Contoh-contoh kasus di Peradilan Tata Usaha Negara :

16. Contoh-contoh kasus di Peradilan Tata Usaha Negara :

a. Masalah pertanahan, antara lain : masalah pengukuran tanah berdasarkan Pasal 17 dan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Sertipikat ganda berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, pemindahan hak berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, pembuatan akta jual beli yang harus dihadiri oleh para pihak dan 2 orang saksi berdasarkan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997, Penolakan untuk pendaftaran peralihan atau pembebanan hak berdasarkan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997. Masalah peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, masalah Hak Guna Usaha, dan masalah hak-hak yang berasal dari hak barat eigendom vervonding berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 dan lain-lain. b. Masalah perizinan, bisa karena pemberian izin atau sebaliknya penolakan izin, antara lain : Izin Mendirikan Bangunan khususnya ruko dan tower telekomunikasi, Izin Gangguan HO, izin Kuasa Pertambangan, Izin Galian, Izin Pembangunan Jembatan, Izin Trayek, dan lain-lain. c. Masalah kepegawaian, antara lain : pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 jo Pasal 48 Undang-Undang Peratun, mutasi PNS, pengisian jabatan struktural, pengangkatan perangkat desa sebagai CPNS dan lain-lain. Terhadap masalah pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sering terjadi salah persepsi oleh Pegawai yang bersangkutan ataupun kuasanya dengan mengira pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai bentuk jenis hukuman disiplin berat berdasarkan Pasal 6 ayat 4 huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sehingga ada upaya banding administrasi yang berpuncak pada Badan Pertimbangan Kepegawaian BAPEK. Sedangkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tidak ada upaya banding administrasi sehingga dapat langsung mengajukan gugatan di PTUN. Hal tersebut dapat diketahui dari kewenangan BAPEK sebagaimana disebutkan didalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian yaitu : a Memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina, golongan ruang IVa ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. b Memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IVb keatas serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I, yang diajukan oleh Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga TertinggiTinggi Negera dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen. d. Masalah kepegawaian BUMN dan BUMD antara lain pemberhentian pegawai PDAM, BPR Bank Pasar, dan BKK; e. Masalah pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa berdasarkan Peraturan Daerah. f. Masalah penetapan pemenang tender dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor. 80 Tahun 2003 dan aturan-aturan perubahannya. Akan tetapi di beberapa PTUN, putusannya tidak seragam ada yang gugatan dinyatakan tidak diterima di N.O dan ada pula yang diperiksa pokok perkaranya. Bahkan ada beberapa PTUN yang menyatakan tidak lolos dismisal proses perkara yang berkaitan dengan masalah tender pengadaan barang. Menyatakan tidak lolos dismisal ataupun yang putusannya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima pada pokoknya karena adanya ketentuan di dalam Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pengadaan barang dan jasa pemerintah, mengenai sanggahan pemilihan penyedia barangjasa dan pengaduan masyarakat yang bunyi pasalnya adalah sebagai berikut : 1 Peserta pemilihan penyedia barangjasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barangjasa apabila ditemukan : a. Penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barangjasa; b. Rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat; c. Penyalahgunaan wewenang oleh PanitiaPejabat pengadaan danatau pejabat yang berwenang lainnya; d. Adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN diantara peserta pemilihan penyedia barangjasa; e. Adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN antara peserta dengan anggota panitia pejabat pengadaan danatau dengan pajabat yang berwenang lainnya; 2 Pengguna barangjasa wajib memberikan jawaban selambat-lambatnya 5 lima hari kerja sejak surat sanggahan diterima. 3 Apabila penyedia barangjasa tidak puas terhadap jawaban pengguna barangjasa sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 maka dapat mengajukan surat sanggahan banding; Dengan adanya ketentuan Pasal 27 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tersebut, ada Hakim yang berpendapat bahwa ketentuan mengenai sanggahan tidak bersifat wajib karena kata-kata yang terdapat dalam Pasal tersebut adalah “dapat” dan bukan wajib, sehingga boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak. Sebaliknya ada pula Hakim yang berpendapat bahwa prinsip penyelesaian persengketaan administrasi sebagaimana terkandung dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sebisa mungkin diselesaikan dahulu oleh administrasi itu sendiri, baru apabila tidak dapat diselesaikan oleh administrasi itu sendiri baru diselesaikan oleh lembaga peradilan tata usaha Negara. Atas dasar prinsip itu, maka kata-kata “dapat” yang terdapat didalam Pasal 27 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 harus diartikan sebagai kewajiban. g. Masalah PAW Pergantian Antar Waktu atau yang dalam bahasa resminya adalah Surat Keputusan tentang Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota DPRDPRD juga sempat tidak seragam putusan-putusannya. Dibeberapa PTUN ada yang menyatakan gugatan tidak lolos dismisal, ada yang menyatakan gugatan lolos dismisal akan tetapi kemudian putusannya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima N.O dan ada pula yang gugatan Penggugat dikabulkan dalam arti pokok perkaranya diperiksa. Di PTUN Semarang, dalam perkara Nomor. 09G2008PTUN.SMG mengenai Pergantian Antar Waktu, gugatan telah dinyatakan lolos dismissal dan bahkan dikeluarkan Penetapan Penangguhan oleh Majelis Hakim dan akhirnya didalam putusan akhir tanggal 11 Juni 2008 gugatan tersebut dikabulkan untuk seluruhnya. Putusan tersebut telah dikuatkan pula oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor. 106B2008PT.TUN SBY tanggal 7 Januari 2009 dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berdasarkan Pasal 45 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, sehingga perkara tersebut sudah dapat menjadi contoh bagi putusan-putusan lainnya yang bisa menjadi Yurisprudensi bagi Hakim-Hakim PTUN apabila putusan tersebut diikuti terus dengan kaidah hukum masalah Pergantian Antar Waktu secara absolut menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikannya. h. Masalah pemilihan Kepala Desa Pilkades dan pengisian Perangkat Desa. Mengenai masalah Pilkades, meskipun ada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 482 KTUN2003 Tanggal 18 Agustus 2004 yang dalam kaidah hukumnya menyebutkan bahwa masalah Pilkades merupakan perbuatan-perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup politik dan didasarkan pada pandangan-pandangan politis para pemilih maupun yang dipilih. Hasil Pilkades juga merupakan hasil dari suatu pemilihan yang bersifat umum dilingkungan desa yang bersangkutan oleh karenanya keputusan hasil Pilkades tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 vide Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, namun saat ini Yurisprudensi tersebut tidak banyak diikuti karena terhadap masalah Pilkades banyak Hakim yang berpendapat obyek gugatannya bukan keputusan panitia pemilihan mengenai hasil pemilihan umum, malainkan keputusan Bupati mengenai pengesahan dan pengangkatan Kepala Desa. Disamping itu Putusan mengenai perkara Pilkades akan mempunyai kekuatan hukum tetap sampai tingkat Pengadilan tinggi saja karena termasuk yang dibatasi untuk kasasi sehingga masih banyak perkara Pilkades yang diperiksa oleh PTUN dan diputus sebagai kewenangan absolut PTUN. Contoh perkara Pilkades yang masih diputus sebagai kewenangan PTUN adalah Putusan Perkara Nomor. 16G2009PTUN.SMG tanggal 7 Juli 2009 antara Makruf Bin Sudiran sebagai Penggugat melawan Bupati Demak sebagai Tergugat. i. Masalah Akta kelahiran, KTP dan Akta Nikah. j. Masalah keputusan-keputusan administratif KPUD sepanjang bukan mengenai hasil penghitungan suara, akan tetapi Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Putusan Kasasi Nomor. 187 KTUN2004 tanggal 14 Februari 2008 menyatakan bahwa keputusan-keputusan administratif yang diterbitkan oleh KPUKPUD tidak termasuk katagori keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun. k. Masalah risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang di KPKNL masih digugat melalui PTUN, akan tetapi Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor. 150KTUN1994 tanggal 7 September 1995 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 245KTUN1999 Tanggal 30 Agustus 2001 menyatakan bahwa risalah lelang bukan obyek sengketa TUN sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara secara absolut tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikannya . l. Masalah Ijin lingkungan hidup, berkaitan dengan Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron bertindak untuk dan atas nama PT. Semen Gresik Persero Tbk dimana yang menjadi Penggugat adalah Organisasi Lingkungan Hidup dalam hal ini Wahana Lingkungan Hidup WALHI dengan Tergugat Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati. Dalam perkara Nomor. 04G2009PTUN.SMG yang diputus pada tanggal 6 Agustus 2009 tersebut, Legal Standing dari WALHI telah diterima di PTUN dengan mendasarkan pada asas inanimatif 59 yaitu asas yang menyatakan bahwa “natural objects” seperti hutan, laut dan sungai memiliki legal right tetapi tidak dapat menggunakan haknya sehingga organisasi lingkungan hidup mewakili kepentingan mereka. Dalam kasus tersebut Penggugat mempersoalkan penerbitan obyek sengketa yang tidak didahului dengan Amdal serta diterbitkan di kawasan Kars yang merugikan kepentingan lingkungan. Dalam perkara tersebut bahkan gugatan Penggugat dikabulkan untuk seluruhnya. m. Masalah keputusan dalam bidang pendidikan antara lain soal mutasi guru, pemberhentian dosen baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta, bahkan dalam perkara Nomor 36G2009PTUN.SMG beberapa orang siswa kelas VII SMPN 2 Boja Kendal pernah menggugat Kepala Sekolahnya di PTUN Semarang karena dinyatakan tidak naik kelas.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

59 CD Stone sebagaimana dikutip oleh Suparto Widjojo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan Environmental Disputes Resolution, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hlm 52