Tradisi Sastra Karnival

2.3 Tradisi Sastra Karnival

Sebagai pendukung konsepnya mengenai genre novel polifonik di atas, Bakhtin (1973:87) menegaskan bahwa pada dasarnya karya sastra hidup di masa kini (ketika karya sastra ditulis), tetapi bagaimanapun juga tetap mengingat masa lalu. Hal demikian dilandasi oleh kenyataan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi memori kreatif dari proses perkembangan sastra. Itulah sebabnya, kehadiran novel polifonik sebagai sebuah genre (sastra) baru juga tidak terlepas dari genre- genre yang mendahuluinya. Berkenaan dengan ini, Bakhtin (1973:88) kemudian menempatkan apa yang disebut tradisi sastra karnival sebagai sesuatu yang penting dalam sejarah sastra. Dikatakan penting karena tradisi sastra karnival telah membe- rikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya novel polifonik, yaitu melalui proses transformasi berbagai unsur, terutama unsur komikal (comical) dan perilaku karnival (carnival attitude).

Karya-karya yang berasal dari tradisi sastra karnival yang memberikan pengaruh terhadap lahirnya novel polifonik seti- daknya memiliki tiga karakteristik dasar berikut. Pertama, titik pijak (titik awal) untuk memahami, mengevaluasi, dan mem- formulasikan realitas adalah masa kini sehingga terjadi perubahan radikal dalam penyusunan waktu dan nilai dalam pelukisan artistik. Kedua, meskipun berhubungan dengan legenda, karya dari tradisi sastra karnival tidak menjelaskan dirinya berdasarkan

Page 25 Page 25

Tiga karakteristik dasar semacam itulah yang memiliki signifikansi bagi perkembangan karya-karya prosa Eropa yang kemudian disebut sebagai karya sastra dialogis. Sebelum perkembangan itu mencapai puncak, yakni pada novel-novel polifonik karya Dostoevsky, beberapa karakteristik dialogis itu terlihat jelas di dalam dua karya sastra genre serio-komik, yakni

Socratic Dialog dan Menippean Satire. 8 Itulah sebabnya, menurut Bakhtin (1973:113), karakteristik dua karya tersebut sangat

berpengaruh dan bahkan menentukan nada (tone) novel-novel polifonik karya Dostoevsky.

Setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik Socratic Dialog yang memberikan pengaruh bagi munculnya novel polifonik (Bakhtin, 1973:90--92). Pertama, kebenaran dialogis diletakkan

8 Socratic Dialog ditulis oleh Plato, Xenophon, Antisthenes, Aeschines, Phaedo, Euclid, Alexamenos, Glaucon, Simias, Criton, dan

sebagainya. Namun, hanya karya Plato dan Xenophon yang tetap bertahan. Karya tersebut muncul dari dasar-dasar karnivalistik tradisional, dan perilaku karnival yang tetap bertahan terutama adalah adegan lisan Socrates. Sementara itu, Menippean Satire ditulis oleh Heracleides Ponticus pada abad ke-3 SM, dan karya satire itu memperoleh nama pertama dari filsuf Menippos of Gadara. Karya yang me-miliki banyak varian itu memberi pengaruh yang kuat mulai dari kesusastraan Kristen Kuna, kesusastraan Bizantium, kesusastraan Abad Pertengahan, masa Rennai-sance, sampai pada kesusastraan zaman modern (Bakhtin, 1973:89, 92--93).

Page 26

sebagai dasar bagi karya sastra. Untuk mencapai kebenaran dialogis tersebut, suatu kebenaran (gagasan) harus diperten- tangkan dengan kebenaran lain sehingga lahir kebenaran baru. Dikatakan demikian karena sesungguhnya kebenaran tidak berasal dari dan tidak tinggal di dalam individu, tetapi dalam hubungan dialogis antarindividu secara kolektif. Kedua, adanya dua perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis. Sinkrisis dipahami sebagai bentuk penjajaran dramatis berbagai sudut pandang terhadap objek tertentu, dan dalam teknik penjajaran itu berbagai pendapat disesuaikan dengan suatu kepentingan yang lebih besar. Anakrisis dipahami sebagai provokasi, yaitu sarana yang berupa kata, ungkapan, atau situasi yang berfungsi untuk mendesak interlokutor (lawan bicara) agar mengekspresikan pendapat dan pikirannya sehingga kebenaran-kebenaran (baru) dapat ditarik darinya. Sinkrisis dan anakrisis mendialogisasi, membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi suatu ungkapan di dalam dialog, dan akhirnya mengubah pemikiran- pemikiran itu menjadi hubungan dialogis antarindividu. Ketiga, tokoh-tokoh yang berdialog (tokoh utama dan interlokutornya) adalah para ideolog, yaitu manusia-manusia (pencipta) gagasan. Oleh sebab itu, seluruh peristiwa yang terjadi atau yang dire- produksi merupakan peristiwa ideologis pencarian dan pengujian suatu kebenaran. Keempat, sebagai tambahan anakrisis, provo- kasi-provokasi tersebut berfungsi sebagai pencipta situasi yang luar biasa, sebagai pencair atas otomatisme dan objektivikasi, dan sebagai pendesak pihak lain agar terlibat secara penuh (total). Kelima, gagasan secara organik melekat pada pelukisan seorang pribadi (penyampai). Jadi, pengujian dialogis tentang suatu gagasan secara simultan merupakan sebuah pengujian atas pribadi yang mewakilinya.

Sementara itu, di dalam Menippean Satire terdapat 14 (empat belas) karakteristik yang juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi lahirnya novel polifonik (Bakhtin, 1973:93- -97). Empat belas karakteristik tersebut sebagai berikut. (1)

Page 27

Mengandung unsur komikal (lucu), bahkan bobot komikal Menippean Satire lebih besar daripada Socratic Dialog. (2) Wa- laupun tokoh-tokoh rekaannya berasal dari sejarah dan legenda, mereka tidaklah statis, tetapi mempunyai kebebasan dan fantasi yang luar biasa. (3) Fantasi-fantasi dan petualangan yang paling berani dan bebas dimotivasi, dibenarkan, dan dijelaskan secara internal oleh tujuan ideologis dan filosofis yang semuanya digunakan untuk menciptakan situasi yang luar biasa sebagai sarana untuk menguji kebenaran (gagasan filosofis). Untuk mencapai tujuan tersebut, para tokoh naik ke atas (surga), lalu turun ke bawah (dunia), menjelajahi tanah-tanah fantasi yang tidak dikenal, dan akhirnya masuk ke dalam situasi yang luar biasa. Pendek kata, Menippean Satire penuh dengan petualangan gagasan dan kebenaran. (4) Adanya kombinasi fantasi dan simbolisme organik yang bebas. Misalnya, unsur religius dikom- binasikan dengan naturalisme dunia bawah (kasar) seperti jalan raya, rumah bordil, sarang pencuri, kedai minum, pasar, atau penjara. Oleh sebab itu, ekspresi kebijakan seringkali dikon- frontasikan dengan ekspresi kejahatan, kehinaan, vulgaritas, dan sejenisnya. (5) Secara berani fantasi digabung dengan univer- salisme filosofis dan ideologis. Menippean Satire adalah karya tentang “pertanyaan-pertanyaan akhir” sehingga di dalamnya terdapat pro dan kontra tentang berbagai “pertanyaan akhir kehidupan (kematian)”. (6) Dalam hubungannya dengan univer- salisme filosofis tampak ada suatu konstruksi tiga tingkat, yaitu sinkrisis tindakan ditransfer dari bumi, lalu ke Olympus, dan akhirnya ke dunia bawah. (7) Terdapat berbagai eksperimen yang fantastik dan aneh; misalnya melihat kehidupan sebuah kota dari suatu ketinggian. (8) Muncul berbagai eksperimen moral psi- kologis, misalnya manusia abnormal, pribadi yang terbelah, mimpi di siang hari, atau bunuh diri. Dalam hal ini, unsur komikal dan tragikal muncul bersamaan, dan dari proses eksperimen itulah kehidupan lain dapat diungkapkan. (9) Muncul berbagai adegan skandal, perilaku eksentrik, tindakan yang tidak

Page 28 Page 28

Di samping itu, Bakhtin (1973:100) menunjukkan pula beberapa persoalan karnival (carnival) dan karnivalisasi kesu- sastraan (carnivalization of literature). Menurutnya, akar-akar karnival tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial, berkembang dalam kondisi-kondisi masyarakat kelas, dan keunikannya tidak pernah mati di sepanjang sejarah kultural. Karnival bukan merupakan fenomena sastra, melainkan meru- pakan bentuk “pertunjukan indah” dari sebuah ciri ritual (syncretic pageant form of a ritual nature). Karnival sangat unik, kompleks, dan mempunyai banyak variasi dan nuansa. Karnival mengembangkan suatu bahasa simbolik yang dimulai dari suatu penampilan massa yang besar. Kendati tidak dapat diterjemahkan secara memadai ke dalam sebuah bahasa verbal--karena memang hanya berupa konsep-konsep abstrak--, bahasa simbolik tersebut tunduk pada suatu transposisi tertentu ke dalam karya sastra.

Page 29

Transposisi karnival itulah yang disebut sebagai karnivalisasi kesusastraan.

Selanjutnya, Bakhtin (1973:101) menyatakan bahwa peri- laku karnival setidaknya dapat dipahami melalui empat kategori berikut. Pertama, adanya pertunjukan indah tanpa panggung, tanpa ada pembagian peran sebagai pemain atau penonton. Dalam pertunjukan tersebut setiap orang dapat bergabung dan menjadi peserta aktif. Pertunjukan karnival tidak terkontemplasi, bahkan tidak dimainkan, dan di dalamnya peserta hidup sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam kehidupan karnivalistik (kehidupan yang tidak biasa). Semua hukum atau larangan yang menentukan tatanan kehidupan normal ditang-guhkan; sistem hierarki dan semua bentuk ketakutan, rasa malu, kesalehan, dan etika ditunda; dan jarak antarorang pun ditiadakan. Dengan demikian, dalam suatu pertunjukan karnival terjadi kontak bebas, apa saja dimungkinkan. Kedua, di dalam pertunjukan separuh drama itu berkembang modus baru hubungan antarmanusia yang berbeda dengan hubungan manusia dalam kehidupan normal (non-karnival). Dari sini akan muncul eksentrisitas, yaitu perilaku yang terbebas dari segala otoritas dan hierarki. Secara organik perilaku eksentrik berkaitan dengan kategori kontak-kontak familier; dan melalui perilaku eksentrik itu sisi sifat manusia yang mungkin tersembunyi akan dapat diungkapkan. Ketiga, segala perilaku familier (nilai, pemikiran, fenomena, benda- benda, dan sejenisnya) yang ter-isolasi oleh perilaku hierarkis dibawa masuk ke dalam suatu kontak dan kombinasi-kombinasi karnivalistik. Karnival memba-wa mereka secara bersama-sama, menyatukan dan atau mengga-bungkan dua oposisi berpasangan (suci-profan, angkuh-rendah hati, besar-kecil, bijak-bodoh, dan sebagainya). Keempat, dari berbagai kontak dan kombinasi karnivalistik tersebut akhirnya terjadilah profanasi (penghujatan karnivalistik) yang berfungsi menerangi atau memperjelas simbol-simbol otoritas yang ada.

Page 30

Menurut Bakhtin (1973:101), berbagai kategori karnival di atas bukan merupakan suatu pemikiran abstrak tentang kese- taraan atau kebebasan, atau keberkaitan segala hal, atau kesatuan hal-hal yang berlawanan, melainkan merupakan suatu perilaku dalam bentuk “pertunjukan indah” yang dialami dalam suatu kehidupan. Perilaku dalam bentuk pertunjukan indah tersebut, menurutnya, akan terus hidup dan bertahan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila berbagai perilaku karnival mampu menembus ke segala segi kehidupan, termasuk menembus dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap karya sastra.

Khusus di dalam karya sastra, terutama novel, unsur- unsur yang mencerminkan perilaku karnival tersebut antara lain terda-pat (melekat) di dalam komposisi (struktur) dan situasi- situasi plot (Bakhtin, 1973:101--102). Selain itu, unsur-unsur (perilaku karnival) itu juga menentukan familiaritas posisi pengarang dalam kaitannya dengan para tokoh, dan semua itu, akhirnya berpengaruh pula pada gaya verbal karya itu sendiri. Bahkan, menurut Bakhtin (1973:108), berbagai unsur carnival- istik itulah yang memberikan konteks dan dasar bagi karya sastra. Oleh sebab itu, sangat masuk akal apabila peristiwa “karnivalisasi kesusas-traa n” menjadi bagian dari tradisi sastra yang terus bertahan hidup hingga zaman modern (sekarang). Hanya saja, sesuai dengan berbagai perubahan yang terus terjadi di dalam suatu kehidupan, peristiwa karnivalisasi kesusastraan di zaman modern ini tentu juga mengalami berbagai perubahan bentuk dan makna (Bakhtin, 1973:108, 112).

Page 31