METODOLOGI RISET

III. METODOLOGI RISET

III.1. Lingkup Akademik

Penelitian ini berusaha melihat fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dalam diskusi tentang demokrasi di media melalui perspektif Psikoanalisis, Komunikasi, dan Politik. Secara lebih khusus, penelitian ini berada di interseksi antara kajian media baru, kajian partisipasi demokrasi dan terutama kajian psikoanalisis linguistik.

31 Subyeksi merupakan proses yang melaluinya seonggok tubuh yang disebut ‘manusia’ menjadi subyek. Melalui subyeksi, manusia dipakaikan suatu identitas yang menentukan siapa dia (subyek) dan

siapa yang bukan dia (abyek). Abyeksi adalah proses yang melaluinya sang subyek mengidentifikasi, dan kemudian menyingkirkan aspek-aspek yang mengganggu keutuhan ideal imajiner subyektivitasnya. Abyeksi, dengan demikian adalah proses yang selalu mengikuti proses subyeksi. Untuk catatan ini, lihat Judith Butler, Bodies thatMatter (London, NY: Routledge, 1993), bab 1.

III.2. Argumentasi

Argumentasi yang akan diuji oleh penelitian ini adalah bahwa media tidak serta merta menjadi faktor penentu sukses tidaknya demokrasi. Ada faktor- faktor lainnya yang menjadi ‘variabel antara’ di antara partisipasi media dan demokrasi, yang juga dapat mempengaruhi mengapa demokrasi media masih sangat kurang. Faktor lain tersebut hanya bisa dipahami apabila meletakkan prilaku partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi sebagai modus artikulasi pemuasan hasrat, atau yang disebut simtom. Melalui identifikasi simtom dominan, analisis akan mampu menunjukkan identitas hasrat apa yang sebenarnya dikejar saat seseorang berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Dengan meletakkan seperti ini, maka menjadi terbuka peluang untuk mengidentifikasikan faktor lain tadi. Dengan mendedah identitas hasrat dari bentuk kongkrit obyek hasrat, maka dapat diketahui bahwa yang sebenarnya dikejar oleh seseorang saat ia melakukan prilaku partisipasi demokrasi, sebenarnya bukan partisipasi itu sendiri, melainkan apa yang akan disebut ‘sensasi partisipasi demokrasi’ itu sendiri. Sensasi partisipasi demokrasi merupakan motivasi libidinal subyek untuk melakukan partipasi demokrasi. Sekali lagi, bukan partisipasi demokrasi yang dipentingkan, melainkan identitas hasrat apa yang mampu ia ekstrak saat ia menjalankan simtom partisipasi demokrasi tersebut.

Keslaah-mengiraan antara sensasi dengan realitas inilah yang memungkinkan terjadinya pengalihan (diversionary) partisipasi demokrasi. Adalah media baru, klaim kami, yang mampu melakukan kerja pengalihan ini. Melalui media baru, energi-energi subyek hasrat yang melakukan partisipasi demokrasi tadi dialihkan untuk terus menerus merepetisi proses kongkrit partisipasi tadi melalui media baru. Partisipasi, akhirnya menjadi sebentuk ritual fetis. Subyek hasrat terjebak dalam sirkuit partisipasi demokrasi yang terus menerus berepetisi. Akhirnya, energi yang seharusnya disalurkan ke permasalahan-permasalahan kongkrit di lapangan menjadi terbendung dan terjebak di sirkuit media baru. Dengan beghini, menjadi masuk akal paradoks demokrasi di era media baru yang kami sampaikan di atas. Ketiadaan perubahan signifikan di lapangan, bukan karena absennya partisipasi. Ia terjadi karena telah terjadi pengalihan dan penjebakan energi partisipasi secara besar-besaran ke dalam sirkuit-sirkuit media baru. Dan semenjak yang sebenarnya dibutuhkan subyek dalam berpartisipasi adalah hanya sensasinya saja (sensasi memperoleh identitas hasrat yang ditujunya), maka ia akan terus terjebak tunggang-langgang dalam sikuit media baru, sementara demokrasi riil akan semakin defisit dan defisit, ... menyisakan pemimpin-pemimpin otoriter.

Penelitian ini memiliki implikasi teoritis, terutama pada pergeseran (jika memang terjadi) konsep tentang partisipasi pada demokrasi. Lebih jauh lagi, konsep demokrasi partisipatoris menuntut banyak modifikasi (jika bukan harus ditinggalkan) untuk bisa tetap relevan di era kontemporer di mana terjadi Penelitian ini memiliki implikasi teoritis, terutama pada pergeseran (jika memang terjadi) konsep tentang partisipasi pada demokrasi. Lebih jauh lagi, konsep demokrasi partisipatoris menuntut banyak modifikasi (jika bukan harus ditinggalkan) untuk bisa tetap relevan di era kontemporer di mana terjadi

III.3. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data primer berupa “kicauan” (tweet) para pengguna mikro-blog Twitter, dengan kata kunci ‘pilkada’ dan ‘pilgub’. Data diambil selama hampir dua minggu; mulai Rabu, 12 September 2012, hingga Senin, 24 September 2012. Periode tersebut sengaja dipilih dengan mempertimbangkan besarnya minat masyarakat, khususnya para pengguna Twitter, beberapa hari menjelang dan setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta dilaksanakan (Kamis, 20 September 2012). Dengan banyaknya tweet yang terekam, maka Peneliti kemudian menetapkan protokol seleksi terhadap seluruh tweet yang telah dikumpulkan agar mempermudah proses analisis. Protokol tersebut adalah sebagai berikut:

 Topik yang “dikicaukan” adalah seputar pilkada/pilgub DKI Jakarta dan bukan di daerah lain.

 Kicauan atau tweet bukan merupakan berita/informasi, serta bukan pengulangan atau retweet dari berita/informasi.

 Meski menggunakan kata kunci ‘pilkada’ atau ‘pilgub’, topik yang disinggung oleh para pengguna Twitter dapat berbeda-beda namun

masih seputar pilkada/pilgub DKI Jakarta. Untuk itu, Peneliti membagi topik kicauan lebih detil ke dalam lima hal terkait pilkada/pilgub DKI Jakarta, yakni: event pilkada/pilgub itu sendiri, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam pilkada putaran kedua, rakyat/Jakarta/Indonesia, demokrasi, serta lain-lain yang tidak termasuk ke dalam empat hal sebelumnya.

 Setiap pengulangan dari tweet (retweet, RT) yang lolos protokol seleksi di atas akan dihitung sebagai satu data.  Data yang dicari berjumlah total 1.000 (seribu) data tweets siap analisis, dengan rincian 500 (lima ratus) tweets berkata kunci ‘pilkada’ dan 500 (lima ratus) tweets berkata kunci ‘pilgub’.

BAB 2 PENYAJIAN DATA TEMUAN

Sebaran Obyek Hasrat

Dari 1000 (seribu) data tweets yang terkumpul, baik dengan kata kunci ‘pilkada’ maupun ‘pilgub’, objek hasrat yang nampak dominan adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2012 itu sendiri, yakni sebanyak 521 tweets. Para pengguna Twitter “mengicaukan” berbagai hal terkait penyelenggaraan event ini seperti prosedur pelaksanaan pilkada/pilgub yang ideal, mengomentari strategi kampanye yang digunakan oleh kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur selama masa kampanye, hingga perihal keterkaitan antara pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012 dan pemilihan presiden pada 2014. Di antara komentar-komentar atas penyelenggaraan pilkada/pilgub yang ideal tersebut, suara “kicauan” yang paling menonjol berupa keprihatinan masyarakat pengguna Twitter akan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang beredar selama pilkada/pilgub ini. Mulai dari suara-suara yang menanggapi isu ini dengan nada bercanda (menyindir) hingga yang mengkritik keras muatan-muatan SARA selama proses pilkada/pilgub ini berlangsung. Meski demikian, ada pula tweets yang, sebaliknya, justru mendukung pelibatan isu SARA sebagai bahan pertimbangan dalam memilih gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta putaran kedua.

Sebaran Obyek Hasrat

Lainnya 10%

Demokrasi 9%

Rakyat/Jakarta/In donesia

Pilkada/Pilgub

52% Pasangan

Sebaran Obyek Hasrat

Objek hasrat kedua dominan seperti dalam grafik di atas adalah kedua pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012, yakni sejumlah 195 tweets. Umumnya, Twitter digunakan oleh para pendukung kedua pasangan untuk mendukung calon pilihannya, dengan atau tanpa menyebutkan alasan optimisme mereka terhadap pasangan cagub dan cawagub tersebut. Selain itu, tidak sedikit pula tweets yang ditujukan kepada salah satu pasangan dan berisi kritikan atau sindiran terhadap mereka. Sedangkan pola lain yang ditemukan adalah suara-suara yang menginginkan adanya calon independen dalam pilkada/pilgub

DKI Jakarta 2012; oleh karena adanya ketidakpuasan para tweeps 1 tersebut atas kedua pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lolos ke putaran kedua. Namun, pola yang terakhir sangat minim jumlahnya dibandingkan dengan kicauan berbentuk dukungan bagi salah satu dari kedua pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012 yang lalu.

Objek hasrat yang umum ditemukan ketiga adalah rakyat/Jakarta/Indonesia, dengan jumlah 97 tweets. Tweets yang masuk dalam kategori ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat pengguna Twitter sering menggunakan Jakarta sebagai pembanding atas kondisi politik domestik Indonesia. Banyak tweets yang berisi harapan dan keinginan atas terwujudnya rakyat/Jakarta/Indonesia “yang lebih baik” melalui event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu. Terwujudnya “rakyat yang lebih baik” seperti misalnya harapan untuk masyarakat Jakarta (dan ada pula tweets yang merujuk kepada masyarakat Indonesia, seperti tweet berikut: Another drama, ketakutan tnp dasar, ayooo dong Indonesia, move on"@sutomoagus92: Hanya soal pilgub aja, seolah2 akan terjd tragedi thd bgs) agar menjadi semakin kritis dan “dewasa” dalam berdemokrasi, khususnya dalam memilih pemimpin melalui pemilihan umum. Sedangkan harapan

1 Sebutan bagi para pengguna Twitter.

atas “Jakarta yang lebih baik” tampak lebih variatif: mulai dari yang praktis—Jakarta bebas macet, misalnya—hingga yang abstrak—sebagian besar adalah tentang Jakarta yang “berubah”. Sementara mengenai “Indonesia yang lebih baik”, suara-suara yang cenderung muncul adalah harapan mengenai Indonesia yang damai dan plural (terkait beredarnya isu SARA dalam pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012).

Tidak jauh berbeda dalam jumlah, objek hasrat keempat yang umum muncul dari data yang terkumpul adalah ‘lainnya’, yaitu sebanyak 96 tweets. Objek hasrat dalam kelompok ini sangat variatif; seperti misalnya media televisi, lembaga survey, agama, jingle kampanye, calon independen, partai, dan lain-lain yang kesemuanya masih berkaitan dengan proses berlangsungnya event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu. Di antara objek-objek hasrat yang masuk ke dalam kelompok ‘lainnya’ ini, objek hasrat yang cukup menonjol dan sering dibicarakan adalah media televisi. Kicauan yang terkumpul banyak menyoroti bagaimana media (seharusnya) berperan dalam menyosialisasikan event tersebut secara ideal, salah satunya misalkan tidak timpang memberitakan event lokal yang satu dengan yang lain, sehingga isu lokal seperti pilkada DKI Jakarta tiba-tiba menjadi event nasional.

Objek hasrat terakhir yang nampak dalam analisis ini adalah ‘demokrasi’, dengan jumlah 91 tweets. Demokrasi yang dimaksud dalam tweets pada kelompok ini adalah suara rakyat yang tercermin dalam pemilihan umum/pilkada/pilgub. Tweets dengan objek hasrat ‘demokrasi’ inipun ada yang bernada menyindir proses demokrasi (pilkada/pilgub dan juga pemilihan presiden) di Indonesia yang tidak jujur, tetapi juga ada yang berupa himbauan ataupun harapan untuk mendukung proses demokrasi tersebut agar dapat berjalan semakin baik.

Sebaran Motivasi Hasrat

Sedangkan dari kategori motif hasratnya, pada 1000 data tweets yang terkumpul cenderung didominasi oleh kategori hasrat Aktif-Anaklitik-Simbolik dengan jumlah 500 tweets dan Aktif-Anaklitik-Imajiner dengan jumlah 347 tweets. Ini berarti, pada umumnya masyarakat pengguna Twitter itulah yang secara aktif mengambil inisiatif untuk menghasrati objek hasrat yang terdapat dalam tweets mereka masing-masing untuk pemuasan hasrat diri mereka sendiri. Hasrat tersebut umumnya adalah hasrat untuk memiliki sesuatu yang bersifat simbolik/konkret. Masyarakat cenderung memerhatikan dan karenanya merefleksikan apa yang mereka amati dari lingkungan mereka untuk kemudian menghasrati sesuatu yang bersifat simbolik/konkret terkait pilkada; hal-hal seperti misalnya terkait prosedur pelaksanaan pilkada/pilgub, ada- tidaknya isu SARA dalam kampanye, metode berkampanye yang sportif, dll. Contohnya, tweet yang mengkritik strategi kampanye yang digunakan oleh salah satu pasangan peserta putaran kedua pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012, yang memakai lagu religi berikut ini:

Iya, lagu religi itu ga pas banget, intimidatif RT @imanbr: Sayup sayup suara TV, kupikir iklan Ramadhan. Eh taunya iklan pilkada :)).

Sedangkan pada jumlah kedua terbanyak, motif hasrat yang muncul dalam data tweets yang terkumpul adalah Aktif-Anaklitik-Imajiner. Hampir sama dengan motif hasrat yang dominan pertama sebelumnya, hanya saja kali ini apa yang diinginkan untuk dimiliki oleh para tweeps tersebut bersifat imajiner/abstrak, seperti misalnya Jakarta “yang lebih baik”, Indonesia “yang lebih dewasa dalam berdemokrasi”, ataupun pemimpin “yang mampu mengatasi berbagai masalah di Jakarta/Indonesia”. Kecenderungan ini menampilkan ide-ide masyarakat pengguna Twitter tentang masyarakat, Jakarta, Indonesia, dan objek hasrat lainnya yang ideal terkait event pilkada/pilgub atau bahkan pemilihan umum di tingkat nasional sekalipun. Bentuknya dapat berupa sindiran atas kondisi rakyat/Jakarta/Indonesia yang tidak ideal ataupun pujian dan himbauan untuk menuju rakyat/Jakarta/Indonesia yang ideal.

Sebaran Motif Hasrat

Aktif-Narsistik-Simbolik Aktif-Narsistik-Real Aktif-Anaklitik-Imajiner

Aktif-Anaklitik-Simbolik Aktif-Anaklitik-Real Pasif-Narsistik-Imajiner

Pasif-Narsistik-Simbolik Pasif-Narsistik-Real Pasif-Anaklitik-Imajiner Pasif-Anaklitik-Simbolik

Motif hasrat ketiga yang umum ditemukan dalam data penelitian ini adalah Pasif-Anaklitik-Imajiner sebanyak 59 tweets. Motif hasrat ini sama dengan motif hasrat sebelumnya; namun berbeda dalam hal tujuan pemenuhan hasratnya. Kategori hasrat yang ‘pasif’ dapat dikenali dari tujuan pemenuhan kepuasan/hasratnya yang bukan diri sendiri (para pengujar tweets tersebut), melainkan sesuatu di luar diri mereka. Misalnya seperti dalam tweet berikut, yang nampak jelas bahwa tujuan pemenuhan hasratnya adalah untuk “kemenangan rakyat, untuk demokrasi, untuk nusantara jaya”:

Meski bkn warga dki,tp mengikuti perkembangan pilgub dki sgt mendebarkan,dan inilah kemenangan rakyat,untuk demokrasi,utk nusantara jaya.

Motif hasrat berikutnya yang juga cukup banyak muncul adalah Aktif-Narsistik- Simbolik sebanyak 32 tweets, Pasif-Anaklitik-Simbolik sebanyak 31 tweets, dan Aktif- Narsistik-Imajiner sebanyak 23 tweets. Motif narsistik dikenali dari hasrat untuk menjadi sesuatu, bukan memiliki; baik yang bersifat konkret (simbolik) dan abstrak (imajiner). Contoh tweet dengan motif Aktif-Narsistik-Simbolik yang ditemukan dalam data adalah Motif hasrat berikutnya yang juga cukup banyak muncul adalah Aktif-Narsistik- Simbolik sebanyak 32 tweets, Pasif-Anaklitik-Simbolik sebanyak 31 tweets, dan Aktif- Narsistik-Imajiner sebanyak 23 tweets. Motif narsistik dikenali dari hasrat untuk menjadi sesuatu, bukan memiliki; baik yang bersifat konkret (simbolik) dan abstrak (imajiner). Contoh tweet dengan motif Aktif-Narsistik-Simbolik yang ditemukan dalam data adalah

Sebaran Motif Hasrat

Sebaran Struktur Wacana Hasrat

Seluruh hasrat itu umumnya disampaikan dalam bentuk Hysteric Discourse, yakni sebanyak 402 tweets; University Discourse, sebanyak 308 tweets; Master Discourse sebanyak 267 tweets; dan dalam bentuk Analyst Discourse sebanyak 23 tweets. Para tweeps yang menyampaikan hasratnya dalam bentuk hysteric discourse umumnya menyindir, memprotes, dan mengkritik objek hasrat mereka seperti misalnya pasangan cagub- cawagub yang tidak sportif dalam mengikuti prosedur pilkada/pilgub, media yang tidak suportif terhadap pelaksanaan pilkada yang ideal, partai politik yang tidak ideal, dan lain-lain. Sedangkan University Discourse umumnya digunakan oleh para tweeps untuk mendukung atau memuji objek hasrat mereka, baik itu event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu, salah satu pasangan atau kedua pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta, rakyat yang sudah semakin awas dengan mekanisme pilkada/pilgub, dan lain-lain.

Analyst Discourse

Sebaran Struktur Wacana

Master Discourse 27%

Sementara itu, Master Discourse cenderung dipakai untuk mengomentari objek hasrat dalam tweet dan dengan diikuti sanggahan atau dukungan dari si pengguna Twitter mengenai objek hasrat tersebut, misalnya mengenai kelompok golongan putih (golput), pasangan cagub-cawagub tertentu, atau tentang praktik demokrasi seperti yang nampak dalam salah satu tweet yang banyak di-retweet ini:

Inilah Demokrasi. Calm :)“@ibutjantik: Kyknya blm prnh senorak & spanik bgini ya. "@RosiSilalahi: Ini TL makin panas aja soal PilkadaDKI."”

Terakhir, struktur yang paling sedikit ditemukan adalah struktur Analyst Discourse di antara data tweets yang terkumpul. Di antara mereka yang memakai struktur Analyst Discourse ini, yang paling banyak ditemukan adalah para tweeps yang berasal dari kelompok pelajar, yang tidak atau belum menjadi pemilih dalam pemilihan umum. Sehingga komentar mereka pada umumnya adalah tidak peduli dengan berlangsungnya event maupun hasil dari pilkada/pilgub DKI Jakarta. Selain itu, ada pula anggota masyarakat yang apatis dengan praktik politik di Indonesia, mereka yang tidak dapat mengikuti pilkada/pilgub karena berasal dari luar Jakarta, atau mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan tertentu (yang disebutkan juga dalam tweet). Akan tetapi, yang menarik ialah jika pemakai struktur Analyst Discourse kebanyakan adalah mereka yang memang pesimis dengan hasil pilkada/pilgub/pemilihan umum; namun demikian ada pula pengguna Twitter yang menggunakan struktur Analyst Discourse untuk menyampaikan hasrat mereka untuk terlibat aktif dalam pilkada/pilgub DKI Jakarta seperti tweet berikut “Bosen juga tiap pilgub yg dicoblos semua photo alias golput, kali ini harus milih #pilgub.”

Sebaran Struktur Wacana

Analyst Discourse Discourse

Master Discourse Hysteric Discourse

BAB 3 ANALISIS DAN DISKUSI

Bagian ini merupakan upaya penulis untuk menarik implikasi dari pola-pola dominan yang ditemukan dalam penelitian. Temuan-temuan ini akan didiskusikan dengan mengaitkannya pada konsep dan praktik partisipasi demokrasi itu sendiri. Pula pada bagian ini akan coba ditunjukkan kenyataan psikoanalitik mengenai partisipasi demokrasi, yaitu bahwa partisipasi tersebut tidak pernah diarahkan untuk partisipasi itu sendiri, melainkan ia selalu ditujukan untuk tujuan yang eksternal dari partisipasi, yaitu hasrat-hasrat pribadi sang subyek. Bab ini akan mendiskusikan pandangan dan teori dominan mengenai partisipasi demokrasi. Lalu pandangan tersebut akan ditunjukkan beberapa keterbatasannya. Barulah temuan-temuan dalam studi ini dibawa untuk dipertimbangkan dalam perdebatan mengenai partisipasi demokrasi tersebut.

Partisipasi Demokarsi: Deliberatif?

Dalam salah satu tulisannya, Jurgen Habermas mengungkapkan bahwa komunikasi politik dalam ranah publik dapat memfasilitasi proses legitimasi yang deliberatif hanya apabila sistem media memperoleh kebebasan dari lingkungan sosialnya, dan apabila para penyimak mendapatkan feedback dalam dialog antara para elit dan masyarakat sipil yang responsif. Selanjutnya, terdapat tiga elemen penting dalam demokrasi modern, yakni kebebasan dan kesetaraan masyarakat dalam komunitas politik, kewarganegaraan demokratis, dan kemandirian dari suatu ranah publik yang bertindak sebagai sistem perantara antara negara dan masyarakat. Habermas menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan dialog di media dalam mewujudkan demokrasi yang deliberatif. Dialog di media ini idealnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, dalam pandangan ini, legitimasi dari demokrasi tidak hanya bergantung dari proses perumusan kebijakan, tetapi juga pada “kualitas diskursif dari proses pertimbangan yang mendalam yang membawa pada hasil tersebut.”

Poin penting yang perlu digarisbawahi dari teori ini adalah bahwa dengan berkurangnya hambatan-hambatan bagi partisipasi dalam bahasan publik dan meningkatnya demokratisasi dapat memberikan peluang bagi munculnya aksi-aksi sosial yang lebih terbuka. Oleh karena itu, dengan meningkatnya partisipasi dalam pembahasan demokrasi di media, diyakini pula bahwa aksi-aksi sosial yang merupakan penunjang demokrasi akan dapat meningkat.

Pendekatan ini menekankan bahwa terwudunya demokrasi partisipatoris penting untuk dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Dengan diwujudkannya demokrasi partisipatoris, yakni demokrasi dimana rakyat juga dapat berpartisipasi dengan lebih luas (termasuk dalam media), maka peningkatan demokrasi akan semakin tinggi, karena rakyat dapat mengawasi sekaligus memberikan tinjauan / masukan terhadap kinerja para elit politik. Hal ini juga diharapnya akan membentuk masyarakat yang lebih kritis dan peduli terhadap wacana-wacana demokrasi, sehingga mereka akan lebih aktif dalam diskusi seputar demokrasi di media.

Sayangnya, pendekatan ini terlalu mengasumsikan banyak hal. Misalnya tentang primasi kualitas diskursif, yang oleh Habermas dimaknai sebagai rasionalitas. Adalah corak dari rasionalitas itu yang tidak dipertanyakan oleh Habermas. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, rasionalitas dalam diskursus adalah selalu ditentukan oleh aspek irasional, yaitu hasrat, yang dalam penelitian ini dijabarkan ke dalam 12 tipe. Dalam rupa-rupa rasionalisasi artikulasi di “ruang publik”—untuk menggunakan term Habermas dan para teoritisi media baru yang Habermasian— subyek telah selalu memproyeksikan hasrat mereka.

Habermas dan para pendukung demokrasi partisipatoris delibaratif ini telah mencampuradukkan antara partisipasi kongkrit dalam artian formal dan dalam artian yang sensasi. Seseorang, untuk menggunakan seluruh kemampuan rasionalnya dalam berpartisipasi pada proses-proses demokrasi di ruang publik, tidak selamanya dituntun oleh kepentingan yang rasional. Malahan, rasionalitas itu sendiri merupakan bentuk penampakan dari hasrat-hasrat yang sifatnya irasional. Mencampur-adukkan keduanya Habermas dan para pendukung demokrasi partisipatoris delibaratif ini telah mencampuradukkan antara partisipasi kongkrit dalam artian formal dan dalam artian yang sensasi. Seseorang, untuk menggunakan seluruh kemampuan rasionalnya dalam berpartisipasi pada proses-proses demokrasi di ruang publik, tidak selamanya dituntun oleh kepentingan yang rasional. Malahan, rasionalitas itu sendiri merupakan bentuk penampakan dari hasrat-hasrat yang sifatnya irasional. Mencampur-adukkan keduanya

Sensasi Partisipasi Demokrasi

Secara umum, dengan melihat obyek hasrat yang dominan muncul, yaitu pemilu itu sendiri (521, 52%) dan para kandidatnya (195, 20%) maka hal ini menunjukkan betapa masyarakat kebanyakan menghasrati akan suatu pemilu berikut kandidat yang ideal. Kedua obyek ini, apabila dilihat dari temuannya, diartikulasikan melalui struktur hasrat histeris (Pilkada 57% dan pasangan 21%).

Sebaran Struktur Wacana pada Tweets Berobjek

Pilkada/Pilgub

Hysteric Analyst

Other Obyek Hasrat per Struktur Histerik

Kenyataan dominannya struktur histeris ini menunjukkan bahwa terdapat ketidak- puasan terhadap dua obyek hasrat ini—pilkada dan pasangan. Tingginya struktur Kenyataan dominannya struktur histeris ini menunjukkan bahwa terdapat ketidak- puasan terhadap dua obyek hasrat ini—pilkada dan pasangan. Tingginya struktur

Kepuasan apakah yang dikejar? Hal ini penting untuk melihat identitas hasrat macam apa saja yang dominan memotivasi struktur histerik.

Motivasi Hasrat melalui Sruktur Histerik

Aktif-Narsistik-riil Aktif-anaklitik-Imaginer

54% Aktif-anaklitik-Simbol Aktif-Analcitic-riil Pasif-Narsistik-Imaginer Pasif-Narsistik-Simbol

Sebagaimana disajikan di atas maka tampak dengan jelas dua bentuk yang amat dominan, yaitu hasrat anaklitik-aktif-simbolik (218, 54%) dan hasrat anaklitik-aktif imajiner (147, 37%). Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, tingginya identitas hasrat aktif dan anaklitik ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah merasa kehilangan sesuatu yang mereka miliki. Kehilangan ini bisa diartikan sebagai kedua obyek hasrat yang dibahas sebelumnya. Melalui wacana ini, mereka kemudian berusaha memproyeksikan hasratnya pada rupa-rupa wacana histerik mereka. Mereka meminta. Meminta, dalam struktur histeris, juga berarti memperdengarkan permintaan. Artinya, yang mereka tuju adalah didengarnya jeritan mereka.

Kedua, tingginya bentuk simbolik dan imajiner dari kedua macam identitas hasrat tesebut, berarti pada dua hal: krisis sistesmik dan krisis idealisme. Krisis sistemik

ditunjukkan dengan jelas akan histeria akan hasrat anaklitik-aktif-simbolik. Mengartikulasikan hasrat ini secara histeris, dengan jelas menunjukkan tentang krisis, kegagalan, kebobrokan, dan kemerosotan sistem ini. Sistem simbolik, yang didamba- dambakan sang subyek untuk mengatur dan menjaga keamanan eksistensial mereka, trebukti gagal. Krisis idealisme, berikutnya, juga bisa dilihat sebagai krisis sosok ideal, sosok kuat, tegas dan pengayom yang mampu mengurusi para subyek. Permintaan terhadap sosok inilah yang menjelaskan tingginya proyeksi hasrat ke arah pasangan kandidat. Kandidat-kandidat inilah yang nantinya, jika terpilih, dibebankan tugas untuk mengurusi dan mengayomi mereka (baca: mengurai kemacetan dan mengurusi banjir). Di sini perlu diperjelas. Bukan para kandidat itu yang dituju para subyek hasrat, melainkan adalah kemampuan mereka untuk mengakomodir gagasan ideal yang dihasrati para subyek tersebut. Inilah, pada gilirannya, pentingnya kampanye politik, yaitu untuk meyakinkan calon pemilih bahwa mereka, dalam bahasa psikoanalisis, mampu memuaskan hasrat pemilihnya.

Untuk mengkontraskan ini, maka perlu juga untuk melihat kecenderungan minor lainnya. Yaitu, kenyataan bahwa artikulasi hasrat histeris tersebut amat sedikit yang dinyatakan ke demokrasi (6%) itu sendiri, dan kota/negara (7%). Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa bagi masyarakat, yang bermasalah adalah orang dan aparatur/birokratik sistemiknya! Mereka tidak melihat kesalahan pada sistem demokrasi dan atau negara itu sendiri. Ini menunjukkan betapa parokhial dan reaksionernya masyarakat dalam memahami permasalahan. Yang mereka cela adalah hal-hal yang menjadi immediate concern mereka. Padahal, bisa saja ada yang salah dengan sistem demokrasi itu sendiri, dan / atau penyelenggaraan negara, yang menjadi ujung pangkal segala permasalahan yang mereka keluhkan melalui histeria.

Menyusul skor histeris adalah struktur universitas. Struktur universitas ini juga didominasi oleh hasrat aktif-anaklitik-simbolik (124) dan aktif-anaklitik-imajiner (120), dengan perolehan berimbang di antara keduanya, yaitu 40%-30%. Pola kecenderungan seperti ini bisa dimaklumi semenjak ia didahului oleh tingginya histeria. Berseiringan dengan munculnya keluhan-keluhan dalam histeria, selalu dibarengi dengan Menyusul skor histeris adalah struktur universitas. Struktur universitas ini juga didominasi oleh hasrat aktif-anaklitik-simbolik (124) dan aktif-anaklitik-imajiner (120), dengan perolehan berimbang di antara keduanya, yaitu 40%-30%. Pola kecenderungan seperti ini bisa dimaklumi semenjak ia didahului oleh tingginya histeria. Berseiringan dengan munculnya keluhan-keluhan dalam histeria, selalu dibarengi dengan

Motivasi Hasrat melalui Struktur

Universitas

Aktif-anaklitik-Simbol Aktif-Analcitic-riil Pasif-Narsistik-Imaginer Pasif-Narsistik-Simbol

Struktur naratif wacana universitas selalu mencoba menambal lack yang ada pada subyek dengan sutau janji-janji yang kekal, universal, absolut, dst. Ide-ide ideal seperti bijak, baik, adil, sentosa, pengayom, dst., akan selalu coba ditawarkan bagi subyek- subyek histerik ini.

Hal ini berbahaya, karena akan membawa artikulasi politik dalam demokrasi ke hal-hal yang sifatnya moralistik dan etis. Akhirnya, perjuangan politik tidak ubahnya menjadi medan kontestasi khotbah-khotbah moral dan nasihat-nasihat etis. Semua orang berlomba-lomba untuk menasihati satu sama lain. Tidak sedikit, sebagaimana data temuan kami, yang menggunakan agama untuk menjustifikasinya. Bagi yang “sekuler” pun juga memobilisasi filsafat-filsafat, penyair-penyair, dan para teoritikus mereka untuk mengutarakan nasihat-nasihat mereka. Yang lainnya, akan terjebak dengan menyuarakan puisi-puisi merdu, lantunan doa, dan kutipan-kutipan inspirasional. Alhasil, problem-problem kongkrit di lapangan tidak akan pernah tersentuh, apalagi terpecahkan. Politik demokrasi pun akhirnya menjadi “seminar Mario Teguh.”

Menjadi parah lagi saat ini diproyeksikan ke sosok pemimpin. Pemimpin yang memproyeksikan hasrat berstruktur universitas ini, dan yang kepadanya diproyeksikan hasrat anaklitik-simbolik maupun anakltik-imajiner ini berpotensi untuk menjadi otoriter dan totaliter. Hal ini demikian, dengan mengokupasi posisi absolut, ia menjadi tidak dipertanyakan lagi. Kualitas-kualitas yang perlu ia tonjolkan adalah karisma belaka. Persis seperti ratu-adil/mesias yang menyelamatkan umat manusia. Akhirnya, politik demokrasi tidak lebih dari ritual relijius untuk menyembah masing-masing jago kandidatnya.

Di sini pentingnya untuk sekali lagi untuk mendedah identitas hasrat dari bentuk kongkrit obyek hasrat, maka dapat diketahui bahwa yang sebenarnya dikejar oleh seseorang saat ia melakukan prilaku partisipasi demokrasi, sebenarnya bukan partisipasi itu sendiri, melainkan apa yang akan disebut ‘sensasi partisipasi demokrasi’ itu sendiri. Sensasi partisipasi demokrasi merupakan motivasi libidinal subyek untuk melakukan partipasi demokrasi. Sekali lagi, bukan partisipasi demokrasi yang dipentingkan, melainkan sensasi memperoleh identitas hasrat apa yang mampu ia ekstrak saat ia menjalankan simtom partisipasi demokrasi tersebut.

BAB 4 SIMPULAN

Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat surplus media, dan di sisi lain terdapat defisit demokrasi. Kenyatan inilah yang disebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi. Dengan latar belakang teoritik seperti ini, dengan demikian penelitian ini mengajukan pertanyaan, “Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Argumentasi yang diuji oleh penelitian ini adalah bahwa media tidak serta merta menjadi faktor penentu sukses tidaknya demokrasi, telah terbukti. Yaitu bahwa ada faktor-faktor lainnya yang menjadi ‘variabel antara’ di antara partisipasi media dan demokrasi, yang juga dapat mempengaruhi mengapa demokrasi media masih sangat kurang. Faktor lain tersebut hanya bisa dipahami apabila meletakkan prilaku partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi sebagai modus artikulasi pemuasan hasrat, atau yang disebut simtom. Melalui identifikasi simtom dominan, studi ini mencoba mampu menunjukkan identitas hasrat apa yang sebenarnya dikejar saat seseorang berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Dengan meletakkan seperti ini, maka menjadi terbuka peluang untuk mengidentifikasikan faktor lain tadi. Dengan mendedah identitas hasrat dari bentuk kongkrit obyek hasrat, maka dapat diketahui bahwa yang sebenarnya dikejar oleh Dengan meletakkan seperti ini, maka menjadi terbuka peluang untuk mengidentifikasikan faktor lain tadi. Dengan mendedah identitas hasrat dari bentuk kongkrit obyek hasrat, maka dapat diketahui bahwa yang sebenarnya dikejar oleh

Keslaah-mengiraan antara sensasi dengan realitas inilah yang memungkinkan terjadinya pengalihan (diversionary) partisipasi demokrasi. Adalah media baru, klaim kami, yang mampu melakukan kerja pengalihan ini. Melalui media baru, energi-energi subyek hasrat yang melakukan partisipasi demokrasi tadi dialihkan untuk terus menerus merepetisi proses kongkrit partisipasi tadi melalui media baru. Partisipasi, akhirnya menjadi sebentuk ritual fetis. Subyek hasrat terjebak dalam sirkuit partisipasi demokrasi yang terus menerus berepetisi. Akhirnya, energi yang seharusnya disalurkan ke permasalahan-permasalahan kongkrit di lapangan menjadi terbendung dan terjebak di sirkuit media baru. Dengan beghini, menjadi masuk akal paradoks demokrasi di era media baru yang kami sampaikan di atas. Ketiadaan perubahan signifikan di lapangan, bukan karena absennya partisipasi. Ia terjadi karena telah terjadi pengalihan dan penjebakan energi partisipasi secara besar-besaran ke dalam sirkuit-sirkuit media baru. Dan semenjak yang sebenarnya dibutuhkan subyek dalam berpartisipasi adalah hanya sensasinya saja (sensasi memperoleh identitas hasrat yang ditujunya), maka ia akan terus terjebak tunggang-langgang dalam sikuit media baru, sementara demokrasi riil akan semakin defisit dan defisit, ... menyisakan pemimpin-pemimpin otoriter.

Penelitian ini memiliki implikasi teoritis, terutama pada pergeseran (jika memang terjadi) konsep tentang partisipasi pada demokrasi. Lebih jauh lagi, konsep demokrasi partisipatoris menuntut banyak modifikasi (jika bukan harus ditinggalkan) untuk bisa tetap relevan di era kontemporer di mana terjadi ledakan media baru. Pada akhirnya, ia juga akan berimplikasi pada gagasan demokrasi itu sendiri, yaitu tentang apa artinya berdemokrasi di era dimana media justru menjadi penghalang demokrasi. Lebih lanjut, argumen tim peneliti dalam proposal ini adalah bahwa teori fourth estate Penelitian ini memiliki implikasi teoritis, terutama pada pergeseran (jika memang terjadi) konsep tentang partisipasi pada demokrasi. Lebih jauh lagi, konsep demokrasi partisipatoris menuntut banyak modifikasi (jika bukan harus ditinggalkan) untuk bisa tetap relevan di era kontemporer di mana terjadi ledakan media baru. Pada akhirnya, ia juga akan berimplikasi pada gagasan demokrasi itu sendiri, yaitu tentang apa artinya berdemokrasi di era dimana media justru menjadi penghalang demokrasi. Lebih lanjut, argumen tim peneliti dalam proposal ini adalah bahwa teori fourth estate

APENDIKS: MODUL WORKSHOP ANALISIS WACANA PSIKOANALISIS

I.1 Hasrat di Ranah Simbolik

Obyek hasrat di ranah ini adalah penanda. Kekuatan interpelatif penanda adalah pada sifat metaforik dan metonimiknya yang membentuk rantai-pertandaan yang berisi penanda-penanda bahkan dalam jumlah yang tidak terbatas.

1. Hasrat Narsistik Pasif Simbolik, yaitu hasrat supaya menjadi “yang lain” dengan harapan supaya ranah Simbolik, dengan cara tertentu mencintai,

mengenal, bahkan hanya memikirkan subjek karena penanda yang ditampilkan oleh subyek. Contoh, diskursus “Demokrasi membutuhkan orang-orang ‘yang berwawasan terbuka’”, membawa suatu penanda utama, yaitu “yang berwawasan terbuka”, untuk diidentifikasikan oleh subyek yang merasa “terpanggil” olehnya. 1 Penanda utama inilah yang menjadi penanda

kunci (capitonnent) yang menetapkan Ego Ideal sang subyek agar tidak goyah dalam menerima berbagai-bagai diskursus.

2. Hasrat Narsistik Aktif Simbolik, yaitu hasrat untuk mengidentifikasikan diri dengan “Yang Lain” sampai sejauh subyek tersebut bisa memanifestasikan penanda-penanda tertentu yang membawa kenyamanan nasrsistik. Contoh, saat seseorang dianggap tidak beradab, maka ia akan mengejar penanda- penanda yang apabila dikenakannya akan memberikan penanda utama atau Ego Ideal “yang beradab”, yaitu seperti: “sopan-santun”, moral”, “pendidikan”, dan seterusnya.

3. Hasrat Anaklitik Aktif Simbolik, yaitu hasrat untuk memiliki “yang lain” yang mengeja-wantahkan penanda tertentu sebagai objek pemuas diri. Contoh, penanda utama “negara berkembang” akan menghasrati penanda-penanda seperti “teknologi”, “pendidikan”, “modal”, dan sebagainya milik penanda utama “negara maju”, dan bukan “negara terbelakang”.

4. Hasrat Anaklitik Pasif Simbolik, yaitu hasrat untuk dimiliki “yang lain” sebagai pembawa salah satu penanda. Contoh, bagaimana “negara berkembang” (penanda utama) ingin memiliki penanda utama lain, “Most Favoured Nations (MFN)”, supaya ia “diterima” oleh klub “negara maju” (penanda utama). Alhasil negara berkembang akan berusaha mati-matian mengejawantahkan penanda “demokratis”, “akuntabel”, “kebebasan pers”, “transparan”, “good governance”, dan lain-lain.

I.2. Hasrat di Ranah Imajiner

Objek hasrat di ranah ini adalah citra. Kekuatan diskursif citra ini didapat dari perasaan / pandangan / persepsi subyek akan identitas. Perasaan-perasaan inilah yang baru terartikulasikan oleh bahasa dari ranah Simbolik. Imajinasi subyek tidak akan pernah lepas dari yang Simbolik, karena sejak subyek belajar “berbahasa”, ia sudah

1 Suatu penanda menjadi penanda utama saat ia mewakili penanda-penanda lainnya yang berhubungan dengannya dalam rantai pertandaan. Contoh, penanda utama “yang berwawasan terbuka” memiliki hubungan

dengan penanda-penanda seperti “demokratis”, “toleran”, “intelek”, dan seterusnya.

terhegemoni oleh tatanan Simbolik. Dengan demikian yang Imajiner hanya akan memiliki makna selama ia “terekam” dalam tatanan Simbolik. Citra Imajiner ini akan berpengaruh pada getaran emosi dalam diri subyek, sehingga membuatnya mengarahkan hasrat pada citra tersebut.

2. Hasrat Narsistik Aktif Imajiner, yaitu upaya mencintai dan mengagumi citra pribadi “yang lain” yang merupakan hasil identifikasi imajiner, sampai pada titik ekstrim dimana subjek ingin menjadi seperti “yang lain” secara ragawi. Contoh, saat perempuan kaum terjajah yang berkulit gelap kagum, bahkan iri saat melihat perempuan anak kaum penjajah yang berkulit putih, ia akan melakukan segala cara untuk membuat kulitnya putih sama seperti perempuan anak kaum penjajah tadi. Contoh lain, negara berkembang yang kagum dengan tata pemerintahan negara maju akan studi banding ke negara maju, dan ektika pulang, ia akan meniru total tata pemerintahan yang di lihatnya saat studi banding.

3. Hasrat Narsistik Pasif Imajiner; yaitu hasrat untuk dikagumi / diidealisasikan, bahkan sampai taraf dicintai / diidentifikasi oleh “yang lain” karena penampilan fisik yang dimilikinya. Contoh, motivasi Bung Karno saat ia mempopulerkan idiologi tersohornya, Pancasila. Atau saat Amerika Serikat mendeklarasikan diri sebagai kiblat Demokrasi dunia.

4. Hasrat Anaklitik Aktif Imajiner; yaitu hasrat untuk memiliki “yang lain” yang memiliki citra tertentu sebagai objek pemuas. Hasrat ini merupakan hasrat yang melandasi Kolonialisme ekonomi oleh Barat. Barat mempersepsi kondisi alam jajahan sebagai objek yang menyediakan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan domestik mereka.

5. Hasrat Anaklitik Pasif Imajiner; yaitu hasrat untuk dihasrati oleh “yang lain” sebagai objek pemuasnya, karena citra tubuh yang dipancarkannya. Contoh, saat seorang wanita kulit hitam berusaha mati-matian memutihkan kulitnya dengan krim-krim yang mahal hanya demi memikat hati pria kulit hitam yang sebenarnya lebih menyukai wanita kulit putih.

I.3. Hasrat di Ranah Riil

Ranah Riil merupakan yang paling sulit dipahami dibandingkan dua ranah sebelumnya. Hal ini karena Yang Riil, tidak pernah dan tidak akan pernah ter-bahasa- kan. Setidaknya ada usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk memahami yang Riil (walaupun terkesan mustahil).

Dalam memahami Yang Riil, harus dibedakan antara Yang Riil sebagai titik awal pra-odipal yang telah disaring oleh Yang Simbolik saat subyek memasuki masyarakat, dengan Yang Riil sebagai residu Yang Simbolik yang selalu luput dari cakupan penanda utama. Sebagai titik awal, ia merupakan landasan organik subjektivitas bentukan tubuh yang mendasari semua dorongan hasrat; Žižek menyebutnya “the abject Real”. Sementara yang kedua, sebagai residu, ia merupakan segala sesuatu yang dipinggirkan, direpresi, dan bahkan dihilangkan oleh penanda utama atao Ego Ideal karena Dalam memahami Yang Riil, harus dibedakan antara Yang Riil sebagai titik awal pra-odipal yang telah disaring oleh Yang Simbolik saat subyek memasuki masyarakat, dengan Yang Riil sebagai residu Yang Simbolik yang selalu luput dari cakupan penanda utama. Sebagai titik awal, ia merupakan landasan organik subjektivitas bentukan tubuh yang mendasari semua dorongan hasrat; Žižek menyebutnya “the abject Real”. Sementara yang kedua, sebagai residu, ia merupakan segala sesuatu yang dipinggirkan, direpresi, dan bahkan dihilangkan oleh penanda utama atao Ego Ideal karena

Hasrat dalam kedua Yang Riil ini merupakan hasrat untuk memperoleh apa yang disebutkan oleh Lacan sebagai Jouiissance atau yang disebut Žižek sebagai “the

All”. 2 “The All” merupakan sesuatu yang mendatangkan sukacita, kenikmatan, dan kepenuhan pada subyek, hal-hal yang tertinggal di fase Pra-odipal dan terlewatkan di

fase Simbolik. “The All” merupakan tempat dimana fantasi dibentuk. Fantasi adalah segala upaya untuk mendapatkan “the All”, atau menjadikan dirinya sendiri “the All” yang diinginkan “yang lain”, atau menjadikan “yang lain” sebagai “the All”. “Yang lain” yang dimaksudkan di pembahasan hasrat pada ranah Riil bisa mencakup orang, benda, atau aktifitas di luar subyek.

1. Fantasi Anaklitik Aktif, yaitu hasrat untuk memiliki “the All” yang terejawantahkan pada “yang lain” (orang, benda, atau aktifitas di luar subyek) sebagai sarana mengisi kekosongan sukacita yang hilang di (dan oleh karena) ranah Simbolik. Contoh, seseorang yang memiliki hobi yang aneh dan ia bahagia dengannya.

2. Fantasi Anaklitik Pasif, yaitu hasrat untuk mengejawantahkan “the All” sehingga “yang lain” berhasrat memilikinya. Contoh, saat seorang pria kaum terjajah yang kurus kerontang, berkulit hitam, miskin, dan tidak berpendidikan, membayangkan dirinya mampu menyelamatkan seorang gadis kulit putih kaum penjajah yang sedang diancam oleh segerombolan pria kaum terjajah lainnya yang lebih besar tubuhnya. Akhirnya setelah ia menyelamatkan gadis tersebut, sang gadis jatuh cinta padanya.

3. Fantasi Narsistik Pasif, yaitu hasrat untuk menjadi “the All” yang dicintai “yang lain”; “the All” yang bisa mengisi kekurangan “yang lain”. Contoh paling jelas adalah prinsip “Manifest Destiny” orang Amerika Serikat dan konsep “Khilafah Internasional” yang diusung oleh para pendukungnya. Keduanya berpendapat bahwa dirinya bisa memberi dan menjaga kemaslahatan masyarakat dunia.

4. Fantasi Narsistik Aktif, yaitu kegiatan mencintai / mengagumi “the All” yang ada pada “yang lain” dan berupaya melakukan identifikasi dengannya. Contoh culas adalah saat Abdul Aziz atau Imam Samudra, pelaku pengeboman di Bali tahun 2002, mengagumi “saudara-saudaranya” di Al- Qaeda. 3

“adalah seorang mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad). Mereka (mujahidin) dalam sebuah operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada tandingannya, dengan menggunakan pesawat terbang musuh berhasil menghajar berhala kebanggan AS”

2 Yang akan dipakai di sini adalah “the All”, alih-alih Jouissance, karena yang pertama merupakan istilah yang sudah lazim didengar orang awam.

3 Organisasi yang konon dipimpin oleh Osama bin Laden, yang disebut-sebut sebagai teroris internasional, musuh Amerika Serikat dan sekutunya.

Namun demikian, fantasi-fantasi demikian tidak mampu menawarkan kenyamanan dan kepuasan seperti yang ditawarkan oleh citra (iming-iming integritas badani maupun penguasaan tubuh) dan penanda utama (iming-iming nilai pembawa identitas). Sukacita yang diberikan oleh fantasi sering berakhir dengan kekosongan atau kesedihan, hal ini dikarenakan “the All” gagal memberikan makna puncak, saat inilah fantasi buyar dan kehampaan (lacuna) meliputi Ego subyek: “now what?”. “The All” sebenarnya tidak akan pernah gagal memberikan kenikmatan puncak, hanya saja manusia telah salah mempersepsikan “The All” itu sendiri, pikirnya “the All” bisa didapatkan melalui / oleh / dari “yang lain” – padahal tidak, “the All” akan terus menjadi semacam ketaksadaran, antitesis, atau skisma dalam Ego / kesadaran yang akan terus memproduksi hasrat. “The All”-lah yang membuat manusia menjadi mesin hasrat (desiring-machines), mesin yang selalu mereproduksi hasrat, sampai ajalnya tiba.

Dorongan-dorongan hasrat yang disebabkan oleh “the All” memang bersifat individual dan khas, namun Lacan menyebutkan bahwa hal-hal demikian juga bisa bersifat kolektif atau trans-idividual. Kolektivitas dorongan hasrat demikian bukanlah akibat faktor kesamaan rasial, etnisitas, atau bahkan nasionalitas, melainkan karena “pengalaman pembentukan yang mirip yang menjadi ciri bahwa mereka berada di dalam suatu budaya atau diskursus yang sama”. Diskursus inilah yang pada akhirnya akan mengarahkan orientasi hasrat dari kolektivitas tersebut.

I.4. Strategi Diskursus dan Perubahan Sosial

Dalam diri subyek, 12 modus hasrat yang telah dibahas diatas bukan tidak berhubungan satu sama lain. Bisa saja, pada kurun waktu tertentu, seorang subyek mengalami puluhan diskursus yang berusaha menginterpelasi hasratnya. Setidaknya terdapat dua hubungan yang terjadi di antara modus-modus hasrat tadi. Pertama, saling menguatkan atau mendukung. Contohnya, saat tindakan subyek dalam fantasinya selaras dengan penanda utama pemberi identitasnya / Ego Ideal, maka fantasi akan terpuaskan, penanda utama akan dikuatkan, dan identitas akan tetap utuh. Hubungan kedua, yaitu saling bertentangan atau melemahkan. Contohnya, saat subyek dalam fantasinya tidak selaras dengan Ego Ideal, maka akan ada dua kemungkinan: Ego Ideal tetap bertahan sementara fantasi ditekan, direpresi, atau diubah; atau fantasi menang, dimana Ego Ideal akan berubah.

Memperhatikan hubungan-hubungan demikian, maka akan sangat bijak apabila dalam menganalisis kekuatan interpelatif suatu diskursus (–strateginya), tidak hanya mempertimbangkan berbagai objek hasrat kenikmatan dan posisi yang ditawarkan, namun juga pembangkitan dan penindasan Ego Ideal / fantasi yang diakibatkannya pada diri subyek.

Seperti telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa bahasa memiliki struktur yang membentuk rantai pertandaan, maka demikian pula dengan diskursus. Diskursus di-“bahasa”-kan dalam rupa-rupa simbolisasi yang juga membentuk rantai Seperti telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa bahasa memiliki struktur yang membentuk rantai pertandaan, maka demikian pula dengan diskursus. Diskursus di-“bahasa”-kan dalam rupa-rupa simbolisasi yang juga membentuk rantai

Penjelaskan yang mencerahkan adalah apabila dianalogikan dengan hubungan diplomatik. Diplomasi bisa dilakukan antar staf representasi tingkat terendah – atase, sebelum nantinya dibicarakan di tingkat puncak. Sebelum dilangsungkan suatu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), tentunya akan diadakan dahulu pertemuan antar Direktur Jenderal (Senior Official Manager [SOM] Meeting) dan Konferensi se-Tingkat Menteri (KTM). 4 Oleh karena itu, untuk mempengaruhi penanda utama “laki-laki

sejati”, diplomasi bisa dilakukan pada penanda-penanda yang tingkatannya lebih rendah, seperti “tegas”, “berwibawa”, “berkumis”, dan sebagainya (dan diganti dengan “lembut”, “ramah”, “berjenggot”, dan seterusnya). 5

Dua jenis diplomasi utama yang berlangsung pada penanda-penanda, dengan memanfaatkan rantai pertandaan, adalah metonimia dan metafora. Diplomasi via metonimia, yaitu mengasosiasikan penanda-penanda penyusun penanda utama dengan penanda-penanda lainnya (yang memiliki kedekatan) dalam sebuah rantai pertandaan, dan akibatnya identitas dan hasrat mendapat perlakuan tertentu: dimanipulasi dan kadang-kadang berubah. Contoh, diskursus “Arnold Schwarzeneger saja mau menjahit” merupakan bentuk diplomasi dengan penanda utama “pria sejati” yang dalam diskursus ini diganti dengan “Arnold Schwarzeneger” via penanda-penanda yang merupakan atributnya – kegiatan-kegiatan yang dilakukan pria sejati.

Diplomasi via metafora, yaitu mengganti penanda-penanda penyusun penanda utama dengan penanda-penanda lainnya (yang memiliki kesamaan sifat) dalam sebuah rantai pertandaan Akibatnya ganda: secara efektif menindas ciri-ciri penanda utama tertentu dan juga secara efektif membuka peluang bagi suatu penanda utama untuk dikaitkan dengan penanda baru. Contoh, diskursus “Indonesia merupakan mozaik masih terpencar-pencar bagiannya. Tugas generasi muda adalah menyatukan bagian- bagian mozaik itu”. Di satu sisi, penanda “Indonesia” tereduksi menjadi sekumpulan kepingan-kepingan “puzzle” berwarna-warni yang menyedihkan, namun di sisi lain generasi muda mendapatkan operasionalisasi –walaupun secara tidak langsung– tugas- tugasnya, yaitu “mempersatukan”.

Sampai di sini dapat disimpulkan bagaimana diskursus menancapkan pengaruhnya pada subjek secara individu atau secara kolektif, yaitu melalui hubungan- hubungan dalam rantai pertandaan yang ada pada semua Ego Ideal, citra tubuh,

4 Biasanya, negosiasi paling alot terjadi pada SOM meeting 5 Akan sangat sulit untuk berhadapan langsung dengan penanda utama, karena biasanya subyek mempertahankannya bukan karena kualitasnya, tetapi karena gengsi, atau faktor-faktor lain yang berpengaruh kepada eksistensi Ego Idealnya. Akan lebih mudah bagi Amerika Serikat untuk bernegosiasi dengan staf Hugo Chavez, daripada langsung mempertemukan pemimpin-pemimpinnya.

maupun fantasi “the All”. Subjek ditekan untuk meninggalkan hasrat-hasrat yang ada sebelumnya dan mengambil hasrat baru sesuai imperatif diskursus tersebut ... dan sebaliknya. Demikianlah diskursus mampu mendorong terjadinya perubahan sosial, bahkan politik, entah itu ke arah yang relatif positif atau ke arah sebaliknya.

Bagaimana detilnya mekanisme diskursus melakukan interpelasi dan diplomasi hasrat akan dibahas dengan memaparkan struktur-struktur dasar diskursus yang mampu menghasilkan perubahan sosial.

II. STRUKTUR DISKURSUS DAN MEKANISME DISKURSIFNYA

Untuk merumuskan suatu strategi perubahan sosial yang etis dan efektif melalui diskursus, maka perlu dipahami mekanisme suatu diskursus dalam menghasilkan pengaruh psikologis pada sejumlah besar subyek, sehingga secara politis bisa berhasil. Menurut Jacques Lacan, setidaknya ada empat struktur dasar diskursus yang masing- masing menghasilkan empat pengaruh sosial melalui empat faktornya:

 Diskursus Universitas (University Discourse), yang mempengaruhi dengan cara mendidik / mengindoktrinasi melalui pengetahuan.

 Diskursus Penguasa (Master’s Discourse) yang mempengaruhi dengan cara mengatur / memberi perintah melalui idealisme.  Diskursus Histeris (Hysterical Discourse) yang mempengaruhi dengan cara menghasrati / memprotes melalui pembagian diri (gegar).

 Diskursus Sang Analis (Analyst’s Discourse) yang mempengaruhi dengan cara menganalisis / mentransformasikan / merevolusikan melalui rasa sukacita.

Keempat diskursus ini terstruktur oleh komponen-komponen:  Penanda utama (S1)

 Jaringan Penanda / Sistem Pengetahuan (S2)  Objek a / objet petit autre (a)  6 Subyek gegar / yang terbelah, di antara S1 dan a ($)

Komponen-komponen tersebut, dalam keempat diskursus, secara bergantian menempati salah satu dari keempat kedudukan berikut:

6 Pada dasarnya semua subyek adalah $. Saat subyek selesai terodipalisasi, maka saat itu juga ia menyandang suatu penanda utama yang memberikan dia identitas (S1)– Ego Ideal. Ego Ideal mensyaratkan

peminggiran / represi hasrat-hasrat pra-odipal (the All). Jadi, sebenarnya Ego Ideal tidaklah pas 100% pada subyek, selalu ada “ruang” yang tak bisa direpresentasikannya, yaitu “the All”. “The All” inilah yang memproduksi hasrat akan “yang lain’” / obyek a (a); suatu usaha (yang sia-sia) untuk mengisi kehilangan “the All”.

Pembicara Penerima

 ”yang lain” --------- ------------ Kebenaran

Pelaku

 Produksi

* Keterangan: • Ruas kiri, adalah yang posisi yang aktif berbicara atau mengirimkan pesan;

sedangkan yang berada di ruas kanan adalah faktor-faktor yang diaktifkan atau yang muncul dari subyek saat ia menerima pesan. • Ruas atas, merupakan faktor-faktor yang tampil / kelihatan; sementara ruas bawah merupakan faktor yang tersembunyi, implisit, bahkan terepresi. • Ruas kiri atas, ditempati oleh pelaku yang aktif mendominasi; ruas kiri bawah,

merupakan faktor yang mendorong, mendukung, dan melandasi bangkitnya faktor dominan, tetapi tertekan olehnya; kanan atas, merupakan faktor yang diaktifkan (jadi, tidak pasif) sebagai prasyarat menerima / memahami pesan (contoh, bersikap reseptif dan mengosongkan diri untuk sementara); kanan bawah, merupakan faktor yang diharapkan saat penerima telah menerima dan memahami pesan, yaitu mengartikulasikannya.

II.1. Diskursus Universitas (University Discourse)

Diskursus yang biasanya terjadi saat perkuliahan berlangsung dan saat kaderisasi suatu kelompok gerakan idiologis tertentu biasanya jatuh pada kategori Diskursus Universitas, dengan strukturnya sebagai berikut,

 a ----- ---

Mahasiswa atau kader – subjek penerima diskursus – biasanya berada pada posisi a, mereka harus berada pada posisi kekosongan atau kekurangan (lack of “the All”), atau mengkondisikan diri demikian. Tujuannya agar sistim pengetahuan (S2) yang disampaikan dapat terserap sempurna. Oleh S2, subjek penerima dibuat teralienasi dan menjadi gegar ($), dengan kata lain mereka dieksploitasi / dipaksa / tidak diberi pilihan lain selain menjalinkan diri dengan S2 – mengisi kekosongannya dengan S2.

Yang diminta dari subjek penerima adalah produksi sistem tersebut, bahkan perluasan maupun penajaman sistem tersebut – misalnya dengan skripsi / tesis / disertasi atau menjadi penyambung lidah sang idiolog, sehingga memperkuat S2. Penguasaan tentang sistem pengetahuan (S2) dianggap menjadi tujuan itu sendiri, dan bukannya sebagai cara untuk memberi keuntungan pada individu atau masyarakat umum. Padahal, sebagaimana dikritisi oleh teoritisi Frankfurt – Adorno, horkheimer, dkk., ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai, ia selalu merupakan kepentingan (S1) seseorang / sekelompok orang, bahkan sang penguasa. Kondisi ini diperparah oleh Yang diminta dari subjek penerima adalah produksi sistem tersebut, bahkan perluasan maupun penajaman sistem tersebut – misalnya dengan skripsi / tesis / disertasi atau menjadi penyambung lidah sang idiolog, sehingga memperkuat S2. Penguasaan tentang sistem pengetahuan (S2) dianggap menjadi tujuan itu sendiri, dan bukannya sebagai cara untuk memberi keuntungan pada individu atau masyarakat umum. Padahal, sebagaimana dikritisi oleh teoritisi Frankfurt – Adorno, horkheimer, dkk., ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai, ia selalu merupakan kepentingan (S1) seseorang / sekelompok orang, bahkan sang penguasa. Kondisi ini diperparah oleh

Pada dasarnya semua sistim pengetahuan (S2) memiliki dan membawa penanda utama secara implisit; tidak ada diskursus yang bisa berjalan tanpa penanda

utama. 7 Dengan demikian, strategi jitu untuk melawan Diskursus Universitas adalah menyingkapkan penanda-penanda utamanya (S1) yang diam-diam disebarkannya, atau

yang disebut para teoritisi pembela modernitas ini sebagai Aletheia. Contoh strategi: kritik idiologi dan dekonstruksi. Penyingkapan penanda utama pada Diskursus Universitas akan mengubah struktur diskursusnya menjadi Diskursus Sang Penguasa (Master’s Discourse).

II.2. Diskursus Sang Penguasa (Master’sDiscourse)

Diskursus ini mendorong ditampilkannya S1/ penanda utama pemberi identitas / Ego Ideal (pemberian Diskursus Universitas tadi) mengatur, atau setidaknya mencoba mengatur, berbagai sistem pengetahuan (S2) sesuai dengan nilai mereka sendiri, dan menjaga agar hasrat pribadi Ego ($) akan objek-objek hasrat terlarangnya (a) – yang tidak sejalan dengan S1 – direpresi.

 S2 ----- ---

S1

 a

Penanda-penanda utama pemberian S2 pada Diskursus Universitas, kini mulai diperjuangkan mati-matian oleh subyek. Sebagai contoh, penanda utama pemberian organisasi / universitas beraliran kiri adalah “Revolusioner”, “Kritis”, “proletar”, “merakyat”, “anti-kemapanan”, dan seterusnya. Mereka akan mati-matian menyerang, mengkritik, mencerca sistim pengetahuan, bahkan sistem sosial-politik (S2) yang ada. Kegiatan-kegiatan semacam inilah yang menghasilkan suatu kepuasan (a) pada diri aktivis kiri tadi ($), karena telah berhasil menjadikan S2 bulan-bulanan kritiknya. a inilah yang sebenarnya diharapkan oleh sang aktivis ($) sebagai kompensasi hasra- hasratnya yang terpinggirkan sejak dia menyandang S1 – boleh ditanya, sesungguhnya para aktivis kiri tersebut ($) juga ingin pergi ke bioskop, shopping, nge-mall, dugem, dan lain-lain yang dilakukan kaum borjuis (a), hanya saja (mungkin) kondisi ekonomi tidak memungkinkan mereka. 8

Untuk meruntuhkan Diskursus Penguasa bukanlah melalui seruan retorik “Revolusi... revolusi... revolusi sampai mati!!!”, atau pengorganisasian gerakan “anti-

7 Karya tulis ini, berikut teori-teori yang ada di dalamnya, juga membawa penanda-penanda utama (S1). Tetapi, tujuan penulis menyebarkan S1 ini bukannya supaya para pembaca asyik-masyuk di dalamnya atau

mengkeramatkan teori-teori ini, tetapi tergugah untuk melakukan perubahan. 8 Sesungguhnya diskursus ini menindas para pengikutnya mengkeramatkan teori-teori ini, tetapi tergugah untuk melakukan perubahan. 8 Sesungguhnya diskursus ini menindas para pengikutnya

meruntuhkannya (mungkin) hanya dengan menghadapkannya pada diskursus yang strukturnya berlawanan – Diskursus Sang Analis (Analyst’s Discourse). Hanya dengan diskursus inilah a bisa ditampilkan untuk menggocoh S1 dan S2.

Sebelum membahas struktur Diskursus Sang Analis, maka penting untuk terlebih dahulu dibahas struktur pengantara yang terletak diantara Diskursus Penguasa dan Diskursus Sang Analis, yaitu Diskursus dari Yang Histeris.

II.3. Diskursus dari Yang Histeris (Hysterical Discourse)

Lacan menyarankan, bahwa jka seseorang ingin menjadi subversif, maka ia perlu mendekati “lubang tempat keluarnya penanda utama (S1)”, yaitu $. Dengan terus mempertanyakan unsur-unsur subyektif subyek yang disingkirkan oleh S1 yang disandangnya, maka kemungkinan besar subyek yang sesungguhnya ($) – yang gegar – akan muncul. 10

 S1 ----- --- a  S2

Tujuan pembicara dalam melontarkan Diskursus Histeris ini adalah terletak pada tuntutannya akan S1 yang dikiranya akan memberikan kepuasan penuh dari sistem pengetahuan yang sudah mapan (S2) sebagai kompensasi kehilangannya yang dulu disingkirkan oleh bekas S1-nya (a).

Biasanya “yang lain” yang diajak bicara oleh sang histeris ini, tergoda untuk bersikap sebagai pahlawan, menawarkan panacea penanda utama (S1) baru – yang akan menggiringnya kembali pada penindasan, dan dengan demikian menutup kembali kemungkinan revolusi. Yang harus dilakukan subyek adalah membut sendiri penanda utamanya, yaitu ideal-ideal berdasar keinginan sendiri (a), dan hal ini hanya terdapat pada Diskursus Sang Analis.

II.4. Diskursus Sang Analis (Analyst’s Discourse)

9 Contoh a yang paling ekstrem adalah yang dikenal sebagai “semangat ‘45”, semangat yang benar-benar memperjuangkan hasrat subyek, bukannya penanda utama suatu sistem pengetahuan atau idiologi: “Merdeka

atau mati!” 10 Pengalaman penulis, situasi seperti ini akan sangat-sangat mengharukan, dimana sang subyek dengan

malu-malu dan berlinang air mata, mencurahkan isi hatinya pada penulis. Pengalaman lain, situasi ini akan membuat S1 semakin menindas $ dengan selalu menghindar dari pertanyaan-pertanyaan penulis dengan sedikit marah, walau sebenarnya mereka rindu untuk mengungkapkannya.

a  $ ----- ---

S2

 S1

Lewat diskursus ini, subyek pembicara akan mengosongkan dirinya (a) dan menginterpelasi dirinya yang gegar ($), penanda utama (S1) seperti apa yang diinginkannya untuk disandang, yang akan memberikannya kenyamanan dan kepenuhan hasrat oleh sistem-sistem pertandaan (S2) yang dipimpin penanda utamanya (S1). Karena hanya cara inilah yang paling efektif dalam membebaskan hasrat subyek yang terbelah ($).

III. PERAN “YANG LAIN”

Proses pembebasan ini mensyaratkan dua langkah dasar: alienasi dan pemisahan, yang didalamnya termasuk langkah-langkah peleburan dan pembentukan ulang identitas subyek ($). Namun demikian, sebelumnya, terlebih dahulu haruslah dilakukan identifikasi atau pemetaan penanda utama yang mengalienasi subyek ($) dari hasratnya. Hal ini agaknya sulit untuk dilakukan oleh sang subyek sendiri, karena biasanya penanda utamanya S1, akan “mencegahnya” melakukan ini – karena dianggap akan meng-coup S1. Di sinilah peran positif “yang lain” dibutuhkan, bukan sebagai pemberi “jalan keluar”, “penanda utama” yang baru (Karena hal ini akan menjadikan “yang lain” sebagai penindas baru), atau caci-maki yang makin mengalienasi subyek ($), yaitu mengajak subyek ($) untuk “berpikir”. Seperti kata Sokrates, “I cannot teach anybody anything, I can only make them think”.

Salah satu yang dapat dilakukan “yang lain”, atau analis (yaitu kita), adalah dengan masuk dalam setiap diskursus dengan memosisikan diri sebagai penerima atau yang diaktifkan oleh subjek pembicara. Hanya, jangan sampai “yang lain” memberikan apa yang diharapkan oleh subyek pembicara sebagai timbal balik diskursusnya, apapun itu ($, a, S2, apalagi S1). “yang lain” hendaknya hanya mengarahkan subyek untuk mengungkapkan semua diskursus, mulai Diskursus Universitas, lalu Diskursus Penguasa, lantas Diskursus Histeris, hingga akhirnya ia menginterpelasi dirinya sendiri dengan Diskursus Analis.

Analisis dari “yang lain” bisa dimulai dengan membicarakan Diskursus Universitas, mempertanyakan sejarah pribadinya dengan proses-proses perkuliahan atau indoktrinasi. Saat subyek selesai berbicara (berdiskursus), jangan sampai analis memberikan pujian akan kemampuannya mengartikulasikan sistem pengetahuannya (S2), karena hanya akan memberikannya kenyamanan narsistik. Selanjutnya analis mengajak subjek mempertanyakan penanda utama yang disandangnya secara sadar maupun tidak sadar, efek-efek alienasinya, bahkan kepentingan-kepentingan penguasa yang mengkonstruksi S2 pemberi S1-nya. Biasanya subyek akan sedikit marah dan bersikap defensif – inilah pertanda subyek dikuasai Diskursus berikutnya, milik Sang Penguasa.

Terus bombardir subjek pembicara dengan efek – efek alienasi yang dihasilkan S1-nya; ingatkan terus hasrat-hasrat yang disingkirkan oleh S1, sampai sang subyek mengakui negativitas, dosa, prilaku dan hasrat menyimpangnya dari yang telah digariskan oleh S1. Subyek akan merasa malu, sedih, dan merasa tidak layak menerima kasih Tuhannya (Allah, Yesus, Karl Marx, Adam Smith, Bung Karno, dst.). Inilah saat Diskursus Histeris mengambil posisinya.

Sekali lagi ditekankan disini, analis hendaknya tidak tergoda memberikan bantuan, jalan keluar, apalagi penanda utama alternatif, saat sang subyek berkata, “lantas apa yang harus saya lakukan?”. Beri semangat sang subyek untuk menginterpelasi dirinya yang terbelah ($), melalui Diskursus Sang Analis.

Secara ringkas yang bisa dilakukan “yang lain” sebagai analis untuk dapat mendorong subyek ($) menggiring dirinya kepada suatu pembebasan adalah: 11

 Mengidentifikasi pengaruh yang jelas, bersifat kolektif, dan subyektif yang dihasilkan pada sejumlah orang tertentu melalui suatu produk kebudayaan

atau diskursus.  Mengidentifikasikan unsur-unsur diskursus yang bertanggung jawab, yang

biasanya tersembunyi atau bahkan sengaja disembunyikan, demi tampilnya pengaruh-pengaruh yang tampil, yang diidentifikasikan dalam langkah pertama.

 Mengidentifikasikan faktor-faktor subyektif kolektif yang tidak tampil – hasrat dan kandungan dari Ego Ideal, penanda utama, dan fantasi – yang

ditawarkan oleh unsur-unsur diskursif yang menghasilkan pengaruh yang tampil itu.

11 Manual ini disusun dalam kerangka psikoanalisis Lacanian