Defisit Demokrasi vs Surplus Media Parad

LAPORAN AKHIR HIBAH RISET AWAL

TAHUN 2012

Governance, Democratization & Public/Social Policy

Defisit Demokrasi vs Surplus Media:

Paradoks Demokratisasi di Indonesia pada Era Media Baru

Nama Ketua Pengusul dan Anggota Periset (tanpa gelar):

Peneliti Utama: Hizkia Yosie Polimpung Peneliti Anggota: Levriana Yustriani

Mita Yesyca Dibiayai oleh:

Dana Riset DRPM UI Tahun Anggaran 2012

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia

CENTER FOR GLOBAL CIVIL SOCIETY STUDIES (PACIVIS) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN AKHIR HIBAH RISET AWAL TAHUN 2012

Governance, Democratization & Public/Social Policy

Defisit Demokrasi vs Surplus Media:

Paradoks Demokratisasi di Indonesia pada Era Media Baru

Nama Ketua Pengusul dan Anggota Periset (tanpa gelar):

Peneliti Utama: Hizkia Yosie Polimpung Peneliti Anggota: Levriana Yustriani

Mita Yesyca Dibiayai oleh:

Dana Riset DRPM UI Tahun Anggaran 2012

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia

CENTER FOR GLOBAL CIVIL SOCIETY STUDIES (PACIVIS) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

Riset Awal 2012 Media Surplus vs. Democracy Deficit:

Democratization Paradox in Indoenesia in Times of New Media

Hizkia Yosie Pol impung,

Pacivis Center for Global Civi l Soci ety Studi es, yosieprodigy@gmail.com ,

62 8 180 3 1 338 0 3, Hi bah Riset Awal UI , 2 01 1

Abstract

The research conduct a psychoanalytic mapping of libidinal motivations that drive people participation in democratic process by

way of new media platform. 1000 tweets are analyzed by using Jacques Lacan theory of desire and discursive symptom as

symptom of democratic participation. The research the discusses the general pattern of the participation, and draws some

implication with regard to the concept and practice of democratic participation itself.

Background

‘Democratization paradox in times of new media’, by which we refer to the paradoxical situation in Indonesia whereby in the one hand there exists surplus of new media users and in the other hand, there are many discontent with regard to democratic

participation in the country.

Research Question

“Why in the era of information openness, whereby almost every people may articulate their opinion freely through new media,

there exists democracy deficit instead?"

Objectives

1. To conduct a general mapping which illustrates the dominant propensity in society in using new media platform as their democratic participation 2. To show inherent factors in new media itself which enable and/or constrain the range of choices for democratic participation through media. 3. To draw the implication of the pattern of democratic participation in new media found along the research for the practice

and concept of democratic participation itself.

Methodology

The research uses primary data from Twitter. It uses 1000 tweets around the Jakarta Governor Election, round two. The tweets are sorted by "pilkada" and "pilgub" as keyword. It then classifies the tweets according to three categories, formulated after Lacanian psychoanalytic theory. The

first category, is desire-object, which include five form: 'the election', 'the candidates', 'Jakarta/Indonesia', 'democracy', and 'others'. Second is desire

motivation, which include 12 form desire-identity which combines active and passive desires, narcisistic and anaclytic desire, and Imaginary-

Symbolic-Real triads of desire register altogether. Third is the structure of discursive desire which consists of four structures: University discourse,

Master discourse, Hysterical discourse, and Analyst discourse.

Result

The dominant tendency from the general mapping suggests that: 1. In doing democratic participation through new media people project their libidinal desire to th election (521, 52%)

itself and to the candidates (195, 20%). The two form of desire significantly outnumber the other three.

2. People are mostly motivates by active and anaclytic form of desire identity. Specifically, they pursue the Symbolic (500, 50%) and Imaginary (347, 35%) respectively.

University (308, 31%) and the Master (267, 27%). The analyst scores so very little with no more than 2% (23) of the 3. In articulating their participation, the dominant structure captured by the research is the Hysterical (402, 40%), the total data.

Discussion/Analysis

The findings clearly shows that people differ in what motivates them to conduct democratic participation. To understand this very motivation, it is not enough to only focus on 'what they do' or 'what they do it for'. It is necessary to, as the research suggests, also take into account the various form of libidinal desire which drives them in their action. By acknowledging these desires, and considering

the result the research come up with, we may understand that in doing democratic participation, it is not the participation itself that matters most, but instead the desire they identify and may extract from it. The implication is daring: people do not have to concretely and actually participate in the democratic process, but that they only need to feel as if they have participated.

Conclusion

The findings confirms the aforementioned hypothesis about the sensation of democratic participation which made possible by the emergence of new media platform. New media is able to divert people's energy for pursuing desire through participating in the democratic process, to an end of its own repetition. The energy needed to check-and-balance those in power are kidnapped and

trapped in the circuit of new media. Hence, the researech suggest, we must not conflate the real demoractic particapation with what we call 'the sensation of democratic participation' occurs in the new media nowadays. The latter is the tendency found in the research, and that it will corrode the whole conception of democratic participation itself. It will sucks all the people energy needed to perform a

robust democracy, and leaving behind an authoritarian leader with democratic facade.

KATA PENGANTAR

Penelitian ini diselenggarakan atas dorongan untuk merefleksikan suatu fenomena unik yang terjadi di lapangan, yaiutu maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat apa yang kami sebut sebagai ‘surplus media’, dan di sisi lain terdapat ‘defisit demokrasi’. Kenyatan inilah yang kami sebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi.

Secara umum yang ingin disasar oleh penelitian ini adalah mengenai dinamika, jika bukan evolusi, dalam konsep partisipasi demokratik itu sendiri. Konsep ini begitu pentingnya sehingga tanpanya, demokrasi hanyalah menjadi kedok bagi penguasa yang totaliter. Sayangnya, di era media baru seperti saat ini, kehadiran platform-platfor mutakhir seperti Facebook, Twitter, Blog, dan sebagainya, telah terlalu dielu-elukan dan dirayakan tanpa refleksi kritis yang memadai. Bentuk-bentuk media baru ini dianggap sebagai revolusi dalam partisipasi demokratis. Penelitian ini berusaha menginterogasi asumsi ini, yang ternyata memang tidak berdasar. Dengan menggunakan aparatus konseptual dan teoritik dari Psikoanalisis Jacques Lacan, penelitian ini menunjukkan bahwa media baru tersebut telah sukses mengalihkan energi partisipasi demokratis masyarakat bukan ke arah proses-proses demokratis kongkrit di lapangan, melainkan ke arah repetisi ritual-ritual komunikasi di sirkuti media baru tersebut.

Penelitian ini dapat sukses terselenggara atas program Hibah Riset Awal Universitas Indonesia tahun 2011. Dalam pelaksanaanya, PACIVIS: Pusat Kajian Global Civil Society Universitas Indonesia juga turut memfasilitasi jalannya riset ini. Oleh karenanya, kami menghaturkan terima kasih. Penelitian ini juga tidak akan terselenggara tanpa bantuan kedua asisten, Mita Yesyca dan Levriana Yustriani, yang telah all out untuk mem-back up penelitian ini. Proses pengumpulan dan pengolahan data tidak akan mungkin terselesaikan tanpa bantuan keduanya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada tim analis tweets yang telah dengan gigih membantu dalam memetakan 1000 tweets: yaitu Frisca Tobing, Melia Halim, Fityananda Musthika, Elda Claudia Sembiring, dan Debora Widawati.

Akhirnya, semoga hasil, temuan dan argumentasi dalam studi ini bisa berguna bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Depok, 14 November, 2012 Penulis

IKHTISAR

Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar- benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat surplus media, dan di sisi lain terdapat defisit demokrasi. Kenyatan inilah yang disebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi. Dengan latar belakang teoritik seperti ini, dengan demikian penelitian ini mengajukan pertanyaan, “Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Penelitian ini menggunakan analisis simtom-wacana psikoanalisis Jacques Lacan untuk memecahkan permasalahan ini. Teori ini melihat prilaku subyek, dalam hal ini, partisipasi demokrasi sebagai sebentuk upaya untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya, pemenuhan hasratlah yang menjadi utama, ketimbang tindakan partisipasi tersebut. Untuk memperoleh hasrat ini, subyek tidak perlu benar-benar berpartisipasi, ia cukup hanya perlu merasakan sensasi berpartisipasi. Sensasi inilah yang sebenarnya ia cari melalui tindakan yang ia kira partisipasi demokrasi—nyatanya, tidak ada yang terjadi secara kongkrit di lapangan. Adalah media baru yang mampu mengkondisikan kesalah-mengiraan ini, sehingga ia mampu menjebak energi-energi partisipasi subyek di dalam sirkuit medianya dengan cara terus menerus memproduksi sensasi partisipasi demokrasi.

Untuk menunjukkan ini, penelitian akan melakukan evaluasi pada partisipasi masyarakat melalui media dengan menganalisis 1000 buah “kicauan” (tweet) masyarakat di sekitar Pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua, melalui platform mikro-blog Twitter. Pola dominan hasrat akan dipetakan sebarannya, untuk kemudian ditunjukkan sensasi partisipasi demokrasi seperti apa yang diproduksinya. Penelitian ini akan diakhiri dengan menyimpulkan apa artinya temuan-temuan ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi di era media baru.

Keywords: demokrasi; hasrat; identitas hasrat; obyek hasrat; partisipasi; sensasi; media baru.

M edia Surplus vs. Democracy Deficit: Democrat izat ion Paradox in Indonesia in Times of New M edia

St aff: H.Y.Polim pung 1* St udent :

M .Yesyca 2 , and L. Yust riani 3

Sponsor: RUUI Aw al 2011 Em ail Cont act :

yosieprodigy@gm ail.com ; hizkia.yosias@ui.edu

Disseminat ed at : H.Y. Polim pung, “ Sensation of Dem ocrat ic Participat ion am ong t he New M edia Users in Indonesia: A Case St udy of Jakart a Governor Elect ion, Round Tw o,” (fort hcoming)

1 Research Director, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y Studies, Universit y of Indonesia, Depok, Indonesia

2 Research St aff, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y St udies, Universit y of Indonesia, Depok, Indonesia

3 Research St aff, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y St udies, Universit y of Indonesia, Depok, Indonesia

* corresponding author

Introduction

The research begins w it h posing a problem called ‘dem ocratization paradox in t im es of new m edia’, by w hich w e refer t o t he paradoxical sit uat ion in Indonesia w hereby in t he one hand t here exist s surplus of new m edia users and in the ot her hand, t here are m any discont ent wit h regard t o dem ocrat ic participat ion in t he count ry. For t he first w e call ‘m edia surplus’ and t he lat t er ‘dem ocracy deficit ’. The paradoxical nat ure of t his st em s from a comm on comm on belief about t he role m edia plays in dem ocracy. In dem ocratic societ y, m edia holds a crucial role in chanelling people’s part icipationt o t he dem ocrat ic processes, hereby it poses a check-and-balance t o t he exist ing governm ent. So t he quest ion posed by t he research is: “ w hy in t he era of inform at ion openness, w hereby alm ost every people m ay articulat e t heir opinion freely t hrough new m edia, t here exist s dem ocracy deficit inst ead?”

In undert aking t he effort t o solve t he problem as asked in t he st at em ent of research quest ion, t he research set s out t hree-fold objectives. First ly, it t ries t o mapo out a general pat t ern w hich illust rat es t he dominant propensit y in society in using new m edia plat form as t heir dem ocrat ic participat ion. Secondly, it t hen m ove the discussion t o show inherent fact ors in new media it self w hich enable and/ or constrain t he range of choices for dem ocratic participat ion t hrough m edia. Last ly, it draw s som e im plication of t he pat t ern of dem ocratic participat ion in new m edia found along t he research t o t he pract ice and concept of dem ocrat ic part icipation it self.

The research uses primary dat a from Tw it ter. It uses 1000 t w eet s around t he Jakart a Governor Elect ion, round t w o. The t w eet s are sorted by " pilkada" and " pilgub" as keyw ord. It t hen classifies the t weet s according t o t hree cat egories, formulat ed aft er Lacanian psychoanalytic t heory. The first cat egory, is desire-object , w hich include five form : 't he election', 't he candidat es', 'Jakart a/ Indonesia', 'dem ocracy', and 'ot hers'. Second is desire The research uses primary dat a from Tw it ter. It uses 1000 t w eet s around t he Jakart a Governor Elect ion, round t w o. The t w eet s are sorted by " pilkada" and " pilgub" as keyw ord. It t hen classifies the t weet s according t o t hree cat egories, formulat ed aft er Lacanian psychoanalytic t heory. The first cat egory, is desire-object , w hich include five form : 't he election', 't he candidat es', 'Jakart a/ Indonesia', 'dem ocracy', and 'ot hers'. Second is desire

The dom inant t endency from t he general m apping finds t hree suggest ion: First ly, in doing dem ocratic participat ion t hrough new m edia people project t heir libidinal desire t o t h election (521, 52%) it self and t o t he candidat es (195, 20%). The t w o form of desire significantly out num ber t he ot her t hree. Secondly,people are most ly m ot ivates by act ive and anaclyt ic form of desire ident it y. Specifically, t hey pursue t he Sym bolic (500, 50%) and Im aginary (347, 35%) respectively. Thirdly, in art iculat ing t heir part icipation, t he dom inant st ruct ure capt ured by t he research is t he Hyst erical (402, 40%), t he University (308, 31%) and t he M ast er (267, 27%). The analyst scores so very lit tle w it h no m ore t han 2% (23) of t he t ot al dat a.

The findings clearly show s t hat people differ in what m ot ivat es t hem t o conduct dem ocratic participat ion. To underst and t his very m ot ivation, it is not enough t o only focus on 'w hat t hey do' or 'w hat t hey do it for'. It is necessary t o, as t he research suggest s, also t ake int o account t he various form of libidinal desire w hich drives t hem in t heir act ion. By acknow ledging t hese desires, and considering t he result t he research come up wit h, we m ay underst and t hat in doing dem ocrat ic part icipation, it is not t he participat ion it self t hat m at t ers m ost , but inst ead t he desire t hey ident ify and m ay ext ract from it. The im plicat ion is daring: people do not have t o concret ely and act ually participate in the dem ocrat ic process, but t hat t hey only need t o feel as if t hey have part icipat ed.

In it s t urn. t he findings confirm s t he aforem ent ioned hypot hesis about t he sensat ion of dem ocratic participat ion w hich m ade possible by t he em ergence of new media plat form. New m edia is able t o divert people's energy for pursuing desire t hrough part icipating in t he dem ocratic process, t o an end of it s ow n repet ition. The energy needed t o check-and- balance t hose in power are kidnapped and t rapped in t he circuit of new media. Hence, t he researech suggest , w e m ust not conflat e t he real dem oract ic part icapat ion wit h what we call 't he sensat ion of dem ocrat ic part icipation' occurs in t he new m edia now adays. The lat t er is t he t endency found in t he research, and t hat it w ill corrode the w hole conception of dem ocrat ic participat ion it self. It will sucks all t he people energy needed t o perform a robust dem ocracy, and leaving behind an aut horit arian leader w it h dem ocrat ic facade.

Keywords dem ocracy; desire-object ; part icipat ion; sensat ion; new m edia.

I. PENDAHULUAN

I.1. Partisipasi Demokrasi di Era Media Baru

Setelah Reformasi, Indonesia dilihat menjadi salah satu negara dengan perkembangan demokrasi yang paling cepat. Pandangan ini terutama muncul setelah banyak orang yang melihat pemilihan-pemilihan umum berjamuran di mana-mana—baik dari level kepala desa hingga Presiden. Selain itu, juga muncul perubahan-perubahan lain di struktur pemerintahan, seperti pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan dapat menghentikan berbagai praktik korupsi yang selama ini masih merajalela di berbagai institusi pemerintahan. Bahkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pernah memuji Indonesia sebagai role-model, khususnya bagi Myanmar dan negara-negara di Timur Tengah, karena telah mengalami transisi dari pemerintahan yang otoritarian menuju demokrasi yang tumbuh pesat dengan

populasi yang mayoritas Muslim. 1 Meskipun terdapat seluruh perkembangan ini, masih tersisa pertanyaan: Apakah demokrasi yang terjadi di Indonesia benar-

benar setara, menyeluruh, dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat di negara ini?

Jika Demokrasi terdiri dari tiga pilar—eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka pilar keempatnya adalah media yang independen. 2 Hal ini berarti bahwa

kebebasan berpendapat di media serta intensitas diskusi mengenai demokrasi di media menjadi salah satu indikator terwujudnya demokrasi. Namun, faktanya di Indonesia hampir keseluruhan dari partisipasi masyarakat di internet adalah untuk bersosialisasi dalam media jejaring sosial. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam diskusi tentang demokrasi di media masih sangat sedikit.

Di sini masalah yang muncul adalah defisit demokrasi, yang disebut oleh Benny Susetyo sebagai keadaan di mana rakyat terjebak oleh “formalisme,” di mana segala prosedur yang berkaitan dengan demokrasi—seperti pemilihan umum dan sebagainya—dijalankan namun tanpa ada makna sesungguhnya untuk memenuhi kepentingan masyarakat. 3 Oleh karena itu, ide dasar riset ini

bertujuan untuk mencari cara bagaimana untuk mengurangi defisit demokrasi yang terjadi di Indonesia ini, yang antara lain disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat di dalam media.

Defisit Demokrasi di Indonesia

1 Matthew Lee, “Clinton: Indonesia can be democratic role model” diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/24/clinton-indonesia-can-be-democratic-role-

model.html/ pada tanggal 20 September 2011, pukul 8.14 WIB. 2 Julianne Schultz, Reviving the Fourth Estate: Democracy, Accountability and the Media (Cambridge :

Cambridge Un, 1998). 3 Benny Susetyo, “Defisit Demokrasi” dalam Kompas (30 April 2007) diakses dari

http://www.demosindonesia.org/program/advokasi/kampanye/3127-defisit-demokrasi.html/ pada tanggal 20 September 2011, pukul 8.28 WIB.

Benny Susetyo dari Demos Indonesia (sebuah lembaga kajian demokrasi dan HAM), melihat bahwa defisit demokrasi lama-kelamaan terjadi di Indonesia. Demokrasi yang sehat seharusnya terjadi bila muncul penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan, namun makna ini ternyata mengalami defisit di Indonesia. Defisit demokrasi ini terjadi karena rakyat sudah dijebak oleh yang dinamakan sebagai “formalisme,” yang berarti apa yang sudah menjadi cita-cita dan garis besar yang sudah ditulis dan disepakati makin jauh dari yang seharusnya dipraktikkan. Di sini, hukum hanya menjadi ornamen, kesejahteraan sosial semata-mata tulisan dalam konstitusi, dan perilaku penguasa makin menjauhi amanat konstitusi. Demokrasi pun hanya sebatas “alat untuk memilih pemimpin” dan tampil sebagai simbol belaka. Rakyat pun hanya menjadi objek yang dipermainkan oleh para elite dan tidak dapat benar-benar

berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4

Hal senada juga diungkapkan oleh Zuly Qodir yang menganggap bahwa defisit demokrasi di Indonesia hanya berjalan lancar dalam prosesnya tetapi minus etika dan minus substansi. 5 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa

konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat

melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. 6 Menurut Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid” sangatpenting artinya

bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikianketerbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenangsecara layak. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. 7

Mark E. Warren membedakan dua jenis masalah partisipatif dalam masalah

defisit demokrasi yang lebih luas 8 . Yang pertama, defisit dalam lembaga formal demokrasi elektoral, baik yang diakui dan sering diteliti. Yang kedua

4 Benny Susetyo, “Defisit Demokrasi,” Loc. Cit. 5 “Kecenderungan Terjadinya Defisit Demokrasi 2009” diakses dari

http://csps.ugm.ac.id/indonesian/Kecenderungan-Terjadinya-Defisit-Demokrasi-2009.html/ pada tanggal 20 September 2011, pukul 8.31 WIB.

6 Pidato Philipus M. Hadjon, 1997 dalam Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, Kertha Patrika Vol. 33 No. 1,

Januari 2008. 7 Ibid.,

8 Mark E. Warren, “Citizen Participation and Democratic Deficits: Considerations from the Perspective of Democratic Theory”, hal. 2 diakses melalui

http://www.politics.ubc.ca/fileadmin/user_upload/poli_sci/Faculty/warren/Citizen_Participat ion_and_Democratic_Deficits_Draft_5.pdf http://www.politics.ubc.ca/fileadmin/user_upload/poli_sci/Faculty/warren/Citizen_Participat ion_and_Democratic_Deficits_Draft_5.pdf

desain ulang sistem pemilu , lembaga parlemen, dan perubahan konstitusi dasar, sehingga mereka lebih responsif, dan memiliki kapasitas lebih besar untuk mengumpulkan informasi, musyawarah, dan pembentukan kebijakan. Jenis kedua defisit memerlukan penyesuaian pada lembaga yang sudah ada seperti merancang bentuk-bentuk baru demokrasi yang suplemen dan melengkapi lembaga-lembaga formal demokrasi elektoral, terutama di daerah- daerah kebijakan fungsional dimana lembaga pemilu masih memiliki kapasitas yang lemah untuk menghasilkan demokrasi legitimasi.

Saat ini orang melihat munculnya defisit demokrasi, yakni kesenjangan antara proses dan mekanisme pembuatan keputusan dengan keputusannya sendiri. Singkatnya, sekalipun setiap warga negara secara aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, keputusan yang diambil lebih banyak ditentukan oleh mereka yang tidak memiliki privilege politik dalam proses demokrasi seperti misalnya perusahaan-perusahaan multinasional, organisasi- organisasi internasional ataupun insitusi dan kepentingan dari luar batas-batas

komunitas politik tersebut 9 Memang, satu hal yang patut dicatat dan harus mendapat perhatian serius adalah bahwa demokrasi ternyata tidak menjamin adanya partisipasi. Demokrasi hanya menyediakan ruang-ruang publik dan membiarkan ruang publik itu diisi oleh partisipasi aktif rakyat. Dengan kerangka demikian, maka partisipasi merupakan pilihan dari rakyat untuk memanfaatkan ruang publik. Ruang publik yang sudah terbuka tersebut memang idealnya harus diisi oleh partisipasi aktif rakyat, dan sekali lagi itu adalah mutlak tugas dan kewajiban rakyat itu sendiri. Dalam situasinya yang ideal, memang ruang publik harus diisi oleh partisipasi aktif rakyat untuk melakukan deliberasi dan membuat diskursus. Akan tetapi, jika rakyat tidak mampu mengisi ruang-ruang publik tersebut dengan partisipasi, maka yang terjadi adalah ruang-ruang tersebut didominasi oleh para elit-elit yang pragmatis dan hanya mengejar sumber daya politik maupun ekonomi, sehingga yang muncul bukanlah partisipasi rakyat, melainkan partisipasi elit.

Dari berbagai diskursus di atas, tampak bahwa demokrasi di Indonesia hanya semata-mata menjalankan prosedur yang ada—terutama melalui berbagai pemilihan umum yang dijalankan—tanpa adanya pemenuhan kepentingan rakyat. Dari sini, dapat dilihat pula bahwa partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi masih sangat minim; kebanyakan hanya sebatas untuk menjalani formalitas untuk memilih calon pejabat. Media-media massa yang ada pun seringkali dibumbui oleh kepentingan pihak-pihak politik tertentu dan publik semata-mata menjadi penonton tanpa dapat berpartisipasi di dalamnya.

9 Muhadi Sugiono, “Demokrasi dan Dinamika Globalisasi”, hal 2 diakses melalui http://msugiono.staff.ugm.ac.id/publikasi/demokrasi-dinamika-global.pdf

Tetapi belakangan ini, muncul juga fenomena lain yang baru di negara ini, yakni surplus pengguna jejaring sosial.

Surplus Pengguna Jejaring Sosial

Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat pengguna internet, terutama dalam kategori jejaring sosial yang sangat tinggi di dunia. Pada Januari 2011, tercatat sekitar 31 juta rakyat Indonesia, atau seperdelapan dari 242 juta

orang menggunakan internet. 10 Jumlah pengguna internet tersebut didominasi oleh pengguna situs jejaring sosial, antara lain Facebook dan Twitter. Berdasarkan data dari Google AdPlanner pada Mei 2011, rata-rata pengguna internet di Indonesia mengakses WordPress selama 8 menit, Blogspot selama 10 menit, Twitter selama 16 menit, Facebook selama 28 menit, dan Kaskus selama 30

menit setiap harinya. 11 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas masyarakat Indonesia di dunia maya adalah untuk bersosialisasi melalui situs jejaring sosial maupun blog.

Indonesia merupakan negara pengguna Facebook terbesar kedua di dunia setelah AS, dengan jumlah pengguna sebanyak 40.146.340 orang per 17 September 2011. 12 Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, jumlah ini terus meningkat pesat, yang menggambarkan bahwa budaya bersosialisasi di internet semakin meluas

Berikut grafik jumlah pengguna Facebook pada bulan Maret – Agustus 2011 13 :

10 Ismira Lutfia, “Indonesia’s Social Media Obsession Seen Changing Rules of Marketing”, diakses dari http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesias-social-media-obsession-seen-changing-rules-of-

marketing/416821 , pada 19 September 2011 pukul 20.00 WIB. 11 _____, “Social Media Impact on Indonesian Internet Users”, diakses dari

http://www.jakartaupdates.com/1639-07/social-media-impact-on-indonesian-internet-users , pada 19 September 2011 pukul 21.47 WIB.

12 Data dari CheckFacebook.com, diakses dari http://www.checkfacebook.com/ pada 19 September 2011 pukul 19.30 WIB.

13 _____, “Indonesia Facebook Statistics”, diakses dari http://www.socialbakers.com/facebook- statistics/indonesia pada 20 September 2011 pukul 09.00 WIB.

Grafik 1. Jumlah Pengguna Facebook di Indonesia Periode Maret – Agustus 2011

Grafik 2. Distribusi Umur Pengguna Facebook di Indonesia 14

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas pengguna Facebook berada pada rentang usia 18-24 tahun dan diikuti oleh pengguna dengan rentang usia 25-34 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para pengguna Facebook berada

pada usia yang produktif. Selain itu, data statistik dari social bakers 15 menunjukkan bahwa tingkat penetrasi Facebook di Indonesia sebesar 16,52% dibandingkan dengan populasi negara dan sebesar 133,82% dibandingkan

14 Ibid. 15 Social bakers merupakan badan yang mempublikasikan statistik media sosial yang

memfokuskan pada situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Linkedln. Info mengenai social bakers dan publikasinya dapat dilihat di www.socialbakers.com .

dengan jumlah pengguna internet. 16 Tingkat penetrasi yang sangat tinggi ini memperlihatkan betapa mendominasinya Facebook dalam aktivitas internet yang dilakukan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, dalam jejaring sosial lainnya, yakni Twitter, Indonesia menempati peringkat ketiga dalam kategori negara dengan jumlah pengguna Twitter tertinggi, dengan kontribusi sebesar 2,34% terhadap jumlah tweet di

dunia pada masa itu. 17 Tingginya aktivitas masyarakat Indonesia yang tinggi di jejaring sosial terlihat dari seringnya tweet yang menjadi trending topic merupakan tweet yang berasal dari pengguna Twitter di Indonesia. Bahkan, Jakarta merupakan satu-satunya kota di Asia yang menempati peringkat 15

besar. 18 Artikel The Economist pada 6 Januari 2011 yang berjudul “Eat, Pray, Tweet”, menuliskan betapa aktifnya pengguna internet di Indonesia dalam mengakses situs jejaring sosial, yang menggambarkan dengan jelas tentang

budaya Indonesia yang terbuka terhadap jejaring sosial. 19

Paradoks Demokrasi di Era Media Baru

Sampai di sini, kita dihadapkan pada dua kenyataan yang bertolak belakang: di satu sisi wacana mengenai defisit demokrasi merebak di kalangan opinion leader Indonesia, dan di satu sisi terjadi surplus tinggi atas pengguna media sosial. Dua hal ini menjadi ironis apabila diletakkan pada anggapan umum bahwa media merupakan pilar keempat demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki fungsi penting dalam demokrasi untuk menjadi saluran partisipasi demokratis masyarakat, yang notabene krusial sebagai bentuk checks and balances bagi pemerintah yang berkuasa. Pilar keempat ini, dengan demikian melengkapi ketiga pilar sebelumnya—eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tingginya angka pengguna media di Indonesia, apabila dihubungkan dengan teori pilar keempat demokrasi, maka seharusnya sudah menjadi tidak relevanlah wacana-wacana mengenai demokrasi defisit. Logikanya, demokrasi menjadi defisit apabila masyarakat tidak banyak yang berpartisipasi, sehingga elit mendominasi keseharian pemerintahan. Hal ini mungkin untuk terjadi, salah satunya apabila saluran-saluran untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi adalah sedikit. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Media, sebagai saluran partisipasi demokratis masyarakat tersebut terbukti amatlah banyak. Bahkan, penggunaan media baru, yang karenanya rakyat dimungkinkan untuk berpartisipasi secara ral time, di Indonesia menunjukkan angka yang bukan main

16 _____, “Indonesia Facebook Statistics”, diakses dari http://www.socialbakers.com/facebook- statistics/indonesia , pada 20 September 2011 pukul 09.00 WIB.

17 Ibid. 18 Ibid.

19 _____, “Eat, Pray, Tweet”, dalam The Economist, diakses dari http://www.economist.com/node/17853348 pada 19 September 2011 pukul 21.50 WIB.

besarnya. Lalu mengapa partisipasi demokrasi menjadi defisit? Kondisi ini yang kami sebut sebagai paradoks demokrasi di era media baru.

Tepat di sinilah penelisikan kembali mengenai posisi dan peran media dalam memfasilitasi partisipasi demokrasi hari ini. Ada dua hal yang bisa jadi menjadi problem utama di sini, yaitu apakah peran media dalam demokrasi telah bergeser dari yang sebagaimana dimaksudkan teori pilar keempat, atau justru telah terjadi pergeseran konsep partisipasi demokratis itu sendiri yang memungkinkan terjadinya paradoks ini? Yang manapun jawabannya, hal paling penting untuk ditelaah lebih lanjut adalah kondisi-kondisi apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran tersebut. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik problematika awal kemana studi ini melangkah. Untuk memecahkan misteri paradoks demokrasi di era media baru ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

I.2. RUMUSAN MASALAH

Untuk memecahkan misteri paradoks demokrasi di era media baru ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

“Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Pertanyaan ini kemudian dioperasionalisasikan lagi lebih terperinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola partisipasi yang actually existing terjadi dalam praktik demokrasi melalui media baru?

2. Dalam kondisi apa dimungkinkan bentuk partisipasi demikian?

3. Apa implikasi bentuk partisipasi dalam media baru ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi itu sendiri?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memetakan pola umum yang menggambarkan kecenderungan dominan masyarakat dalam menggunakan saluran media baru sebagai medium partisipasinya.

2. Menunjukkan faktor-faktor yang inheren terdapat dalam media baru itu sendiri yang memungkinkan dan/atau membatasi bentuk-bentuk pilihan partisipasi demokrasi melalui media.

3. Menunjukkan tensi dan/atau evolusi yang terjadi di dalam konsep partisipasi demokratik itu sendiri di era media baru.

I.4. SIGNIFIKANSI DAN URGENSI PENELITIAN

Melihat kesenjangan yang tinggi antara defisit demokrasi dan surplus social media, maka penting untuk melakukan upaya-upaya untuk mengalihkan partisipasi yang tinggi dalam social media tersebut ke dalam ranah demokrasi. Selain itu, hal ini juga penting mengingat kehadiran media sebagai pilar keempat dari demokrasi, sehingga dermokrasi baru akan terwujud sepenuhnya setelah pilar keempat tersebut terwujud.

Peneliti melihat bahwa salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan memanfaatkan fakta bahwa Indonesia memiliki jumlah pengguna social media yang menempati salah satu peringkat paling banyak di dunia. Sehingga penelitian ini berusaha melihat kemungkinan apakah partisipasi masyarakat Indonesia yang besar di ranah jejaring sosial dapat diarahkan untuk membantu mengurangi defisit demokrasi yang terjadi di Indonesia serta mendorong terjadinya proses demokratisasi yang lebih partisipatif di negara ini.

Lebih lanjut, penelitian ini dimaksudkan untuk memikirkan kembali hubungan antara media, demokrasi, dan partisipasi komunikasi di era kontemporer. Tim peneliti bermaksud untuk melihat dan mengetahui bagaimana media dapat menjadi alat yang berguna bagi perwujudan demokrasi. Hasil penelitian nanti diharapkan dapat turut berkontribusi dalam upaya pemberian edukasi tentang media di kalangan masyarakat Indonesia.

II. KERANGKA PEMIKIRAN Psikoanalisis dan Prilaku Partisipatif

Teori-teori yang membahas mengenai prilaku biasanya akan bertumpu pada penjelasan rasionalistik ekonomi dan penjelasan psikologis. Penjelasan rasionalistik biasanya menggunakan teori-teori seperti teori pilihan rasional dan teori permainan. Sekalipun terdapat perbedaan, persamaan keduanya adalah menggunakan logika cost-benefit dalam setiap kalkulasi tindakan manusis. Prilaku manusia, akhirnya ditentukan dari perhitungan-perhitungan rasional yang ia refleksikan sebelum mengambil keputusan. Problem dari pendekatan seperti ini adalah bahwa ia begitu saja menerima secara taken for granted tentang corak tertentu dari rasionalitas. Mengapa yang dianggap rasional adalah yang demikian (as such) dan bukan lainnya? Proses-proses apa yang menjadikan gagasan rasionalitas menjadi bercorak yang demikian? Pertanyaan-pertanyaan ini jelas tidak akan mampu di jawab pendekatan ini. Kerja teoritik mereka berada di dalam satu bentuk rasionalitas, sehingga klaim-klaim teoritis yang mereka hasilkan hanya berlaku sepanjang rasionalitas yang dipakai pendekatan ini secara taken for granted tidak berubah.

Berikutnya pendekatan psikologis. Teori yang umumnya digunakan, misalnya, teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Teori ini begitu terkenalnya Berikutnya pendekatan psikologis. Teori yang umumnya digunakan, misalnya, teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Teori ini begitu terkenalnya

Problem dari pendekatan ini ada di seputar pertanyaan mengenai asal- usul dari masing-masing bentuk dari needs itu sendiri. Segala bentuk obyek kebutuhan dalam setiap tangga hirarki ini diasumsikan terberi begitu saja. Semisal, kebutuhan estetis, tidak pernah dipertanyakan mengapa konsepsi keindahan yang demikian yang dianggap estetis dan bukan versi lainnya. Begitu pula dengan kebutuhan akan kemanan, jarang tepikirkan untuk menginterogasi mengapa seseorang merasa aman dalam sistem keamanan demikian dan bukan lainnya. Hal ini, belum lagi melihat unsur-unsur sosial-politis yang membentuk bentuk gagasan keindahan dan keamanan tadi. Di sini pendekatan psikologis menemui keterbatasannya.

Untuk menambal keterbatasan ini, studi ini akan menggunakan pendekatan psikoanalisis yang digagas dan dikembangkan oleh Jacques Lacan dan para penerus tradisinya, seperti, terutama, Slavoj Zizek dan Jodi Dean. Psikoanalisis melihat seluruh prilaku manusia sebagai sesuatu yang memiliki asal-usul libidinal, yaitu hasrat. Adalah hasrat yang menjadi motor seseorang untuk berhasrat. Hal ini akan menjadikan piramida Maslowian menjadi sama sekali bermasalah dan tidak relevan. Misalnya, paling sederhana: mengapa manusia makan? Maslow dan pengikutnya akan menjawab bahwa itu adalah kebutuhan biologis. Tapi bagaimana dengan misalnya, para petapa, atau para pemogok makan? Mereka tidak makan demi mendapat estetika (pertapa) dan rekoginisi (pemogok). Artinya, dalam horizon Maslowian, mereka “melompati” hirarki kebutuhan tersebut. Dan ini adalah sesuatu yang tidak terjelaskan bagi pendekatan Maslowian.

Dorongan hasrat dan obyek hasrat Sehingga penting di sini untuk membedah prilaku manusia. Dengan

menggunakan psikoanalisis Lacanian, prilaku harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang selalu merupakan efek dari suatu dorongan (drive) 20 hasrat. Dorongan ini bersifat primordial dan sifatnya inheren. Semenjak manusia lahir, ia sudah memiliki dorongan. Hanya saja, ia belum memiliki saluran dan muara

20 Kesalah-kaprahan fatal dalam terjemahan Indonesia adalah dengan menerjemahkan konsep ini ke ‘insting’. Insting lebih condong ke arah intuisi; sementara dorongan lebih menekankan dimensi

ketidak-sadaran yang sifatnya memaksa, yang lebih cocok dalam pandangan Lacan sendiri.

untuk mengarahkan dorongan hasrat tersebut. Di sinilah pentingnya melihat aspek lain dari hasrat, yaitu obyek hasrat. Obyek hasrat merupakan muara dari dorongan tersebut. Jadi, kembali ke contoh makan, ‘dorongan untuk memuaskan rasa lapar’ (libidinal) adalah berbeda dan lebih dalam dari sekedar ‘memuaskan rasa lapar’ (biologis) itu sendiri. Yang pertama ini punya motivasi yang tidak sekedar memuaskan rasa lapar, melainkan untuk memuaskan hasrat untuk bertahan hidup. Hasrat bertahan hidup ini, sebenarnya hanyalah satu macam hasrat saja; masih ada bentuk hasrat lainnya.

Melalui contoh ini, dapat dilihat bagaimana obyek hasrat hasrat harus dilihat setidaknya sebagai dua lapis: identitas dan obyek. 21 ‘Identitas hasrat’ merupakan motivasi libidinal/hasrati sang subyek untuk menghasrati obyek hasrat yang mengandung identitas hasrat tersebut. 22 Obyek inilah yang disebut Lacan sebagai ‘obyek penyebab hasrat’ (object cause of desire). Jadi, anatomi hasrat dapat dibedah ke dalam dua aspek: identitas hasrat dan obyek hasrat. Dalam setiap obyek hasrat, dengan demikian, selalu tersimpan identitas-identitas hasrat. Namun demikian yang penting ditekankan adalah bahwa identitas hasrat sebenarnya tidak pernah tersimpan begitu saja dalam obyek hasrat; identitas hasrat dalam obyek hasrat adalah selalu merupakan hasil proyeksi dan investasi dorongan hasrat sang subyek. Artinya, identitas hasrat sebenarnya tidak pernah ada dalam obyek tersebut dengan sendirinya; adalah subyek yang memproyeksikan hasratnya ke obyek tersebut sehingga seolah-olah obyek tersebut memendam suatu harta karun hasrati tertentu.

Di sini, mau tidak mau, analisis harus mempertimbangkan aspek sosial politik yang berupaya mengarahkan, mengkanalisasi, mengorientasi, dan menggiring dorongan hasrat ke arah obyek hasrat tertentu yang notabene telah terlebih dahulu dikonstruksikan makna dan nilai pemuasan hasratnya. Memahami proses penggiringan ini, maka penting untuk juga menjelaskan proses ‘identifikasi’ identitas hasrat dalam obyek-obyek hasrat. Hal ini demikian karena semenjak obyek hasrat dihasrati karena (dikira subyek) memiliki identitas-identitas hasrat tertentu, maka proses identifikasi ini juga berpotensi menjadi medan kontestasi sosial politik. Artinya, obyek hasrat itu sendiri tidak pernah natural; ia selalu merupakan produk kontestasi sosio-potis yang bersifat historis di zamannya masing-masing. Seperti kata Zizek,

21 Sebenarnya ada tiga, dengan yang ketiga disebut Lacan sebagai ‘the real of the desire’, atau di lain kesempatan, ‘lamela’. Namun, untuk kepentingan studi ini, dua saja sekiranya cukup untuk

menjelaskan. Untuk catatan ini, lihat Jacques Lacan, The Seminar of jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (London, NY: W.W.Norton & Company, 1981), hlm. 98.

22 Lacan tidak mengutarakan konsep ‘identitas hasrat’ ini. Untuk gagasan yang diacu konsep ini, Lacan menggunakan konsep ‘obyek a’ (objet petit a). Demi kepentingan penyederhanaan dan

meminimalisir terlalu banyak konsep teknis yang jarang digunakan, maka kami memilih menggunakan ‘identitas hasrat’ yang lebih “ramah di telinga.”

“The problem for us is not ‘are our desire satisfied or not’. The problem is ‘how do we know what we desire?’ There is nothing spontaneous, nothing natural about human

desires. Our desires are artificial. We have to be taught to desire.” 23

Aspek sosial politik di sini menjadi tidak terelakkan karena dalam dorongan hasrat, terkandung suatu energi. Energi yang menggerakan sang subyek untuk menjawab dorongan hasratnya. Adalah energi ini yang apabila dikonsentrasikan dan dikumpulkan, bisa dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kontrol terhadap hasrat di level identifikasi hasrat ini akhirnya akan menganugerahi seseorang dengan kekuasaan (power), yaitu kekuasaan libidinal (libidinal power).

Tipologi Identitas Hasrat Lacanian Demi kepentingan sistematisasi penelitian, maka penting untuk

menerjemahkan konsep ‘identitas hasrat’ ini ke bentuk yang lebih operasional. Untuk ini, studi ini mengikuti jejak yang dibuka oleh Mark Bracher. 24 Pintu masuk Bracher untuk operasionalisasi ini adalah definisi tersohor dari Lacan sendiri tentang hasrat, yaitu bahwa hasrat adalah selalu “hasrat akan yang lain’

(“desire finds its meaning in the desire of the other”) 25 . Kalimat “hasrat akan ‘yang lain’” ini mengandung tiga ambiguitas. Ambiguitas ini menunjuk pada tiga landasan pembedaan hasrat. Landasan pertama, kata “hasrat” bisa merupakan hasrat untuk menjadi dan bisa juga hasrat untuk memiliki. Pembedaan ini sesuai

dengan pembedaan libido narsistik dan libido anaklitik oleh Freud. 26 Kedua, kata “akan,” menunjukan bahwa subjek hasrat tersebut bisa menjadi subjek aktif (yang meng-hasrati) dan objek pasif (yang di-hasrati). Terakhir, kata “yang lain” inilah yang merupakan identitas hasrat. Mengacu ke penjelasan Lacan, identitas hasrat terposisikan di dalam tiga ranah (register) yang saling bertalian, yaitu: ranah Imajiner, yang memanifestasi ke dalam citra-ideal (ideal image); ranah Simbolik, yang memanifestasi pada tanda; dan ranah Riil yang memanifestasi dalam bentuk fantasi.

(Secara singkat, ketiga ranah ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ranah Imajiner berkaitan dengan suatu konsepsi ideal yang abstrak; ia juga merupakan suatu bentuk kesatuan, keutuhan, integralitas, yang dengan demikian, juga dengan dengan jelas menarik garis batasan antara saya/liyan, ideal/buruk, tapi juga hitam/putih, pantas/tidak, dst. Hasrat yang berada di ranah Simbolik akan

23 Kalimat ini diteruskan dengan, “cinema is the ultimate pervert art. It doesnt give you what you desire. It tells you how to desire.” Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film, (London: Mount Pleasant Studios, 2006). [Film Dokumenter]

24 Mark Bracher, Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism (Ithaca & London: Cornell Uni Press, 1993), bab 1.

25 Jacques Lacan, Écrits: A selection, terj. A. Sheridan (London: Tavistock, 1977 [1966]), hlm. 43. 26 Narsis diadopsi dari Narcissus, tokoh Yunani kuno yang cinta dirinya sendiri. Oleh karena itu,

libido narsistik adalah libido yang mengarah pada Ego, menjadi suatu citra-diri Ego. Anaklitik berasala dari kata Yunani, Anaklitos, yang artinya bersandar. Dengan demikian, libido anaklitik adalah libido yang menyandarkan kepuasannya pada kepemilikan suatu objek. Sigmund Freud, The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, vol. 14 (London: Hogarth Press, 1953-7), hlm. 76-89.

selalu terreduksi (bahasa Lacan, terkastrasi) ke dalam bentuk-bentuk yang kongkrit; bentuk-bentuk ideal dalam ranah Imajiner tadi mendapat bentuk kongkritnya dalam rupa-rupa simbolisasi, penamaan, pelabelan, dst., yang merupakan ciri khas ranah Simbolik. Ranah Riil, merupakan ekses dari kedua ranah sebelumnya. Ciri utamanya adalah bahwa ia selalu merupakan sebentuk kemustahilan. Saat hasrat yang ideal dari ranah Imajiner diterjemahkan ke dalam ranah Simbolik, maka akan selalu ada yang hilang dalam translasi itu (lost in translation). Akibatnya, hasrat tidak akan pernah utuh, final, paripurna dan bulat. Pemenuhan suatu hasrat, hanya akan membawa sang subyek untuk memenuhi hasrat lainnya, dan demikian seterusnya sampai ia mati dalam proses pemenuhan hasrat itu sendiri. Adalah yang Riil ini yang membuat hasrat menjadi sebuah kemustahilan, dengan demikian, mengkonfirmasi anggapan

umum mengenai hasrat sebagai jurang tak bertepi.) 27

Sampai sini dapat disimpulkan terdapat total 12 jenis identitas hasrat yang memotivasi prilaku-prilaku manusia sehari-hari, dengan empat jenis hasrat yang memanifestasi di masing-masing ranah (citra-ideal, tanda, fantasi): hasrat Narsistik Pasif yaitu hasrat untuk menjadi objek cinta “yang lain;” hasrat Narsistik Aktif, yaitu hasrat untuk menjadi “yang lain” lewat identifikasi; hasrat Anaklitik Aktif, yaitu hasrat untuk memiliki “yang lain” sebagai objek pemuas; dan hasrat Anaklitik Pasif, yaitu hasrat untuk dimiliki “yang lain” sebagai objek pemuasnya. Ke-12 tipologinya dapat ditabulasikan sebagai berikut: (untuk uraian lebih ekstensif, telampir)

Identitas

Anaklitik Hasrat

Narsistik Aktif

Narsistik Pasif

Anaklitik Aktif

Anaklitik Pasif

Imajiner

Imajiner Narsistik Aktif

Narsistik Pasif

Anaklitik Aktif

Anaklitik Pasif

Simbolik

Simbolik Narsistik Aktif

Narsistik Pasif

Anaklitik Aktif

Anaklitik Pasif

Tabel 1 Tipologi Identitas Hasrat dalam Psikoanalisis Lacanian

Simtom: Modus Artikulasi Dorongan Hasrat (dalam Wacana) Hal lain yang juga perlu dibahas adalah terkait aktualisasi upaya-upaya

untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di sini kita berbicara mengenai modus- modus artikulasi dorongan hasrat, atau yang disebut Lacan sebagai ‘simtom’

27 Disarikan secara umum dari, Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XXII, 1974-75, peny. J-A. Miller, terj. J.W.Stone dari transkrip milik Editions Du Seuil. [Naskah tidak terbit].

(symptom). Simtom adalah segala sesuatu, sekali lagi, segala sesuatu yang dilakukan dan ditampakkan oleh sang subyek hasrat, baik itu (dikira) disadari maupun tidak. Simtom ini merupakan titik pertemuan antara subyek dengan obyek hasrat berikut ke-12 identitas yang sudah di bahas di atas. Ada berbagai macam simtom tentunya: mulai dari makan, berpikir, berolahraga, beribadah, bahkan sampai berpolitik, berkarir, tapi juga marah, sedih, dst. Namun demikian, tidak semua akan dipakai dalam penelitian ini. Hanya simtom yang merupa dalam wacana saja yang akan dipakai dalam studi ini. Pun dalam studi ini, wacana tersebut juga terpaksa direduksikan lagi ke dalam sebarisan kata-kata yang diungkapkan seseorang dalam rangka mewujudkan partisipasinya dalam proses

demokrasi. 28 Secara umum, mengikuti Lacan, wacana simtomatik selalu

mengasumsikan dua jenis posisi—‘pengidentifikasi’ dan ‘yang-diidentifikasi’— dan dua jenis dunia 29 —tampak dan tak sadar. 30 Skemanya dapat dilihat sebagai berikut:

Pembicara Penerima

Pelaku

 ”yang lain”

--------- ------------ Kebenaran

 Produksi

Skema 1. Susunan Skema Simtom-Wacana