Budaya Hukum FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT PENANGGULANGAN

masyarakat. Adapun jumlah kompensasi yang diterima diserahkan oleh kebijakan masyarakat sendiri. Dalam hal untuk menutupi anggaran yang kurang untuk biaya perkara, aparat kepolisian di unit pelayanan perempuan dan anak Sat Reskrim Poltabes Medan bekerja sama untuk saling menutupi anggaran dengan unit lainnya di kesatuan Reskrim. Cara lain yang digunakan untuk mengantisipasi kurangnya biaya operasional dengan cara menaikkan prediksi jumlah kasus pada tahun berikutnya agar dapat menutupi anggaran operasional pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk tahun yang akan datang. 194

C. Budaya Hukum

Masyarakat tidaklah sekedar penjumlahan dari para individu-individu yang menjadi warganya. Pada dasarnya di tengah-tengah warga masyarakat, berdiri tegak suatu tatanan kemasyarakatan yang mengatur tata cara warganya berhubungan satu dengan yang lainnya dalam aspek-aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Tatanan kemasyarakatan yang berupa norma-nirma kehidupan bersama ini pada awalnya dan yang kemudian berjalan adalah hasil kumulatif pengendapan dari pengalaman kesejarahan the sendimentation of historical experience selama berabad- abad. 195 194 Wawancara dengan AKP Sitiani Purba, loc. cit. 195 Tamrin A. Tomagola, Menuju Kemitraan Pemerintah dan LSM dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita, pada Semiloka Nasional yang diselenggarakan Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 Hukum dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum mencerminkan budaya yang ada dalam masyarakat, atau budaya adalah faktor determinan dari hukum. Budaya patriarki yang kental dalam suatu masyarakat dapat ditemui dan dibaca dari teks-teks hikum yang ada dalam masyarakat tersebut. Penetapan dan penerapan standar ganda dan penempatan perempuan pada posisi subordinat dalam hukum merefleksikan budaya hukum masyarakat yang patriarkis. Patriarki secara umum didefinisikan sebagai prinsip dominasi laki-laki yang membentuk struktur dan sistem ideologi dominasi, di mana laki-laki mengontrol perempuan. Traadisi patriarki berisi “seperangkat hubungan sosial antara laki-laki dengan basis materi yang mereka milik dan saling ketergantungan serta solidaritas di antara mereka yang telah terbangun mapan yang memungkinkan mereka mendominasi perempuan.” 196 Diakui atau tidak, mayoritas negara-negara di dunia termasuk Indonesia, masih menjalankan budaya patriarki. Budaya tersebut mengedepankan kepentingan laki-laki yang pada dasarnya bekerja melalui nilai-nilai patriarki. Konsep patriarki sendiri pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada bentukan sistem sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI bekerjasama dengan LSM Mitra Perempuan serta Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dengan bantuan UNFPA, CIDA, Population Council dan Unifem, Jakarta: 26-27 Januari 1999, hal. 23. 196 Esther Ngan-Lin g Chow Catherine White Berheide, Women, The Family, and Policy, Albany: State University of New York, 1995, hal. 14-15. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Feminis radikal kemudian mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat di semua bidang seperti, politik, agama, dan seksualitas. 197 Sebagai akibat dari patriarki penindasan gender laki-laki atas perempuan telah membuat perempuan tersubordinasi melalui struktur, ekonomi, politik, hukum, sosiaol dan budaya. Patriarki secara umum diidentikan dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara. 198 Pada umumnya alasan biologis atau mistis digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan. Atas dasar itu, sebagai sisi baliknya, memang harus ada upaya dekonstruksi terhadap peran gender laki-laki dan perempuan, dan ini menjadi hal yang signifikan jika taruhannya adalah membangun struktur bidaya dan masyarakat yang tidak patriarki. 199 Kontribusi patriarki yang digunakan oleh negara dan dieksploitasi oleh negara untuk melanggengkan kekeuasaannya amat besar dalam proses terjadinya kekerasan negara terhadap perempuan. Budaya ini memilah secara kaku peran sosial laki-laki dan perempuan atau feminitas dan makulinitas ke dalam wilayah publik dan domestik. Lingkup domestik 197 Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan: Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Kaliana Mitra, 1997, hal. 48-50. 198 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, Jakarta: Kaliana Mitra, 1984, hal. 1. 199 Carolyn Israel-Sobritchea, Gender, Ideology, and The Status Women in a Philippine Rural Community,”Essay on Women, ed., Mary Jon Mananzan, Manila: Institute of Women’s Studies Scholastica’s College, 1989, hal. 99. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 diidentikkan dengan perempuan dan tanggung jawabnya dengan pengasuhan anak. Sementara dalam lingkup publik diidentikkan dengan laki- laki, maskulinitas, yang berkaitan denga hierarki dan dibentuk secara terpisah dari hubungan ibu dan anak, sehingga laki-laki dapat bebas untuk membentuk organisasi yang hierarkis karena tidak terikat pada pengasuhan anak. 200 Lingkup publik dan lingkup domestik yang dilihat sebagai suatu hal yang terpisah tidak menguntungkan perempuan karena saat perempuan berada dalam lingkup domestik, hal ini tidak berarti perempuan berkuasa dalam lingkup domestik. Lingkup publik menjadi lingkup yang didominasi laki- laki dan tidak mewakili kepentingan perempuan, tidak sensitif terhadap kepentingan perempuan dan membuat kesempatan perempuan untuk terlibat dalam lingkup publik menjadi terbatas. Dalam socio-legal perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah” kepada terjadinya banyak kekerasan terhadap perempuan tentulah sangat berhimpitan dengan kentalnya budaya patriarki. Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana 200 Louise Lamphere, The Domestic Sphere of Women and The Public World of Men: “The Strengths And Limitation Of An Anthropological Dichotomy”, Gender in Cross Cultural Perspective, ed., Caroline B. Brettel l and Carolyn F. Sargent, New Jersey: Prentice Hall, 1997, hal. 83, mengutip dari Michelle Rosaldo, 1974, hal. 21. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 hukum itu berada. Hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkis, maka tidak mengherankan bila hukum yang dimunculkan adalah yang tidak memberi keadilan kepada perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya. 201 Budaya patriarki dalam budaya masyarakat di Indonesia dirasakan sangat kuat yaitu kekuatan-kekuatan sosial, berupa ide, gagsan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan sebagainya, yang potensial menempatkan perempuan dalam posisi submissive, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dari keseluruhan sistem hukum ini, budaya hukum merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap dapat tidaknya suatu substansi hukum bekerja dalam masyarakat. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat diimplementasikan atau tidak, akan sangat tergantung pada seberapa kuatnya budaya hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada saat instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, kajian harus dilakukan secara hati-hati. Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa mengintroduksikan hukum ke dalam arena- 201 Sulistyowati Irianto, op. cit, hal. 236. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah undang-undang kedalam ruang yang kosong dan hampa udara. ketika sebuah undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai self regulation. 202 Hakekat dari sebuah arena sosial adalah memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Aturan-aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama, dan kebiasaan-kebiasaan lain, tetapi juga mendapat pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai self regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak berubah setelah ditetapkan, dia akan dimodifikasi, dipertahankan dan dibuang sebagian atau seluruhnya, tergantung kebutuhan masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai semi-autonomous social field, arena sosial yang semi otonom. Tidak pernah ada aena sosial yang sungguh-sungguh otonom, memiliki satu-satunya atauran berperilaku atau hukum. Dikatakan juga oleh Moore, bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang-tindih over lapping di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yangsangat besar pengaruhnya, yaitu hukum negara. Namun dalam artian ini, Tidak 202 Sally Falk Moore, Law as Process, An Anthropological Approch, London: Routledge and Kegan Paul, 1983, hal. 42. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 dapat diartikan hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati. 203 Masyarakat memiliki “cara berhukum” doing lawnya sendiri. Ada banyak acuan normatif yang menjadi pedoman berperilaku dalam masyarakat, yang berasal dari berbagai sumber, seperti agama, adat, kebiasaan-kebiasaan lain yang berkembang. Aturan-aturan hukum tersebut berasal dari agama, adat, dan bisa jadi hukum lain yang kaena tidak dapat dikategorikan dalam sumber hukum tertentu, diberi nama un-named law atau hybrid law “hukum-hukum” lain yang menjasi acuan berperilaku tersebut dalam kenyataannya justru yang diikuti secara efektif oleh para warga masyarakat. Karena hukum itulah yang mereka kenal, yang hidup dalam lingkup wialayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktek sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang asing, yang meskipun mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi, yaitu negara souvereignity. 204 203 Ibid. 204 Lihat John Griffiths, What is Legal Pluralism ? Journal of Legal Pluralism and Unoficial Law, number 24, tahun 1986, hal. 44 mengatakan memang ada para sarjana hukum yang mengakui adanya hukum-hukum lain di samping hukum negara sebaagi acuan berperilaku dalam masyarakat. Namun bagi mereka, hukum-hukum lain ini, tidak dapat dikategorikan sejajar dengan hukum negara, karena tidak memiliki atribut-atribut seperti yang dimiliki oleh hukum negara. Pada umumnya atribut hukum negara itu dilekatkan pada adanya kodifikasi undang-undang, institusi hakim, jaksa, polisi, gedung pengadilan, dan penjara. Mereka mengatakan bahwa hukum-hukum lain memang boleh hidup, tetapi hukum yang tertinggi haruslah tetap hukum negara. Hukum-hukum lain tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Pandangan ini disebut sebagai weak legal pluralism. Lihat juga Anne Griffiths, Law in a Transnational World: Legal Pluralism Revisited. The first Asian Intiative Meeting, School of Industrial Fisheries and School of Legal Studies, Cochin University of Science and Technology, Kochi, Kerala, 18 th -20 th May 2005, mengatakan bahwa semua hukum yang hidup dalam arena sosial Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 Berdasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia begitu kuat tertanam budaya yang mengakui prinsip dominasi laki-laki mengontrol perempuan. Tatanan kemasyarakatan yang demikain sudah tertanam sejak lama. Berkaitan dengan hal tersebut, instrumen hukum Undang-Undang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang bertujuan menghadirkan keadilan kepada perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam aplikasinya berbenturan dengan budaya hukum yang terdapat dalam masyarakat di Indonesia dan menjadi hambatan bagi implementasi instrumen hukum itu sendiri. Realita yang demikian, bukan berarti hukum negara harus menagalah dengan hukum-hukum lain yang telah menjadi acuan berperilaku tetapi justru menjadi sebuah tantangan ke depan untuk dapat mengeleminir tantangan tersebut denga tujuan menghadirkan suatu keadilan bagi korban. Yayasan Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan Anak Puspa Indonesia dan Women Crisis Center mencatat kondisi perempuan tahun 2007 memperlihatkan perbaikan kesadaran perempuan, dan sekaligus masih memprihatinkan. Kendala budaya menimbulkan keraguan para korban untuk mencari penyelesaian lewat jalur hukum. Perspektif di masyarakat yang memandang bahwa persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap masyarakat itu, sama keberlakuannya, tidak ada jaminan bahwa kedudukan hukum yang satu dipandang lebih tinggi daripada hukum yang lain. Dalam arti ini, setiap hukum memiliki peluang yang sama untuk djadikan acuan berperilaku oleh warga masyarakat. Dalam kenyataan sosial bahkan terlihat bahwa hukum yang tidak berasal dari negara lebih efektif bekerja dalam masyarakat. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 perempuan tabu di bicarakan, ternyata belum sepenuhnya dapat dihapuskan. 205 Pola pikir yang patriarki dan bias gender ini akan sangat mempengaruhi pemahaman perempuan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan bagaimana seharusnya mereka bersikap. Sebagai contoh, istri yang dipukul suaminya menganggap bahwa dipukul suaminya merupakan hal yang biasa, kemudian istri yang sedang dalam kondisi capek tidak kuasa menolak ajakan suaminya untuk berhubungan badan karena merasa sudah menjadi kewajibannya untuk melayani suami dalam kondisi bagaimanapun dan jika menolak, ia merasa berdosa. Kemudian, jika mengetahui teman atau saudaranya mengalami kekerasan, para perempuan lain akan memberi nasihat untuk bersabar dan tidak mau turut campur karena itu adalah urusan rumah tangga orang lain. 206 Kaum perempuan sendiri harus mengubah pola pikir yang lama ke pola pikir yang baru antar lain: 207 perempuan yang mengalami kekerasan merasa tidak dapat hidup tanpa suami, atau keluarganya karena hanya mereka yang ia miliki. Hal ini berarti ia harus bertahan dalam lingkungan yang tidak bersahabat dengannya. Pola pikir yang demikian sebaiknya diubah dengan meyakinkan dirinya bahwa tanpa suami atau keluarganya ia tetap 205 Penyelesaian Kasus KDRT Terhambat Budaya, Kompas, 11 Januari 2007, hal.12. 206 Rika Saraswati Rika Pratiwi, Pemahaman Perempuan Kota Semarang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Semarang: Penelitian PSW Unika Soegijapranata, 2004, hal. 11. 207 Ibid. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 dapat hidup dan berbuat apa pun sehingga ia mempunyai kemampuan untuk meninggalkan lingkungan yang tidak mendukungnya. Pola pikir demikian mungkin akan sulit dilaksanakan apabila perempuan yang menjadi korban memiliki ketergantungan yang sangat besar kepada suaminya, misalnya ketergantungan ekonomi karena ia tidak bekerja, tidak ada tempat yang dituju, takut akan pembalasan suami, dan kepercayaan diri yang rendah. Bagi perempuan yang tidak bekerja maka yang bersangkutan memang harus diberdayakan terlebih dahulu agar ia secara ekonomi mampu sehingga kepercayaan dirinya tumbuh. Perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga banyak yang merasa bahwa kekerasan terjadi karena kesalahannya sehingga apa yang di kerjakan tidak memuaskan pelaku. Pola pikir lama ini perlu diubah dengan menekannkan bahwa ia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri karena ia adalah manusia dan tidak sempuna. Perempuan di dalam keluarga juga sangat dituntut untuk memperhatikan pasangannya dan anggota keluarga lainnya sehingga ia tidak sempat memperhatikannya, baik dirinya maupun mengembangkan bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika seseorang yang mengalami tekanan demikian perlu mengubah pola pikirnya bahwa ia punya hak dan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya sama halnya dengan yang dilakukan oleh pasangannya. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 Kebanyakan perempuan yang mengalami kekerasan juga merasa bahwa lebih baik mengambil sikap diam karena jika menceritakan kepada orang lain, kekerasan akan bertambah. Pola pikir yang demikian ini sebaiknya diubah dengan pemikiran yang baru bahwa ia sebenarnya dapat mengatakan kekerasan yang dialaminya kepada siapa ia ingin mengatakannya., termasuk polisi atau anggota keluarga yang lain tanpa mendapat amarah dari apa yang telah dikatakannya. Jika mereka tidak mendukung, sebaiknya yang bersangkutan mencari orang yang benar-benar mau mendukungnya. Nilai-nilai yang dianut sering dipegang korban kekerasan, misalnya ingin tetap menjaga keutuhan rumah tangganya sebaiknya perlu diubah dengan mulai menyadari bahwa tinggal dengan anggota keluarga yang melakukan kekerasan adalah ide yang buruh yang harus ditinggalkan. yang bersangkutan harus mulai berpikir bahwa meluangkan waktu dengan anggota keluarga yang memperlakukan dia dengan baik adalah pilihan yang tepat. Pola pikir lama lainnya yang merugikan perempauan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kesediaannya untuk melupakan dan memaafkan pelaku. Dalam banyak kasus korban berusaha melupakan kekerasan yang dialaminya dan korban berusaha memaafkan pelaku, tetapi kekerasan tetap saja terjadi. Oleh karena itu, perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebaiknya membangun pola pikir yang baru bahwa ia membutuhkan penyembuahan dari hal buruk yang baru saja dialaminya Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 sehingga tidak mungkin baginya untuk melupakan kekerasan yang pernah dialaminya dan tidak perlu memaafkan siapa pun yang telah melakukan kekerasa tersebut. Pola pikir baru ini mengandung hak-hak korban berupa hak untuk tidak mengalami kekerasan. Disamping pola pikir perempuan korban yang harus dirubah, masyarakatpun harus merubah mitos-mitos atau nilai-nilai salah yang selama ini melanggengkan kekerasan terhadap perempua khususnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mitos-mitos yang harus dibongkar adalah sebagai berikut: 208 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga sangat jarang terjadi. Namun, kenyataannya satu dari tiga istri pernah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bahkan, penelitian di Australia tahun 2004 menunjukkan bahwa: “…….almost nine out of every 10 victims were women and 98 of the perpetrous were male……” 2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilakukan oleh suami atau pasangan yang berpendidikan rendah, miskin, kalangan minoritas, dan keluarga berantakan. Namun, dalam kenyataannya Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilakukan oleh pasangan yang berpendidkan tinggi. 3. Rumah tangga adalah urusan pribadi dan yang terjadi di dalamnya bukan urusan orang lain, termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kenyataannya kekerasan merupakan hal yang tidak wajar dalam 208 Suadah, Sosiologi Keluarga, Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2005, hal.143- 145. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 kehidupan berkeluarga karena dengan diperlakukan secara kejam maka korban akan kehilangan hak-haknya yang sangat asasi sebagai manusia. Perkawinan pada hakeikatnya adalah persetujuan pribadi yang bebas dari penyiksaan, ketakutan, dan ancaman sehingga pelanggaran atas hak-hak asasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 4. Pemukulan boleh dilakukan karena tugas suami adalah memberi pelajaran kepada istri. Pemukulan dengan berbagai alasan sama sekali dilarang karena kedudukan suami dan istri serta anak-anak adalah sejajar di muka hukum dan sama-sama sebagai subjek hukum sehingga istri dan anak-anak tidak bisa diperlakukan seenaknya seperti barang. 5. Pemukulan terjadi karena suami kehilangan kontrol. Dalam kenyataannya mereka yang melakukan pemukulan terhadap istri juga melakukan pemukulan kepada orang lain di luar rumah. Kehilangan kontrol adalah kehilangan kendali. Namun, hal ini bukan sebagai alasan pembenaran atas pemukulan karena semua persoalan sebenarnya dapat dibicarakan dengan kepala dingin. 6. Perempuan yang tidak suka dipukuli bisa pergi kapan saja meninggalkan pasangannya. Namun, dalam kenyataannya sebagian besar penyebabnya adalah ketakutan akan pembalasan suami, ketergantungan ekonomi, tidak ada tempat yang dituju, khawatir akan masa depan anak-anak, kepercayaan diri yang rendah, kurangnya dukungan, tidak mau menghancurkan perkawinan, dan kadang-kadang karena cinta mati pada Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 suami. Perempuan yang sangat menderita karena kekerasan yang dilakukan pasangannya dalam banyak kasus tidak mau mengakhiri perkawinan, tetapi hanya ingin diakhirinya kekerasan. 7. Anggapan bahwa terjadinya kekerasan merupakan bukti cinta dan kasih sayang, tetapi yang sebenarnya terjadi karena adanya kecemburuan dan intimidasi sebagai alat kontrol bagi perempuan agar selalu patuh dan menuruti kehendak pasangannya. Pandangan bahwa setelah kekerasan terjadi pasangan akan berlaku mesra tidaklah benar karena kekerasanlah yang justru sering dialami perempuan. 8. Kekerasan dianggap terjadi karena perempuan itu sendiri yang memancing-mancing kekerasan dengan cara mengomel dan tindakan menjengkelkan lainnya. Namun, dalam kenyataannya banyak perempuan mengalami kekerasan dari pasangannya hanya berdasarkan alasan- alasan yang sangat sederhana, seperti masakan kurang enak, rumah kurang bersih, terlambat mengambilkan air minum, dan sebagainya. 9. Alkohol dianggap sebagai penyebab terbesar terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Alkohol memang dapat memicu terjadinya penyerangan, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan kekerasan karena dalam kenyataannya penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga sangat kompleks dan berkaitan dengan keyakinan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan dan anak dan ideologi gender. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008 10. Perempuan yang berpenghasilan lebih tinggi atau yang secara ekonomi lebih kuat dianggap akan terbebas dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena dianggap mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi. Namun, dalam kenyataannya, kekerasan sangat mungkin dilakukan oleh pasangan yang sebenarnya memiliki kepercayaan diri yang rendah dan sangat bergantung pada istri. Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008

BAB IV KEBIJAKAN PENANGGULANGAN