Latar Belakang Masalah Penutup

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hingga kini, khitan perempuan masih menjadi kontroversi tak berujung dan belum menemui keputusan final, baik dilihat dari tinjauan medis ataupun agama. Satu pandangan berpendapat bahwa khitan terhadap perempuan merupakan keutamaan ajaran agama. Sedangkan kelompok lain berpandangan bahwa khitan terhadap perempuan hanyalah budaya sebuah negara yang dipengaruhi oleh lembah Nil tradisi pedalaman Nil yang tidak banyak memiliki manfaat bagi perempuan. Jadi khitan terhadap perempuan tidak mempunyai kaitan dengan syariat agama. Tapi hanyalah sebuah kebiasaan klasik dari negara-negara Afrika yang dilalui oleh sungai Nil. Pun demikian dalam Islam, para agamawan sendiri masih memperdebatkan praktek khitan wanita dari aspek legitimasi keagamaannya. Syekh Ali Jadd al-Haqq, Syaikh al-Azhar, pada tanggal 29 Januari 1981, menfatwakan bahwa khitan baik bagi laki-laki atau perempuan adalah salah satu tuntutan agama Islam, meski ulama berbeda pendapat apakah hukumnya wajib atau sunnah. Tak satupun pendapat dari para fukaha yang menyatakan keharaman khitan baik untuk laki-laki atau perempuan. Sebagaiamana Rasulullah telah mengajari Ummi Habibah untuk tidak berlebihan dalam mengkhitan perempuan Islam pada waktu itu. 1 Senada dengan fatwa tersebut adalah fatwa Abdul Aziz bin al-Bazz, mufti Saudi Arabia, menyatakan bahwa khitan wanita adlah sunnah yang disyariatkan oleh Islam dan salah satu bentuk kesucian, melanjutkan tradisi agama Ibrahim millah Ibrahim sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an. 2 Berbeda dengan fatwa di atas, sekelompok mufti di Kuwait menyatakan bahwa khitan perempuan bukan perintah wajib maupaun sunnah. Hadits yang 1 Lihat Fatawa Dar al-Ifta al-Misriyyah, juz II, h. 208 2 Lihat Majmu Fatawa Ibn Baz, juz X, h. 46. diriwaytkan oleh Abi Dawud dan lainnya tentang dialog Nabi dengan Ummu Habibah adalah lemah dlaif. Di sisi lain, para aktivis LSM perempuan menolak praktek tersebut karena merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dapat membahayakan kesehatan reproduksi serta efek negatif lainnya, seperti kehilangan kesempatan untuk mencapai orgasme seksual atau dampak psikis lainnya. Para aktivis berpendapat praktek khitan bagi perempuan disamping menyalahi aturan hak asasi manusia, dari segi kesehatan, khitan perempuan tidak memiliki alasan kesehatan yang kuat seperti khitan laki-laki. Dalam konteks itulah diseminasi informasi ini perlu bagi petugas kesehatan bidan, dokter, perawat untuk tidak melakukan tindakan medis medikalisasi khitan perempuan. 3 Pandangan ini juga didukung oleh para ahli medis yang memandang khitan perempuan tidak memilki manfaat bagi kesehatan bagi perempuan, bahkan bisa- bisa menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan perempuan. Badan Kesehatan Dunia atau WHO sendiri sejak tahun 1982 sudah meyatakan bahwa sunat terhadap perempuan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, melanggar hak atas penikmatan sepenuhnya standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai seperti tercantum dalam pasal 24 ayat 1 dan 3 dari Konvensi Hak Anak. 4 Di dunia, kebanyakan negara telah melarang praktek khitan perempuan ini bahkan diantaranya telah merupakan sanksi pidana atau denda. Sudah tercatat juga 16 negara-negara Afrika yang mengundang-undangkan larangan khitan ini. Selain undang-undang, sangsi yang dikenakan adalah kurungan 6 bulan hingga satu tahun. Benin, Chad, Niger mengeluarkan peraturan ini pada tahun yang sama pada tahun 2003. Ethiopia, Jibouti, Burkina Faso, Ghiena, Senegal, Tanzania dan Togo baru tahun lalu 2010 menetapkan pelarangan ini. Selain itu negara Afrika Selatan terryata sudah mengundangkan larangan khitan perempuan sejak tahun 3 Lihat,www.jurnalperempuan.com 4 Lihat www.who.int 1996. Dan masih banyak negara Afrika dan negara maju di Eropa, seperti Prancis, Swiss, yang sudah mematenkan larangan khitan terhadap kaum hawa. Peninjauan yang dilakukan di negara-negara Afrika yang kemudian menyebabkan negara-negara kulit hitam ini mengeluarkan undang-undang melarang sunat terhadap perempuan adalah, akibat buruk dan trauma yang ditimbulkan dari tradisi ini. Menurut perkiraan PBB, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan Mesir, 23 juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan, dengan sangat terpaksa telah menjalani sunat ini. Dikisahkan, seorang gadis asal Togo bernama Fauziya Asinga 17 melarikan diri dari negaranya dan meminta suaka di Amerika karena dipaksa untuk dikhitan. Di saat beberapa negara di dunia telah melakukan regulasi pelarangan khitan perempuan, sedang Indonesia belum melarang praktek khitan perempuan karena alasan tradisi keagamaan. Sebenarnya praktek inklubasi klitoris ini telah “dilarang” secara implisit dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 46 butir C menegaskan bahwa hak khusus yang ada pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum. Namun pada faktanya berdasarkan penelitianyang dilakukan oleh Population Council menunjukkan bahwa praktek khitan perempuan masih banyak terjadi di Indonesia, bahkan untuk beberapa daerah seperti Padang dan Padang Pariaman di Sumatra Barat khitan perempuan justru dilakukan oleh bidan atau petugas kesehatan yang lain. Berkaitan dengan praktek khitan perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. WHO pada tahun 1982 sebenarnya telah melarang penggunaan medikalisasi khitan perempuan atau melarang petugas kesehatan untuk melakukan tindakan khitan pada perempuan. 5 Penekanan pelarangan bagi petugas kesehatan ini dianggap penting karena dari hasil studi lapangan di 6 propinsi di Indonesia yaitu Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo mendapatkan bahwa khitan perempuan tidak hanya dilakukan oleh dukun bayi 5 Lihat www.jurnalperempuan.com atau tukang sunat saja tapi juga oleh petugas kesehatan. Bahkan dalam beberapa daerah, khitan perempuan ini dijadikan satu paket jika melahirkan di tempat yang sama. 6 Problem lemahnya penegakan aturan khitan perempuan sebagaimana amanat Undang-undang Kesehatan tersebut sangat dipengaruhi pandangan kebanyakan masyarakat, khususnya umat Islam yang menganggap khitan perempuan sebagai kewajiban atau minimal anjuran keagamaan. Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya Nomor 09 Tahun 2008 secara implisit mengajurkan khitan wanita dengan menyebutnya sebagai fitrah, syiar Islam dan makrumah. Pun demikian, Nahdlatul Ulama dalam Muktamar Muktamar Nahdlatul Ulama NU ke-32 yang bersidang di Komisi Bahtsul Masa`il Diniyah Maudlu`iyyah pembahasan masalah keagamaan tematik membuat kesimpulan akhir bahwa hukum khitan untuk perempuan adalah sunah dan wajib. Kesimpulan ini diambil setelah para pembahas menggali rujukan dalam berbagai kitab kuning, yang mengulas dalil-dalil khitan perempuan, di kalangan empat mazhab utama, yakni Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hambali. Hasil penggalian dari empat mazhab itu diperoleh tiga kesimpulan atas khitan perempuan: wajib, sunah, dan makrumah dimuliakan. Fatwa ini mengundang kekecewaan sejumlah pihak dari kalangan NU sendiri, seperti Fatayat NU yang menginginkan penghapusan praktek khitan perempuan. 7 Bahkan dengan dikeluarkannya Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 secara legal praktek tersebut diakomodir termasuk tata cara khitan perempuan agar tidak menyebakan dampak negatif terhadap kesehatan perempuan. Reaksipun beragam, bagi sebagian kalangan aktifis gender keluarnya Permenkes tersebut dianggap negera telah melegalisasi dan melanggengkan praktek kekerasa terhadap perempuan. Sementara kalangan agamawan. Permenkes tersebut adalah “jalan tengah” untuk merespon aspek keagamaan dan kesehatan. 6 Lihat www.jurnalperempuan.com 7 Lihat Gatra Nomor 22, Kamis, 8 April 2010 Di sisi lain, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu institusi akademik terkemuka pada level nasional dengan visi integrasi keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan, memiliki peran strategis untuk memberikan kontribusi dalam memecahkan masalah-masalah umat Islam Indonesia. Civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta sebagai kelas menengah Islam terdidik seringkali menjadi rujukan terhadap kebijakan-kebijakan publik. khususnya terkait masalah-masalah keislaman. Para guru besar atau dosen UIN banyak terlibat dan mewarnai wacana keislaman Indonesia dengan pandangan-pandangan mereka yang modern. Berangkat dari realitas tersebut, peneliti mengangap perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui persepsi civitas akademika khususnya para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta terhadap praktek khitan perempuan. Permasalahan Penelitian Masalah penelitian ini dibatasi pada persepsi para dosen terhadap khitan perempuan secara spesifik terkait dengan pandangan keagamaan, kesehatan reproduksi perempuan, dan regulasi khitan perempuan di Indonesia. Rumusan masalahnya adaah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan keagamaan para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta terhadap praktek khitan perempuan? 2. Apakah para dosen mengetahui dampak khitan perempuan terhadap kesehatan? 3. Apakah para dosen menyetujui regulasi tentang larangan khitan perempuan? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan keagamaan para dosen UIN Jakarta terkait khitan perempuan. 2. Untuk mengetahui persepsi para dosen terhadap dampak negatif praktek khitan terhadap kesehatan perempuan yang umumnya terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. 3. Untuk mengetahui pandangan para dosen tentang regulasi yang lebih tegas tentang khitan perempuan. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut: 1. Secara akademik, penelitian ini dapat dijadikan bahan akademik untuk memberikan peta pemikiran dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta sebagai kelompok Muslim terdidik yang secara intens melakukan pengkajian terhadap hukum Islam dalam menanggapi praktek khitan perempuan yang umunya masih menjadi tradisi masyrakat Muslim Indonesia. 2. Secara sosial, penelitian ini akan memberikan gambaran spektrum pemikiran yang bervariasi diantara para pakar hukum Islam tentang khitan wanita di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. 3. Penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi peneliti selnajutnya untuk memetakan persepsi masyarakat Muslim terdidik terhadap tradisi khitan perempuan. Signifikansi Penelitian ini memiliki siginifikansi secara teoritis dalam memotret dinamika pemikiran para intelektual Muslim tentang isu-isu krusial, dalam hal ini khitan perempuan. Dengan mengetahui potret spektrum pendapat tersebut pada gilirannya akan mendorong diskursus akademik yang berkualitas dan berbobot untuk melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif dan solutif terkait dengan masalah khitan perempuan, kini dan akan datang. Berangkat dari kaidah ﻷا ﺮ ﻐ مﺎﻜ ﻷا ﺮ ﻐ ﺔ ﻜ ﻷاو ﺔ ز Hukum Islam itu berubah dengan perubahan zaman dan tempat , maka wacana khitan perempuan bukanlah wacana yang telah final secara akademik. Ruang-ruang untuk mendiskusikan kembali adalah hal lumrah mengingat perekambangan zaman dan keadaan yang begitu cepat. Oleh karena itu penelitian ini tetap seksis untuk diangkat. Riset Sebelumnya Beberapa riset tentang khitan perempaun telah dilakukan oleh berbagai lembaga Population Council menunjukkan bahwa praktek khitan perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa praktek khitan perempuan di berbagai daerah di Indonesia karena anggapan sebagai pelaksanaan ajaran agama. Bahkan beberapa tenaga kesehatan pun melakukan medikalisasi khitan perempuan. BAB II KERANGKA TEORI

A. Khitan Dalam Perspektif Fikih