bagaimana pembentuk undang-undang kurang memperhatikan hal satu ini yang sebenarnya sangat memegang peran penting untuk membela hak-hak
korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di persidangan.
151
B. Aparat Penegak Hukum
Dalam upaya penegakan hukum peran aparat sangatlah menentukan oleh karena implementasi dari instrumen hukum yang ada sangat bergantung
dari struktur hukum tersebut. Sebagus-bagusnya suatu instrumen hukum, tidak akan bermanfaat apabila aparat penegak hukumnya tidak
mengaplikasikan dengan baik di lapangan. Seperti yang dikatakan Herman Manheim bahwa: “It is not the formula that dicide the issue, but the man who
have to apply the formula” betapapun baiknya perangkat perundang- undangan jika para penegaknya berwatak buruk, maka hasilnya akan buruk
pula.
152
Bertitik tolak dari pernyataan diatas, maka dalam peneranpan Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 ini juga diperlukan aparat penegak hukum yang
memahami substansi dari Undang-Undang tersebut dan memiliki dedikasi tinggi untuk bertujuan menghadirkan keadilan bagi korban. Dalam
prakteknya, prilaku dan kinerja aparat dalam menterjemahkan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini justru
151
Ibid.
152
Herman Manheim, Criminal Justice and Social Reconstruction, New York: Oxford University, 1946, hal. 131.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
menimbulkan suatu hambatan bagi penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sebelum membahas lebih jauh tentang aparat penegak hukum sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam penanggulangan Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang Sistem Peradilan Pidana criminal justice
system dan posisi kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana. Purpura menyatakan Pengertian Peradilan Pidana sebagai berikut:
“Criminal justice focuses on the criminal law, the law of criminal procedure, and the enforcement of these laws, in an effort to treat fairly all
persons accused of a crime. Fairness in criminal justice means that an
accused person receives equeal tretment, impartiality, and the due
process of constitutional protections. In reality, criminal justice does not always live up to its ideals and is subject to much criticism as our society
strunggles to improve it.”
153
Uraian Purpura di atas menggambarkan bahwa peradilan pidana criminal justice mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara
materiil crimal law, hukum pidana formiil the law of criminal procedure, dan hukum pelaksanaan pidana the enforcement of criminal laws. Semua ini
ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan dalam
hukum pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama, netral, dan hak-haknya
153
Philip P. Purpura, Criminal Justice an Introduction, Boston: Butterworth-Heinemann, 1997, hal. 3-4.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
diberikan perlindungan oleh undang-undang. Namun demikian, secara realitas pelaksanaannya terkadang belum seperti yang diharapkan dan masih
banyak mengundang kritikan. Oleh karena itu, masyarakat harus mau berjuang untuk menggapai cita-cita keadilan dalam proses peradilan pidana
ini. Istilah sistem menurut Anatol Rapport, memberi pengertian sistem
adalah whole which function as a shole by vertue of the interdependence of its parts. Sedangkan menurut R.L. Ackoff, sistem sebagai entity, conceptual
or physical, which concists of interdependent parts.
154
Menurut Lili Rasjidi ciri suatu sistem
155
adalah: a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi
proses. b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu
sama lain saling bergantung interdependence of its parts. c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih
besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu the whole is more that the sum of its parts.
d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya the whole determines the nature of its parts.
154
Phillips DC, Holistic Thought in Social Science, California: Standford University Press, 1988, hal. 60.
155
Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 43-44.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu the parts cannot be
understood if considered in isolation from the whole. f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara
keseluruhan dalam keseluruhan sistem itu. Sistem peradilan dapat ditinjau dari beberapa segi. Pertama; segala
sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini, sistem peradilan akan mencakup – seperti diutarakan di muka – kelembagaan,
sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana, dan lain-lain. Kedua; sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili memeriksa dan memutus
perkara.
156
Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena di dalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan
pidana, yaitu suatu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.
157
Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut maka kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan dan pemasyarakatan, merupakan unsur-
unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya
tetap merupakan unser saja dari satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana.
156
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta: FH UII Press, 2005, hal. 14-15.
157
Marjono Reksodiputro, op. cit., hal. 1.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Bahkan kalau Sistem Peradilan Pidana diibaratkan mesin, maka kiranya kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah ibarat
sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut.
158
Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut dapat bekerja sebagai sistem adalah menanamkan 1 kesadaran sistem, 2 perilaku
sistem, dan 3 kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada akhirnya sistem dan unsur-unsurnya hanya dapat beroperasi melalui
tindakan manusia. Sejak kita mengetahui, bahwa manusia bukan robot dan mereka mampu membuat pilihan-pilihan, maka pembinaan kultur penting
sekali untuk dilakukan. Perilaku mereka yang mendukung unsur-unsur sistem tersebut perlu diusahakan untuk berangkat dari nilai dan persepsi yang sama
mengenai tujuan dan bekerjanya sistem.
159
Sistem Peradilan
Pidana Criminal Justice System adalah sistem
dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
160
Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun
keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta
mendapat pidana disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah
158
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial,Kemasyarakatan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hal. 222.
159
Ibid
160
Marjono Reksodiputro, op. cit., hal. 84.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya.
Dari uraian diatas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2. Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
161
Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana criminal justice system sebagai suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana criminal justice system ini
terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistemik ini
secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan input menjadi keluaran output yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana
criminal justice system ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku
161
Ibid.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
162
Sistem peradilan pidana criminal justice system mempunyai komponen- komponen, yaitu Kepolisin, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana.
163
Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi
adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka
polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal masyarakat,
melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini tentang upaya
penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam
mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan dan mengajukannya ke proses penuntutan di pengadilan.
164
162
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. Vii.
163
Ronald J. Waldron, The Criminal Justice System, New York: Harper Row Publisher, 1984, hal. 59.
164
Ibid., hal. 60.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Tugas jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pidana adalah melakukan penuntutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan. Fungsi ini
membawa jaksa penuntut umum ke dalam proses peradilan pidana dari penahanan ke pemidanaan. Sedangkan pengadilan melalui tingkatannya Lower Courts, Trial
Courts, Appellate Courts and Supreme Court merupakan lembaga yang fokus pada penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Proses yang berjalan di
pengadilan diharapkan mencapai tujuannya, yaitu menentukan batasan bersalah dan tidaknya terdakwa. Putusan akhir pengadilan ini akan membawa konsekuensi apakah
terdakwa masuk hukuman percobaan probation atau hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan correctional institution sebelum akhirnya terdakwa dibebaskan
kembali ke tengah kehidupan masyarakat.
165
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja memuat tentang hak dan
kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan
masing-masing institusi penegak hukum. Proses penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama
ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan
165
Ibid., hal. 61-63.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
pidana terpadu integrated criminal justice system, tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.
166
Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek tersebut
selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen
dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana
terpadu. Ironisnya meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeliminir
permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam
dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi
antar para penegak hukum. Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana
harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Dalam kenyataannya
masing-masing subsistem sering berkerja sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan untuk
memperoleh satu kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy. Kondisi ini
166
Paparan Jaksa Agung, op. cit., hal. 2.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
memiliki dampak yang sangat menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan.
167
Oleh karena itulah menurut Mardjono Reksodiputro
168
bahwa komponen-komponen sistem peradilan pidana ini harus bekerja secara
terpadu integrated untuk menanggulangi kejahatan. Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan
mendatangkan kerugian, yaitu: 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-
masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka; 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-
masing instansi ssebagai subsistem; dan 3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
Untuk memahami konsep sistem peradilan pidana terpadu maka V.N.Pillai menyatakan:
“It is necessary to be clear about what we mean by an “integrated” criminal justice administration. Greater Integration does not envisage the
entire system working as one unit or department or as different sections of one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of unity in
diversity, some what like that under which the armed forces function. Each of three main armed services, the army, navy and airforce, in most states has its
167
Philip P. Purpura, op. cit., hal. 5.
168
Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Pemikiran Awal. dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua,
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, 1997, hal. 142.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
own distintive roles in the defence of a country, each its own operational methods. However, in times of need all of them have a common purpose and
work towards a common objective. They are able to combine their operations to achive this end without conpromissing their individual roles. Perhaps the
war against crime could be considered in a somewhat similar light as a combined operation by all the branches of the criminal justice system, each
component playing a specific part with its own personnel and its own resources, but concerned essentially with carrying out over-all criminal
policies for a common national objective.”
169
Berdasarkan uraian Pillai di atas, maka makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang
bekerjasama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan
sebagai kerjasama dan koordinasi antara sub sistem yang satu dengan sub sistem lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap sub sistem dalam
sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi anggota
dan sumberdaya yang ada di lembaga masing-masing. Namun, aktivitas sub sistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy.
Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi supaya setiap elemen dapat meningkatkan efektivitas kerjanya dan sekaligus
bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk mencapai tujuan bersama.
169
V.N. Pillai, The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity: dalam Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, Tokyo, UNAFEI, 1982, hal. 20.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen lainnya harus saling berhubungan secara structural dan mempertahankan
kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin
dicapai bersama, maka sistem peradilan pidana terpadu tidak akan dapat menanggulangi kejahatan.
170
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan sistem yang dipergunakan untuk mengkaji peradilan pidana ini mempunyai implikasi sebagai berikut:
171
1. Semua sub sistem akan saling tergantung interdependent, karena produk output suatu sub sistem merupakan masukan input bagi sub
sistem lainnya; 2. Pendekatan sistem mendorong adanya konsultasi dan kerjasama antar
sub sistem yang akhirnya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi sistem tersebut secara keseluruhan;
3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub sistem akan berpengaruh pada sub sistem lainnya.
Kepolisian yang merupakan salah satu komponen dari Sistem Peradilan Pidana, sering disebut sebagai the arm of the law tangan hukum,
tetapi ia melaksanakannya dari suatu posisi yang unik, yaitu sebagai pekerjaan yang bergelimang dengan fakta dan realita bukan dengan hukum
170
Harkristuti Harkrisnowo, “Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu”. Pidato Dies Natalis ke-57 PTIK Dalam Rangka Wisuda Sarjana Ilmu
Kepolisian Angkatan XXXVIII Arygya Hwardaya, Jakarta: 2003, hal. 4.
171
Ibid.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
semata. Adanya perbedaan posisi yang cukup mendasar antara kepolisian dan komponen lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana menyangkut obyek
dan metodologi kerja. Dalam istilah yang sekarang sudah menjadi populer, polisi disebut “penegak hukum jalanan” sedangkan jaksa dan hakim masuk
dalam kategori “penegak hukum gedongan.” Sebagai penegak hukum jaksa dan hakim bekerja dan berhadapan dengan peraturan sedangkan polisi lebih
berurusan dengan kenyataan. Jaksa bergumul dengan hukum, sedangkan polisi dengan kenyataan telanjang brute facts.
172
Sebagai ujung tombak dari Sistem Peradilan Pidana, kepolisian dalam melaksanakan tugasnya selalu berinteraksi dengan masyarakat. Karena
posisinya yang unik itu, polisi langsung menerima dampak dari lingkungan tempatnya bekerja. Antara polisi dan rakyat, penjahat, orang baik-baik tidak
ada tirai pembatas. Konsekuensi logis sebagai penegak hukum yang berada langsung di tengah masyarakat, mengakibatkan polisi menjadi pusat
perhatian dan sorotan masyarakat bahkan kecaman sudah termasuk makanan sehari-hari.
Dari kedekatan eksistensi polisi dengan masyarakat sebenarnya dapat diambil manfaatnya sebagai sarana untuk memperlancar tugas polisi dalam
urusan pencegahan kejahatan. Apabila polisi dapat merangkul masyarakat dengan citranya maka keberhasilan kerja polisi tidak bisa terbantahkan lagi,
karena polisi dan masyarakat merupakan suatu konfigurasi yang tak dapat
172
Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 221.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
dipisahkan. Dalam hal ini berlaku kerjasama yang saling menguntungkan simbiosis mutualisme, karena di satu sisi polisi dapat menjalankan tugasnya
dengan baik dan masyarakat mendapatkan rasa aman dari keberhasilan
keberhasilan tugas polisi.
Menurut Mardjono Reksodiputro, dengan mengacu pada gambaran ideal dan publik, pada intinya nenyatakan bahwa peranan utama dari polisi
adalah sebagai penegak hukum pidana, di samping itu sebagai peranan tambahan adalah juga sebagai penjaga ketertiban. Karena makin
kompleksnya masyarakat perkotaan maka fungsi petugas polisi juga bertambah, polisi juga harus menegakkan peraturan administratif selain itu
terdapat tugas-tugas lanjutan tambahan; yaitu melakukan kegiatan pencegahan kejahatan preventif dan pre-emtif melalui kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan. Akhirnya disimpulkan, bahwa fungsi dan tugas polisi yang dimulai sebagai penjaga keamanan watchman yang pasif dan reaktif telah
berubah menjadi pemberantas kejahatan” crime fighter yang agresif dan reaktif serta penegak hukum law enforcer yang agresif dan pro-aktif.
173
Sedangkan menurut Parsudi Suparlan,
174
fungsi polisi adalah sebagai berikut:
173
Mardjono Reksodiputro, Program Kajian Ilmu Kepolisian Suatu Refleksi, Makalah disampaikan pada Diskusi dengan mahasiswa Angkatan I Kajian Ilmu Kepolisian pada Program
Pascasarjana UI, Jakarta: 6 Agustus 1997, hal. 2.
174
Chryshnanda DL, Pemolisian Komuniti Communitu Policing Dalam Menciptakan Keamanan Dan Ketertiban dalam Parsudi Suparlan, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia,
Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004, hal. 99.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
1 Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan
dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara yang diwakili oleh pemerintah, dan antar individu
serta antar masyarakat; 2 Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat,
warga masyarakat dan negara; 3 Mengayomi warga masyarakat, masyarakat, dan negara dari ancaman
dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan. Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif individu,
masyarakat dan negara. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik konklusi bahwa Fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara
keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan: “Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Tujuan Polri dalam Pasal 4 dijelaskan: “Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Sedangkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diatur dalam Pasal 13 adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum, dan c.
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas pokok Polri sebenarnya secara universal dapat dijabarkan dalam fungsi-fungsi yaitu: represif, preventif dan pre-emptif. Dahulu istilah
untuk pre-emptif adalah pembinaan masyarakat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memasukkannya ke dalam tugas Pasal 14 ayat 1c yang
berbunyi: membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum, masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundangan. Istilah “pembinaan masyarakat” sering pula menggunakan “preventif tidak langsung” dan “pre-emptif” yang tujuannya
adalah agar anggota masyarakat menjadi “law abiding citizen”.
175
175
Awaloedin Djamin, Eksistensi Polri dan Polisi Pamong PrajaPPNS dalam Perspektif Sejarah Nasional RI Untuk Mewujudkan Budaya Hukum, Disampaikan dalam Semiloka Regional
Polisi Pamong PrajaPPNS di Lingkungan Pemerintah Daerah dan Fungsionaris Hukum lainnya, tentang: Revitalisasi dan Pemberdayaan Polisi Pamong PrajaPenyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Daerah di Era Otonomi Daerah dlam Supremasi Hukum”, Padang: 27 Maret 2002, hal. 6.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Fungsi Kepolisian dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat, adalah luas sekali. Karena itu, pengaturan keikutsertaan instansi pemerintah lainnya serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan
secara tepat, agar keamanan dan ketertiban masyarakat tercipta kondisi dinamis sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan
nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
176
Dalam bidang represif, tugas Polri menyangkut tentang wewenang penyidikan yang dilakukan oleh Unit Reserse dengan pejabat Polri tertentu
yang ditetapkan oleh Kapolri. Dalam melaksanakan tugas di bidang represif, peran Polri sangat besar, karena peran tersebut sangat dominan
dibandingkan dengan peran instansi lainnya. Polri terlibat kurang lebih 80 dan 20 oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil PPNS. Di bidang preventif
walaupun anggota Polri sudah cukup sesuai ration PBB 1:350 atau 1:400, anggota Polri terlibat kurang lebih 50. Selebihnya, mengandalkan
keberadaan pengamanan swakarsa, dari ronda kampung Siskamling sampai pengamanan industri industrial security di sektor modern.
Sedangkan di bidang pembinaan masyarakat atau pre-emptif Polri terlibat kurang lebih 20. Selebihnya menjadi tanggung jawab instansi pemerintah
terkait seperti Diknas, Agama, organisasi kemasyarakatan terutama
176
Ibid.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
pemuda, wanita, tokoh-tokoh masyarakat, terutama yang menjadi panutan di lingkungannya. Media massa, baik cetak maupun elektronik akan sangat
berperan di bidang preventif dan pembinaan masyarakat.
177
Untuk mendapatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat banyak lembaga kepolisian memiliki motto, seperti di Amerika Serikat “to Protect and
to Serve”; di Jerman “Be in Frend und Hilfer” dan sebagainya. Semuan lembaga kepolisian menyadari, bahwa betapapun cukup profesional
anggotanya, lengkapnya peralatan dan anggaran, fungsi pemolisian tidak mungkin diselenggarakan oleh lembaga kepolisian saja, tanpa bantuan dan
partisipasi masyarakat.
178
Dapat dikatakan bahwa kepolisian mempunyai tanggung jawab yang besar dan juga sangat menentukan keberhasilan sistem peradilan pidanan
secara keseluruhan. Interaksi langsung polisi dengan masyarakat bisa membawa pengaruh yang baik, maupun yang buruk. Oleh karenanya
dibutuhkan pendekatan yang koordinatif antara kepolisian dengan komunitas masyarakat sehingga bisa saling memahami dan bisa menjadi salah satu
strategi kepolisian dalam penanggulangan kejahatan. Sherman et.all, sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Jordan,
melakukan penelitian di United Kingdom mengenai pengkategorian strategi kepolisian dalam rangka penanggulangan kejahatan. strategi ini dilakukan
mulai dari istilah “lebih banyak polisi, lebih sedikit kejahatan terjadi”, sampai
177
Ibid. hal. 8.
178
Ibid. hal. 9.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
pada istilah yang lebih popular “problem oriented policing”. Setiap strategi, diberikan bahasan kesimpulan yang diambil setelah melakukan hipotesis.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada table berikut ini.
179
Tabel 11 : Possible Police Strategis for Reducing Crime
NO STRATEGY UNDERLYING HYPOTHESIS SUMMARY
OF RESEARCH
1. Peningkatan jumlah
polisi Semakin banyak jumlah polisi
diperkotaan, maka makin sedikit terjadinya kejahatan
Pengaruh dari keseluruhan jumlah ini tidak terlalu jelas
2. Patroli acak random
patrol Semakin banyak patroli
dilakukan maka semakin merasa polisi hadir dimana-
mana untuk melakukan pencegahan kejahatan
Tidak efektif
3. Peningkatan
penggunaan kewenangan polisi
untuk melakukan penangkapan
Semakin banyak penangkapan oleh polisi sebagai respon
terhadap pelaporan masyarakat atau hasil dari pengawan
terhadap berbagai jenis pelanggaran, maka akan dapat
mengurangi kejahatan Efektif untuk beberapa
tindakan kekerasan dalam rumah tangga domestic
violence, namun kontraproduktif untuk
kenakalan remaja.
4. Kontak dengan
masyarakat umum Lebih sering kuantitas dan lebih
baiknya kualitas kontak polisi dengan warga masyarakat,
maka akan dapat mengurangi terjadinya kejahatan
Tidak efektif secara umum, kecuali tujuan yang ingin
dicapai adalah untuk meningkatkan legitimasi
kepolisian dengan masyarakat
5. Kontak secara
informal dengan anak-anak
Kontak informal antara polisi dengan anak-anak muda, maka
akan meminta mereka untuk tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang menyakiti, melukai orang lain
Tidak efektif secara umu
6. Respon yang cepat
terhadap panggilan darurat
Semakin cepat kedatangan polisi di tempat kejadian, maka
akan mengurangi terjadinya kejahatan
Penelitian di US menunjukkan tidak efektif.
Sedangkan di UK menunjukkan keberhasilan
untuk menyelesaikan kasus pencurian
7. Target high profile
kejahatan atau pelaku kejahatan
Semain tinggi upaya polisi melakukan penangkapan untuk
kejahatan dan pelaku yang Penargetan terhadap
terjadinya pengulangan oleh pelaku kejahatan
179
Peter Jordan, Effective Policing Strategies for Reducing Crime. Dalam Reducing Offending: An Assessment of Research Evidence of Ways of Dealing with Offending Behaviour:Peter
Goldblatt dan Chris Lewis Ed, London: Home Office, 1992, hal. 65.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
beresiko tinggi, maka akan lebih menurunkan jumlah
kejahatan kekerasan atau kejahatan yang serius
menunjukkan bermanfaat tetapi tidak efektif dalam
target perdangangan obat- obatan terlarang.
NO STRATEGY UNDERLYING HYPOTHESIS SUMMARY
OF RESEARCH
8. Patroli Langsung
Semakin tepat kehadiran patroli polisi di tempat-tempat hiburan
dan di waktu yang tepat dari aktivitas kejahatan, maka akan
mengurangi terjadinya kejahatan di tempat-tempat dan
waktu-waktu tersebut. Penelitian di US
menunjukkan efektif
9. Penargetan terhadap
repeat victims Kejahatan bisa direduksi
dengan cara memberikan perlindungan kepada korban
dari terjadinya kejahatan Penelitian di UK
menunjukkan bahwa hal ini memberikan pengaruh yang
berarti untuk jenis-jenis kejahatan tertentu
10. Kerjasama antar
lembaga Polisi bisa melakukan
pencegahan kejahatan dengan bekerjasama dan tukar
informasi dengan lembaga- lembaga lainnya yang punya
otoritas, tetapi dengan tujuan pencapai usaha nasional dalam
penanggulangan kejahatan Riset di UK membuktika
bahwa hal ini merupakan strategi kerja yang sangat
berguna bagi kepolisian
11. Masalah yang
berorientasi ketertiban roblem
oriented policing Jika polisi bisa mengidentifikasi
pola-pola kejahatan dan menganalisis permasalahan
mendasar di dalam masyarakat, maka ini adalah
solusi yang dapat dimunculkan untuk mereduksi julah kejadian
kejahatan Konsep dasar dari
pendekatan ini telah dicoba pada skala kecil, tetapi
masih ditunggu evaluasi secara resmi atas
pengaruhnya terhadap kejahatan dalam
penerapannhya pada skala yang lebih luas.
Kesimpulan penelitian di atas menunjukkan beberapa strategi dapat dikatakan efektif dan sebagaian tidak efektif.
180
Strategi yang efektif adalah
180
Peter Goldblatt Chris Lewis Ed, Reducing Offending: An Assessment of Research Evidence on Ways of Dealing with Offending Behaviour, London: Home Office, 1992, hal. 129.
Beberapa strategi tidak menunjukkan hasil yang efektif dalam mereduksi kejahatan, misalnya, 1 patroli secara acak tidak menandai adanya pengaruh di level-level kejahatan; 2 peningkatan jumlah
penangkapan dan pengenaan tuduhan yang keras, tidak membawa pengaruh yang nyata terhadap level kejahatan, dan 3 Penangkapan terhadap anak-anak nakal dan tuntutan terhadap serangan-serangan
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
1 penargetan terhadap oelaku yang sama; 2 penargetan terhadap korban yang sama; 3 patroli polisi secara langsung di tempat-tempat hiburan.
Strategiyang lainnya mungkin mempunyai nilai, tetapi saat ini belum cukup jelas memberikan rekomendasi tertentu bagi kepolisian. Beberapa strategi
yang harus dan bermanfaat untuk dipelajari lebih lanjut adalah: 1 partisipasi masyarakat di tempat rawan kejahatan; 2 peningkatan legitimasi polisi
dengan masyarakat; 3 strategi penanggulangan tindak kekerasan dalam rumah tangga; 4 menjaga ketertiban; dan 5 pemecahan masalah yang
berorientasi ketertiban. Riset di Chicago menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk
melibatkan keikutsertaan masyarakat yang berada di wilayah rawan terjadinya kejahatan, dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan
peningkatan legitimasi kepolisian dengan masyarakat melalui usaha mereduksi ketakutan dan kecurigaan masyarakat terhadap polisi termasuk
penghargaan serta sikap hormat terhadap masyarakat dan pelaku kejahatan, sangat berpengaruh positif bagi peningkatan kemauan kooperatif masyarakat
dengan polisi, dapat menekat kejahatan yang serius, dan dapat mereduksi resedivis untuk domestic violence . Pengalaman di US terhadap
penangkapan terhadap orang yang dicurigai melakukan kekerasan dalam rumah tangga, memunculkan saran bahwa hasilnya yang dicapai mempunyai
keterkaitan satu sama lain, misalnya tersangka akan bersikap baik bila
ringan, lebih seperti melukai perasaaan mereka kembali, khususnya dimana proses yang berjalan terlalu legalistik.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
mereka punya status pekerjaan dalam masyarakat, dan akan bersikap buruk ketika tidak ada yang mereka bisa lakukan. Ketika tersangka mempunyai
pekerjaan, maka dapat mereduksi resiko tersangka untuk melkukan kejahatannya kembali.
181
Order maintenance dimaksudkan dalam konteks ini adalah mengkonsentrasikan kinerja polisi di daerah yang kecil, tetapi sering terjadi
berbagai jenis kejahatan, dan kebijakan yang dilakukan sangat ketat. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa pelaksanaan strategi ini secara keseluruhan oleh
polisi dengan menggunakan kekerasan. Kebijakan ini sering disebut zero tolerance. Strategi memelihata ketertiban order maintenance menunjukkan
bukti yang kuat dapat mereduksi kejahatan-kejahatan yang serius untuk jangka pendek. Namun masih terdapat tanda tanya besar atas kemampuan
polisi untuk membedakan antara tindakan yang tegas dengan tindakan yang kasar, sehingga bisa mengarah terjadinya krisis hubungan antara polisi dan
masyarakat.
182
Problem Oriented Policing POP mengarahkan kegiatan-kegiatan dan menjadi perhatian bagi polisi untuk memecahkan persoalan mendasar yang
ada di dalam kehidupan masyarakat. Goldstein menyatakan bahwa pelayanan polisi harus diorientasikan untuk menciptakan kondisi dan
menyediakan sumber daya untuk memecahkan masalah-masalah secara rutin. Petugas kepolisian harus mengetahui issu-issu mendasar masyarakat
181
Peter Jordan, op. cit. hal. 71.
182
Peter Jordan, op. cit. hal. 72.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
setempat, membangun hubungan dengan masyarakat, dan mempunyai informasi untuk membantu memahami sifat-sifat dasar dari permasalahan
pokok tersebut.
183
Berdasarkan uraian di atas, maka kerjasama pihak kepolisian dengan masyarakat dalam rangka penanggulangan kejahatan sangat penting
dilakukan. Pandangan masyarakat mengenai baik atau buruknya citra polisi dalam penegakan hukum, menjadi faktor yang menentukan berhasilnya
upaya penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, polisi harus membangun kerjasama yang kooperatif dengan pendekatan yang persuasif kepada
masyarakat, sehingga polisi bukan momok yang menakutkan bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak ragu-ragu lagi untuk
membantu polisi dengan melaporkan kejahatan-kejahatan yang terjadi. Untuk mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang
berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat Kamtibmas dan pencegahan terjadinya tindak kejahatan terdapat beberapa gaya
pemolisian.
184
183
Ibid, hal. 73.
184
Lihat Chryshnanda DL, op. cit., hal. 100-101.Gaya Pemolisian bermacam-macam atau bervariasi yang secara garis besar dapat dibagi, gaya yang pertama adalah pemolisian konvensional
ada yang menyebut sebagai pemolisian tradisional yang menekankan pada kepolisian dan aktivitas kepolisian dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan ketertiban. Jenis-jenis pemolisian yang
berada dalam kelompok ini adalah pemolisian reaktif reactive policing, pemolisian ala pemadam kebakaran fire brigade policing, pemolisian para militer paramilitary policing, pemolisian tipe
putar nomor telepon dial-a-cop policing, pemolisian reaksi cepat rapid response policing, pemolisian profesianal dan pemolisian berorientasi penegakan hukum enforcement-oriented policing.
Kedua adalah pemolisian modern adalah antitesa dari pemolisian konvensional, yang mempraktekkan gaya pemolisian ini sadar sepenuhnya akan keterbatasannya dalam berbagai hal guna mencapai tujuan-
tujuan kepolisian pada umumnya. Untuk itu yang dilakukan adalah penuntasan masalah problem solving policing, kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pelayanan atau jasa-jasa publik public
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Di Indonesia, setelah Polri dinyatakan keluar dari ABRI pada tanggal 1 April 1999 memiliki gaya “Pemolisian Komuniti Community Policing”.
185
Community Policing CP adalah gaya pemolisian yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya. Itu berarti meningkatkan resiprositas
antara polisi dan masyarakatnya. Dengan demikian masyarakat tidak dianggap sebagai obyek pemolisian, tetapi merupakan co-producer dari
pelayanan. Pemolisian tidak dilihat dari kacamata polisi, tetapi dari masyarakat sebagai co-producer itu. Polisi tidak menentukan pelayanan apa
yang harus dilakukan dan ingin dilakukan, tetapi masyarakatlah yang menentukan sebagai stakeholder. Perkembangan CP di Amerika dimulai dari
service policing, pemolisian dengan mengandalkan pada sumber daya setempat resource based policing dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat community policing.
185
Satjipto Rahardjo, Tentang Community Policing di Indonesia”, disampaikan pada Seminar “Polisi antara Harapan dan Kenyataan”, diselenggarakan oleh Sespati Polri, Jakarta, 2 Februari 2001.
Lihat juga Majalah Rastra Sewakottama Edisi No.1 Tahun 2005, hal. 13. Sejarah Polisi lebih banyak dimulai dari konfigurasi militer. Tampilan Polisi yang otentik kurang-lebih baru terjadi lewat kelahiran
The London Metropolitan Police” Robert Peel pada awal abad ke-XIX 1829. Pada saat itu mulai muncul kesadaran akan karakteristik Polisi dan Kepolisian mengambil jarak dari cara-cara militer
looks as much as civilian as possible, sehingga terjadilah proses “moving away from military configuration, engage in serious heart-to-heart communication with the entire community”. Sejak saat
itu Polri menjadi mandiri dengan paradigma barunya mengarah menjadi Polisi Sipil yang mendekonstruksi pekerjaan Polisi menjadi suatu kekuatan publik yang sejauh mungkin mengambil
jarak dari “suatu force yang berbasis power”. Lihat juga Majalah Natralia, Edukasi Publik Tentang Hukum dan Kepolisian, Edisi 1 Maret 2007, hal. 20. Dekonstruksi menuju filsafat perpolisian sipil
antara lain terjadi melalui konsep perpolisian yang bukan diukur dari banyaknya orang yang ditahan, diproses dan masuk penjara. Keberhasilan Polisi diukur pada tingginya tingkat keamanan dan
rendahnya insiden kejahatan. Perpolisian sipil lebih dekat ke “Teori Altruisme” daripada “Teori Hukum”. Teori Hukum adalah konsep konvensional, dimana masyarakat didorong mencari bantuan ke
hukum turn to law for help. Sebagai akibatnya: 1 terjadi dramatisasi dari sifat jahat perbuatan; 2 Ekskalasi permusuhan hostility; 3 Hukum cenderung lebih membuat stigma dan melumpuhkan
disabling; 4 Pemulihan keadaan menjadi kurang. Sebaliknya dalam “Teori Altruime” diunggulkan kontrol sosial oleh masyarakat, dimana orang mencari orang lain untuk suatu pertolongan. Setiap
anggota masyarakat menjadi penjaga bagi anggota yang lain. Yang kemudian terjadi adalah: 1 lebih mengusahakan untuk menolong sendiri; 2 dekriminalisasidan 3 vigilantisme yang terorganisasi.
Perkembangan akan mengarah kepada rekonseptualisasi “kententeraman umum public order”. Konsep yang dominan adalah mengusahakan ketenteraman dengan menambah kekuatan Polisi. Ini
adalah kententeraman berbasis hukum law based order. Konsep baru yang ditawarkan adalah menjadikan Polisi kurang dibutuhkan. Ketenteraman disini dijaga oleh masyarakat sendiri.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
konsep problem-oriented policing POP. Pemolisian tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan.
Suksed dari POP bukan dalam menekan angka kejahatan, tetapi ukurannya adalah manakala kejahatan tidak terjadi. Dari situ terjadi desentralisasi
pemolisian kepada lingkungan atau satuan-satuan kehidupan neighborhood di masyarakat. Dengan cara itu juga ongkos yang harus dikeluarkan bisa
ditekan. Dimasa-masa mendatang tugas Polri menjadi semakin berat,
disebabkan oleh berbagai faktor, yang menonjol diantaranya adalah: 1 kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi; 2 globalisasi; 3
demokratisasi dan perlindungan HAM. Tugas-tugas tersebut lebih menuntut kepekaan intelektual daripada fisik, seperti tuntutan perpolisian protagonis
dan selalu berada selangkah di depan kemajuan bangsanya. Polri tidak dapat menghindar dari lingkungan yang berubah, melainkan mengembangkan
suatu tipe perpolisian yang protagonis bukan antagonis, karena polisi yang konfrontatif dengan rakyatnya adalah sebuah anomali.Di sisi lain, berbagai
tuntutan tersebut barang tentu tak mungkin dihadapi dan dipikul oleh Polri saja, tanpa pengertian, dukungan dan bantuan seluruh masyarakat.
Masyarakat tidak dapat hanya menuntut Polri, tanpa bersedia untuk membayar “the price of safety”.
186
186
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Negara RI Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia, Orasi Ilmiah disampaikan pada ulang tahun Sekolah Staf dan
Pimpinan Polri ke-33, Lembang-Bandung, 1998, hal. 11.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Dalam penegakan hukum di lapangan, struktur hukum, para penegak hukum, sering tidak berpihak kepada korban perempuan, bukan saja karena
ketidakpahaman dan ketiadaan perspektif perempuan di kalangan para penegak hukum, tetapi juga struktur dan prosedur yang ketat menghalangi
para penegak hukum untuk membuat terobosan dan interpretasi baru, meskipun demi persoalan kemanusiaan sekalipun. Seharusnya meski masih
ada banyak kekurangan pada produk hukum tertulis, sesungguhnya keadilan ada dalam hati nurani sang penegak hukum, yang dalam menginterpretasi
situasi seyogyanya beranjak lebih jauh dari sekadar bersikap legalistik.
187
Keberlangsungan sebuah struktur memang mensyaratkan adanya ketaatan pada aturan dan prosedur. Namun sebenarnya lebih jauh dari itu,
persoalan dapat dicari dalam paradigma atau cara pandang para penegak hukum itu dalam memandang hukum. Pemikiran yang legistis legalistic,
yang dianut oleh sarjana hukum pada umumnya, terutama yang berkecimpung dalam bidang hukum pidana, menyebabkan sukarnya mereka
memberi interpretasi lain atau melakukan terobosan-terobosan yang dibutuhkan.
Aparat tidak jarang menganggap kasus yang dilaporkan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai kasus sepele, atau sebagai
sekedar “konflik pribadi”, yang tidak memenuhi standar untuk ditangani secara hukum. Tidak jarang aparat membujuk keluarga korban untuk
187
Sulistyowati Irianto, op.cit., hal. 32.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
mencabut saja laporannya karena berbagai alasan: misalnya lebih baik masalah didamaikan dengan cara kekeluargaan, karena proses pengadilan
yang lama dan berbelit-belit, dan berbagai alasan lainnya. Perempuan korban kekerasan sangat sulit memperoleh keadilan, karena internalisasi nilai-nilai
budaya yang berpihak pada pelaku. Sementara itu, masyarakat umum dan aparat penegak hukum juga tidak menunjukkan keberpihakan pada korban.
Penegak hukum juga sering diwarnai oleh bias budaya yang menguntungkan pelaku. Penegak hukum dapat mengusulkan agar kasus
diselesaikan secara kekeluargaan, atau justru mengusulkan hukuman yang ringan dengan alasan pelaku adalah kepala keluarga dan seluruh anggota
keluarga tergantung secara ekonomi kepadanya. Untuk kasus-kasus yang diselesaikan secara pidana banyak kendala yang menghadang, misalnya
pihak kepolisian yang menyarankan korban untuk berdamai dan polisi akan memproses apabila laporan dilakukan lebih dari tiga kali.
188
Lemahnya barang bukti karena jarak antara penganiayaan dan pelaporan sudah lama
sehingga hasil visum et repertum tidak mendukung. Persepsi aparat penegak hukum yang memandang Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai
188
Lihat Koran Suara Indonesia Baru, Edisi 18 Mei 2007, hal. 3., yang menyatakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga enggan melaporkan kasusnya ke polisi disebabkan takut jiwanya
terancam, tidak diberi nafkah, dianggap sebagai aib keluarga, berakibat perceraian dan ironisnya lagi ada sebagian polisi yang beranggapan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah masalah keluarga
sehingga disarankan untuk berdamai saja.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
persoalan pribadi yang bersangkutan sehingga harus diselesaikan oleh yang bersangkutan bukan oleh aparat.
189
Kendala lain
yang dianggap merugikan penanggulangan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah persepsi aparat penegak hukum
yang memandang Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan penganiayaan yang sungguh-sungguh sehingga akan berpengaruh pada tuntutan pidana
yang ringan dan putusan hakim yang akan memutus lebih rendah dari yang dituntut oleh jaksa. Selain itu, belum adanya kesepahaman anatara aparat
hukum dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender turut menjadi kendala. Sebagai contoh, penerapan pasal yang tidak berlapis di tingkat
kepolisian akan berdampak pada penuntutan dan putusan sementara fungsi jaksa untuk memberi petunjuk pada saat pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan tidak berjalan, semua itu akhirnya berdampak pada hutusan hakim yang membebaskan pelaku.
190
Perbedaan persepsi antar penegak hukum juga dapat menjadikan hambatan bagi penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”, peran dan kualifikasi pendamping korban dan pengelolaan dana denda yang harus dibayarkan pelaku. Aparat kepolisian di Poltabes Medan
mengakui tidak adanya kesatuan persepsi penegak hukum dalam menyikapi masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, terutama mengenai
189
Evarisan, Pendampingan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga di Semarang, Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian: Peta Ketidakadilan Gender di Indonesia, Semarang: PSW Unika
Soegijaparanata, 2004, hal. 7
190
Ibid.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
diperkenankannya satu saksi dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pihak Kejaksaan maupun Hakim selalu berpatokan pada Kitab Undang-
Undang Acara Pidana KUHAP yang memerlukan lebih dari satu saksi dalam kasus tindak pidana. Tidak jarang hal ini menjadi penghambat upaya
penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena dengan alasan ini perkara tidak bisa dilanjutkan ke persidangan.
191
Selain itu sikap hakim juga sangat berpihak kepada laki-laki. Hakim yang mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk memutuskan
hukuman apa yang tepat bagi pelaku, dirasakan lebih membela dan memihak pihak laki-laki. Hal ini secara implisit hakim menegakkan budaya patriarki
sehingga meskipun hukumnya sudah ada dan secara tegas melarang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga namun pada kenyataannya ketika
sampai di pengadilan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim hanya hukuman percobaan. Artinya secara tidak langsung tidak ada upaya dari aparat
penegak hukum untuk menegakkan hukum dengan maksimal, meskipun diakui bahwa dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga masalah sanksi atau penghukuman tidak dilihat sebagai suatu balasan terhadap pelaku melainkan juga harus melihat pada manfaat
yang diberikan kepada korban, karena dalam Undang-Undang Penghapusan
191
Wawancara dengan AKP Sitiani Purba, SH, loc.cit.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
Kekerasan Dalam Rumah Tangga korban tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pertimbangan dalam penghukuman.
192
Sementara itu di lapangan, tantangan juga berat. Johny Arifin dari Ikatan Advokat Indonesia IAI menuturkan pengalamannya mendampingi
korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hakim menolak pendampingan itu dengan alsan yang disebut di dalam Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai pendamping hanya teman, kerabat, pekerja sosial, dan polisi. Karena itu, dia mengusulkan agar
ketentuan itu diamandeman atau diubah sehingga advokat juga bisa mendampingi. Lain halnya pengalaman di lapangan Astity Sitanggang dari
Ikatan Advokat Indonesia IAI mengatakan, meski ada kesepakatan di dalam organisasi untuk memberikan bantuan hukum gratis, nyatanya tidak banyak
yang melakukan. Selain itu ada anggapan bantuan untuk korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah pekerjaan perempuan karena korbannya
kebanyakan perempuan.
193
Untuk menghindari
perbedaan persepsi tersebut diperlukan segera payung kebijakan berupa aturan pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun
2004 yang hingga kini belum ada. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kesalahan persepsi maupun perbedaan interpretasi dari aparat
penegak hukum. Misalnya perlu dibuat kesamaan dengan apa yang dimaksud dengan tenaga pendamping korban dan siapa-siapa yang
192
Ibid.
193
Kebijakan Publik Belum Memihak Perempuan, Kompas, 24 Desember 2007, hal. 12.
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
termasuk di dalamnya. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk membuat lebih jelas aturan yang sudah ada sehingga tidak mengakibatkan perbedaan
penafsiran dalam implementasi dari substansi hukum tersebut bagi aparat penegak hukum.
Masalah penerimaan kompensasi dalam bentuk uang maupun barang bagi aparat juga menimbulkan pandangan dan sikap sebagian besar anggota
masyarakat, bahwa dalam berurusan dengan kepolisian kalau mau cepat dilanjutkan harus ada kompensasinya. Ada kasus-kasus dimana aparat
menunjukkan keberpihakan pada pelaku, apalagi bila ‘uang’ ikut bermain dalam proses yang ada. Pelaku dengan mudah dapat dikeluarkan dari
tahanan bila ia mampu membayar. Bahkan korban yang mengalami ketidakadilan masih harus memperoleh tekanan-tekanan untuk ikut
membayar pencabutan kasus. Di lain pihak berkaitan dengan kenyataan bahwa di lapangan dalam penanganan kasus, sering kali aparat kepolisian
harus mengeluarkan dana operasional dari kantongnya sendiri atau terpaksa dari pihak yang melapor.
Dalam lingkungan Poltabes Medan, perihal kompensasi tidak dipungkiri terjadi dalam beberapa kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
akan tetapi aparat menganggap hal tersebut bisa dibenarkan asalkan tidak menimbulkan komplain dari masyarakat. Kompensasi dari masyarakat
dianggap sebagai membayar kepuasan setelah dilayani kasusnya dengan baik hingga selesai atau sebagai ucapan terima kasih yang tidak membebani
Anda Nurani : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, 2008 USU Repository © 2008
masyarakat. Adapun jumlah kompensasi yang diterima diserahkan oleh kebijakan masyarakat sendiri. Dalam hal untuk menutupi anggaran yang
kurang untuk biaya perkara, aparat kepolisian di unit pelayanan perempuan dan anak Sat Reskrim Poltabes Medan bekerja sama untuk saling menutupi
anggaran dengan unit lainnya di kesatuan Reskrim. Cara lain yang digunakan untuk mengantisipasi kurangnya biaya operasional dengan cara menaikkan
prediksi jumlah kasus pada tahun berikutnya agar dapat menutupi anggaran operasional pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk tahun yang
akan datang.
194
C. Budaya Hukum