurturant-task leader memiliki beberapa karakteristik yang khas (Sinha & Gupta, 2002), yang terdiri dari:

a. Peduli terhadap karyawan

b. Membantu karyawan untuk tumbuh dan belajar

c. Memberi perhatian pada perkembangan karier karyawan

d. Memungkinkan karyawan untuk bergantung pada diri mereka sendiri

e. Mendorong dan menginspirasi karyawan

Di samping itu, Sinha dan Gupta (2002) menyebutkan berbagai hal yang dilakukan oleh seorang nurturant-task leader untuk menerapkan orientasi tugas pada karyawan, yang terdiri dari:

a. Menentukan peran karyawan

b. Mengarahkan karyawan

c. Membuat karyawan sadar akan pentingnya pengembangan skill yang baru

d. Menentukan tanggung jawab karyawan

e. Menyediakan model peran bagi karyawan untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh

Lebih lanjut, Sinha dan Gupta menyatakan bahwa nurturant-task leader terbukti efektif bagi karyawan yang menginginkan adanya hubungan personal dengan pemimpin, menerima superioritas pemimpin, dan memiliki keinginan untuk mematuhi pemimpin.

Gambar 2.3 Indian Leadership Styles

Trade Groups

Family

Sons, Nephews

traditional

organized

Sumber : “24 Charts of Leadership Styles Around the World”, Business Insider, 2014

2.1.8.2 Pemimpin dan Motivasi Karyawan

Pemimpin India merupakan sosok yang tidak memandang rendah para anggotanya. Cappelli et al. (2010) menyebutkan bahwa pemimpin India mengaitkan kesuksesan organisasi dengan perilaku positif, ketekunan, dan sense of reciprocity dari karyawan. Cappelli et al. kemudian menyebutkan beberapa hal yang dilakukan oleh pemimpin India dalam memotivasi karyawan, yaitu:

a. Creating a Sense of Mission Pemimpin India menganggap bahwa kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) telah berperan dalam meningkatkan brand perusahaan. Misi sosial dianggap sejalan dengan strategi perusahaan dan seringkali merupakan rute untuk memperoleh profit atau keuntungan. Tentu saja yang melaksanakan misi-misi sosial perusahaan adalah para karyawan. Dengan kebijakan tersebut, pemimpin India bermaksud agar para karyawan mengerti makna seseungguhnya dari pekerjaan yang dilakukan di perusahaan. Jika sudah memahami dengan sepenuh hati perihal pekerjaan yang dilaksanakan, tentunya karyawan akan merasakan kepuasan dari tugas yang dilaksanakan. Walaupun hanya melaksanakan tugas yang ringan atau kecil, namun tetap berkontribusi dalam meraih tujuan yang besar.

b. Transparansi dan Akuntabilitas Beberapa hal yang dilakukan oleh pemimpin India untuk membangun komitmen karyawan adalah adanya keterbukaan dan menciptakan rasa untuk memberikan timbal balik (sense of reciprocity ). Dengan adanya kebijakan “employee first, customer second ”, membuat karyawan merasa lebih memahami tanggung jawab yang diemban dalam melaksanakan tugas. Keterbukaan dijunjung tinggi oleh pemimpin India, sehingga terdapat b. Transparansi dan Akuntabilitas Beberapa hal yang dilakukan oleh pemimpin India untuk membangun komitmen karyawan adalah adanya keterbukaan dan menciptakan rasa untuk memberikan timbal balik (sense of reciprocity ). Dengan adanya kebijakan “employee first, customer second ”, membuat karyawan merasa lebih memahami tanggung jawab yang diemban dalam melaksanakan tugas. Keterbukaan dijunjung tinggi oleh pemimpin India, sehingga terdapat

c. Komunikasi Membangun komunikasi yang baik dan efektif juga dilakukan

untuk merangsang komitmen karyawan. Bentuk komunikasi tersebut mulai dari menanyakan kesan terhadap pihak manajemen hingga memberi solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi terkait perusahaan. Jika memang dibutuhkan, pemimpin India siap dan gigih dalam berkomunikasi dengan karyawan di saat-saat genting. Komunikasi yang gigih tersebut membuat karyawan merasa terpanggil untuk ikut serta dalam menciptakan solusi. Dan sebagai hasilnya, hal tersebut telah terbukti dapat membantu pemimpin India dalam memecahkan masalah perusahaan.

d. Pelatihan Pemimpin India beranggapan bahwa pengembangan

karyawan merupakan hal yang esensial bagi kemajuan perusahaan. Maka dari itu, pemimpin India membuat investasi besar bagi pelatihan dan pengembangan karyawan. Pelatihan dan pengembangan atas keahlian karyawan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengembangan kepemimpinan. Hasilnya tidak sia-sia, investasi besar yang sudah dikeluarkan terbayar dengan peningkatan performa perusahaan.

2.1.8.3 Kompetensi Kepemimpinan

Walaupun memiliki prinsip mengutamakan karyawan, namun pemimpin India tetap harus memerhatikan pengembangan kompetensi kepemimpinannya. Wilson et al. (2011) menyebutkan bahwa di samping kompetensi umum, terdapat 2 kompetensi lain yang harus dimiliki oleh pemimpin India, yaitu:

a. Pengalaman Pribadi Pengalaman pribadi membantu pemimpin untuk membentuk nilai-nilai, menciptakan arah, dan membangun pendekatan terhadap hidup atau pekerjaan. Bagi pemimpin India, hal-hal yang terkait dengan pengalaman pribadi dan berpengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan adalah orang tua, wawancara kerja, dan tugas perdana.

b. Cultural Crossings Cultural crossings meliputi kontak langsung yang regular terhadap karyawan dengan nilai-nilai, motivasi, bahasa, rutinitas hidup, dan tradisi budaya yang berbeda. Pemimpin harus melangkah secara bertahap dalam proses penyesuaian demi tercapainya tujuan organisasional. Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dan memiliki interaksi bebas hambatan dengan Barat, pemimpin India memiliki kesempatan besar untuk mempelajari hal-hal yang terkait dengan lintas budaya.

Berdasarkan segenap penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin India merupakan sosok yang humanis dan selalu menjaga hubungan baik dengan karyawan. Strategi untuk mencapai kesuksesan organisasional merupakan fokus utama, namun pemimpin India tidak boleh lalai dalam mengembangkan kompetensi kepemimpinannya.

2.1.9 Penelitian Terdahulu

a. Suutari, Rahardjo, & Riikkilä (2002) Penelitian berjudul “The Challenge of Cross-Cultural Leadership Interaction: Finnish Expatriates in Indonesia ” bertujuan untuk mengkaji perihal cara yang dilakukan oleh manajer ekspatriat dalam menyesuaikan gaya kepemimpinannya di Indonesia serta cara karyawan untuk menerima gaya kepemimpinan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa semua manajer ekspatriat secara selektif menyesuaikan gaya kepemimpinannya ketika memimpin karyawan lokal. Di samping itu perbedaan budaya yang ada lambat laun tidak dipermasalahkan oleh karyawan lokal.

b. Russel dan Dickie (2007) Penelitian berjudul “Paradoxical Experiences of Expatriate Managers in Indonesia ” bertujuan untuk mengkaji perihal pengalaman manajer ekspatriat selama bekerja di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer ekspatriat melakukan berbagai cara yang berlawanan dengan budaya asal untuk menyesuaikan dengan budaya Indonesia.

c. Duncan (2014) Penelitian berjudul “Expatriate Managers’ Conceptions of Their Experience as Managers: A Phenomenographical Study ” bertujuan untuk mengkaji perihal pemahaman manajer ekspatriat selama bekerja di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer ekspatriat memaknai pengalaman bekerja di Indonesia sebagai sebuah pemahaman dan pemecahan masalah.

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu

Metodologi

No. Judul

Peneliti

Variabel

Hasil Temuan

Penelitian

1. The Challenge of Vesa

Semua manajer Cross-Cultural

Independen: Qualitative

ekspatriat secara Leadership

Suutari,

Cross-

selektif menyesuaikan Interaction:

Kusdi

cultural

gaya Finnish

Raharjo,

differences

kepemimpinannya Expatriates in

Timo

Dependen:

saat memimpin Indonesia

karyawan lokal. Perbedaan budaya yang ada lambat laun tidak dipermasalahkan oleh karyawan lokal.

2. Paradoxical

Manajer ekspatriat Experiences of

Roger C.

Independen: Qualitative

melakukan berbagai Expatriate

Russel dan Preparati-

cara yang berlawanan Managers in

Laurence

on, cross-

dengan budaya asal Indonesia

untuk menyesuaikan

Dependen:

dengan budaya

Manajer ekspatriat Managers’

Jeannie

Independen: Qualitative

memaknai Conceptions of

Duncan

Cultural

pengalaman bekerja di Their Experience

differences

Indonesia sebagai as Managers: A

Dependen:

sebuah pemahaman Phenomenogra-

Experience

dan pemecahan phical Study

masalah.

2.2 Kerangka Pemikiran

Budaya Barat

Budaya Timur

Behavioral CQ

Cognitive

Motivational

CQ

CQ

CQ

Kepemimpinan

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (1998, h. 15), pengertian penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed view of informants, and conducts the study in a natural setting.

Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti dengan mengacu pada berbagai alasan yang dikemukakan oleh Creswell, yaitu:

a. Pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diawali dengan kata “apa” dan “bagaimana”.

b. Pendekatan kualitatif dipilih karena topik yang diteliti membutuhkan eksplorasi yang lebih mendalam.

c. Pendekatan kualitatif digunakan karena adanya kebutuhan untuk menyajikan pandangan yang lebih mendetail terhadap topik yang diteliti.

d. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti bertujuan untuk mempelajari individu dalam lingkungan alamiahnya.

e. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menekankan peran peneliti sebagai pembelajar aktif yang dapat menceritakan pandangan partisipan, e. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menekankan peran peneliti sebagai pembelajar aktif yang dapat menceritakan pandangan partisipan,

Adapun jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi fenomenologi. Sebagaimana dijelaskan oleh Creswell, studi fenomenologi dapat membantu peneliti untuk mendeskripsikan makna dari pengalaman personal mengenai sebuah konsep atau fenomena.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yakni independen dan dependen. Variabel independen adalah cultural intelligence (CQ), yakni kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam suatu kondisi dengan kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Dyne, 2008). Ang et al. (2007) serta Ang dan Van Dyne (2008) menyebutkan bahwa CQ memiliki 4 dimensi yang terdiri dari:

a. Metacognitive – tingkat kesadaran budaya tiap individu pada saat melakukan interaksi lintas budaya

b. Cognitive – pengetahuan mengenai norma, praktik, dan konvensi dalam kebudayaan yang berbeda yang telah diperoleh melalui berbagai sumber, baik pendidikan maupun pengalaman pribadi

c. Motivational – kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan energi menuju pembelajaran dan berfungsi pada situasi yang dibentuk oleh

perbedaan budaya perbedaan budaya

Adapun variabel dependen adalah kepemimpinan, yakni suatu proses untuk memengaruhi orang lain secara intens dalam mengarahkan, menyusun, serta memfasilitasi berbagai aktivitas dan hubungan pada suatu kelompok atau organisasi (Yukl, 2010).

3.3 Partisipan

Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini adalah seorang pemimpin ekspatriat beserta beberapa orang staf lokal yang dipimpinnya. Adapun partisipan tersebut terdiri dari seorang Principal berkebangsaan India, 2 orang koordinator sekolah, dan 2 orang staf pengajar pada Gandhi Memorial Intercontinental School (GMIS) Semarang. Dalam menentukan partisipan, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu, yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya dapat lebih representatif (Sugiyono, 2011).

3.4 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu:

a. Data Primer Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh a. Data Primer Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh

b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari teknik pengumpulan

data yang menunjang data primer. Dalam penelitian ini data diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dapat dikatakan data sekunder ini bisa berasal dari dokumen-dokumen grafis seperti tabel, catatan, pesan teks, foto, dan lain-lain (Arikunto, 2010).

3.5 Metode Pengumpulan Data

1. Observasi Observasi menurut Kusuma (1987) adalah pengamatan yang dilakukan

dengan sengaja dan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain yang diselidiki. Adapun jenis-jenis observasi terdiri dari observasi terstruktur, observasi tak terstruktur, observasi partisipan, dan observasi nonpartisipan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi partisipan, yakni suatu teknik pengamatan yang melibatkan peneliti dalam kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamati.

Observasi ini dilakukan dengan mengamati dan melakukan pencatatan langsung mengenai objek penelitian, yaitu dengan mengamati berbagai kegiatan pada GMIS Semarang. Dengan demikian, peneliti dapat menentukan partisipan yang akan diteliti dan juga untuk mengetahui Observasi ini dilakukan dengan mengamati dan melakukan pencatatan langsung mengenai objek penelitian, yaitu dengan mengamati berbagai kegiatan pada GMIS Semarang. Dengan demikian, peneliti dapat menentukan partisipan yang akan diteliti dan juga untuk mengetahui

2. Wawancara Esterberg (dalam Sugiyono, 2008) menjelaskan bahwa wawancara

adalah pertemuan 2 orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat membangun makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan wawancara mendalam (in- depth interview). Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk melakukan wawancara mendalam terhadap partisipan yang dipilih, yakni pemimpin ekspatriat beserta beberapa staf lokal yang dipimpin. Dengan wawancara mendalam, maka peneliti dapat mengumpulkan informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi (Sulistyo-Basuki, 2006). Untuk menghindari kehilangan informasi, maka peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada partisipan untuk menggunakan alat perekam. Adapun teknik yang dilakukan dalam pelaksanaan wawancara mendalam adalah probing, yakni suatu teknik yang bertujuan untuk menggali keterangan yang lebih lanjut dari partisipan (Wahyuni, 2014). Teknik probing dilakukan dengan berbagai alasan sebagai berikut; (1) apabila jawaban tidak relevan dengan pertanyaan; (2) apabila jawaban kurang jelas atau kurang lengkap; (3) apabila ada dugaan jawaban yang kurang mendekati kebenaran.

Sebelum melaksanakan wawancara mendalam, peneliti menjelaskan atau memberikan sekilas gambaran serta latar belakang secara ringkas dan jelas mengenai topik penelitian. Peneliti harus memerhatikan cara-cara yang benar dalam melakukan wawancara agar memperoleh data yang kredibel dari partisipan. Berikut ini adalah 7 langkah wawancara yang disebutkan oleh Sugiyono (2008), yang terdiri dari:

a. Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan

b. Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan

c. Mengawali atau membuka alur wawancara

d. Melangsungkan alur wawancara

e. Mengonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya

f. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan

g. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh Pertanyaan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini mengacu

pada 2 sumber, yakni Cultural Intelligence Scale (CQS) dan kuesioner Nurturant-Task Leadership. Dalam CQS terdapat berbagai poin yang digunakan untuk mengukur kapasitas CQ yang dimiliki oleh seseorang. Poin-poin tersebut kemudian dirangkum oleh peneliti dan diubah menjadi pertanyaan wawancara. Adapun kuesioner Nurturant-Task Leadership digunakan sebagai acuan karena merepresentasikan gaya kepemimpinan India. Dalam kuesioner tersebut terdapat 60 pernyataan yang dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan. Seluruh pernyataan tersebut kemudian pada 2 sumber, yakni Cultural Intelligence Scale (CQS) dan kuesioner Nurturant-Task Leadership. Dalam CQS terdapat berbagai poin yang digunakan untuk mengukur kapasitas CQ yang dimiliki oleh seseorang. Poin-poin tersebut kemudian dirangkum oleh peneliti dan diubah menjadi pertanyaan wawancara. Adapun kuesioner Nurturant-Task Leadership digunakan sebagai acuan karena merepresentasikan gaya kepemimpinan India. Dalam kuesioner tersebut terdapat 60 pernyataan yang dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan. Seluruh pernyataan tersebut kemudian

3. Dokumentasi Dokumen menurut Sugiyono (2008) merupakan catatan peristiwa yang

sudah berlalu. Dalam penelitian ini, dokumen yang digunakan oleh peneliti terdiri dari foto, gambar, serta data-data mengenai pemimpin ekspatriat beserta koordinator sekolah dan staf pengajar yang diperoleh dari GMIS Semarang. Hasil penelitian dari observasi serta wawancara akan semakin sah dan dapat dipercaya apabila didukung oleh berbagai dokumen.

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono, 2008). Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan Huberman (2009) serta Moustakas (dalam Creswell, 1998). Miles dan Huberman mengemukakan bahwa analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus- menerus. Lebih lanjut, aktivitas dalam analisis data menurut Miles dan Huberman terdiri dari:

a. Pengumpulan data – proses pengumpulan berbagai macam data selama penelitian berlangsung.

b. Reduksi data – proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

c. Penyajian data – sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

d. Kesimpulan (penarikan atau verifikasi) – makna-makna yang muncul dari data yang telah teruji kebenaran, kekokohan, dan kecocokannya. Serangkaian aktivitas tersebut merupakan gambaran keberhasilan yang berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling bersusulan (Miles & Huberman, 2009).

Gambar 3.1 Strategi Analisis Data

Pengumpulan

Data

Penyajian Data Data

Reduksi

Kesimpulan:

Penarikan / Verifikasi

Sumber : Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, 2009, hal. 20

Moustakas (dalam Creswell, 1998) menghadirkan suatu teknik analisis yang diperuntukkan bagi studi fenomenologi. Creswell (1998) menyatakan bahwa pendekatan yang dipaparkan oleh Moustakas tersebut merupakan modifikasi dari metode Stevick-Colaizzi-Keen. Adapun pendekatan tersebut terdiri dari: Moustakas (dalam Creswell, 1998) menghadirkan suatu teknik analisis yang diperuntukkan bagi studi fenomenologi. Creswell (1998) menyatakan bahwa pendekatan yang dipaparkan oleh Moustakas tersebut merupakan modifikasi dari metode Stevick-Colaizzi-Keen. Adapun pendekatan tersebut terdiri dari:

b. Peneliti kemudian menemukan pernyataan-pernyataan (dalam wawancara) mengenai pengalaman yang dirasakan oleh partisipan sehubungan dengan topik yang diteliti, merinci pernyataan-pernyataan (horisontalisasi data), memperlakukan setiap pernyataan tersebut seolah-olah memiliki bobot yang sama, dan bekerja untuk membangun rincian pernyataan nonrepetitif atau tidak saling tumpang-tindih.

c. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikategorikan dalam unit-unit tertentu untuk dianalisis, lalu peneliti mendeskripsikan “tekstur”

(deskripsi tekstural) mengenai pengalaman yang dipaparkan oleh partisipan, yang meliputi contoh verbatim.

d. Peneliti merefleksikan deskripsinya sendiri dan menggunakan variasi imajinatif atau deskripsi struktural, mencari seluruh makna dari kemungkinan yang ada dan perspektif yang berbeda, memvariasikan kerangka acuan mengenai fenomena, dan membangun sebuah deskripsi mengenai bagaimana fenomena dialami oleh partisipan.

e. Peneliti kemudian merangkai keseluruhan deskripsi mengenai makna dan inti dari pengalaman tersebut.

3.7 Metode Pengelolaan Data

Sugiyono (2011) menjelaskan teknik pengelolaaan data yang terdiri dari: Sugiyono (2011) menjelaskan teknik pengelolaaan data yang terdiri dari:

b. Klasifikasi Data Klasifikasi tehadap koding dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan makna berhubungan. Klasifikasi ini dilakukan untuk membangun kategori dari setiap klasifikasi.

c. Kategorisasi Data yang telah diklasifikasikan kemudian dimasukkan atau dibagi dalam kategori. Jika dalam suatu kategori tedapat banyak data dan memakan waktu lama, maka akan dibuat subkategori.

d. Menganalisis suatu makna dalam kategori

e. Mencari hubungan antar kategori

f. Membuat laporan yang mendeskripsikan hasil analisis dalam bentuk draft laporan penelitian

3.8 Kredibilitas Data

Kredibilitas data dalam penelitian perlu diuji untuk menunjukkan keabsahan dan kualitas dari penelitian yang dilakukan. Dari sekian metode yang ada untuk menguji kredibilitas data, peneliti memilih untuk menggunakan member check. Member check adalah proses pemeriksaan data yang diperoleh peneliti Kredibilitas data dalam penelitian perlu diuji untuk menunjukkan keabsahan dan kualitas dari penelitian yang dilakukan. Dari sekian metode yang ada untuk menguji kredibilitas data, peneliti memilih untuk menggunakan member check. Member check adalah proses pemeriksaan data yang diperoleh peneliti

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Sekolah

4.1.1 Sejarah

Gandhi Memorial Intercontinental School (GMIS) Semarang secara resmi beroperasi pada bulan April 2015 dan berada di bawah manajemen Gandhi Seva Loka (GSL) Jakarta. Berdiri pada tahun 1947, GSL merupakan pionir dalam memberikan edukasi yang berkualitas bagi generasi muda di Indonesia. Selain GMIS Semarang, terdapat beberapa sekolah lain yang juga berada di bawah naungan GSL, yakni GMIS Jakarta, GMIS Bali, Mahatma Gandhi School, dan Gandhi School. GMIS Semarang merupakan satu dari sekian sekolah yang menyelenggarakan atau menawarkan program internasional. GMIS Semarang pada dasarnya masih berada pada tahap permulaan, namun memiliki kesiapan untuk menjadi sekolah internasional dengan kualitas dan layanan yang terbaik.

4.1.2 Visi dan Misi

Gandhi Memorial Intercontinental School (GMIS) sebagai sebuah komunitas pembelajaran yang dinamis, bertujuan untuk membangun generasi muda dengan kemampuan intelektual yang meliputi kreativitas, fisik yang sehat, dan semangat beretika. Adapun sederet kemampuan tersebut dibutuhkan untuk memberi kontribusi pada masyarakat global melalui kebijaksanaan, kasih sayang, dan kepemimpinan. GMIS menyediakan suatu Gandhi Memorial Intercontinental School (GMIS) sebagai sebuah komunitas pembelajaran yang dinamis, bertujuan untuk membangun generasi muda dengan kemampuan intelektual yang meliputi kreativitas, fisik yang sehat, dan semangat beretika. Adapun sederet kemampuan tersebut dibutuhkan untuk memberi kontribusi pada masyarakat global melalui kebijaksanaan, kasih sayang, dan kepemimpinan. GMIS menyediakan suatu

GMIS berkomitmen untuk mempertahankan sekolah dengan ragam kebudayaan yang berbeda dari segenap individu yang tergabung di dalamnya. Adapun keragaman budaya tersebut bersatu padu dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif, menarik, dan menyenangkan bagi para siswa. GMIS memercayai bahwa setiap individu dapat belajar, menjadi pemikir yang lebih unggul, dan siswa yang independen. Inti dari proses pembelajaran di GMIS adalah untuk membuat para siswa mengerti bagaimana cara menanyakan sesuatu, menyelesaikan permasalahan, dan membuat keputusan yang kuat.

GMIS memiliki sebuah penekanan dalam standar pendidikan tinggi. Walaupun bahasa Inggris adalah standar instruksi standar, bahasa Indonesia, Mandarin, Hindi, dan Perancis juga merupakan elemen-elemen penting dalam kurikulum dan konteks sosial di sekolah. Semangat internasionalisme diberdayakan dalam GMIS dengan mempromosikan pembangunan bahasa ibu (mother-tongue), yang akan membuat para siswa memelihara akar kebudayaan yang dimiliki.

GMIS menyadari sepenuhnya akan kebutuhan bahasa bagi para siswa dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, sehingga berusaha untuk membantu mereka dengan membuat sistem pendukung bagi siswa yang bukan penutur asli (non-native speakers) dari bahasa yang digunakan (bahasa Inggris). GMIS mempercayai bahwa pemberdayaan staf pengajar yang GMIS menyadari sepenuhnya akan kebutuhan bahasa bagi para siswa dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, sehingga berusaha untuk membantu mereka dengan membuat sistem pendukung bagi siswa yang bukan penutur asli (non-native speakers) dari bahasa yang digunakan (bahasa Inggris). GMIS mempercayai bahwa pemberdayaan staf pengajar yang

4.1.3 Program

a. Pre-School  Nursery (play way) : usia 3 tahun ke atas  K.G.

: usia 4 tahun ke atas

 Prep.

: usia 5 tahun ke atas

b. Primary Years

: kelas 1-5

c. Middle Years

: kelas 6-10

4.1.4 Kebijakan

4.1.4.1 Kurikulum Pemetaan kurikulum adalah sebuah proses artikulasi mengenai

apa, kapan, dan bagaimana kegiatan belajar mengajar terlaksana dalam sekolah. Pemetaan kurikulum adalah alat pengembangan yang sangat penting, yang memandu para siswa selama proses pembelajaran di sekolah. GMIS menggunakan peta kurikulum berbasis kalendar (bulan / minggu / jam) yang meliputi semua elemen penting yang dapat diimplementasikan secara optimum oleh staf pengajar.

a. Objektif  Menyelaraskan konten pembelajaran dengan mengacu pada kurikulum yang berlaku (Cambridge dan Indonesia)

 Mengidentifikasi area potensial untuk integrasi kurikulum

dan pengajaran interdisipliner  Memastikan kemajuan pada setiap jenjang (grade levels) dengan mengidentifikasi kesenjangan dan mengurangi

cakupan dupiklasi / repetisi  Mengatur materi, keahlian, dan penilaian untuk setiap subjek yang dirasakan siswa pada setiap jenjang (grade

levels)

 Menggunakan teknologi (Web 2.0) untuk menghubungkan semua komponen dari kurikulum, penilaian, dan instruksi

 Membuat keseluruhan kurikulum tersedia bagi seluruh pemangku kepentingan atau stakeholders secara online

(dilindungi oleh password)  Memetakan suatu program pengembangan profesional

sehingga staf pengajar dapat merasakan pertumbuhan profesional yang sesungguhnya

b. GIST of Curriculum Segenap staf pengajar bekerja secara kolaboratif untuk

mengimplementasikan kurikum dan melakukan berbagai hal sebagai berikut:

 Menyelaraskan materi dengan objektif atau standar untuk subjek atau tingkat tertentu yang ditentukan oleh sekolah

 Membuat laporan yang berisikan informasi yang menyeluruh dari subjek (secara horisontal) dan jenjang /

program (secara vertikal), yang diatur secara digital dan dapat diakses melalui web atau situs sekolah

 Melakukan login pada situs kurikulum secara rutin untuk memperbaiki, meninjau, dan membangun kurikulum

 Mempertahankan tantangan bagi siswa sepanjang waktu dengan mengisi kesenjangan dan mengurangi cakupan duplikasi / repetisi materi yang diajarkan pada berbagai subjek / jenjang

 Menganalisa peta kurikulum dan mendiskusikan keefektifan aktivitas pengajaran untuk meningkatkan

performa siswa pada seluruh jenjang / subjek  Para staf pengajar saling mendukung satu sama lain

sebagaimana mereka merancang pelajaran dan penilaian yang cocok dengan standar / objektif yang diatur oleh pihak sekolah

 Membuat laporan di setiap penghujung term, yang menunjukkan keselarasan serta menyediakan informasi

mengenai seberapa banyak standar / objektif yang telah diterapkan, seberapa banyak materi dan keahlian yang telah diberikan, serta mengingatkan apa yang harus ditambahkan selama proses pembelajaran

 Memastikan berbagai sarana dan prasarana berfungsi secara optimal selama proses pengajaran  Mengikutsertakan siswa dalam proses perencanaan dengan memberitahu mereka mengenai mengapa mereka

melakukan sebuah aktivitas, apa yang mereka harapkan untuk dicapai, dan bagaimana pekerjaan mereka akan dievaluasi

 Memberikan pujian pada siswa dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk merayakan kesuksesannya,

dengan selalu mengingat bahwa ada sebuah kecocokan antara siswa dengan tugas yang harus diselesaikannya

Pemetaan kurikulum GMIS berisi lebih dari satu dimensi, yang memungkinkan penggunanya untuk “menggali lebih dalam”.

Pemetaan kurikulum adalah sebuah proses berkelanjutan, bukan inisiatif yang muncul secara spontan. Beragam strategi dan teknik pengajaran yang baru selalu muncul dalam kajian ilmiah yang dihasilkan oleh para akademisi. Oleh karena itu, GMIS berkomitmen untuk mengikuti praktik pengajaran yang terbaik demi kebaikan para siswa. Komite Kurikulum GMIS bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya implementasi kurikulum sekolah dan meninjau tiap area subjek dengan mengacu pada kebijakan jadwal peninjauan.

4.1.4.2 Bahasa Bahasa adalah suatu hal yang fundamental untuk belajar,

berpikir, dan berkomunikasi. Dapat dilihat bahwa bahasa meliputi berbagai hal, yakni mempelajari bahasa itu sendiri, belajar mengenai dan melalui bahasa, serta bahasa adalah elemen penghubung utama dalam kurikulum. GMIS menghargai semua bahasa dan budaya yang ada dalam lingkungan sekolah, yang direpresentasikan oleh segenap siswa dan staf.

a. Language of Instruction Bahasa Inggris adalah bahasa yang digunakan untuk instruksi

dalam GMIS dan merupakan elemen penghubung utama dalam kurikulum. Jika kemampuan siswa kurang memadai, maka siswa tersebut ditempatkan dalam program pendukung yang tepat agar mampu mengikuti ritme pembelajaran yang seharusnya.

b. Admission Policy Sebagai bagian dari prosedur penerimaan di GMIS, calon

siswa diharuskan untuk mengikuti tes bahasa Inggris. Adapun profil dari latar belakang bahasa siswa dibuat pada saat proses penerimaan.

c. Language Practices GMIS menginginkan para siswa untuk menjadi komunikator yang bertanggung jawab, kompeten, dan percaya diri dalam bahasa yang digunakan. Sederet hal tersebut dibentuk oleh staf c. Language Practices GMIS menginginkan para siswa untuk menjadi komunikator yang bertanggung jawab, kompeten, dan percaya diri dalam bahasa yang digunakan. Sederet hal tersebut dibentuk oleh staf

d. Primary Years Programme Para siswa mempelajari tiga bahasa, yakni Inggris, Indonesia,

dan bahasa pilihan (Perancis, Hindi, dan Mandarin).

e. Middle Years Programme Para siswa berkesempatan untuk memilih program bahasa sebagai berikut:

 Language A – literatur disampaikan dalam bahasa Inggris

dan Indonesia.  Language B – literatur disampaikan dalam berbagai bahasa, yakni Perancis, Hindi, Indonesia, dan Inggris.

Siswa berkesempatan untuk memilih bahasa yang digunakan pada saat belajar di kelas.

f. Language of The Host Country Para siswa diberi sebuah kesempatan untuk mempelajari dan menghargai bahasa dari host country melalui bahasa Indonesia dan beragam aktivitas sekolah.

g. Mother Tongue Support GMIS berusaha sebaik mungkin untuk memberi kesempatan

pada siswa dengan latar belakang bahasa yang beragam untuk mempertahankan dan membangun bahasa ibu mereka. GMIS mendukung para siswa untuk menggunakan bahasa ibu secara pada siswa dengan latar belakang bahasa yang beragam untuk mempertahankan dan membangun bahasa ibu mereka. GMIS mendukung para siswa untuk menggunakan bahasa ibu secara

4.1.4.3 House System House system adalah sebuah bagian kehidupan dalam GMIS dan

bertujuan untuk menyediakan suasana kompetisi yang ceria melalui berbagai kegiatan sekolah. Seluruh murid dan staf dibagi dalam 4 kelompok. Adapun keempat kelompok tersebut diberi nama para pemimpin tangguh dalam sejarah dunia, yang terdiri dari:

a. Tolstoy – The Ability to Be

b. Kartini – Through Darkness Into Light

c. Tagore – Truth Conquers All

d. Lincoln – Strive, Seek, and Succeed

4.2 Analisis Data

4.2.1 Cultural Intelligence (CQ)

Selama tinggal dan bekerja di Indonesia, Principal telah mengasah dan mengembangkan cultural intelligence (CQ) dalam dirinya. Cultural intelligence (CQ) adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam suatu kondisi dengan kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Dyne, 2008). CQ tersebut kemudian menjadi salah satu faktor yang mendukung beliau dalam memimpin serta mengelola staf lokal. Adapun CQ Selama tinggal dan bekerja di Indonesia, Principal telah mengasah dan mengembangkan cultural intelligence (CQ) dalam dirinya. Cultural intelligence (CQ) adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam suatu kondisi dengan kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Dyne, 2008). CQ tersebut kemudian menjadi salah satu faktor yang mendukung beliau dalam memimpin serta mengelola staf lokal. Adapun CQ

4.2.1.1 Metacognitive CQ Pengertian metacognitive CQ mengacu pada tingkat kesadaran

budaya tiap individu pada saat melakukan interaksi lintas budaya (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal memiliki metacognitive CQ yang baik. Metacognitive CQ yang dimiliki oleh beliau ditunjukkan melalui kemampuan beliau yang mumpuni untuk menyesuaikan diri ketika berinteraksi siapa saja di lingkungan sekolah. Tidak ada jawaban yang berbeda dalam menyikapi metacognitive CQ. Seluruh partisipan memberikan jawaban yang seragam.

Principal memiliki kesadaran tinggi untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia. Berbagai aspek budaya yang ada tidak luput dari perhatian beliau untuk dipelajari. Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama beliau adalah bahasa.

“Hal pertama yang secara sadar saya pelajari adalah bahasa. Ketika pertama kali sampai di Indonesia, pihak sekolah

memberi saya sebuah buku yang berisi varian frasa dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari. Kemudian saya membeli sebuah kamus untuk mempelajarinya secara lebih lanjut .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Kesadaran tinggi dan kemauan untuk belajar terlihat dari usaha Principal untuk lebih memahami bahasa Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat menunjang dalam kehidupan sehari-hari (khususnya Kesadaran tinggi dan kemauan untuk belajar terlihat dari usaha Principal untuk lebih memahami bahasa Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat menunjang dalam kehidupan sehari-hari (khususnya

Di samping bahasa, Principal juga tergerak untuk memperluas pengetahuan mengenai budaya Indonesia yang lain, khususnya mengenai hal-hal apa saja yang tidak patut untuk dilakukan dalam bermasyarakat. Indonesia sebagai salah negara dengan adat ketimuran yang kental tentunya memiliki berbagai aturan dalam tatanan sosial masyarakat. Principal menyatakan bahwa ada berbagai hal unik yang beliau amati dan pelajari dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Contohnya yakni kebiasaan orang India untuk mengacungkan jari pada orang lain. Di India, hal tersebut merupakan hal yang umum dalam masyarakat dan tidak dianggap sebagai hal yang tidak patut untuk dilakukan. Namun di Indonesia, beliau melihat bahwa hal tersebut dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang tidak sopan. Maka dari itu, beliau berujar bahwa selama tinggal dan bekerja di Indonesia, beliau tidak pernah mengacungkan jari pada orang lain, karena orang Indonesia tidak suka menerima perlakuan seperti itu.

Principal juga sangat mengagumi kepribadian orang Indonesia yang sangat berbeda dengan orang India. Yakni sikap orang Indonesia yang lekat dengan kesopansantunan. Bagi beliau, kesopansantunan ala Indonesia sangat berkesan di hatinya karena sangat berbeda dengan masyarakat India. Beliau menuturkan bahwa:

“Saya menyadarinya setelah membaca brosur-brosur yang ada, bahwa orang Indonesia itu sangat sensitif dan lemah-lembut.

Sebagai orang India, saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Karena terkadang orang India cenderung sangat agresif dan kerap meneriakkan hal-hal yang kurang enak. Tetapi orang Indonesia sangat lemah-lembut. Lemah-lembut, pendiam, dan sangat sopan .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Adapun para staf yang menjadi partisipan sepakat bahwa Principal mampu menyesuaikan diri dengan baik. Keempat staf tersebut menyatakan bahwa Principal mampu berinteraksi dengan baik kepada siapa saja di lingkungan sekolah, tanpa terkecuali. Partisipan ke-2 menuturkan bahwa:

“Beliau bisa menyesuaikan diri, baik dengan guru maupun dengan parents. Kebetulan parents dan guru mayoritas bisa berbahasa Inggris, jadi beliau menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan orang tua siswa dan guru. Tetapi untuk yang lain seperti office boy dan lain-lain yang tidak bisa berbahasa Inggris, beliau bisa menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya lumayan fasih juga. ” (Leni Setiowati, 34 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Kemudian para partisipan yang lain menyatakan bahwa Principal bukanlah orang yang kaku. Beliau adalah sosok pemimpin yang sangat hangat dan tidak bersikap layaknya seorang “boss”.

Berdasarkan uraian jawaban dari para partisipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Principal memiliki metacognitive CQ yang mumpuni. Metacognitive CQ yang dimiliki oleh Principal terpancarkan dari sikap beliau yang mampu menyesuaikan diri dengan baik pada saat berinteraksi dengan staf lokal. Kemampuan untuk berinteraksi tersebut beliau miliki berkat adanya kesadaran tinggi untuk mempelajari dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia. Di samping itu, rasa Berdasarkan uraian jawaban dari para partisipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Principal memiliki metacognitive CQ yang mumpuni. Metacognitive CQ yang dimiliki oleh Principal terpancarkan dari sikap beliau yang mampu menyesuaikan diri dengan baik pada saat berinteraksi dengan staf lokal. Kemampuan untuk berinteraksi tersebut beliau miliki berkat adanya kesadaran tinggi untuk mempelajari dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia. Di samping itu, rasa

4.2.1.2 Cognitive CQ Cognitive CQ adalah segala pengetahuan mengenai norma,

praktik, dan konvensi dalam kebudayaan yang berbeda yang telah diperoleh melalui berbagai sumber, baik pendidikan maupun pengalaman pribadi (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal memiliki pengetahuan yang luas tentang Indonesia. Pengetahuan yang dimiliki tersebut kemudian beliau terapkan pada saat memimpin staf lokal. Tidak ada jawaban yang berbeda dalam menyikapi cognitive CQ. Seluruh partisipan memberikan jawaban yang seragam.

Sebagian pengetahuan yang dimiliki oleh Principal sudah diperoleh sejak masih berada di India. Ketika masih di bangku sekolah, beliau menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang muncul dalam buku-buku pelajaran.

“Sebagai seorang siswa di India, saya selalu mendengar dan membaca tentang Indonesia, karena kita sama-sama memiliki epos Mahabarata dan Ramayana .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Di samping itu, ada beberapa hal lain yang menurut beliau sangat identik dengan Indonesia. Menurut beliau, ada 2 alasan mengapa Indonesia kerap muncul dalam pemberitaan di India. Yang pertama adalah tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Beliau mengungkapkan

bahwa berita mengenai berbagai korupsi kelas kakap di Indonesia kerap muncul dalam media massa India. Kemudian hal kedua yang beliau identikkan dengan Indonesia adalah orangutan. Beliau tahu bahwa habitat orangutan berada di hutan-hutan Sumatra dan Kalimantan. Beliau memahami bahwa Indonesia merupakan rumah bagi kawanan orangutan. Kemudian tentu saja beliau sudah tidak asing dengan Bali, karena pulau tersebut merupakan destinasi wisata terkenal di dunia. Uniknya, beliau juga mengetahui Pancasila, yang merupakan ideologi dan dasar negara yang dianut oleh Indonesia. Menurut beliau, ada kesamaan dalam prinsip yang diterapkan oleh India dan Indonesia. Kesamaan prinsip tersebut yang kemudian membuat beliau tidak merasa asing dengan Indonesia. Beliau menuturkan bahwa:

“Dan tentu saja saya tahu soal Pancasila. Karena sebenarnya konsep Pancasila juga ada di India. Maksud saya, kita punya prinsip yang sama soal unity in diversity. Itu adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam etos India .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal.)

Principal juga mengungkapkan bahwa pengetahuannya mengenai Indonesia diperoleh secara mandiri. Beliau memiliki keinginan kuat dan sangat tertarik untuk mempelajari berbagai hal tentang Indonesia. Bahkan beliau sangat menyukai sejarah Indonesia, khususnya pada zaman kerajaan. Beliau mengungkapkan bahwa Majapahit adalah kerajaan yang paling disukai. Kemampuan Majapahit untuk menyatukan berbagai wilayah di Indonesia pada zaman dahulu sangat menarik bagi Principal. Adapun pengetahuan tentang Indonesia

tidak hanya beliau peroleh dari buku-buku saja, namun juga melalui kunjungan ke berbagai objek wisata. Ketika masih tinggal di Jakarta, beliau kerap berkunjung ke berbagai museum. Kemudian beliau menuturkan bahwa objek wisata yang paling disukai adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Principal sangat senang untuk berkunjung ke TMII karena seolah-seolah sedang melihat miniatur Indonesia. Beliau mendapat banyak pengetahuan mengenai rumah- rumah adat dengan gaya arsitektural yang khas dari berbagai daerah. Beliau juga kerap mengunjungi berbagai acara kebudayaan yang dihelat di TMII.

Keempat staf pengajar yang menjadi partisipan sepakat bahwa Principal menerapkan pengetahuan yang dimiliki tentang Indonesia pada saat memimpin. 2 orang staf menyatakan bahwa latar belakang Principal yang sudah tinggal di Indonesia selama 16 tahun merupakan kunci utama di balik luasnya pengetahuan yang dimiliki. Pernyataan tersebut tentu saja relevan, karena 16 tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengembangkan pengetahuan tentang Indonesia. Kecintaan Principal terhadap budaya lokal membuat beliau memberi apresiasi yang tinggi. Contohnya yakni dengan menambah durasi pelajaran Bahasa Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh partisipan ke-3:

“Beliau itu, kalau orang Jawa bilang nguri-uri (mempertahankan) budaya lokal. Jadi walaupun beliau seorang

ekspatriat tapi beliau menghargai first language use atau mother-tongue. Misalnya bahasa Indonesia aslinya hanya ekspatriat tapi beliau menghargai first language use atau mother-tongue. Misalnya bahasa Indonesia aslinya hanya

Kemudian sense of nationality tidak beliau tampakkan selama memimpin staf lokal. Justru beliau ingin menunjukkan bahwa beliau mampu bersikap atau berperilaku selayaknya orang Indonesia. Hal tersebut merupakan sikap yang sangat mulia karena dapat menghilangkan jarak yang disebabkan oleh perbedaan budaya yang ada antara India dan Indonesia. Tidak semua pemimpin ekspatriat mampu bersikap seperti beliau. Partisipan ke-5 berujar bahwa:

“Beliau menunjukkan kalau bekerja di sini (Indonesia), maka beliau juga merupakan bagian dari sini. ” (Crisilia Setiani, 24 tahun, Guru Matematika).

Berdasarkan uraian jawaban di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini Principal sudah mengembangkan cognitive CQ dengan baik. Berbagai pengetahuan mengenai di Indonesia sudah dimiliki oleh beliau sejak masih tinggal di India. Ketika sudah tinggal dan bekerja di Indonesia, beliau memiliki semangat yang tinggi untuk menambah pengetahuannya. Adapun pengetahuan tersebut beliau peroleh dan kembangkan secara mandiri. Kemudian Principal menerapkan pengetahuan tersebut pada saat memimpin, sehingga sangat menunjang dalam interaksi dengan staf lokal.

4.2.1.3 Motivational CQ Motivational CQ adalah kemampuan untuk mengarahkan

perhatian dan energi menuju pembelajaran dan berfungsi pada situasi yang dibentuk oleh perbedaan budaya (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal memiliki motivational CQ yang baik. Principal merasa nyaman untuk tinggal dan bekerja di Indonesia. Beliau tidak merasakan hambatan yang berarti, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Perbedaan budaya antara India dan Indonesia tidak menghambat beliau untuk memperoleh kenyamanan.

Karena memiliki motivational CQ yang baik, maka Principal dapat beradaptasi dengan cepat mengenai berbagai hal, salah satunya adalah kuliner. Sebagai seorang vegetarian dan umat Hindu yang taat, beliau sangat menikmati berbagai varian masakan Indonesia yang berbahan dasar sayur dan tanpa daging. Hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi beliau, karena ketidakcocokan dengan kuliner setempat seringkali menjadi kendala utama (selain bahasa) saat tinggal di luar negara asal. Makanan adalah kebutuhan utama seorang manusia, maka dari itu seorang ekspatriat harus pandai-pandai membiasakan diri dengan kuliner lokal. Sudah banyak contoh mengenai ekspatriat yang tidak bisa dan tidak memiliki selera untuk mengonsumsi masakan lokal, yang kemudian berujung pada munculnya rasa tidak nyaman untuk tinggal dan bekerja di host country.

Principal juga merasa nyaman saat bekerja dan bersosialisasi dengan staf lokal. Beliau berujar bahwa rasa nyaman dan suasana kekeluargaan beliau rasakan pada saat bekerja. Para staf yang menjadi partisipan juga sepakat mengenai hal tersebut. Mereka tidak merasa canggung untuk berinteraksi dengan Principal. Salah seorang staf justru merasa lebih nyaman untuk bekerja di bawah kepemimpinan seorang ekspatriat. Berikut ini adalah penuturan dari staf tersebut:

“Saya terus terang merasa lebih enjoy, daripada saat sebelum manajemen sekolah diambil oleh GMIS. Karena hasil kerja keras kami, para guru, dihargai oleh beliau. Walaupun bentuk penghargaan tidak berupa suatu materi tertentu, hanya berupa ucapan terima kasih, tetapi bagi saya itu sudah sangat berarti. ” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Kemudian 3 orang staf yang lain menyatakan bahwa hingga saat ini merasa nyaman untuk bekerja di bawah kepemimpinan Principal. Di samping itu, baik Principal maupun para staf sama-sama saling menikmati momen bersosialisasi antara satu sama lain.

Salah satu keunikan yang muncul dalam interaksi antara Principal dan staf lokal adalah perbedaan budaya yang ada tidak dipandang sebagai hambatan pada saat bekerja. Bahkan Principal menyatakan bahwa beliau sejauh ini tidak melihat ada perbedaan yang cukup signifikan antara India dan Indonesia. Beliau berkata bahwa pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya India dan Indonesia memiliki kesamaan, khususnya dalam hal saling menghargai terhadap orang lain.

“Sesungguhnya saya tidak melihat ada perbedaan yang cukup berarti antara India dan Indonesia. Prinsip dalam budaya atau tradisi yang ada hampir sama. Orang India juga melakukan hal yang sama, Anda tahu, untuk menghormati orang yang lebih tua. Sehingga saya tidak merasa seperti di luar negeri, saya tidak merasakan perubahan yang drastis. Dalam banyak hal, ada banyak nilai-nilai India yang hampir sama, maksud saya untuk menghargai orang lain .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Hal yang sama juga dirasakan oleh staf. Sejauh ini staf juga tidak merasakan adanya hambatan yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Menurut salah seorang staf, ketika di masa awal kepemimpinan tentu membutuhkan adaptasi. Namun baik Principal maupun staf dapat beradaptasi dengan cepat.

Walaupun demikian, Principal tetap merasakan kendala pada saat bekerja dengan staf lokal. Beliau mengatakan bahwa satu-satunya kendala yang dihadapi adalah tipikal orang Indonesia dalam merespon pertanyaan. Principal menuturkan bahwa beliau cenderung menyukai respon dari berbagai pihak di saat yang bersamaan, namun hal tersebut tidak dipraktikkan oleh orang Indonesia. Dalam artian bagi orang Indonesia, jika sudah ada orang yang memberikan respon, maka orang lain tidak perlu memberi respon tambahan, karena dipandang sudah cukup. Sedangkan Principal menginginkan berbagai sudut pandang yang berbeda, yang kemudian salah satunya akan dipilih sebagai solusi atas permasalahan yang ditanyakan. Untuk hal tersebut, hingga saat ini belum ada solusi yang ditemukan.

Kendala yang berbeda dirasakan oleh staf. Umumnya, kendala yang dirasakan yakni adanya kesalahpahaman. Kesalahpahaman tersebut muncul akibat berbagai faktor, salah satunya adalah bahasa. Partisipan ke-3 mengutarakan bahwa:

“Bahasa, karena perbedaan pemahaman antara satu sama lain. Sebenarnya kami saling memahami, hanya saja terkadang

jawaban yang diberikan oleh beliau bukanlah jawaban yang saya inginkan. Jadi beliau salah menangkap arah pembicaraan. ” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator PreSchool / Guru Kelas TK B).

Adapun partisipan ke-2 menyatakan bahwa kesalahpahaman sempat muncul akibat belum adanya rasa saling mengenal karena masih di awal masa kepemimpinan. Namun lambat laun kesalahpahaman tersebut dapat terurai berkat adanya diskusi antara satu sama lain. Kemudian partisipan ke-5 menyatakan bahwa hambatan yang dirasakan adalah adanya berbagai deadline yang diberikan oleh Principal. Hanya partisipan ke-4 saja yang menyatakan bahwa sejauh ini belum ada hambatan yang cukup berarti, seperti yang diutarakan sebagai berikut:

“Belum ada hambatan. Kalaupun ada, kita cari jalan tengahnya, titik temunya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. ” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Saat bekerja dalam kondisi kebudayaan yang berbeda, seorang ekspatriat umumnya akan mengalami stres. Namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh Principal. Beliau mengutarakan bahwa sejauh ini tidak merasa stres sama sekali. Jika pun ada stres yang dirasakan, lebih mengacu pada situasi di tempat kerja. Terkadang beliau Saat bekerja dalam kondisi kebudayaan yang berbeda, seorang ekspatriat umumnya akan mengalami stres. Namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh Principal. Beliau mengutarakan bahwa sejauh ini tidak merasa stres sama sekali. Jika pun ada stres yang dirasakan, lebih mengacu pada situasi di tempat kerja. Terkadang beliau

Berdasarkan uraian jawaban dari para partisipan, maka dapat disimpulkan bahwa Principal memiliki motivational CQ yang baik. Dengan adanya motivational CQ yang baik, maka Principal merasakan kenyamanan untuk tinggal dan bekerja di Indonesia. Baik Principal maupun para staf sama-sama menikmati momen bersosialisasi antara satu sama lain. Seluruh partisipan sepakat bahwa perbedaan budaya antara India dan Indonesia bukan merupakan suatu hambatan yang berarti.

4.2.1.4 Behavioral CQ Behavioral CQ adalah kemampuan individu untuk menampilkan

perilaku verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa hingga saat ini Principal perilaku verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Van Dyne, 2008). Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa hingga saat ini Principal

Principal mengungkapkan bahwa semenjak tinggal dan bekerja di Indonesia, beliau menjadi terbiasa untuk mengantre. Beliau berujar bahwa:

“Saya tidak tahu apakah saya dapat menyebutnya sebagai aktivitas. Tetapi saya harus mencoba, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, untuk menyesuaikan diri saya dengan lingkungan di sini. Jadi seperti yang Anda lihat, ketika Anda pergi ke kasir di banyak tempat, semua orang akan mengantre sebelum membayar, jadi saya juga ikut dalam antrean. Di India, mengantre bukan hal yang normal untuk dilakukan .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Berdasarkan penjelasan di atas, Principal berusaha untuk sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di Indonesia.

Seluruh staf yang menjadi partisipan sepakat untuk menyatakan bahwa Principal telah menunjukkan berbagai perilaku yang merupakan bentuk penyesuaian terhadap budaya Indonesia. Beliau dengan senang hati mengikuti rangkaian kegiatan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan beliau juga menginginkan agar siswa- siswa asing juga mengikuti kegiatan tersebut. Berikut ini adalah penuturan dari salah seorang staf:

“Mau ikut upacara bendera 17 Agustus. Beliau kemarin bertindak sebagai pemimpin upacara. Walaupun tidak ikut lomba-lomba, tetapi beliau menyaksikan dan mengawasi secara langsung. Beliau sangat menitikberatkan bahwa kita di Indonesia, maka siapapun murid kita walaupun dia orang “Mau ikut upacara bendera 17 Agustus. Beliau kemarin bertindak sebagai pemimpin upacara. Walaupun tidak ikut lomba-lomba, tetapi beliau menyaksikan dan mengawasi secara langsung. Beliau sangat menitikberatkan bahwa kita di Indonesia, maka siapapun murid kita walaupun dia orang

Jawaban berbeda diungkapkan oleh partisipan yang lain. Partisipan ke-3 menyatakan bahwa pada hari-hari tertentu, Principal mengenakan seragam batik. Partisipan ke-4 mengutarakan bahwa beliau cukup ramah dan friendly saat bertutur sapa dengan para staf. Kemudian partisipan ke-5 berujar bahwa beliau seringkali menerapkan sistem musyawarah mufakat pada saat rapat mingguan.

Berdasarkan uraian jawaban dari para partisipan, maka dapat disimpulkan bahwa Principal memiliki behavioral CQ yang baik. Selama masa kepemimpinan hingga saat ini, beliau telah menunjukkan berbagai perilaku yang menunjukkan penyesuaian dengan budaya Indonesia. Mulai dari kegiatan yang sifatnya seremonial hingga kebiasaan hidup orang Indonesia, semua dilakukan oleh beliau dengan baik.

4.2.2 Gaya Kepemimpinan

4.2.2.1 Authoritarian Style Berdasarkan hasil wawancara, para partisipan memberikan

jawaban yang beragam mengenai sisi otoriter dalam diri Principal. Jawaban yang serupa dari para partisipan hanya muncul pada saat menyikapi perihal pemanfaatan kekuasaan. Namun hal yang sama tidak berlaku ketika para partisipan menanggapi perihal toleransi terhadap jawaban yang beragam mengenai sisi otoriter dalam diri Principal. Jawaban yang serupa dari para partisipan hanya muncul pada saat menyikapi perihal pemanfaatan kekuasaan. Namun hal yang sama tidak berlaku ketika para partisipan menanggapi perihal toleransi terhadap

Principal tidak suka memanfaatkan posisi dan kekuasaannya untuk mendapatkan kepatuhan yang mutlak dari para staf. Apa yang dilakukan oleh Principal semata-mata adalah menjalankan instruksi dari pusat. Beliau sangat menekankan hal tersebut kepada staf, bahwa masing-masing pihak memiliki instruksi yang harus dijalankan. Berikut ini merupakan penuturan dari beliau:

“Saya adalah Principal di sini, para staf sudah cukup pandai untuk mengetahui bahwa mereka harus mematuhi instruksi yang saya berikan. Sejauh ini, saya tidak merasa perlu untuk menggunakan kekuasaan atau posisi saya untuk bersikap otoriter. Sepanjang saya beritahu mereka bahwa ada prosedur tertentu yang harus diikuti baik oleh saya maupun mereka, mereka paham .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Hal yang senada juga diungkapkan oleh para staf yang menjadi partisipan. Partisipan ke-2 justru berujar bahwa yang otoriter adalah manajemen yang terdahulu (sebelum diambil alih oleh GMIS). Kemudian ketiga partisipan yang lain secara kompak menyatakan bahwa Principal tidak pernah menunjukkan sikap yang menuntut kepatuhan mutlak dari para staf.

Adapun mengenai sikap yang diambil dalam menanggapi gangguan dari para staf, para partisipan memberikan jawaban yang bermacam-macam. Principal menyatakan bahwa beliau dapat mentolerir hal tersebut. Beliau tidak melihat adanya gangguan yang berarti hingga saat ini, yang sekiranya dapat menghambat tercapainya Adapun mengenai sikap yang diambil dalam menanggapi gangguan dari para staf, para partisipan memberikan jawaban yang bermacam-macam. Principal menyatakan bahwa beliau dapat mentolerir hal tersebut. Beliau tidak melihat adanya gangguan yang berarti hingga saat ini, yang sekiranya dapat menghambat tercapainya

“Sometimes beliau bisa marah sekali. Jadi apa yang bagi saya atau kita orang Indonesia itu biasa saja, bagi beliau bisa jadi

sangat mengganggu. ” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator PreSchool / Guru Kelas TK B).

Jawaban yang beragam dari para partisipan muncul kembali pada saat menanggapi perihal tuntutan. Selama memimpin, Principal merasa bahwa beliau terkadang menuntut staf untuk melakukan apa yang diinginkan olehnya. Lain halnya dengan para staf yang terbagi menjadi 2 kubu, yakni ada yang merasa dituntut namun ada juga yang tidak. Bahkan partisipan ke-4 dengan tegas menyatakan bahwa merasa sangat dituntut oleh Principal. Adapun partisipan ke-2 dengan bijak mengatakan bahwa tuntutan akan selalu ada dari pemimpin di manapun, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

“Tuntutan itu ada. Siapapun pemimpinnya, tuntutan itu pasti akan selalu ada. Hanya untuk Principal, ketika kita dituntut untuk seperti ini dan sudah dilakukan ternyata tidak berhasil, maka beliau mau menanyakan alasannya, mengapa tidak berhasil. K etika dia tahu maka it’s okay. Didiskusikan mengapa “Tuntutan itu ada. Siapapun pemimpinnya, tuntutan itu pasti akan selalu ada. Hanya untuk Principal, ketika kita dituntut untuk seperti ini dan sudah dilakukan ternyata tidak berhasil, maka beliau mau menanyakan alasannya, mengapa tidak berhasil. K etika dia tahu maka it’s okay. Didiskusikan mengapa

Gambar 4.1 Authoritarian Style

3 Iya Tidak

2 Terkadang

Memanfaatkan Memberi toleransi Memberi tuntutan kekuasaan dan

kepada staf posisi

terhadap gangguan

dari staf

Sumber: Data Primer

Berdasarkan grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa Principal cenderung tidak mempraktikkan gaya otoriter pada saat memimpin. Beliau tidak memanfaatkan posisi dan kekuasannya untuk memperoleh kepatuhan yang mutlak dari staf. Beliau dapat mentolerir gangguan yang ada, namun tetap tergantung pada seberapa berat persoalannya. Principal merasa bahwa beliau terkadang menuntut staf untuk melakukan keinginannya dalam memajukan sekolah. Beberapa staf merasa sangat dituntut oleh beliau sedangkan staf yang lain tidak merasa demikian.

4.2.2.2 Bureaucratic-Task Style Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa

Principal adalah seorang pemimpin yang birokratis. Tidak seperti sebelumnya, kali ini seluruh partisipan sepakat dalam menyikapi ketiga poin yang diajukan dalam wawancara. Baik Principal maupun para staf memberikan jawaban yang seragam. Adapun ketiga poin yang diajukan dalam wawancara terdiri dari; (1) hubungan impersonal; (2) pembatasan tugas; (3) standar dan pemantauan kinerja.

Seluruh partisipan sepakat bahwa Principal sangat menjaga hubungan impersonal dengan para staf. Beliau berusaha sedapat mungkin untuk menjaga agar hubungan dengan staf hanya sebatas pekerjaan saja. Beliau berpendapat bahwa jika terlalu dekat dengan staf berpotensi memunculkan sikap subjektif, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

“Secara umum, menurut saya menjaga jarak itu bagus. Karena terkadang, jika terlalu dekat atau familier dengan staf dapat

berujung pada sikap subjektif. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya tidak mencintai mereka. Tetapi saya tetap merasa bahwa saya harus membuat batasan .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Para staf juga mengakui bahwa Principal sangat menjaga agar hubungan dengan staf tetap profesional. Seluruh staf yang menjadi partisipan sepakat bahwa hubungan dengan Principal hanya sebatas di sekolah saja, tidak lebih. Walaupun demikian, Principal tetap membuka kesempatan bagi staf untuk menghubunginya kapan saja mengenai urusan sekolah atau jika ada suatu permasalahan tertentu.

Kesepakatan serupa juga muncul saat seluruh partisipan menyikapi perihal pembatasan tugas. Para partisipan secara kompak menyatakan bahwa Principal bukanlah seorang pemimpin yang membatasi kemampuan stafnya hanya pada tugas tertentu saja. Beliau justru menghendaki para staf untuk melakukan pekerjaan di luar tugas yang diberikan. Senada dengan beliau, para staf juga mengungkapkan hal yang sama. Para partisipan menyatakan bahwa staf harus mampu mengerjakan lebih dari satu tugas. Salah seorang staf menuturkan bahwa:

“Apapun talenta kita, kalau bisa membantu sekolah, beliau akan senang. ” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Kemudian dalam menanggapi perihal kinerja, seluruh partisipan kembali memberikan jawaban yang serupa. Principal adalah sosok pemimpin yang mempertahankan standar tinggi dan selalu memantaunya. Principal menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan oleh beliau dalam rangka mempertahankan kualitas sekolah. Beliau sangat rajin untuk memantau kinerja staf setiap harinya. Berbagai hal beliau lakukan untuk memastikan bahwa staf mengerjakan tugas dengan baik. Beliau menuturkan bahwa:

“Saya menjaga dan mempertahankan ritme yang ada, setiap hari saya mengirimkan memo internal pada seluruh staf. Setiap

waktu saya mengevaluasi dan mengawasi pekerjaan mereka. Saya kerap berkeliling sekolah sebelum jam kerja usai. Saya mempertahankan kemajuan dari seluruh staf. Tidak ada yang saya harapkan selain kinerja yang terbaik .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Para staf pun mengakui hal tersebut. Keempat staf yang menjadi partisipan sepakat untuk menyatakan bahwa Principal sangat mempertahankan standar tinggi dalam kinerja dan giat untuk melakukan follow up. Partisipan ke-2 menuturkan bahwa:

“Kalau memantau dan menetapkan standar tinggi, iya. Karena bagaimanapun juga yang dipertaruhkan oleh kita adalah nama

sekolah. Jadi standar itu tetap beliau pertahankan. ” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Gambar 4.2 Bureaucratic-Task Style

3 Iya

2 Tidak

Menjaga hubungan Membatasi staf pada Sangat ketat dalam impersonal dengan tugas yang diberikan

hal kinerja staf

staf

Sumber: Data Primer Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa Principal adalah

seorang pemimpin yang birokratis dan berorientasi pada tugas atau pekerjaan. Profesionalisme beliau tunjukkan dalam menjaga hubungan dengan staf agar tetap sebatas pada pekerjaan saja, tidak lebih. Beliau juga mempertahankan standar tinggi dalam kinerja dan selalu memantaunya. Segala detail yang ada tidak luput dari perhatian beliau.

Namun demikian, beliau tidak ingin para staf hanya melakukan pekerjaan sesuai tugas yang diberikan. Beliau menghendaki agar para staf memberikan kinerja yang terbaik demi kemajuan sekolah. Apa yang diharapkan oleh beliau adalah para staf menjadi individu yang multitalenta dan mampu mengerjakan berbagai tugas.

4.2.2.3 Nurturant Style Berdasarkan hasil wawancara, tidak seluruh partisipan sepakat

dalam menanggapi sisi nurturant dari Principal. Dari 3 poin yang diajukan dalam wawancara, hanya satu poin saja yang menimbulkan variasi jawaban. Yakni perihal kasih sayang yang diberikan Principal kepada staf. Sedangkan untuk poin-poin yang lainnya seluruh partisipan memberikan jawaban yang seragam. Yakni perihal pertukaran ekspektasi dan kepedulian terhadap kesejahteraan staf.

Principal menyatakan bahwa beliau memandu, mendorong, dan melatih staf dengan penuh perhatian serta kasih sayang. Walaupun terkadang beliau bersikap tegas, namun secara keseluruhan beliau adalah seorang pemimpin yang hangat terhadap para staf. Kemudian beliau juga menambahkan bahwa berada dalam lingkungan sekolah menuntut beliau untuk mempertahankan suasana ceria. Beliau tidak merasa perlu untuk menunjukkan emosi yang berlebihan kepada para staf. Beliau tetap menghendaki para staf untuk memberikan kinerja yang terbaik, namun dengan sikap yang tetap hangat.

“Saya percaya bahwa kami harus mempertahankan suasana yang ceria di sekolah. Saya tidak ingin para staf menjadi stres.

Tetapi di saat yang bersamaan saya menginginkan kinerja yang maksimal dari mereka, saya ingin mereka bekerja secara efisien. Jadi secara umum iya, ini dengan kasih sayang, Saya tidak pernah merasa perlu untuk meninggikan suara saya, saya tidak pernah merasa perlu untuk menunjukkan kemarahan saya. Saya akan lebih suka untuk memberi tahu mereka secara langsung jika ada sesuatu yang tidak saya sukai .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal)

Hal yang sama juga diakui oleh partisipan ke-2 dan ke-3. Jika memang ada hal yang kurang berkenan, beliau akan menyatakannya secara langsung kepada staf yang bersangkutan. Namun beberapa staf yang lain tidak merasa demikian. Partisipan ke-4 dan ke-5 belum merasa dipandu, didorong, dan dilatih oleh Principal dengan penuh perhatian serta kasih sayang. Partisipan ke-4 menuturkan bahwa hal tersebut hanya tampak di awal masa kepemimpinan, namun seiring dengan berjalannya waktu tidak dilakukan kembali. Beliau lebih mengandalkan supervisor untuk melakukan hal-hal tersebut.

“Ketika ada kesempatan untuk memandu di awal, kemarin juga dipandu. Tapi mungkin seiring dengan berjalannya waktu,

beliau melihat bahwa staf bisa berjalan sendiri. Jadi yang dilakukan begini, beliau memegang supervisor, kemudian supervisor tersebut yang diharapkan untuk mengontrol guru- guru. Jadi beliau tidak langsung turun ke bawah. ” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Adapun mengenai harapan atau ekspektasi kepada staf, Principal selalu mengutarakannya pada saat rapat mingguan. Dalam rapat tersebut, beliau menyampaikan hal-hal apa saja yang dikehendaki untuk dilakukan oleh segenap staf. Menurut beliau, bagaimana mungkin staf dapat melakukan apa yang dikehendaki jika ekspektasi tidak disampaikan terlebih dahulu. Namun untuk hal yang sebaliknya, yakni Adapun mengenai harapan atau ekspektasi kepada staf, Principal selalu mengutarakannya pada saat rapat mingguan. Dalam rapat tersebut, beliau menyampaikan hal-hal apa saja yang dikehendaki untuk dilakukan oleh segenap staf. Menurut beliau, bagaimana mungkin staf dapat melakukan apa yang dikehendaki jika ekspektasi tidak disampaikan terlebih dahulu. Namun untuk hal yang sebaliknya, yakni

Walaupun demikian, Principal tetap memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesejahteraan para staf. Bagi beliau, kesejahteraan staf merupakan suatu hal yang sangat penting, maka dari itu perlu untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Beliau menuturkan bahwa jika tidak mampu menyejahterakan para staf (khususnya guru), maka beliau juga tidak akan mampu untuk menjaga kualitas anak didik yang menuntut ilmu di sekolah yang dipimpinnya. Kemudian beliau menambahkan, jika beliau tidak mampu menyenangkan para guru, bagaimana mungkin beliau mampu menyenangkan para siswa. Para staf yang menjadi partisipan sepakat dalam menyikapi kepedulian Principal terhadap kesejahteraan staf. Ketika mengetahui bahwa masih ada beberapa guru yang berlum berstatus sebagai pegawai tetap, beliau dengan gigih memperjuangkan agar beberapa guru tersebut memperoleh kontrak. Partisipan ke-3 menuturkan bahwa:

“Beliau memperjuangkan kontrak, beberapa teman di sini (guru) ada yang belum mendapat kontrak dari pihak manajemen, jadi beliau memperjuangkan itu. ” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator PreSchool / Guru Kelas TK B).

Kemudian 3 partisipan yang lain memberikan jawaban yang seragam, yakni menyatakan bahwa kesejahteraan staf sudah diatur oleh pusat.

Sehingga apa yang dilakukan oleh Principal adalah semata-mata menjalankan instruksi dari pusat.

Gambar 4.3 Nurturant Style

3 Iya Tidak

Bertukar ekspektasi

Peduli terhadap dengan staf

Bersikap hangat

terhadap staf

kesejahteraan staf

Sumber: Data Primer

Berdasarkan grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa Principal bersikap hangat terhadap para staf. Beliau memandu, mendorong, dan melatih staf dengan penuh perhatian serta kasih sayang, walaupun belum terlihat atau dirasakan oleh seluruh staf. Di samping itu, beliau juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesejahteraan staf. Namun antara beliau dan staf belum ada momen yang menjadi ajang pertukaran ekspektasi masing-masing. Sejauh ini hanya Principal saja yang mengungkapkan ekspektasinya kepada staf, namun untuk hal yang sebaliknya belum terjadi.

4.2.2.4 Nurturant-Task Style Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa

Principal bersikap baik kepada seluruh staf tanpa terkecuali. Seluruh partisipan memberikan jawaban yang seragam dalam menanggapi 3 poin yang diajukan dalam wawancara. Para partisipan menyatakan bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang adil dan tidak membeda- bedakan. Adapun ketiga poin yang diajukan dalam wawancara terdiri dari; (1) sikap baik yang ditujukan pada staf yang bekerja dengan sungguh-sungguh; (2) bimbingan, dukungan, perlindungan, dan kasih sayang yang hanya ditujukan pada staf yang bekerja keras; (3) pujian yang diberikan kepada staf yang menyelesaikan tugas tepat waktu.

Principal menyatakan bahwa beliau lebih suka untuk bersikap baik kepada siapa saja. Jika ada hal yang kurang berkenan dari staf atau ada staf yang kinerjanya kurang maksimal, beliau tetap akan bersikap baik. Hal yang senada pun diungkapkan oleh para staf. Staf melihat bahwa Principal tidak pernah bersikap khusus kepada staf tertentu. Partisipan ke-2, ke-4, dan ke-5 secara kompak menyatakan bahwa beliau cenderung menyamaratakan sikap kepada siapa saja. Adapun partisipan ke-3 mengungkapkan bahwa beliau adalah pemimpin yang baik hati dan tidak membuat kasta.

Kemudian Principal adalah sosok pemimpin yang adil dalam memperlakukan staf. Principal menyatakan bahwa beliau memandu, mendukung, dan melindungi seluruh staf tanpa terkecuali. Pada Kemudian Principal adalah sosok pemimpin yang adil dalam memperlakukan staf. Principal menyatakan bahwa beliau memandu, mendukung, dan melindungi seluruh staf tanpa terkecuali. Pada

“Jadi, saya tidak ingin memiliki staf favorit, tapi saya juga hanya seorang manusia biasa. Dan saya akan mengatakan

bahwa pasti akan ada staf yang lebih baik daripada yang lain. Saya pikir sebagai manusia, jika ada yang berbuat lebih maka layak untuk mendapat yang lebih juga, bukankah begitu? Tetapi sebagai seorang pemimpin, saya rasa posisi yang saya emban membuat saya harus adil terhadap siapa saja .” (Smitha Sharma,

54 tahun, Principal).

Sama halnya dengan Principal, para staf juga menyatakan hal tersebut. Seluruh staf yang menjadi partisipan dengan kompak menyatakan bahwa Principal memperlakukan semua staf dengan sama. Semua diperlakukan dengan adil, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.

Principal juga kerap memberikan apresiasi atau pujian kepada staf yang berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu. Beliau akan dengan senang hati memuji staf manapun yang berhasil menyelesaikan tugas sesuai apa yang dikehendaki. Begitu pula halnya yang dirasakan oleh para staf. Seluruh staf yang menjadi partisipan sepakat bahwa Principal kerap memberikan pujian. Seringkali pujian tersebut disampaikan pada saat rapat. Dengan adanya perlakuan seperti itu, para staf merasa senang karena hasil pekerjaannya mendapat apresiasi.

Gambar 4.4 Nurturant-Task Style

3 Iya

2 Tidak

Hanya bersikap baik Memberi perlakuan Memberi pujian kepada staf tertentu khusus kepada staf

kepada staf

tertentu

Sumber: Data Primer Berdasarkan gambar 4.4, maka dapat dilihat bahwa Principal

cenderung menyamaratakan sikap dan memperlakukan semua staf dengan sama. Bagi beliau, memangku jabatan sebagai pimpinan mengharuskan beliau untuk bersikap adil terhadap siapa saja. Sikap dan perlakuan baik tidak hanya ditujukan pada staf yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Beliau tidak membeda-bedakan atau memberi perlakuan khusus terhadap siapapun. Kemudian beliau kerap memberi apresiasi atau pujian kepada staf yang berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu. Seringkali apresiasi tersebut diberikan pada saat rapat mingguan.

4.2.2.5 Participative Style Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa

Principal bukanlah pemimpin yang memiliki kecenderungan untuk Principal bukanlah pemimpin yang memiliki kecenderungan untuk

Ketika menangani berbagai hal yang terkait dengan kepentingan sekolah, Principal menyatakan bahwa beliau kerap berkonsultasi dengan para staf. Hampir setiap hari beliau manfaatkan untuk berkonsultasi dengan staf. Para staf pun sepakat dalam menyikapi hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang sangat terbuka untuk konsultasi. Jika ada hal yang dirasa perlu untuk dikonsultasikan terlebih dahulu dengan staf, pasti akan beliau lakukan. Partisipan ke-3 menuturkan bahwa:

“Iya, misalnya soal kontrak. Beliau sudah memperoleh draft dari atasan, kemudian disampaikan ke supervisor, apa yang

masih kurang, jadi beliau membutuhkan saran. ” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator Preschool / Guru Kelas TK B).

Kemudian ketika ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh staf, Principal menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan kepada staf untuk menyelesaikannya secara bersama-sama. Beliau menyatakan bahwa secara keseluruhan, staf memperoleh kebebasan untuk melakukan hal tersebut. Namun tidak semua staf sepakat dalam hal ini. Muncul kontradiksi dalam jawaban yang diberikan oleh para staf yang Kemudian ketika ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh staf, Principal menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan kepada staf untuk menyelesaikannya secara bersama-sama. Beliau menyatakan bahwa secara keseluruhan, staf memperoleh kebebasan untuk melakukan hal tersebut. Namun tidak semua staf sepakat dalam hal ini. Muncul kontradiksi dalam jawaban yang diberikan oleh para staf yang

“Kalau beliau, misalnya ada problem dengan parents, daripada kita (guru) selesaikan sendiri tetapi tidak berakhir dengan baik, beliau akan lebih berkenan kalau kita berdiskusi dulu bersama- sama, baru kemudian solusinya disampaikan ke parents. ” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Adapun partisipan ke-3 dan ke-4 menyatakan bahwa sesekali Principal memberi kebebasan pada staf. Jadi sifatnya adalah case by case atau tergantung pada persoalan yang dihadapi. Sedangkan partisipan ke-5 menyatakan bahwa Principal belum terlihat seperti itu.

Principal adalah seseorang yang formal. Beliau berusaha untuk selalu profesional, sehingga tidak sering menunjukkan sikap informal. Di samping itu, beliau juga menganggap bahwa perbedaan usia dengan staf menyebabkan beliau tidak bisa bersikap informal. Hal serupa juga diutarakan oleh partisipan yang lain. Para staf yang menjadi partisipan sepakat bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang menjunjung tinggi formalitas. Beliau juga jarang menghabiskan waktu dengan staf karena memiliki kesibukan yang harus dikerjakan. Partisipan ke-4 menuturkan bahwa:

“Beliau sangat tidak suka informal. Beliau tipenya yang formal sekali. Saya ingat beliau pernah berkata bahwa beliau adalah pribadi yang sangat formal. Terutama dalam cara berpakaian, beliau berharap kita semua formal. ” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Gambar 4.4 Participative Style

Iya 2

Tidak Terkadang

Kerap berkonsultasi Menyelesaikan Bersikap informal dengan staf

suatu permasalahan

terhadap staf

secara bersama- sama

Sumber: Data Primer

Berdasarkan grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa Principal tidak secara mutlak memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang partisipatif. Ada kesepahaman antara beliau dan staf perihal konsultasi yang kerap dilakukan. Namun kesepahaman tersebut tidak tampak dalam menyikapi proses penyelesaian masalah. Principal menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan pada staf untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama-sama. Staf ada yang mengakui hal tersebut, namun ada juga yang tidak. Bahkan ada pula staf yang menyatakan bahwa kebebasan tersebut hanya diberikan sesekali saja, atau tidak berlaku di setiap waktu. Kemudian Principal adalah sosok yang sangat formal, sehingga beliau tidak sering bersikap informal dan jarang menghabiskan waktu bersama staf.

4.2.3 Kepemimpinan yang Efektif

Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang efektif. Efektivitas tersebut ditunjukkan melalui berbagai karakter yang telah terlihat dalam diri Principal. Baik Principal maupun staf memiliki definisi yang berbeda mengenai pemimpin yang efektif. Namun uniknya, walaupun jawaban yang diberikan berbeda, seluruh jawaban yang diberikan sudah tampak dalam diri Principal.

Bagi Principal, pemimpin dapat dikatakan efektif apabila mampu mengeluarkan kinerja yang terbaik dari segenap staf tanpa menimbulkan stres. Untuk mewujudkan pemikiran tersebut, Principal berujar bahwa beliau menyiapkan serangkaian instruksi bagi para staf. Namun beliau tetap memegang prinsip untuk tidak menuntut tenaga yang berlebihan dari staf. Maka beliau tidak hanya membuat instruksi saja, namun juga menerangkan bagaimana cara untuk mengaturnya agar staf mampu menyelesaikan berbagai tugas dalam waktu yang bersamaan.

“Saya tanamkan dalam benak saya, bahwa saya tidak boleh menuntut terlalu banyak pekerjaan pada seseorang. Itu semua tetap harus

terbatas pada pekerjaan yang mampu dilakukan. Saya membuat instruksi untuk mereka (staf), tetapi saya juga memberi tahu mereka bagaimana cara untuk mengaturnya, jadi mereka mampu melakukan berbagai aktivitas pada saat yang bersamaan. Kadang-kadang saya memberitahu mereka bagaimana cara untuk menyederhanakan prosedur, jadi mereka mampu untuk melakukan multitasking .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Pendapat yang berbeda diutarakan oleh partisipan yang lain. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah orang yang mau secara Pendapat yang berbeda diutarakan oleh partisipan yang lain. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah orang yang mau secara

“Orangnya harus komunikatif. Saya rasa, kalau ada segala sesuatu yang terjadi, maka hal tersebut harus dikomunikasikan dengan

bawahan. Selain komunikasi, dia juga harus memberikan contoh yang baik kepada bawahan. Dalam artian, pemimpin tidak hanya memberi perintah saja namun juga menunjukkan bahwa dia bisa melakukan apa yang diperintahkan kepada bawahan. ” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Sedangkan partisipan ke-5 menyatakan bahwa seorang pemimpin dapat dikatakan efektif apabila mampu meningkatkan kesejahteraan staf.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka makna pemimpin yang efektif adalah seseorang yang mau mendengarkan bawahannya, komunikatif, mau terjun langsung ke lapangan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan staf. Di mata para staf yang menjadi partisipan, karakteristik tersebut telah ada dalam diri Principal. Beliau tidak ragu untuk terjun langsung melihat situasi dan kondisi yang dialami oleh staf. Partisipan ke-2 berujar bahwa:

“Contohnya begini, ada parents yang komplain, mengapa anaknya tidak diberi tugas. Kemudian saya terangkan permasalahannya kepada

Principal. Lalu beliau menyaksikan sendiri di kelas yang saya ampu, Principal. Lalu beliau menyaksikan sendiri di kelas yang saya ampu,

Kemudian Principal juga berusaha untuk setingkat lebih maju dalam menyejahterakan staf. Ketika beliau mengetahui bahwa masih ada beberapa guru yang belum memiliki asuransi jiwa, maka beliau langsung menghubungi pihak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Lalu contoh yang lain sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa beliau juga telah memperjuangkan nasib beberapa staf yang belum memperoleh status sebagai pegawai tetap. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kecenderungan beliau untuk mau mendengarkan merupakan karakteristik kebangsaan yang dimilikinya. Yakni beliau akan dengan senang hati menerima berbagai pendapat dalam menyikapi suatu permasalahan tertentu. Beliau tidak menutup diri terhadap berbagai kemungkinan solusi yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa hingga saat ini Principal sudah memimpin secara efektif. Hasil kepemimpinan beliau memang belum terlihat secara signifikan, karena GMIS Semarang masih dalam tahap permulaan. Namun beliau sudah menunjukkan berbagai karakteristik pemimpin yang efektif, baik yang disebutkan oleh dirinya sendiri maupun beberapa stafnya. Yakni komunikatif, mau terjun langsung ke lapangan, mau mendengarkan pendapat staf, dan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan staf.

4.2.4 Manajemen, Komunikasi, dan Motivasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan para partisipan, muncul jawaban yang beragam. Seluruh partisipan sepakat bahwa sejauh ini komunikasi antara Principal dan para staf berlangsung dengan baik. Namun ketika menyikapi perihal manajemen dan motivasi, tidak muncul jawaban yang serupa dari para partisipan. Perihal manajemen, ada yang mengatakan bahwa sejauh ini sudah berjalan dengan baik, namun ada pula yang menganggap masih ada sedikit kelemahan. Sedangkan perihal motivasi, ada partisipan yang sudah merasa diberi motivasi, dan ada yang merasa belum diberi motivasi sama sekali.

Dalam menangani segala hal yang terkait dengan pengelolaan sekolah, Principal menyatakan bahwa beliau berpegang teguh pada serangkaian prosedur yang telah ditetapkan oleh pusat. Khususnya terkait hal yang tidak berada dalam wewenangnya. Beliau menuturkan bahwa:

“Saya selalu melapor kepada pihak manajemen mengenai segala keputusan yang saya ambil. Saya juga selalu mengikuti instruksi terkait hal-hal yang tidak berada dalam wewenang saya. Contohnya, saya baru saja mengirim email kepada Chairman mengenai banyak hal. Untuk semua hal yang terkait pengelolaan sekolah, saya selalu berpegangan pada petunjuk dari pihak manajemen .” (Smitha Sharma,

54 tahun, Principal).

Adapun menurut para staf yang menjadi partisipan, hingga saat ini sistem manajemen yang telah diterapkan oleh Principal sudah baik. Beliau selalu membuat perencanaan dengan matang dan terperinci. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa beliau selalu merencanakan segala sesuatu dengan baik. Partisipan ke-3 mengutarakan bahwa beliau adalah orang yang visioner, contohnya yakni beliau sudah merancang setiap acara dari jauh-jauh hari.

Kemudian partisipan ke-4 menyatakan bahwa planning sudah disampaikan dari awal, mengenai apa saja yang harus disiapkan oleh para guru. Perencanaan yang matang tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pengarahan dan aktualisasi yang baik pula. Bahkan beliau tidak sungkan untuk melihat langsung beberapa detail yang terkait. Partisipan ke-3 menuturkan bahwa:

“Contohnya besok ada pertemuan dengan para orang tua. Baru saja beliau berkeliling sekolah untuk memeriksa sejauh mana persiapan

para guru. Seperti di kelas ini, beliau melihat apa saja yang masih harus dipersiapkan oleh saya. Lalu beliau menginstruksikan bahwa saya harus membenahi beberapa kekurangan yang masih ada di kelas saya .” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator PreSchool / Guru Kelas TK B).

Walaupun demikian, bagi beberapa staf masih ada kelemahan dalam segi kontrol dan pembuatan keputusan. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa terkadang Principal masih terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kemudian partisipan ke-4 menyatakan bahwa lagging of control terjadi akibat berbagai kesibukan yang dimiliki oleh beliau. Namun bagi partisipan ke-3, kontrol yang dilakukan oleh Principal sudah baik.

“Beliau selalu follow up secara berkala, sudah sejauh mana perkembangannya. Tetapi follow up tersebut seringkali sifatnya

sewaktu-waktu, jadi semisal kita sedang mengajar lalu diminta untuk menghadap, maka kita harus segera ke ruangan beliau. ” (Irene Dyah

A. A., 28 tahun, Koordinator PreSchool / Guru Kelas TK B).

Adapun perihal komunikasi antara Principal dan staf sejauh ini berjalan dengan lancar. Tidak ada permasalahan yang berarti dalam segala bentuk komunikasi yang ada, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beliau Adapun perihal komunikasi antara Principal dan staf sejauh ini berjalan dengan lancar. Tidak ada permasalahan yang berarti dalam segala bentuk komunikasi yang ada, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beliau

“Komunikasi sejauh ini excellent. Kami punya grup Whatsapp yang isinya saya dan seluruh guru serta staf yang lain. Pertemuan personal atau berkelompok, jika mereka memiliki suatu masalah, mereka hanya perlu mengetuk pintu ruangan saya saja. Mereka dapat mengunjungi saya kapan saja, untuk mendiskusikan berbagai hal. Jadi komunikasi berjalan melalui semua level, email, komunikasi formal. Pertemuan personal berlangsung sepanjang waktu .” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh beberapa staf. Partisipan ke-3 menyatakan bahwa Principal tidak bisa disebut sebagai orang yang kaku, sehingga sifatnya serius tetapi tetap santai. Kemudian partisipan ke-4 mengutarakan bahwa setiap bertemu dengan beliau pasti bertukar sapa dan jika ada perlu pasti langsung dikomunikasikan dengan beliau.

Principal pun kerap memberikan motivasi terhadap para staf. Beliau sangat menegaskan kepada staf bahwa industri jasa mengharuskan siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk memberikan yang terbaik. Jika dalam konteks sekolah, maka harus memberikan yang terbaik bagi para siswa. Motivasi yang diberikan beliau berupa apresiasi dan memberi contoh kepada para staf. Berikut ini adalah penuturan beliau:

“Tentu saja saya memotivasi mereka setiap saat. Saya beritahu mereka, kita adalah industri jasa. Dalam industri jasa kita harus secara konsisten memberikan yang terbaik dan kita berurusan dengan anak- anak sepanjang waktu. Salah satu cara untuk memotivasi mereka adalah dengan memberi contoh. Saya adalah Principal dan saya juga mengajar. Jadi saya beritahu mereka bahwa melakukan berbagai hal di saat yang bersamaan bukanlah sesuatu yang mustahil. Saya mampu melakukannya, sebagai seorang guru sekaligus administrator. Saya memberi mereka contoh mengenai bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan tertentu. Kita dapat menjadi hebat dalam segala hal, karena itu adalah apa yang diharapkan oleh para orang tua dan juga siswa.

Yakni tetap mempertahankan standar tinggi untuk semua aktivitas. Jadi saya memotivasi mereka dengan memberi pujian, pujian atas usaha dari para staf. Maksud saya, semua orang itu bagus, tetapi beberapa guru dan staf tentunya lebih baik daripada yang lain. Saya menetapkan standar saya sendiri. Jadi saya beritahu mereka, jika saya yang sudah berumur saja bisa melakukannya, maka mereka juga harus bisa. ” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Beberapa staf pun merasa bahwa Principal kerap memberikan motivasi, khususnya pada saat rapat. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa beliau sering memberi motivasi, terutama pada saat rapat. Kemudian partisipan ke-2 menambahkan bahwa beliau sering memosisikan dirinya sebagai staf, sehingga staf tidak merasakan kesenjangan antara atasan dan bawahan. Adapun partisipan ke-3 menyatakan bahwa motivasi yang diberikan berupa wording atau petuah. Namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh beberapa staf yang lain. Partisipan ke-4 menyatakan bahwa belum merasa diberi motivasi oleh Principal. Kemudian partisipan ke-5 menyatakan bahwa hingga saat ini belum pernah melihat adanya motivasi yang diberikan oleh beliau pada saat rapat.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa Principal sejauh ini sudah menerapkan sistem manajemen dengan baik. Namun bagi beberapa staf masih ada kelemahan dalam segi kontrol dan pembuatan keputusan. Komunikasi yang terjalin antara Principal dan staf pun berjalan dengan lancar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian Principal juga kerap memberi motivasi, seringkali pada saat rapat, walaupun belum dilihat atau dirasakan oleh seluruh staf.

4.3 Ringkasan

Serangkaian hasil wawancara dengan para partisipan menunjukkan bahwa CQ berperan dalam kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Principal. Principal memiliki metacognitive CQ yang baik, yang ditandai oleh kesadarannya untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan budaya Indonesia. Cognitive CQ yang dimiliki oleh beliau ditunjukkan dengan luasnya pengetahuan tentang budaya Indonesia, yang merupakan rangkaian dari pengetahuan yang dimiliki sejak masih di India hingga berkarier di Indonesia. Motivational CQ yang tinggi ditandai dengan adanya kenyamanan yang dirasakan untuk bekerja dan berinteraksi dengan segenap staf lokal. Kemudian behavioral CQ direpresentasikan melalui berbagai aktivitas yang menunjukkan peleburan dalam budaya Indonesia.

Dalam memimpin para staf, Principal cenderung tidak otoriter. Beliau lebih cenderung mempraktikkan gaya birokratis, dengan sikapnya yang selalu menjaga hubungan impersonal, menginginkan kinerja yang terbaik dari seluruh staf, dan tak kenal lelah dalam memantau kinerja staf. Principal memiliki sikap nurturant, yakni dengan memberi apresiasi (pujian) dan motivasi kepada staf. Namun sikap nurturant tersebut tidak diperuntukkan bagi staf tertentu saja, namun merata kepada seluruh staf tanpa terkecuali. Beliau juga memiliki sisi partisipatif, yang ditunjukkan melalui intensitas konsultasi dengan para staf.

Principal dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang efektif, yang ditunjukkan melalui berbagai karakteristik yang khas, yaitu:

a. Komunikatif

b. Mau mendengarkan pendapat staf b. Mau mendengarkan pendapat staf

d. Mampu meningkatkan kesejahteraan staf Sederet karakteristik tersebut merupakan hal-hal yang telah dilihat dan dirasakan

oleh para staf. Komunikasi yang terjalin antara Principal dan staf pun berlangsung dengan baik. Kemudian dalam mengelola manajemen sekolah, secara keseluruhan Principal sudah dipandang baik oleh para staf. Hanya saja masih ada kelemahan dalam segi kontrol dan pengawasan.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dari penelitian ini, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Principal telah mengembangkan cultural intelligence (CQ) dengan baik, yang terdiri dari 4 aspek yakni metacognitive (kesadaran),

cognitive (pengetahuan), motivational (motivasi), dan behavioral (perilaku). Keempat aspek tersebut beliau asah secara mandiri dan sangat bermanfaat dalam menciptakan kenyamanan bagi Principal saat bekerja dalam kondisi kebudayaan yang berbeda. Principal tidak mengalami kesulitan yang berarti selama tinggal dan bekerja di Indonesia. Beliau dapat beradaptasi dengan cepat, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Di samping itu, CQ berperan pula dalam menciptakan kepemimpinan lintas budaya yang efektif. Principal berusaha sedapat mungkin untuk mewujudkan efektivitas dalam kepemimpinan yang sesuai dengan kemampuannya. Bagi para staf, hingga saat ini Principal telah menunjukkan berbagai karakteristik pemimpin yang efektif, yakni; (1) komunikatif; (2) mau mendengarkan pendapat staf; (3) mau terjun langsung ke lapangan bersama staf; dan (4) mampu meningkatkan kesejahteraan staf.

2. Gaya kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Principal adalah birokratis, namun tetap memiliki sentuhan nurturant. Peranan CQ kemudian menyebabkan gaya kepemimpinan Principal tidak sepenuhnya nurturant, karena tidak sesuai dengan karakteristik orang Indonesia. Principal cenderung berorientasi pada tugas atau pekerjaan dan menginginkan kinerja terbaik dari staf, namun tetap bersikap hangat dengan memberi motivasi dan apresiasi atas hasil kerja staf. Adapun sikap hangat dan apresiasi tersebut tidak dikhususkan kepada staf tertentu, namun diberikan kepada seluruh staf tanpa terkecuali. Sisi partisipatif juga nampak dalam diri beliau, yakni melalui intensitas konsultasi dengan para staf.

Gambar 5.1

Rekapitulasi Gaya Kepemimpinan

AS: Authoritarian Style BTS: Bureaucratic- Task Style NS: Nurturant Style

NTS: Nurturant-Task Style

PS: Participative Style

Tabel 5.1

Hasil Penelitian

No. Item Hasil

Principal memiliki kesadaran tinggi

1. Metacognitive CQ untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan budaya Indonesia Principal memiliki pengetahuan yang

2. Cognitive CQ luas tentang budaya Indonesia

 Principal merasa nyaman untuk bekerja dan berinteraksi dengan staf

lokal

3. Motivational CQ  Belum ada hambatan yang berarti

selama tinggal dan bekerja di Indonesia

Principal telah menunjukkan berbagai

4. Behavioral CQ perilaku yang merupakan bentuk penyesuaian dengan budaya Indonesia

 Principal tidak menjunjung tinggi kekuasaan yang dimiliki  Principal terkadang dapat memberi

5. Authoritarian Style toleransi terhadap gangguan dari staf

 Principal terkadang memberi tuntutan pada staf  Principal sangat menjaga hubungan impersonal dengan staf  Principal menghendaki agar staf

6. Bureaucratic-Task Style tidak hanya terpaku pada job

description

 Principal menginginkan kinerja  Principal menginginkan kinerja

 Antara Principal dan staf belum ada pertukaran ekspektasi

 Principal memandu, mendorong,

7. Nurturant Style dan melatih staf dengan penuh perhatian serta kasih sayang

 Principal memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan staf  Sikap baik yang ditunjukkan oleh Principal tidak hanya ditujukan

pada staf yang bekerja keras saja  Bimbingan, dukungan,

perlindungan, dan kasih sayang

8. Nurturant-Task Style yang diberikan oleh Principal tidak hanya ditujukan pada staf yang bekerja keras saja

 Principal selalu memberi pujian kepada staf yang menyelesaikan

tugas tepat waktu  Principal sering berkonsultasi

dengan staf  Principal terkadang memberi kebebasan pada staf untuk

9. Participative Style menyelesaikan suatu permasalahan

secara bersama-sama  Principal tidak pernah bersikap

informal

Sumber: Data Primer

3. Secara keseluruhan, sistem manajemen yang telah diterapkan oleh Principal sudah berjalan dengan baik. Beliau adalah seorang pemimpin yang visioner, merencanakan berbagai hal dengan matang dan seksama, serta mempersiapkannya dengan baik. Namun bagi beberapa staf masih ada sedikit kelemahan dalam segi kontrol dan pembuatan keputusan. Beberapa staf memandang bahwa masih terdapat lagging of control dan pembuatan keputusan masih cenderung terburu-buru. Walaupun demikian, hingga saat ini komunikasi yang terjalin antara Principal dan staf berjalan dengan lancar. Kemudian Principal juga kerap memotivasi staf pada saat rapat, melalui berbagai petuah atau kiasan tertentu. Namun sayangnya hal tersebut belum dilihat atau dirasakan oleh seluruh staf.

5.2 Implikasi Manajerial

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh beberapa implikasi sebagai berikut:

1. Bagi beberapa staf, masih ada sedikit kelemahan dalam sistem manajemen yang dijalankan oleh Principal. Maka dari itu, perlu ada

peningkatan kontrol oleh Principal. Selain itu keputusan yang diambil oleh Principal juga perlu dipertimbangkan dengan seksama dan tidak dibuat secara terburu-buru.

2. Sejauh ini hanya Principal saja yang menyampaikan ekspektasi kepada para staf, sedangkan untuk hal yang sebaliknya belum terjadi. Maka 2. Sejauh ini hanya Principal saja yang menyampaikan ekspektasi kepada para staf, sedangkan untuk hal yang sebaliknya belum terjadi. Maka

3. Principal dapat mengadakan pelatihan dan pengembangan mengenai CQ bagi tenaga pengajar asing di GMIS Semarang. Principal dapat

menggunakan kajian ilmiah atau literatur yang telah ada untuk digunakan sebagai acuan. Selain itu Principal juga dapat melakukan kontak langsung dengan pihak CQ Centre ( [email protected] ) untuk memperoleh pendampingan serta berbagai perangkat pelatihan dan pengembangan.

5.3 Saran

5.3.1 Bagi Gandhi Memorial Intercontinental School Semarang

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka terdapat beberapa saran bagi Gandhi Memorial Intercontinental School (GMIS) Semarang, yang terdiri dari:

1. Hendaknya GMIS Semarang mempertahankan situasi kerja yang kondusif antara Principal dan staf, sehingga perbedaan budaya yang

ada tidak menjadi hambatan dalam lingkungan kerja.

2. Principal hendaknya sesekali meluangkan waktu (di luar jam kerja) untuk bercengkerama dengan staf, agar terjalin hubungan yang lebih akrab, karena hal tersebut merupakan hal yang notabene dilakukan di Indonesia.

3. Para staf yang masih melihat kekurangan dalam diri Principal hendaknya mengomunikasikannya secara langsung dengan beliau, karena beliau pada dasarnya sangat terbuka untuk menerima berbagai saran.

5.3.2 Bagi Pemimpin Ekspatriat di Institusi / Perusahaan Lainnya

Bagi para pemimpin ekspatriat yang ada di Indonesia, hendaknya mengasah atau mengembangkan CQ, karena telah terbukti mampu menunjang kepemimpinan yang efektif. Kemudian pemimpin ekspatriat hendaknya juga menerapkan sistem manajemen yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Tiap daerah atau regional di Indonesia memiliki iklimnya masing-masing. Maka dari itu, sistem yang diterapkan hendaknya disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat.

5.3.3 Bagi Peneliti Mendatang

Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, maka terdapat berbagai saran sebagai berikut:

1. Hendaknya penelitian selanjutnya dilaksanakan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

2. Hendaknya penelitian selanjutnya dilakukan pada sebuah perusahaan berskala besar.

3. Hendaknya penelitian selanjutnya mengeksplorasi CQ dan gaya kepemimpinan dari bangsa Asia lainnya, karena belum banyak dikaji dalam literatur seperti halnya bangsa Eropa.

4. Hendaknya penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi CQ dalam level domestik, karena masyarakat Indonesia memiliki latar belakang kebudayaan yang beragam.

5.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, diharapkan penelitian yang mendatang mampu memperbaiki keterbatasan yang ada dalam penelitian ini. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu yang relatif singkat, sehingga peneliti belum maksimal dalam proses perolehan data. Peneliti

hanya memperoleh hasil wawancara saja, sedangkan untuk observasi belum diperoleh hasilnya.

2. Penelitian ini menggunakan sekolah internasional sebagai objek, dengan suasana kerja yang tentunya berbeda dari perusahaan. Adapun sekolah internasional yang digunakan sebagai objek dalam penelitian ini lingkupnya masih terbilang kecil di Kota Semarang, dengan jumlah staf yang belum terlalu banyak.