SUARA SUARA YANG TERBUNGKAM Olenka dalam

PENGANTAR PENERBIT

Sebagai sebuah penerbit yang berkomitmen kuat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecuali bidang ilmu sosial dan kemanusiaan (humaniora), GAMA MEDIA memandang perlu hasil penelitian ini dipublikasikan kepada khalayak luas. Sebagai suatu hasil penelitian yang semula berupa tesis S-2 yang diajukan oleh penulisnya kepada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, daripada disimpan rapi di per-pustakaan --yang pada akhirnya hanya akan menjadi sangat eksklusif-- lebih baik diterbitkan dan dipublikasikan ke tengah masyarakat sehingga penelitian ini dapat dinikmati oleh pembaca umum.

Ada beberapa alasan yang menarik dan masuk akal mengapa hasil penelitian ini dianggap perlu untuk diterbitkan. Beberapa alasan itu di antaranya sebagai berikut. Pertama, penelitian ini tentu akan sangat berharga, teru-tama untuk bidang kritik sastra Indonesia modern, karena sejauh pengamatan yang dapat kami lakukan, baru penelitian inilah (satu-satunya di Indonesia) yang mencoba melihat dan memper-lakukan karya sastra dengan cara pandang dialogis-polifonik, sebuah cara pandang yang relatif “baru” dalam khazanah studi sastra Indonesia. Oleh karena itu, penelitian semacam ini penting artinya bagi kancah ilmu sastra khususnya dan ilmu kemanusiaan (humaniora) pada umumnya. Kedua, dengan menggunakan ancangan teori dia-logis (polifonik) --teori hasil perkawinan antara Marxisme dan Formalisme--, di dalam penelitian ini penulis mencoba menemu- kan “prinsip-prinsip demokrasi” di dalam karya sastra. Apakah suara-suara (gagasan, ideologi) dalam karya sastra Indonesia dapat terepresentasikan secara bebas (dia- logis) sesuai dengan prinsip seperti yang berlaku di dalam sistem Ada beberapa alasan yang menarik dan masuk akal mengapa hasil penelitian ini dianggap perlu untuk diterbitkan. Beberapa alasan itu di antaranya sebagai berikut. Pertama, penelitian ini tentu akan sangat berharga, teru-tama untuk bidang kritik sastra Indonesia modern, karena sejauh pengamatan yang dapat kami lakukan, baru penelitian inilah (satu-satunya di Indonesia) yang mencoba melihat dan memper-lakukan karya sastra dengan cara pandang dialogis-polifonik, sebuah cara pandang yang relatif “baru” dalam khazanah studi sastra Indonesia. Oleh karena itu, penelitian semacam ini penting artinya bagi kancah ilmu sastra khususnya dan ilmu kemanusiaan (humaniora) pada umumnya. Kedua, dengan menggunakan ancangan teori dia-logis (polifonik) --teori hasil perkawinan antara Marxisme dan Formalisme--, di dalam penelitian ini penulis mencoba menemu- kan “prinsip-prinsip demokrasi” di dalam karya sastra. Apakah suara-suara (gagasan, ideologi) dalam karya sastra Indonesia dapat terepresentasikan secara bebas (dia- logis) sesuai dengan prinsip seperti yang berlaku di dalam sistem

Beberapa alasan itulah yang menjadi pertimbangan utama kami sehingga kami menganggap perlu penelitian ini diterbitkan. Kami berharap, buku ini menjadi karya yang bermanfaat, tidak hanya bagi mereka yang bergulat di bidang ilmu sastra, tetapi juga di bidang ilmu sosial dan kemanusiaan pada umumnya. Karena itu, GAMA MEDIA yang merasa turut bertanggung jawab atas kemajuan anak-anak bangsa, mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation yang memungkinkan buku ini hadir ke hadapan pembaca.

Gama Media

PENGANTAR PENULIS

Buku ini semula berupa hasil penelitian (tesis) yang saya tulis dan saya ajukan kepada Program Studi Sastra, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogya-karta, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 (Magister Humaniora) tahun 2000. Ken-dati kemudian dikemas dalam bentuk buku, tidak ada perubahan yang prinsipiil, kecuali hal-hal yang bersifat teknis-ilmiah. Bahkan, hal-hal yang bersifat teknis-ilmiah itu (abstrak, sistematika penyajian, dan ejaan yang digu-nakan) sengaja dihilangkan. Alasannya, tentu saja, sebagai sebuah bacaan umum, agar buku ini tidak tampil sebagai bacaan yang eksklusif.

Dalam buku ini saya mencoba membahas (memahami, mengapresiasi) salah satu novel Indonesia berjudul Olenka yang pada era 1980-an, yakni era merebaknya post-modernism, sempat mencuat ke permukaan sebagai sebuah karya “baru” yang “disegani” oleh para ahli sastra Indo-nesia. Hal itu terbukti, novel karya Budi Darma, seorang Guru Besar Sastra Inggris di IKIP (sekarang Universitas) Negeri Surabaya itu, begitu memenangkan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1980) dan diter-bitkan oleh Balai Pustaka (1983), publik sastra Indonesia terhenyak dibuatnya. Karena itulah, berbagai pujian kemudian datang bertubi-tubi. Bahkan, tidak hanya itu, berkat novel yang dinobatkan sebagai peraih Hadiah Sastra 1983, juga sebagai pemenang Hadiah Sirikit, Budi Darma kemudian memperoleh penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1984). Kendati demi-kian, bukan itulah yang menjadi po-kok persoalan yang dikupas di dalam buku ini. Melalui aspek-aspek carnival yang secara dominan terdapat di dalam Olenka, saya mencoba melihat suara-suara (sudut pandang, gagasan, atau ideologi) yang Dalam buku ini saya mencoba membahas (memahami, mengapresiasi) salah satu novel Indonesia berjudul Olenka yang pada era 1980-an, yakni era merebaknya post-modernism, sempat mencuat ke permukaan sebagai sebuah karya “baru” yang “disegani” oleh para ahli sastra Indo-nesia. Hal itu terbukti, novel karya Budi Darma, seorang Guru Besar Sastra Inggris di IKIP (sekarang Universitas) Negeri Surabaya itu, begitu memenangkan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1980) dan diter-bitkan oleh Balai Pustaka (1983), publik sastra Indonesia terhenyak dibuatnya. Karena itulah, berbagai pujian kemudian datang bertubi-tubi. Bahkan, tidak hanya itu, berkat novel yang dinobatkan sebagai peraih Hadiah Sastra 1983, juga sebagai pemenang Hadiah Sirikit, Budi Darma kemudian memperoleh penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1984). Kendati demi-kian, bukan itulah yang menjadi po-kok persoalan yang dikupas di dalam buku ini. Melalui aspek-aspek carnival yang secara dominan terdapat di dalam Olenka, saya mencoba melihat suara-suara (sudut pandang, gagasan, atau ideologi) yang

Dengan kacamata teori dialogis --teori yang pada akhir tahun 1920-an sebenarnya telah membuka peluang bagi mun- culnya postmodernism tetapi dilupakan banyak orang dan postmodernism itu sendiri baru ramai dibicarakan pada era 1970 dan 1980-an-- tampak dengan jelas bahwa suara-suara atau gagasan yang tampil di dalam novel Indonesia, salah satunya novel Olenka karya Budi Darma, “terbungkam” oleh suara “penguasa”, yakni suara penga-rang. Jadi, dalam hal ini, tidak ada suara lain yang eksis (dialogis, polifonik), yang ada hanyalah suara tunggal (monologis, monofonik) karena suara-suara lain yang muncul terkooptasi oleh suara pengarang. Dan, suara penga- rang ini pun dapat dipahami sebagai suara sistem (sosial-politik) yang menguasai pengarang. Andaikata saya boleh berpendapat, inilah barangkali salah satu bentuk otori-tarianisme dalam sastra. Apakah kecenderungan semacam ini dapat dibayangkan memiliki relevansi analogis dengan apa yang terjadi di Indonesia pada masa atau era novel itu ditulis? Jawaban atas pertanyaan ini tentu- lah hanya ada pada pikiran Anda (pembaca) masing-masing.

Perlu diketahui bahwa judul buku ini tidak sama dengan judul awal naskah hasil penelitian (tesis). Semula judul naskah hasil penelitian itu adalah Olenka: Tinjauan Dialogis. Dengan pertimbangan teknis dan pragmatis, di samping pertimbangan seperti yang telah diutarakan di atas, kemudian judul tersebut saya ubah menjadi Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka da- lam Perspektif Dialogis. Mengapa “suara-suara yang terbung- kam?” Memang begi-tulah --jika saya boleh menilai dan menaf- sirkan secara bebas-- yang pada umumnya terjadi dalam suatu masya-rakat atau komunitas yang belum sepenuhnya paham akan Perlu diketahui bahwa judul buku ini tidak sama dengan judul awal naskah hasil penelitian (tesis). Semula judul naskah hasil penelitian itu adalah Olenka: Tinjauan Dialogis. Dengan pertimbangan teknis dan pragmatis, di samping pertimbangan seperti yang telah diutarakan di atas, kemudian judul tersebut saya ubah menjadi Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka da- lam Perspektif Dialogis. Mengapa “suara-suara yang terbung- kam?” Memang begi-tulah --jika saya boleh menilai dan menaf- sirkan secara bebas-- yang pada umumnya terjadi dalam suatu masya-rakat atau komunitas yang belum sepenuhnya paham akan

Demikian pengantar ringkas saya selaku penulis buku ini. Saya sadar sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, buku ini tentu tidak akan terwujud. Untuk itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas, saya me-nyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Kepala dan rekan-rekan kerja di Balai Bahasa Yogyakarta, Pengelola dan para dosen Program Studi Sastra (Program Pascasarjana Univer- sitas Gadjah Mada), dan Direktur Penerbit GAMA MEDIA Yogyakarta, karena berkat mereka semua buku ini dapat hadir (lagi) ke hadapan pembaca. Ucapan terima kasih dan penghar- gaan yang istimewa saya sampaikan kepada Budi Darma karena berkat karyanya saya terilhami untuk mela-kukan penelitian dan menulis buku ini. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Faruk H.T. yang telah bersedia memberikan kata pengantar untuk buku ini.

Di samping itu, penghargaan khusus saya sampaikan kepada keluarga, terutama ibu terkasih Mangi W.K., istri tercinta Rina Ratih Sri Sudaryani, dan anak-anak tersa-yang Nila Iswara Poetry, Andrian Ahmada Gandawida, dan Nasrilia Rahmadina, karena mereka semua-lah yang mem- buat saya merasa “berarti” di dunia ini. Saya berharap dan berdoa semoga kebaikan mereka semua memperoleh balas-an kebaikan pula.

Saya merasa yakin bahwa buku ini masih banyak keku- rangannya. Karena itu, dengan lapang dada, dengan tangan terbuka, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif agar buku ini tidak tampil sebagai bacaan (mitra pustaka) yang sia-sia. Mudah-mudahan buku ini memancing kegairahan para pembaca umumnya dan peneliti khususnya untuk melakukan kerja sejenis. Amin.

Tirto Suwondo

PENGANTAR DR. FARUK, H.T.

Teori, Kebenaran, Kebijakan

Karya atau mungkin karya seni pada umumnya selalu problematis. Ia selalu mungkin dan bahkan sah untuk dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Oleh karena itu, di lingkungan dunia sastra, berbicara mengenai kebenaran yang tunggal, sejati, mutlak, sering terkesan amat naif. Kebenaran sastra, sejak semu- la, selalu plural.

Mungkin semua warga dunia sastra sudah menge-nal paham tersebut. Sifat polisemik dan multiinterpretabel karya sastra dapat dikatakan sudah melembaga di lidah semua orang. Seribu kepala, seribu arti, sudah menjadi hapalan semua orang. Namun, sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat sudut pan- dang itu sendiri menjadi plural. Orang lebih banyak terperangkap dalam satu sudut pandang belaka, tidak hanya dalam melihat dan mema-hami karya sastra, melainkan bahkan kehidupan itu sen- diri. Mungkin, banyak orang yang mengenal beberapa pilihan sudut pandang: Rawamangun, Ganzeit, atau sejenisnya. Tapi pilihan itu pun cenderung terbakukan dan orang mengalami kesulitan untuk menemukan pilihan lain di luar seperangkat pilihan yang sudah tersedia.

Salah satu cara memperoleh pilihan sudut pandang yang baru adalah dengan melihat cara orang lain, di luar diri dan komunitas kita, memandang kehidupan komunitas dan juga karya sastra. Teori-teori baru, termasuk yang datang dari Barat, merupa- kan salah satu cara orang lain dalam melakukan hal tersebut. Tetapi, penerimaan terha-dap teori-teori itu pun tidak mudah. Ada semacam keeng-ganan orang untuk melihat sesuatu dengan sudut Salah satu cara memperoleh pilihan sudut pandang yang baru adalah dengan melihat cara orang lain, di luar diri dan komunitas kita, memandang kehidupan komunitas dan juga karya sastra. Teori-teori baru, termasuk yang datang dari Barat, merupa- kan salah satu cara orang lain dalam melakukan hal tersebut. Tetapi, penerimaan terha-dap teori-teori itu pun tidak mudah. Ada semacam keeng-ganan orang untuk melihat sesuatu dengan sudut

Maka, usaha memperoleh, menangkap, menerima, dan menyerap suatu teori baru, pada dasarnya adalah usaha mem- peroleh, menangkap, menerima, dan menyerap suatu cara baru dalam memandang sastra dan bahkan kehidupan. Apakah cara itu akan membawa kita pada suatu kebenaran, tidaklah menjadi persoalan yang utama. Yang terpenting darinya adalah bahwa kita, dengan demikian, barusaha mencoba keluar dari belenggu cara pandang yang biasa kita gunakan, yang mungkin sudah terlalu melekat pada diri kita, dan mencoba melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Hanya dengan cara demikian kita dapat menjadi bijak, tidak mudah meng-hukum dan mengha- kimi orang lain, cara hidup yang lain, hanya karena hal itu diang- gap negatif oleh cara pandang tertentu. Membiasakan menggu- nakan teori-teori baru berarti membiasakan diri untuk beralih sudut pandang. Bukankah yang dinamakan empati adalah juga usaha dan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, pikiran, dan perasaan orang lain?

Saya kira, dalam hal yang demikianlah buku ini berharga. Ia menunjukkan suatu upaya yang cukup serius untuk melihat segala sesuatu dengan cara orang lain, yang di luar kebiasaan penulisnya sendiri. Dan, itu tidak mudah. ***

FARUK H.T.

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT

vi

PENGANTAR PENULIS

viii

PENGANTAR DR. FARUK

xi

DAFTAR ISI

xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra Indonesia 5

1.3 Ancangan Dialogis

BAB II GENRE NOVEL POLIFONIK 19

2.1 Novel Polifonik sebagai Genre

2.2 Karakteristik Novel Polifonik 21

2.3 Tradisi Sastra Karnival 25

BAB III OLENKA: KRITIK DIALOGIS 32

3.1 Karnivalisasi dan Komposisi

3.1.1.1 Karnivalisasi Eksternal

3.1.1.2 Karnivalisasi Internal

3.1.2.1 Komposisi Antar-Bagian

3.1.2.2 Komposisi Antar-Subbagian

3.2 Tokoh dan Posisi Pengarang 83

3.2.1 Dialog Antartokoh

3.2.2 Posisi Pengarang

3.3 Representasi Gagasan 105

3.4 Dialog Intertekstual

113

3.4.1 Olenka dan Chairil Anwar 115

3.4.2 Olenka dan Sartre

127

BAB IV PENUTUP 140 DAFTAR PUSTAKA

145

BIODATA PENULIS

152

LAMPIRAN: (tidak disertakan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Olenka adalah novel karya Budi Darma. Olenka ditulis di Bloomington akhir tahun 1979 ketika Budi Darma sedang dalam proses menyelesaikan disertasi berjudul Character and Moral Judgment in Jane Austin’s Novel di Indiana University, Amerika Serikat. Ketika diikutsertakan dalam sayembara penulisan naskah roman (novel) Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1980, oleh dewan juri naskah novel tersebut ditetapkan sebagai pemenang utama. Tiga tahun kemudian (1983), setelah diterbitkan oleh Balai Pustaka, novel yang ditulis dalam waktu kurang dari tiga minggu tersebut (Darma, 1983:217) oleh DKJ dinyatakan pula sebagai pemenang Hadiah Sastra 1983. Setahun kemudian (1984), novel dengan ketebalan 232 halaman itu juga mengan- tarkan pe-ngarangnya (Budi Darma) menerima penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand. Lebih dari itu, Olenka juga pernah memperoleh Hadiah Sirikit.

Diraihnya beberapa penghargaan dalam waktu relatif singkat tersebut membuktikan bahwa novel Olenka memiliki “kelebihan” tertentu. Akan tetapi, “kelebihan” tertentu yang dimi- liki oleh Olenka itu ternyata tidak secara otomatis membawa dampak pada meluapnya minat masyarakat terhadapnya. Pernya- taan ini memang sulit dibuktikan, tetapi karena selama 17 tahun (1983--2000) Olenka belum pernah dicetak ulang, dapat diduga

Page 1 Page 1

Ayu Utami yang--sama-sama menjadi pemenang sayembara-- dalam waktu kurang dari tiga tahun (1998--2000) telah dicetak ulang 14 kali. Menurut Sumardjo (1991:294), kurangnya minat masyarakat terhadap novel tersebut antara lain disebabkan oleh Olenka bukan merupakan karya yang mudah dipahami sehingga pembaca yang tidak terbiasa menyelidiki rahasia hidup ini secara lebih intens dan serius akan cepat bosan membacanya, dan bahkan akan menghentikan bacaannya pada halaman-halaman awal.

Kenyataan demikian mengindikasikan bahwa novel Olenka sesungguhnya berada dalam suatu dilema. Di satu pihak, novel karya pengarang kelahiran Rembang (25 April 1937) tersebut dianggap sebagai salah satu novel “puncak” dalam sastra Indonesia, tetapi di lain pihak, kehadirannya kurang mendapat sambutan luas dari masyarakat. Oleh sebab itu, agar dilema tersebut sedikit teratasi, atau setidaknya terkurangi, tanggapan dan atau pembicaraan terhadapnya perlu digiatkan. Hal itu perlu dilakukan karena melalui pembicaraan semacam itu barangkali pembaca akan sedikit terbantu dalam memahami Olenka, atau paling tidak, pembaca akan tergugah minatnya untuk membaca. Demikian pula kiranya--tanpa berpretensi untuk membuat segala- nya berhasil dengan baik--salah satu alasan praktis mengapa pembicaraan ini dilakukan.

Alasan yang diungkapkan di atas bukanlah alasan subs- tantif karena ada beberapa alasan lain yang lebih substansial yang

1 Hal yang sama terjadi juga pada sebagian besar novel (sastra) Indonesia. Barangkali ini erat berhubungan dengan rendahnya minat baca

sastra masyarakat yang di antaranya disebabkan oleh terpuruknya pengajaran sastra di Indonesia selama ini (Ismail, 2000:115--123). Namun, hal ini dapat dipahami karena tidak dicetak-ulangnya Olenka barangkali merupakan suatu strategi Balai Pustaka yang memang tidak berorientasi pasar.

Page 2 Page 2

tude). 2 Unsur-unsur (perilaku) karnival yang ada di dalam novel tersebut di antaranya adalah (1) petualangan yang fantastik; (2)

“manusia” abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adegan skandal; (4) utopia sosial dalam bentuk mimpi; (5) dialog filosofis tentang pertanyaan-pertanyaan akhir; (6) komikal, misalnya adanya peristiwa pelecehan terhadap pendeta; (7) campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, drama, syair lagu, surat, kitab suci, dan lain-lain; dan (8) adanya sifat jurnalistis atau publisistis, misalnya disebutkannya nama-nama tokoh populer yang sekarang telah surut dan disertakannya gambar, berita, atau iklan yang diambil dari berbagai koran dan majalah.

Menurut Bakhtin (1973:100, 133), karnival merupakan suatu perilaku yang akar-akarnya tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial dan berkembang dalam kondisi masyarakat kelas. Di dalam kondisi masyarakat semacam itu perilaku karnival mencoba memperlakukan dunia sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni dunia

2 Dalam buku ini istilah karnival tetap (sengaja) dipertahankan dengan pertimbangan bahwa kata karnaval, kirab, pawai, atau pesta sebagai

terjemahan dari kata carnival (Inggris) memiliki arti yang relatif berbeda-beda. Karnaval artinya pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya mengete- ngahkan bermacam corak dari hal-hal yang menarik atas yang dirayakan itu); kirab artinya perjalanan bersama-sama atau beriring-iringan secara teratur dan berurutan dari muka ke belakang dalam suatu rangkaian upacara (adat, keagamaan, dsb.); pawai artinya iring-iringan orang, kendaraan, dsb.; per- arakan; dan pesta artinya perjamuan makan minum (bersuka ria dsb.) (periksa Ali, 1997:447, 504, 738, 762).

Page 3 Page 3

Bakhtin (1973:100) berkeyakinan bahwa karnival meru- pakan perilaku yang membuka jalan atau memberikan kondisi- kondisi tertentu bagi lahirnya sebuah genre (sastra) baru, yaitu genre novel polifonik (polyphonic novel). Novel polifonik adalah novel yang ditandai oleh adanya pluralitas suara atau kesadaran dan suara-suara atau kesadaran itu secara keseluruhan bersifat

dialogis (Bakhtin, 1973:4, 34). 3 Menurut Bakhtin (1973:101), perilaku karnival tidak hanya terbatas memberikan kondisi

tertentu bagi lahirnya novel polifonik dan akan berhenti setelah mencapai puncak pada karya-karya Dostoevsky, tetapi juga akan terus hidup sampai sekarang, bahkan akan dilahirkan kembali di masa-masa yang akan datang. Dalam kaitan inilah, karena Olenka menampilkan berbagai unsur atau perilaku karnival seperti yang telah disebutkan, diasumsikan bahwa novel tersebut merupakan

3 Yang dimaksud “suara” (voice) ialah “sudut pandang terhadap dunia” (Lunacharsky dalam Bakhtin, 1973:27). Sementara itu, yang dimaksud

“dialogis” (dialogical) ialah “hubungan yang tidak menguasai orang (suara, tuturan) lain, tetapi menghargai orang lain”, atau menurut Bakhtin (Todorov, 1984:60--61, Faruk 1994:134), hubungan dialogis merupakan tipe khusus dari hubungan semantik yang bagian-bagiannya dibentuk oleh keseluruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjek aktual atau potensial, para pencipta tuturan yang bersangkutan.

Page 4 Page 4

14, 34), diasumsikan pula bahwa novel Olenka memiliki karak- teristik dialogis. Berangkat dari asumsi demikianlah, di dalam buku ini hendak dipaparkan jawaban atas tiga pertanyaan (1) sampai seberapa jauh Olenka terkarnivalisasi, (2) sampai di mana tingkat kepolifonikannya, dan (3) bagaimana kedialogisannya. Namun, perlu diketahui bahwa tiga pertanyaan itu sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan karena semuanya mengacu pada sebuah tesis yang diajukan oleh Bakhtin (1973) dalam upaya mendefinisikan ciri-ciri mendasar genre novel polifonik. Oleh karena itu, tiga pertanyaan tersebut akan dicoba dijawab melalui pembahasan terhadap tiga aspek dari tesis tersebut (Bakhtin, 1973:38), yaitu komposisi dan karnivalisasi, tokoh dan posisi pengarang, dan representasi gagasan (ideologi). Kendati demikian, ada persoalan lain yang tidak mungkin dikesampingkan. Karena kedialogisan novel polifonik itu ditandai oleh adanya upaya mendialogisasi atau menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, wacana, atau genre) ke dalam dirinya, satu hal yang juga harus diper- hatikan adalah unsur-unsur (genre/teks) lain yang dihimpun di dalamnya itu. Oleh karena itu, di dalam buku ini, selain dikupas tiga aspek yang telah disebutkan di atas, dikupas pula hubungan Olenka dengan genre atau teks-teks lain yang dihimpun di dalamnya (dialog intertekstual).

1.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra Indonesia

Sejauh pengamatan yang dapat dilakukan, dalam khasa- nah studi (penelitian) sastra Indonesia novel karya pengarang angkatan tahun 70-an (Eneste, 1988:157--158) yang hingga sekarang masih menjabat sebagai Guru Besar Sastra Inggris di Universitas Negeri Surabaya itu telah dibicarakan beberapa ahli, di antaranya oleh Hoerip (1986), Setijowati (1986), Junus (1988,

Page 5

1990), Faruk (1988), Hutomo (1988), Dewanto (1990, 1996), Indriati (1991), Sumardjo (1991), Prijanto (1993), Pradopo (1995), Mujiningsih dkk. (1996), Indraningsih (1996), dan Mujianto (1997). Di dalam beberapa pembicaraan itu Olenka ada yang disoroti secara khusus dalam bentuk artikel, makalah, skripsi, dan tesis; ada pula yang hanya dibahas secara selintas di dalam artikel atau esai umum tentang sastra.

Dalam artikel “Beberapa Catatan Mengenai OLENKA Karya Budi Darma” (Horison, Juni 1986), misalnya, Hoerip per- tama-tama menyoroti Olenka dari segi penggunaan bahasa. Menurutnya, bahasa yang digunakan di dalam Olenka betul-betul bebas, spontan, lincah, cekatan, dan seolah mengocor seperti air pancuran di sawah. Akan tetapi, bahasa itu tetap terjaga efek- tivitasnya sehingga terasa pas untuk mewadahi tokoh-tokohnya. Selain itu, Hoerip juga menyoroti perihal pembagian bab yang eksentrik, terutama mengenai bagian (bab) yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-subbagian. Bagi Hoerip, novel Olenka menun- jukkan suatu kebaruan, dan kebaruan itu tampak pada penggu- naan sudut pandang yang tiba- tiba berubah, yaitu “saya” Fanton Drummond dalam bagian V tiba- tiba berubah menjadi “saya” Budi Darma dalam bagian VI.

Persoalan serupa juga menjadi sorotan Setijowati dalam makalahnya “Beberapa Kecenderungan Gaya Budi Darma dalam Olenka ” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) VIII di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 13--14 Oktober 1986. Setelah menga- nalisis novel tersebut, Setijowati menyimpulkan bahwa gaya Budi Darma di dalam Olenka cenderung spontan, lincah, tanpa dibuat- buat dan terus terang, yang semua itu terlihat dalam penggunaan kalimat yang pendek-pendek dan sederhana. Menurutnya, gaya “saya” ternyata tepat untuk mewadahi novel yang bertema “semi- absurd” sehingga penghayatan Budi Darma yang intens terhadap sesuatu yang kumlebat ‘berkelebat’ dalam batin manusia terlihat

Page 6 Page 6

Sementara itu, dalam sebuah seminar di Universitas Bung Hatta, Padang, tanggal 23--26 Maret 1988, Junus membicarakan novel Olenka dalam hubungannya dengan persoalan pengem- bangan teori. Dalam makalah berjudul “Teori Sastra dan Feno- mena Sastra” yang kemudian dimuat dalam buku suntingan Esten (1988), Junus mengatakan bahwa meskipun memper-lihatkan hakikat yang lebih ruwet, novel Olenka menampilkan fenomena baru yang dapat dijadikan sebagai titik tolak pengem-bangan teori pembacaan. Dikatakan demikian karena daftar isi, bagian V (Coda), bagian VI (Asal-Usul Olenka), dan bagian VII (Catatan) yang sesungguhnya merupakan unsur tak-cerita itu mampu memaksa pembaca untuk memasukkannya sebagai unsur cerita yang harus dibaca. Hal serupa diungkapkan lagi dalam makalah berjudul “Unsur Tak-Cerita dalam Novel: Teks dan Cerita” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional III HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) di Malang, 26--28 November 1990.

Kajian lain tentang Olenka dilakukan oleh Sumardjo. Dalam karangannya yang kemudian dimuat di dalam buku Pengantar Novel Indonesia (1991:294--296), Sumardjo menilai bahwa Olenka merupakan produk corak sastra baru, yaitu sastra intelektual, karena novel tersebut terlalu mementingkan pena- laran, terlalu ingin menjelaskan, dan ingin menjangkau ke dalam dengan segenap akal-pikiran, keluasan pengetahuan, sekaligus ingin merasuk ke kedalaman batin (lubuk hati) manusia. Kecen- derungan serupa itulah, menurutnya, yang menyebabkan Olenka hanya digemari oleh sebagian kecil pembaca yang sudah maju dalam bidang pembacaan sastra yang selalu haus akan sesuatu yang baru dan unik. Hanya saja, menurut Sumardjo, sebagai sebuah novel, Olenka nyaris tidak ada “cerita”-nya karena plot dasarnya sangat sederhana. Namun, katanya, kesederhanaan itu tidak mengurangi Olenka sebagai sebuah novel yang--kendati

Page 7 Page 7

Sementara itu, di dalam makalah berjudul “Novel Indo- nesia Mutakhir: Menuju Teori yang Relevan” yang diajukan dalam sebuah seminar (bersama Umar Junus) di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatra Barat (1988), Faruk mengemukakan adanya empat kecenderungan umum novel Indonesia mutakhir. Empat kecenderungan itu ialah (1) novel tak terintegrasi dengan alternatif, (2) novel tak terintegrasi tanpa alternatif, (3) novel terintegrasi dengan dasar agama, dan (4) novel terintegrasi dengan dasar budaya. Menurut Faruk, Olenka termasuk ke dalam kategori novel yang “tak terintegrasi tanpa alternatif” karena novel tersebut cenderung menggambarkan dunia batin manusia modern yang tidak pernah mendapat wadah penampungan. Gambaran semacam itu, menurutnya, dengan mengutip George Lucacs, merupakan kecenderungan khas manusia yang berada dalam peradaban yang mengalami disintegrasi. Oleh karena itu, Olenka menjadi semacam mimpi buruk atau teror bagi manusia.

Hal senad a dikatakan Mujianto dalam makalah “Sastra Posmo: Sepercik Pemikiran Embrional” yang dipresentasikan dalam kegiatan PIBSI II, Putaran Kedua, di Universitas Dipo- negoro, Semarang, September 1997. Dalam makalah tersebut Mujianto menegaskan bahwa Olenka, dan hampir semua karya Budi Darma, dapat dikategorikan sebagai karya sastra posmo. Dikatakan demikian karena di dalam novel Olenka, seperti halnya karya-karya sastra posmo lainnya, tercermin nilai-nilai yang mengandung suatu pembebasan, penyadaran, pencerahan spi- ritual, dan perenungan futuristik. Oleh karena itu, Olenka memi- liki substansi dan esensi yang cenderung mengkritisi adanya dominasi dan pengkultusan modernisme yang memarginalisasi segala sesuatu yang ada di luar wilayah modernisme.

Berbeda dengan beberapa kajian di atas, Hutomo menyo- roti Olenka dari sisi pembaurannya. Di dalam artikel berjudul “Unsur Silat dalam Olenka” (Horison, Juni 1988), Hutomo

Page 8 Page 8

Sementara itu, di dalam artikel “Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman dan Novel Indonesia Modern” (Basis, Mei 1993) yang kemudian dimuat di dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerap- annya (1995:87--88), Pradopo mengkaji pusat pengisahan Olenka di samping pusat pengisahan novel-novel Indonesia lainnya. Menurutnya, Olenka merupakan salah satu novel yang menun- jukkan metode pusat pengisahan baru, khususnya metode pusat pengisahan orang pertama, dan metode pusat pengisahan baru itu merupakan perkembangan teknik pusat pengisahan novel-novel sebelumnya. Pusat pengisahan novel Olenka, kata Pradopo, mirip dengan pusat pengisahan bagian akhir novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1976) karya Nasjah Djamin.

Hal yang hampir sama dinyatakan Prijanto dalam artikel “Teknik Kolase dalam Novel Olenka” (Bahasa dan Sastra, Nomor 3, 1993). Dalam artikel tersebut ia menyoroti teknik

penceritaan, khususnya teknik kolase, 4 dan fungsinya di dalam

4 Istilah kolase (collage) diartikan sebagai (1) komposisi artistik yang dibuat dari bahan kain, kertas, atau kayu yang ditempelkan pada permukaan

gambar atau lukisan, (2) teknik penyusunan karya sastra dengan cara menempelkan bahan-bahan seperti ungkapan asing dan kutipan yang biasanya di-anggap tidak berhubungan satu dengan yang lain, (3) cara menentukan naskah yang dianggap asli dengan membanding-bandingkan naskah yang ada (Ali, 1997:512; bdk. Zaidan, 1994:105).

Page 9 Page 9

Di samping beberapa kajian di atas, ada dua buah kajian yang memfokuskan perhatian pada struktur. Pertama, kajian Indriati yang berjudul “Struktur Novel Olenka: Sebuah Tinjauan Interteks tual” (1991). Kajian tersebut berupa skripsi yang diaju- kan kepada Fakultas Sastra UGM. Dalam skripsi tersebut Indriati membahas/meninjau aspek alur, penokohan, teknik penceritaan, dan pusat pengisahan. Setelah unsur-unsur tersebut dibahas secara intertekstual (hubungan antarteks), ia berkesimpulan bahwa novel Olenka berhubungan dengan novel Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai hipogramnya. Kedua, kajian Mujiningsih yang hasilnya kemudian dibukukan dalam Analisis Struktur Novel Indonesia Modern 1980--1990 (1996:124--139). Di dalam buku tersebut ia tidak memberikan penilaian atau interpretasi apa pun tentang novel Olenka kecuali hanya mendeskripsikan urutan peristiwa, tema, tokoh, latar, dan alur.

Kajian yang agak mendalam dilakukan Indraningsih dalam sebuah tesis berjudul “Eksistensi Manusia dalam Rafilus dan Olenka Karya Budi Darma: Sebuah Kajian Semiotik” (1996). Di dalam tesis yang diajukan kepada Program Pascasarjana UGM tersebut ia mengkaji dua novel, yakni Olenka dan Rafilus. Setelah menganalisis struktur berdasarkan teori semiotik yang dikom-

Page 10 Page 10

Di antara sekian banyak kajian yang ada, tampaknya hanya kajian Dewanto yang mengarah pada substansi yang hendak dibahas di dalam buku (penelitian) ini. Dalam kajian pendek berjudul “Pengalaman dan Penciptaan: Kasus Budi Darma dan Gabriel Garcia Marquez” (Berita Buana, 5 Februari 1985) yang kemudian dimuat dalam Senjakala Kebudayaan (1996:126--136) tersebut Dewanto menyatakan bahwa Olenka merupakan novel yang mengandung banyak suara, dan suara- suara tersebut tidak sekedar datang satu demi satu, tetapi serempak, saling men-dahului, dan bahkan berlapis-lapis. Itulah sebabnya, novel Olenka dikatakan memiliki hubungan analogis dengan novel Cien Anos de Soledad (Seratus Tahun Kesunyian) karya Marques.

Kendati demikian, apa yang dikatakan oleh Dewanto tentang “banyak suara” tersebut tidak dibicarakan lebih lanjut, tetapi hanya digunakan untuk menunjukkan bahwa dunia novel memiliki perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan dunia reportase surat kabar. Kalau reportase surat kabar cen- derung hanya memiliki satu suara, novel cenderung membuka jalan untuk banyak suara. Sementara itu, di dalam artikelnya yang lain ia tidak mengupas hal yang sama. Dalam artikel “Mem- pertanyakan Budi Darma: Tentang Solilokui, Bawah Sadar, dan Keterlibatan” (Horison, Februari 1990), Dewanto hanya menun- jukkan kelebihan Budi Darma dalam hal keterlibatan pengalaman bawah-sadar atau solilokui-nya dalam proses penciptaan Olenka.

Beberapa kajian dan pembahasan di atas membuktikan bahwa sejak terbitnya hingga sekarang novel Olenka tetap

Page 11 Page 11

1.3 Ancangan Dialogis

Sebagaimana telah diutarakan di depan, di dalam buku ini perhatian dipusatkan pada karakteristik polifonik dan dialogis novel Olenka. Perhatian dipusatkan pada masalah itu karena di dalamnya banyak ditemukan unsur karnival yang menandai bahwa novel tersebut memiliki kecenderungan polifonik dan dialogis. Oleh karena itu, pendekatan atau ancangan yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori dialogis seperti yang dikemukakan oleh aliran Bakhtin. Aliran Bakhtin adalah aliran yang dibangun oleh sekelompok sarjana Soviet yang bergerak pada masa akhir Formalisme Rusia awal tahun 1920-an. Di bidang kajian sastra, pada awalnya aliran Bakhtin berusaha mensintesiskan pandangan Marxisme dan Formalisme (Selden, 1991:12; Jefferson and Robey, 1991:191) dengan menawarkan apa yang disebut sebagai poetika sosiologis (sociological poetics) (Bakhtin and Medvedev, 1985:30--31).

Marxisme berpandangan bahwa studi sastra tidak lain merupakan studi ideologis atau studi superstruktur yang diper- tentangkan dengan studi sistem produksi ekonomik yang bersifat material (Bakhtin and Medvedev, 1985:3). Oleh sebab itu, Mar- xisme menempatkan teks sastra ke dalam wilayah ideologis yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, perkembangan sastra dipandang sebagai cermin pasif atas perkembangan struktur ekonomi yang digerakkan oleh konflik

Page 12 Page 12

Dua pandangan yang berbeda tersebut kemudian disatu- kan oleh aliran Bakhtin dengan alasan bahwa setiap wilayah ideologis mempunyai “bahasa” sendiri, bentuk dan peralatan teknis sendiri, dan hukum-hukum sendiri bagi refleksi dan pembiasan ideologis terhadap realitas yang umum (Bakhtin and Medvedev, 1985:3). Atau, bagaimanapun ideologi tidak mungkin dipisahkan dari mediumnya, yaitu bahasa (Selden, 1991:13). Hubungan yang erat antara bahasa dan ideologi akhirnya membawa kesusastraan ke dalam lingkaran sosial-ekonomi yang menjadi tanah air ideologi. Akan tetapi, aliran Bakhtin menolak memperlakukan ideologi sebagai fenomena mental yang murni karena, menurutnya, fenomena itu merupakan bagian dari realitas material manusia sehingga ia pun bersifat formal. Di samping itu, aliran Bakhtin juga menolak konsep ilmu bahasa yang objektif dan abstrak karena--sebagai sistem tanda yang dibangun secara sosial--bahasa merupakan realitas material itu sendiri (Volosinov, 1986:9--11). Oleh karena itu, bahasa dipahami sebagai fenomena sosial dan karya sastra dipahami sebagai fenomena ideologis.

Berdasarkan alasan di ataslah aliran Bakhtin akhirnya menawarkan sebuah konsep yang selanjutnya dikenal sebagai teori dialogis (Faruk, 1994:129--141). Teori itu tidak sekedar dibangun atas dasar gabungan antara pandangan Marxisme dan Formalisme, tetapi dibangun berdasarkan sebuah gagasan yang lebih mendasar yang berkaitan dengan konsep filsafat antropo- logis khususnya mengenai otherness ‘orang lain’ (Bakhtin dalam

Page 13

Todorov, 1984:94). Menurut konsep tersebut, pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Dikatakan demi- kian karena manusia pada umumnya mengagumi dirinya dari sudut pandang orang lain, manusia memahami dan memper- hitungkan kesadarannya lewat orang lain, dan manusia secara intens juga meramal dan memahami kehidupannya di dataran kesadaran orang lain. Itulah sebabnya, lahir sebuah anggapan bahwa segala sesuatu di dalam hidup pada dasarnya merupakan dialog (Bakhtin dalam Todorov, 1984:94--97).

Bertolak dari konsep di atas, aliran Bakhtin kemudian berkeyakinan bahwa pada dasarnya ada perbedaan yang esensial antara objek ilmu alam dan ilmu kemanusiaan atau humaniora (Bakhtin dalam Todorov, 1984:15). Objek ilmu alam adalah benda mati yang tidak mengungkapkan diri dalam wacana dan tidak mengkomunikasikan apa-apa, sedangkan objek ilmu kema- nu siaan atau humaniora adalah “roh” yang mengungkapkan dirinya dalam wacana sehingga tidak terlepas dari masalah resepsi, transmisi, dan interpretasi wacana (orang) lain. Oleh karena objek ilmu kemanusiaan atau humaniora bersifat demi- kian, pema-haman atas objek tersebut tentu hanya dapat dila- kukan melalui pemahaman dialogis yang mencakupi penilaian dan respon (Bakhtin dalam Todorov, 1984:16).

Kekhasan ilmu kemanusiaan atau humaniora adalah orientasinya pada pikiran-pikiran, makna-makna, dan atau signifikasi-signifikasi yang datang dari orang lain (Bakhtin dalam Todorov, 1984:17). Oleh sebab itu, ilmu humaniora dapat di- masuki atau dapat dipelajari hanya melalui teks karena teks merupakan realitas langsung yang di dalamnya pikiran-pikiran dapat membentuk dirinya. Karena pikiran-pikiran di dalam teks dapat membentuk dirinya, jelas bahwa objek ilmu humaniora bukan sekedar manusia, melainkan juga manusia selaku penghasil teks. Selaku penghasil teks, objek tersebut tentu tidak lagi sekedar berperan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Oleh

Page 14 Page 14

Karena di dalam humaniora objek sekaligus berperan sebagai subjek, objek tersebut tentu tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang bersifat fisik semata sehingga pemahaman terha- dapnya selalu bersifat dialogis. Dikatakan demikian karena pemahaman mengenai suatu objek selalu mengimplikasikan adanya jawaban terhadap objek (tuturan) lain (Bakhtin dalam Todorov, 1984:19--20). Akan tetapi, persoalan pemahaman ini tidak dapat dianggap berada di atas teks (metateks), tetapi sejajar dengan teks (interteks). Prinsip inilah yang kemudian melahirkan sebuah gagasan bahwa kriteria atau tolok ukur suatu pemahaman adalah kedalaman, yaitu upaya menembus ketidakterbatasan makna-makna simbolik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:22--23).

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora adalah manusia yang mengekspresikan dirinya dalam wacana. Namun, karena ilmu humaniora terdiri atas bermacam-macam, akhirnya muncul cara pandang yang bermacam-macam pula. Atas dasar itulah, khusus di bidang linguistik (ilmu bahasa), aliran Bakhtin menawarkan ilmu atau cara pandang lain yang disebut trans- linguistik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:24). Apabila objek linguistik adalah bahasa dengan berbagai unsurnya (fonem, morfem, proposisi), objek translinguistik adalah wacana yang pada tahap selanjutnya direpresentasikan dalam tuturan-tururan individual (bdk. Holquist dalam Morson, 1986:59--70). Jika objek linguistik bersifat objektif dan abstrak, objek translinguistik bersifat unik, konkret, dan selalu terikat oleh konteks sosial (Bakhtin dalam Todorov, 1984:25--26).

Karena sifat objeknya demikian, pemahaman makna wacana atau tuturan barulah dimungkinkan apabila ia diletakkan dalam kerangka interaksi berbagai organisme. Dikatakan demi- kian karena makna selalu terikat oleh komunitas; dalam arti bahwa tuturan tidak lahir secara eksklusif khusus bagi pembicara, tetapi selalu merupakan hasil interaksi dari seluruh peserta dialog.

Page 15

Pendek kata, tuturan hanya dapat hidup dalam hubungan dialogis bagi para penuturnya (Bakhtin, 1973:151; bdk. Volosinov, 1986: 86). Artinya, tuturan baru bermakna apabila ia masuk ke dalam hubungan (dialogis) yang bagian-bagiannya dibentuk oleh kese- luruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjek atau para pembuat tuturan yang bersangkutan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:61).

Telah dikatakan bahwa--sebagai objek translinguistik-- tuturan selalu terikat oleh konteks sosial. Itulah sebabnya, makna dan atau tema tuturan tidak hanya ditentukan oleh berbagai kom- ponen linguistiknya, tetapi juga oleh aspek situasi yang berupa sejumlah interaksi yang terjadi antara pembicara dan pendengar (Bakhtin dalam Todorov, 1984:47). Hal itulah yang menyebab- kan tuturan tidak terlepas dari sifat intertekstual (relasi dialogis) karena di balik seluruh interaksi tersebut (yang tidak pernah netral) terdapat makna yang selalu merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:48--54). Akan tetapi, harus dicatat bahwa kadar intertekstualitas suatu tuturan berbeda-beda sehingga dari berbagai jenis tuturan (wacana) dapat ditentukan adanya tuturan monologis dan tuturan dialogis. Tuturan dikatakan monologis apabila di dalamnya tidak terdapat suara lain selain suara pengarang; sedangkan tuturan dikatakan dialogis apabila di dalamnya selain ditemukan suara pengarang juga ditemukan suara lain, atau, di dalamnya terdapat kombinasi suara-suara (Bakhtin dalam Todorov, 1984:63--64).

Menurut Bakhtin (Todorov, 1984:63--66), tuturan mono- logis tampak jelas di dalam genre puisi karena pada umumnya di dalam puisi tidak ditemukan suara lain kecuali suara penyair. Sementara itu, tuturan dialogis tampak jelas di dalam genre prosa, terutama novel, karena novel memiliki kadar intertekstual paling tinggi dan intens. Di dalam novel, relasi dialogis menjadi suatu peristiwa wacana itu sendiri, yaitu menghidupkan dan mendra- matisasikannya dari dalam ke seluruh aspeknya. Di dalam novel, objek yang paling fundamental adalah “manusia” yang berbicara

Page 16

(bertutur) dan wacananya. Hanya saja, yang terpenting bukan citra manusia itu sendiri, melainkan citra bahasa, sehingga yang tampak adalah interaksi dialogis bahasa-bahasa atau wacana- wacana.

Berdasarkan pemikiran itulah, Bakhtin (Todorov, 1984: 86--89) kemudian memberikan perhatian khusus pada genre novel. Sebagai sebuah wacana, katanya, novel tidak hanya merepre-sentasikan objek, tetapi sekaligus menjadi objek representasi. Dikatakan demikian karena di dalam novel ada kecenderungan untuk mereproduksi berbagai macam wacana, bahasa, atau suara-suara. Hanya saja, kadar wacana-wacana itu berbeda-beda. Ada wacana yang membuat garis bentuk yang tegas terhadap wacana lain (linear), ada pula wacana yang mencairkan atau mende-konstruksi ketertutupan wacana lain (pictural) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:69--73). Di dalam wacana linear, heterologi sosial tetap berada di luar novel sehingga wacana tersebut cenderung monologis (monofonik), serius, dan hierarkis; sedangkan di dalam wacana pictural heterologi masuk dan tinggal di dalamnya sehingga wacana itu cenderung dialogis (polifonik), akrab, tanpa tatanan dan hierarki, siapa pun dapat menjalin kontak secara bebas, sehingga semua itu tampak bagaikan pesta rakyat (carnival) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:77--78).

Kenyataan demikian yang menyebabkan Bakhtin (1973: 83--109) berani berkesimpulan bahwa novel-novel Dostoevsky sangat berbeda jika dibandingkan dengan novel-novel karya Tolstoy dan lain-lainnya. Kalau novel-novel karya Tolstoy dan yang lain dikatakan monologis (monofonik), hanya menyuarakan satu suara (otoriter), novel-novel karya Dostoevsky dikatakan dialogis (polifonik), menyuarakan banyak suara (demokratis). Kalau dunia yang tergambar di dalam novel Tolstoy dan yang lain cenderung ketat, serius, hierarkis, dan resmi; dunia yang tergambar dalam novel-novel Dostoevsky cenderung bebas, komikal, dan karni-valistis.

Page 17

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora bukanlah sekedar objek, melainkan juga subjek. Oleh karena itu, di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek (lain) sehingga terbangun suatu dialog. Karena kodrat objeknya demikian, humaniora tidak akan menjadi suatu aktivitas ilmiah, tetapi hanya akan menjadi suatu aktivitas pemahaman. Pamahaman (under- standing) adalah suatu transposisi yang tetap mempertahankan dua kesadaran atau lebih yang tidak dapat tersatukan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:22). Oleh karenanya, seluruh pemahaman adalah (bersifat) dialogis (all understanding is dialogical) karena pemahaman itu selalu mengimplikasikan adanya suatu jawaban terhadap objek atau tuturan lain.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam upaya mangupas pokok persoalan yang telah diutarakan di awal bab pendahuluan ini, di dalam buku (penelitian) ini digunakan metode yang di

dalam teori alteritas 5 (Bakhtin dalam Todorov, 1984:107--108) disebut sebagai metode interpretasi dialogis. Interpretasi dialogis

adalah model interpretasi yang di dalamnya dua (atau lebih) identitas tetap hidup dan diakui. Hanya saja, khususnya di dalam pem-bahasan ini, metode tersebut tidak dipahami dalam pengertian strukturalisme (structuralism), tetapi dalam pengertian pasca-strukturalisme (post-structuralism). Artinya, metode ini tetap bekerja dengan cara pemahaman relasi unsur-unsur, tetapi relasi itu tidak dilihat dalam kerangka kesatuan atau totalitas, tetapi dalam kerangka keberagaman dan atau ketersebarannya.

5 Teori alteritas (alterity) adalah teori yang menganggap bahwa produksi itu sekaligus berarti pemahaman (Bakhtin dalam Todorov, 1984:107). Page 18

BAB II GENRE NOVEL POLIFONIK

Sebelum sampai pada pembahasan terhadap beberapa masalah sebagaimana diungkapkan dalam bab pertama, di dalam bab kedua ini dipaparkan terlebih dahulu gambaran umum mengenai genre novel polifonik. Gambaran umum mengenai hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa berdasarkan gambaran inilah--pada tahap selanjutnya-- karakteristik atau ciri-ciri (kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan) novel Olenka dapat dipahami dan diidentifikasikan.

2.1 Novel Polifonik sebagai Genre

Sejarah telah mencatat bahwa--khusus dalam studi sastra-- istilah novel polifonik (polyphonic novel) tidak dapat dipisahkan dari Mikhail Bakhtin, seorang ahli sastra di Rusia yang aktif bergerak pada awal tahun 1920-an (lihat Fowler, 1987:58--60; Jefferson and Robey, 1991:191). Dikatakan demikian karena istilah tersebut--yang sering juga disebut poliglosia (Kristeva dalam Junus, 1996:118) atau polivalen (Todorov, 1985:21--22)-- diper-kenalkan oleh Bakhtin ketika ia melakukan serangkaian

penelitian terhadap karya-karya (prosa) Dostoevsky 6 yang

6 Dostoevsky (lengkapnya Fiodor Mikaelovich Dostoevsky) adalah anak seorang dokter tentara, lahir di Rusia pada 11 November 1821. Ia tamat

pendidikan menengah di St. Petersburg jurusan teknik mesin. Ia aktif sebagai anggota golongan sosialis utopia dan ditangkap pada tahun 1949. Semula

Page 19 Page 19