METAFORA KONSEPTUAL

3. METAFORA KONSEPTUAL

Istilah metafora konseptual sering dikaitkan dengan Lakoff dan linguis lainnya, seperti Johnson. Hal itu beralasan mengingat bahwa keduanya pernah melakukan penelitian khusus terhadap perihal metafora konseptual (Eynon 2002). Melalui penelitian lapangan dan dengan perolehan contoh ungkapan metaforis yang terbilang banyak, dari hasil analisis yang dilakukan, keduanya memperoleh kesimpulan bahwa ungkapan- ungkapan metaforis yang banyak itu sesungguhnya berasal dari metafora konseptual yang jumlahnya lebih terbatas dari realisasi ungkapan-ungkapan metaforis yang ditemukan (Lakoff & Johnson 1980, Lakoff 1987 (dalam Eymon 2002)). Menurut mereka, baik metafora kreatif yang masih produktif maupun metafora konvensional yang telah arkhais, kedua jenis ini berasal dari metafora konseptual. Oleh Johnson (1987) sendiri, metafora konseptual itu diidentikkan juga dengan skemata (schemata). Menurut Johnson – awalnya, ungkapan metaforis diambil dari skemata yang telah ada, dan kemudian melengkapinya dengan tujuan untuk memperoleh efek-efek langsung tertentu bagi pendengar atau pembaca. Dari hasil penelitian Lakoff 1993, selanjutnya, diperoleh pemahaman bahwa metafora itu sama sekali tidak berada pada bahasa melainkan pada ranah mental seseorang – yang telah terkonsepsi lebih dahulu. Dari uraian singkat di atas dapat dirumuskan bahwa metafora konseptual itu adalah metafora asali yang telah terkonsepsi lebih Istilah metafora konseptual sering dikaitkan dengan Lakoff dan linguis lainnya, seperti Johnson. Hal itu beralasan mengingat bahwa keduanya pernah melakukan penelitian khusus terhadap perihal metafora konseptual (Eynon 2002). Melalui penelitian lapangan dan dengan perolehan contoh ungkapan metaforis yang terbilang banyak, dari hasil analisis yang dilakukan, keduanya memperoleh kesimpulan bahwa ungkapan- ungkapan metaforis yang banyak itu sesungguhnya berasal dari metafora konseptual yang jumlahnya lebih terbatas dari realisasi ungkapan-ungkapan metaforis yang ditemukan (Lakoff & Johnson 1980, Lakoff 1987 (dalam Eymon 2002)). Menurut mereka, baik metafora kreatif yang masih produktif maupun metafora konvensional yang telah arkhais, kedua jenis ini berasal dari metafora konseptual. Oleh Johnson (1987) sendiri, metafora konseptual itu diidentikkan juga dengan skemata (schemata). Menurut Johnson – awalnya, ungkapan metaforis diambil dari skemata yang telah ada, dan kemudian melengkapinya dengan tujuan untuk memperoleh efek-efek langsung tertentu bagi pendengar atau pembaca. Dari hasil penelitian Lakoff 1993, selanjutnya, diperoleh pemahaman bahwa metafora itu sama sekali tidak berada pada bahasa melainkan pada ranah mental seseorang – yang telah terkonsepsi lebih dahulu. Dari uraian singkat di atas dapat dirumuskan bahwa metafora konseptual itu adalah metafora asali yang telah terkonsepsi lebih

baik itu terhadap konteks fisik, konteks yang diekspresikan melalui atau pada

psikologis, konteks ontologis, dan bahasa.

sebagainya. Konteks yang berbeda, menurut Terdapat sejumlah penjenisan dalam

Leech, menuntut upaya penginferensian kajian metafora konseptual, seperti metafora

yang berbeda pula, sekalipun terhadap orientasional, metafora ontologikal, dan metafora

metafora yang sama.

struktural . Ketiga jenis metafora konseptual tersebut diekspresikan pada bahasa. Untuk

3.1 Metafora Orientasional

metafora orientasional, ada juga yang Sebutan metafora orientasional ada mengidentikkannya dengan metafora spasial

kalanya diidentikkan dengan metafora yang yang menggambarkan, baik jarak maupun

bersifat spasial, baik yang menggambarkan ruang. Yang termasuk ke dalam kelompok

ruang ataupun jarak. Dalam metafora yang ini adalah metafora dengan orientasi NAIK-

tergolong ke dalam kelompok orientasional TURUN, yang masing-masing dimaknai

atau spasial, metaforanya berorientasi sebagai kemaslahatan atau kebaikan dan

kepada dikotomi NAIK – TURUN, yang kemudaratan atau keburukan. Metafora

masing-masing dimaknai sebagai semacam ini, oleh Lakoff dkk. (lihat Saeed

‘kemaslahatan, keberuntungan, kebaikan’ 2000) disebut sebagai penggambaran apabila NAIK atau mengarah ke atas, dan pengalaman manusia dari pengamatan ‘kemudaratan, kerugian, keburukan’ apabila raganya yang dapat tegak atau tergeletak –

TURUN atau mengarah ke bawah. Metafora yang dihubungkan dengan hal, seperti

semacam ini, oleh Lakoff, dkk. (dalam Saeed, kondisi kesadaran, kesehatan, nasib, ataupun

2000:305), disebut sebagai penggambaran kekuatan seseorang. Lakoff dan Johnson

pengalaman manusia yang melihat raganya (1980) selanjutnya menjelaskan bahwa dapat berdiri tegak atau tergeletak – yang metafora ontologikal adalah metafora yang

dihubungkan dengan hal, seperti kondisi di dalamnya fenomena non-fisik pengalaman

kesadaran, kesehatan, nasib, ataupun manusia digambarkan sebagaimana halnya

kekuatan seseorang. Dalam hal yang fenomena fisik konkret. Oleh kedua ahli

menyangkut keberuntungan, misalnya, pada tersebut penggambarannya diibaratkan bahasa Mandailing dikenal adanya metafora sebagai hubungan antara isi (substances) dan

yang menggunakan kata naek ‘naik’; seperti wadah (container). Menurut keduanya,

terdapat pada contoh (01) berikut ini. wadah yang dimaksud dapat berupa bidang visual, aktivitas, ataupun keadaan. (01) Mur naek godang nia. Pemahaman tentang metafora struktural

‘Dia bertambah besar (gemuk)’. dapat dilihat pada Siregar 2004, yang

mengisyaratkan bahwa pada metafora Metafora dengan menggunakan kata struktural terdapat kemiripan pada tingkat

naek pada (01) di atas dapat dipandang struktur atau sistem. Tentang metafora dan

sebagai metafora yang mengisyaratkan inferensi, dari Leech (1981) diperoleh keberuntungan. Dalam hubunan ini, pemikiran bahwa spesifikasi morfologis

metafora (01) mengungkapkan maksud maupun sintaksis antara ungkapan penuturnya yang melihat seseorang beranjak

bermakna hurufiah dan yang bersifat dewasa yang ditandai dengan peningkatan metaforis tidak berbeda; yang membedakan

ukuran tubuh atau berat tubuh orang yang keduanya hanyalah terdapatnya perubahan

dimaksudkannya. Selain itu, metafora (01) semantis pada ungkapan yang bersifat

dapat juga diinterpretasikan bahwa penutur metaforis. Dengan kenyataan seperti itu

melihat seseorang (nia ‘dia’) yang semakin adalah logis apabila metafora gemuk. Dalam hubungan ini, keadaan mengisyaratkan keharusan adanya inferensi.

gemuk dapat juga diasosiasikan dengan Tanpa memperhatikan latar atau konteks

keberuntungan; misalnya karena kebutuhan metafora digunakan inferensi terhadap konsumtifnya telah terpenuhi atau beban

fikiran yang semakin berkurang, sehingga fikiran yang semakin berkurang, sehingga

berupa bidang visual, aktivitas, dan keadaan. yang berhubungan dengan kemudaratan

Bidang visual sebagai wadah, kedua ahli atau kerugian, misalnya, dalam bahasa

tersebut mencontohkannya melalui sejumlah Mandailing dikenal metafora yang kalimat, seperti terdapat pada (05a-c) berikut menggunakan kata dabu atau madabu ‘jatuh’,

ini.

seperti ditemukan pada contoh (02) berikut ini.

(05) a. The ship is coming into view.

b. He’s out of sight now. (02) Madabu oncongku di sia.

c. There’s nothing in sight. ‘Saya mengutuknya’. Untuk aktivitas (activities) sebagai Pada metafora (02) terdapat kata

wadah, keduanya memberi contoh, seperti madabu yang mengisyaratkan kemudaratan

terdapat pada kalimat-kalimat (06a-c); dan atau kerugian. Dalam hubungan ini, yang

pada (07a-c) terdapat contoh yang jatuh adalah kutukan dari si penutur kepada

menunjukkan keadaan sebagai wadah. seseorang (sia ‘dia’). Kutukan adalah sesuatu yang dihindari oleh setiap orang. Tetapi,

(06) a. I put a lot of energy into washing the apabila kutukan telah jatuh dan ditimpakan

windows.

kepada seseorang, hal demikian dipandang b. He’s out of the race. sebagai kemudaratan atau kerugian, sebagai c. She’s deep in thought.

kebalikan dari kemaslahatan atau (07) a. He’s in love. keberuntungan.

b. He’s coming out of the coma now. Dalam bahasa Mandailing, berbagai

c. She got into a rage.

contoh metafora dengan orientasi TURUN- NAIK justru menunjukkan hal sebaliknya.

Dalam bahasa Mandailing, metafora Oleh masyarakatnya, hal yang menunjukkan

ontologikal yang analogi dengan contoh (05) NAIK atau tinggi di atas, tidak selalu

dapat ditemukan dengan perbedaan pada dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat

segi wadah. Pada contoh (05), yang menjadi positif (seperti: na gincat roha ‘orang

wadah bertalian dengan pandangan atau sombong’; na gincat angan-angan ‘orang

penglihatan. Hal demikian, dalam bahasa pelamun’; gincat rasoki ‘tidak bernasib

Mandailing wadah lebih lazim ditempati mujur’, dan sebagainya). Sebaliknya, mereka

oleh komponen metaforis yang terdiri dari mempersepsi sesuatu yang TURUN atau di

fenomena hati atau kalbu yang abstrak. bawah (dan dapat dijangkau itu) sebagai

Untuk itu digunakan kata roha ‘hati, kalbu’, sesuatu yang bersifat positif (seperti: na toruk

seperti terdapat pada contoh (08a-c) berikut roha ‘orang ramah’; rondo rasoki ‘bernasib

ini.

mujur’, dan sebaginya.

(08) a. Inda masuk tu roha nia na ipardok i. ‘Apa yang dikatakan tidak masuk ke

3.2 Metafora Ontologikal

dalam fikirannya’.

Dengan merujuk kepada Lakoff dan b. Mangincaki halak inda adong di rohana. Johnson 1980 (dalam Saeed 2000) diperoleh

‘Mencaci orang tidak ada dalam hatinya.’ pemahaman bahwa metafora ontologikal

adalah metafora yang di dalamnya fenomena c. Na sian roha nia do baenon nia. nonfisik dalam pengalaman manusia

‘Yang dari hatinya yang dilakukannya.’ digambarkan sebagaimana halnya memandang fenomena fisik yang konkret.

Metafora ontologikal yang wadahnya Oleh Lakoff dan Johnson, lebih lanjut,

berupa aktivitas, seperti yang terdapat pada dijelaskan sekemanya seperti hubungan

(06a-c), dapat ditemukan analoginya dalam antara isi (substances) dan wadah (container).

bahasa Mandailing. Contohnya terdapat Dalam hubungan ini, menurut Lakoff dan

pada (09) berikut ini.

(09) a. Haroro nia mangayaon tu karejo. ketiganya, di samping konteks, amat ‘Kedatangannya mengganggu kerja’.

ditentukan oleh faktor kesamaan sifat atau karakteristik antara masing-masing jenis

b. Sian mangan tu na minum santongkin do i. hewan yang disebutkan dengan jolma ‘Dari makan ke minum hanya sebentar

tertentu. Pada JOLMA songon BABIAT, saja.’ terdapat pemersepsian jolma sebagai babiat,

c. Painte torus tu haruar ni danak sikola. atau babiat dipersepsikan kepada jolma. Hal ‘Tunggu sampai keluarnya anak sekolah.’

demikian dapat terjadi, apabila jolma tertentu, menurut pandangan penutur, sifat

Metafora ontologikal yang wadahnya atau karakteristik yang terdapat pada babiat, berupa keadaan, yang analogi dengan

di antaranya: 1) kuat, 2) garang, 3) contoh (07a-c), dalam bahasa Mandailing

membahayakan, 4) menakutkan, 5) kuat terdapat contohnya, seperti terdapat pada

makan, ditemukan pada diri jolma yang (10a-c) di bawah ini.

dimaksudkannya, seperti terdapat pada (11) berikut ini.

(10) a. Mur tu miskinna do ia sannari. ‘Sekarang dia semakin miskin’.

(11) Ulang ko ke tu bagas ni halahi an, babiat do aya

nia.

b. Rap tu padena halahi marroha. ‘Kau janan pergi ke rumah orang itu, ‘Mereka berpikir ke arah yang lebih baik’.

ayahnya itu harimau’.

c. Monjap hami di potpot ni kobun i. Pada (11) terdapat larangan penutur ‘Kami bersembunyi di semak kebun itu’.

agar orang tidak dengan mudah pergi begitu saja ke rumah orang yang dianggapnya

memiliki sifat, seperti harimau, yang disebut Pada metafora struktural terdapat di atas. Artinya, penutur telah

3.3 Metafora Struktural

kemiripan struktur atau kesamaan sistem. mempersepsikan orang yang dimaksudkan Dengan demikian dapat diidentifikasi bahwa

jangan didatangi pada (11) itu sebagai pada metafora struktural ditemukan adanya

harimau karena yang bersangkutan memiliki kemiripan struktur atau sistem. Dalam

sifat-sifat yang disebutkan. Hal ini juga penyampaian materi kuliahnya, Siregar

berarti bahwa penutur telah memetakan (2005) 1 memberi MANUSIA sebagai sifat-sifat harimau kepada manusia yang

HEWAN sebagai salah satu contoh metafora

dimaksudkannya.

struktural. Analogi dengan contoh metafora Pada pilihan JOLMA songon BODAT, berbahasa Indonesia tersebut, dalam bahasa

selanjutnya, ditemukan pemersepsian jolma Mandailing ditemukan metafora seperti

sebagai bodat, atau bodat dipersepsikan JOLMA songon BINATANG ‘manusia kepada jolma. Kejadian seperti ini dapat

sebagai hewan’. Dalam hubungan ini, jolma muncul apabila, menurut pandangan dikonseptualisasikan sebagai binatang. penutur, jolma tertentu memiliki kesamaan

Binatang merupakan hipernim dari berbagai sifat dengan bodat yang dapat diidentifikasi sebutan untuk hewan yang berbeda dengan

sebagai hewan yang, antara lain: 1) sulit karakteristiknya masing-masing. Sebagai diingatkan (diajari), 2) suka merusak, 3)

hipernim, binatang masih memiliki hiponim, suka mencibir, 4) selalu mencari ambilan seperti babiat ‘harimau’, bodat ‘monyet’, babi

(makanan), 5) loba makanan, dan 6) ‘babi’, dan sebagainya. Oleh karena ketiga

kedekut. Manakala penutur telah kata terakhir tersebut merupakan hiponim

mempersepsikan jolma sebagai bodat atau dari kata binatang, dalam struktur metafora

bodat kepada jolma, dapat diartikan bahwa ini, masih dapat sebenarnya ditemukan

menurut penutur sifat-sifat yang terdapat metafora berstruktur sama yang dapat

pada bodat, seperti yang disebutkan di atas, dipandang sebaai subnya; yaitu JOLMA

dapat ditemukan pada jolma yang songon BABIAT, JOLMA songon BODAT,

dimaksudkannya, seperti yang terdapat dan JOLMA songon BABI. Pilihan di antara

pada contoh (12) berikut.

(12) Ma hudok, so ho di si bodat! (14) a. Babiat dei, disoro ia ho naron. ‘Sudah kuingatkan, diam kau di situ

‘Dia itu harimau, diterkamnya kau nanti.’ monyet’!

b. Na lobi kikitna, bodat dei. Contoh pada (12) mengisyaratkan

‘Luar biasa lokeknya, dia itu monyet’. bahwa penutur pada awalnya telah memberi

c. peringatan agar orang yang dimaksudkan Babi dei, songon i hodarna. harus menunggu dan jangan meninggalkan ‘Begitu joroknya, dia itu babi’.

tempat. Namun, yang terjadi adalah orang

4. yang dimaksudkan pada (12) tidak mau METAFORA DAN INFERENSI Menurut Leech (1981) spesifikasi

tinggal diam. Dia beranjak dan morfologis maupun sintaksis antara meninggalkan tempat yang diharuskan dia ungkapan bermakna hurufiah dan yang berada di situ untuk sementara waktu. metaforis tidak berbeda; yang berubah atau Harapan padanya untuk tidak meninggalkan hal yang membedakan keduanya hanyalah tempat ternyata tidak diindahkannya. Sifat terdapatnya perubahan semantis pada orang tadi, yang memiliki kesamaan dengan ungkapan yang bersifat metaforis. Karena itu sifat monyet, seperti disebutkan di atas, logis bahwa metafora mengisyaratkan melatari munculnya metafora pada contoh keharusan akan adanya inferensi. Inferensi (12). terhadap metafora tidak dapat dilakukan Pada pilihan JOLMA songon BABI, begitu saja tanpa memperhatikan latar atau terdapat pemersepsian jolma sebagai babi; konteks metafora digunakan, baik itu atau sebaliknya, babi dipersepsikan kepada konteks yang bersifat fisik, konteks jolma . Pilihan ini terjadi apabila menurut psikologis, konteks ontologis (ilmu pandangan penutur jolma tertentu memiliki pengetahuan), dan sebagainya. Konteks yang sifat atau karakteristik babi yang dapat berbeda menuntut upaya penginferensian diidentifikasi sebagai hewan yang, antara yang berbeda walau terhadap metafora yang lain, 1) rakus dan pemakan segala, 2) jorok, sama karena (lihat Siregar 2004) pikiran yang

3) kurang perhitungan (emosional), 4) tidak berbeda dapat ditemukan dalam struktur memiliki rasa cemburu. Jika sifat-sifat babi metafora yang sama. Pada metafora JOLMA yang disebutkan, menurut pandangan songon BABI, misalnya, terdapat berbagai penutur, ditemukannya pada seseorang, kemungkinan inferensi atas dasar perbedaan upaya yang dapat muncul adalah konteks yang melatari munculnya metafora “pembabian” seseorang. Artinya, orang yang itu. Metafora JOLMA songon BABI, dimaksudkannya dipersepsi sebagai babi, misalnya, pada contoh (13), pemunculannya seperti terdapat pada contoh (13) di bawah disebabkan oleh latar konteks bahwa salah ini. satu sifat babi (rakus dan pemakan segalanya

(omnivora)) ditemukan pada orang yang (13) Sude do panganon nia, babi do bayo i. ‘Semua dimakannya, orang itu (lk) babi’. dimaksud oleh penuturnya. Dengan

demikian, inferensi metafora pada contoh Dari contoh (11) sampai dengan (13),

(13) adalah bahwa orang yang dimaksudkan pemersepsian hewan kepada manusia, tidak

penutur (yang dibabikan) memiliki sifat selalu harus dengan kelengkapan semua sifat

rakus dan pemakan segala. Karena sifat babi hewan tertentu terdapat pada manusia,

tercatat tidak hanya satu saja, maka tetapi dapat juga terjadi berdasarkan satu di

pemunculan metafora yang sama (JOLMA antara sejumlah sifat yang dimiliki masing-

songon BABI) dapat muncul lagi dengan masing hewan tersebut. Jadi dari masing-

latar konteks yang berbeda yang didasarkan masing sifat tiga hewan di atas (babiat, bodat,

pada sifat lain yang dimiliki oleh babi. Sifat babi ) sesungguhnya masih memungkinkan

babi yang jorok, misalnya, melatari atau untuk diperolehnya metafora dengan merupakan konteks pemunculan metafora struktur JOLMA songon BINATANG, seperti

(15a); sifat babi yang kuang perhitungan dan terdapat pada contoh (14a-c) berikut ini.

emosional merupakan konteks pemunculan emosional merupakan konteks pemunculan

pengganti sesuatu itu harus dengan rujukan metafora (15c). Inferensi yang dapat diambil

yang pasti kepada sesuatu yang khusus dari (15a) adalah bahwa orang yang

dalam struktur konseptual. Melalui cara dimaksud penutur berkepribadian jorok;

penggantian sesuatu yang dimaksudkan dari (15b), orang yang dimaksudkannya

dengan sebutan pengganti, menurut Lakoff, mudah marah dan menyerang orang lain

orang akan lebih mudah mengerti, secara emosional, dan dari (15c), orangnya

mengingat, ataupun mengenalnya; malah permisif pada yang asusila terhadap istri

dalam konteks tertentu lebih bermanfaat orang lain ataupun suami (orang lain)

untuk tujuan tertentu secara langsung. terhadap istrinya.

Metonimi merupakan model baimana sesuatu yang tertentu dihubungkan dengan

Kebenaran bahwa inferensi dapat berbeda sebutan penggantinya dalam struktur

terhadap metafora yang sama ditemukan konseptual, dan hubungan itu ditandai oleh pada contoh (15a-c). Inferensi yang dapat fungsi sebutan pengganti itu sendiri dengan diambil dari metafora yang sama pada (15a- sesuatu yang dimaksudkan. Tambahan

c) masing-masing berbeda, sekalipun bentuk singkat tentang penjelasan rumusan

metaforanya sama. metonimi, selanjutnya, dikemukakan oleh

(15) a. Babi do bayo i, tu dia dursunna. Hilverty (2002), yang menyebutkan

‘Orang (lk) itu babi, kemana saja jorok’. metonimi merupakan pemetaan dalam sebuah model, dengan pengertian kategori

b. Babi do bayo i, mangkojar halak naso binoto tertentu dalam satu model dijadikan sebagai salana. pengganti yang lain dalam model yang

‘Orang (lk) itu babi, mengejar orang yang sama. Di samping memberi karakteristik tidak jelas salahnya’.

metonimi, pada kesempatan lain Craft dan Cruse (2004) juga mengemukakan sejumlah

c. Babi do bayo i, halak manengget adaboru nia pola metonimi. Dalam membedakan nga mangua.

‘Orang (lk) itu babi, dia diam istrinya metonimi dengan metafora, kedua ahli

dinaiki orang (lk) lain’. tersebut mengemukakan sejumlah hal yang merupakan ciri dari metonimi. Dalam

5. METONIMI KONSEPTUAL

metonimi dinyatakan bahwa sebutan Dalam rumusan bersahaja Eynon (2002)

pengganti dengan sesuatu yang digantikan menyebutkan bahwa metonimi termasuk

tergabung dalam ranah tertentu. Kemudian, jenis bahasa bersifat figuratif, yang di

dengan mengacu pemikiran Lakoff cs, Craft dalamnya terdapat penggantian sebutan

dan Cruse mengemukakan ciri bahwa dalam sesuatu yang dimaksudkan dengan metonimi, kesesuaian antara sebutan

menyebut sesuatu yang ada tautan pengganti dengan sesuatu yang pengenalannya dengan sesuatu yang dimaksudkannya terjadi secara koinsidental dimaksudkan tersebut. Sebagai contoh, dan tidak terdapat relevansinya terhadap dengan menyebut timbako ‘tembakau’ pada

pesan yang terdapat di dalamnya; dan selain kalimat Madung habis timbako nia ‘Sudah

itu, tidak terdapat pengidentikan atau habis rokoknya’, terdapat penggantian penyamaan antara sebutan pengganti sebutan untuk rokok. Kata timbako memiliki

dengan sesuatu yang dimaksudkanya. tautan pengenal dengan rokok karena

Dengan ciri-ciri metonimi yang disebutkan timbako masih merupakan komponen dari

di atas, berbagai jenis metonimi telah terliput rokok. Dalam hubungan ini, yang di dalamnya. Termasuk di dalamnya, antara

dimaksudkan oleh penutur dengan lain, metonimi 1) yang menyatakan sebagian menyebut timbako, pada kalimat di atas,

untuk keseluruhan, seperti pada contoh (16); adalah rokok. Maksud rumusan metonimi di

2) yang menyatakan keseluruhan untuk atas, selanjutnya, diperjelas lagi oleh Eynon

sebagian, seperti pada contoh (17); 3) dengan mengemukakan pandangan Lakoff

sebutan satu orang untuk kelompok, seperti sebutan satu orang untuk kelompok, seperti

yang profesinya sebagai penderes pohon pada contoh (19); yang menyatakan entitas

karet. Dalam hubungan ini terjadi untuk atribut, seperti pada contoh (20); dan

penyebutan kelompok atau klas masyarakat yang menyatakan atribut untuk entitas,

dengan maksud untuk anggotanya secara seperti pada contoh (21).

individual.

(20) Gulaen do na iobansa.

(16) Dua tampuk tarutung maia. ‘Cuma ikan yang dibawanya’. ‘Hanya dua buah durian saja’.

Kata gulaen merupakan hipernim dari Arti tampuk dalam bahasa Mandailing berbagai jenis atau nama ikan, sedangkan adalah ‘tangkai’. Dalam hubungan ini, yang yang dimaksudkan dengan kata gulaen pada menghubungkan buah durian dengan (20) tidak mungkin meliput semua jenis ikan cabang atau ranting pohon durian dapat yang dimaksud, melainkan terbatas hanya dijadikan sebagai sebutan pengganti buat untuk jenis ikan tertentu. Jika nama setiap buah duriannya. Kata tampuk adalah bagian jenis ikan dipandang sebagai atribut, maka dari buah. Jadi dengan menyebut tampuk, kata gulaen pada (20) maksudnya adalah yang dimaksudkannya pada (16) adalah dengan atribut atau nama tertentu. buah duriannya, yang juga dapat diartikan

bahwa pada setiap buah durian terdapat satu

(21) Madung kehe si Kobol.

buah tampuk. ‘Si Kobol sudah pergi’.

(17) Malo do bodat i paijur harambir? Kata kobol artinya ‘gemuk’. Apabila ‘Apakah monyet itu pandai memetik buah

atribut tersebut dialamatkan kepada kelapa?’ seseorang, atribut tersebut dapat juga

Arti kata harambir ‘kelapa’ berfungsi sebagai sebutan pengganti nama sesungguhnya meliputi berbagai komponen

dirinya yang sebenarnya. Artinya, selain dari pohon kelapa; di antaranya termasuk

orang yang bersangkutan telah memiliki batang, akar, daun, pelepah, tandan. Namun,

nama tersendiri, dia dapat juga diidentifikasi menyebut kata harambir pada (17), yang

dengan atribut yang disandangnya, yaitu dimaksudkannya adalah buah kelapanya,

kobol .

terutama buahnya yang telah tua.

5.1 Metonimi Proposisional

(18) Ligi, ma indu si Naku. Ciri yang terdapat pada metonimi ‘Lihat, itu dia si Naku’.

proposisional, di antaranya adalah, adanya proposisi dan referensi. Selain itu, pada

Sebutan si naku pada (18) di atas metonimi proposisional terdapat prinsip ditujukan kepada seseorang yang penaatan asas kebenaran. Artinya, jenis

berkeperibadian kurang berterima di metonimi ini memiliki kecenderungan untuk masyarakat. Biasanya dia tampil dengan

tidak melanggar persyaratan-persyaratan pembawaan rambut panjang dan jorok. Jadi,

kebenaran; begitu juga dari segi hurufiahnya sebutan demikian dapat saja dialamatkan

– pada metonimi proposisional tidak terjadi kepada siapa saja yang berkeperibadian

pelanggaran terhadap makna hurufiah. demikian.

Sebagai contohnya dapat ditemukan pada (22) berikut ini.

(19) Jou panguris, maradian jolo. ‘Hai penderes, istirahat dahulu’.

(22) Si tingke manailion ahu idalan.

‘Si pincang memandang saya di jalan’. Kata pangguris pada (19) maksudnya

adalah individual atau perorangan, Contoh (22), jika diamati, sungguh sedangkan di luar konteks kalimat (19), berbeda dengan ungkapan-ungkapan pada

(23a-c) yang melanggar persyaratan- persyaratan kebenaran dan logika semantiknya, sehingga setiap contoh ungkapan yang terdapat pada (23) tidak satupun yang dapat digolongkan kepada jenis metonimi.

(23) a. *Painte na madung kehe. ‘Menunggu orang yang sudah tiada’.

b. *Kehe mangan angin. ‘Pergi makan angin’.

c. *Ronggur naso marsora. ‘Petir yang tidak bersuara’.

5.2 Metonimi Referensial

Pada metonimi referensial, parafrase yang dihasilkan daripadanya tidak bersifat proposisional, dan apa yang dinyatakan dalam metonimi referensial pada prinsipnya tidak menunjukkan keseluruhan bagian. Hal seperti itu, misalnya, dapat ditemukan pada ungkapan mambasu motor ‘mencuci mobil’. Dalam hubungan ini, sifat non-proposisional metonimi terlihat pada keterbatasan ungkapan yang hanya merupakan frasa, bukan merupakan sebuah proposisi. Selanjutnya, tidak tergambarnya totalitas proses pada contoh metonimi di atas menunjukkan bahwa metonimi referensial mengisyaratkan makna sebagian untuk keseluruhan. Hal itu dapat didasarkan pada kenyataan bahwa, orang, apabila melakukan pencucian mobil, bagian yang dijangkau upaya pencucian adalah bagian luarnya saja, berupa bak dan bannya; bukan termasuk bagian-bagian lain dalam mobil.

Berikutnya, pada manjait saraor ‘menjahit celana’ terdapat pola makna yang mirip dengan ungkapan metonimi mambasu motor . Pada manjait saraor jelas bahwa tidak semua bagian dari bahan celana akan mendapat jahitan. Yang mendapat perlakuan menjahit adalah bagian-bagian tertentu saja, terutama bagian pinggir tertentu pula dari bahan yang akan dijadikan celana. Contoh lainnya adalah, seperti terdapat pada (24) berikut ini.

(24) Saruas tobu pe inda tarlehen ia. ‘Seruas tebupun tidak dapat diberinya’.

Pada (24), ungkapan saruas tobu ‘seruas tebu’ maksud sesungguhnya adalah bagian batang tebu di antara dua buah ruas. Di sini jelas bahwa bagian yang dimaksud melibatkan dua buah ruas, yakni ruas pertama dan ruas kedua. Jadi, ruas yang terlibat pada ungkapan metonimis pada (24) sebenarnya terdiri dari dua buah, bukan satu.