GAMBARAN UMUM TENTANG AKTIVIS GENDER INDONESIA

dan perempuan femaleness. Proses pertumbuhan anak child menjadi seorang laki- laki being a man atau menjadi seorang perempuan being a woman, lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual love-making activities, selebihnya digunakan istilah gender. 42 Untuk lebih jelasnya, penulis akan membaginya ke dalam sebuah tabel sebagai berikut: Perbedaan Utama 43 Jenis kelamin sex Gender 1. Jenis kelamin bersifat alamiyah 2. Jenis kelamin bersifat biologis. Ia merujuk kepada perbedaan yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dalam fungsi kelahiran 3. Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama di mana saja 4. Jenis kelamin tidak bisa berubah 1. Gender bersifat sosial-budaya dan merupakan buatan manusia 2. Gender bersifat sosial-budaya dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas- kualitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin. 3. Gender bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari 42 Ibid. h.36. 43 Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2001 cet.I, h.4. satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. 4. Gender dapat dirubah 3. Kesetaraan Gender, Keadilan Gender dan Pengarusutamaan Gender Adapun kesetaraan gender dapat diartikan dengan suatu ”suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.” 44 Sedangkan keadilan gender adalah ”kondisi dan perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga untuk mewujudkan kondisi-kondisi tersebut, diperlukan langkah-langkah yang bertujuan menghentikan ketidakadilan yang secara sosial dan dari sisi sejarah menghambat perempuan dan laki-laki berperan dan menikmati hasil pembangunan dengan setara.” 45 44 Zaitunah subhan, peningkatan Kesetaraan Dan Keadilan Jender Dalam Membangun Good Governance, Jakarta: el- Kahfi, 2002, h.7 45 Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 1999. Istilah yang mucul berikutnya adalah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming sebagaimana tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender yang berarti ”suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan pengalaman, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, program, peraturan serta anggaran dalam segala bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, dan kemasyarakatan.” 46 B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia 1. Isu-Isu Utama Dalam Islam Yang Dijadikan Mindset Pergerakan Aktivis Gender Kaum feminis menganggap bahwa kaum muslimat saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat. 47 Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al- Qur’an yang dianggap mengundang bias gender, diantaranya: 1 tentang kesaksian perempuan dalam hutang piutang QS. al- Baqarah2: 282, 2 tentang hak waris perempuan 46 Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, Tentang Pengarusutamaan Gender. 47 M. Shiddiq al-Jawi, “menghancurkan agenda global barat; feminisme”. Moch. Nanan Syaifuddin, harta warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menurut hukum Islam. Artikel diakses pada tanggal 10 februari 2010 dari www.khilafah1924.org dan laki-laki QS. al- Nisa4: 11, 3 tentang kebolehan laki-laki berpoligami QS. al- Nur24: 30-31 dan al- ahzab33: 53-59. Mereka mengatakan bahwa pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2:1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender al-musawah al-jinsiyah dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi, dan mensubordinasi perempuan. Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkis, dimana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis kebencian terhadap perempuan. Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki- laki perempuan sama 1:1 atau 2:2, untuk tujuan ini menurut mereka, tidak hanya cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi pembongkaran terhadap bebatuan ideologi yang melilitnya berabad-abad. Dengan dasar Kesetaraan gender inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang didominasi oleh fiqih dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam ”operasi kelamin” terhadap ayat-ayat suci al- Qur’an. Kini tibalah saatnya menurut mereka untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis temporal, teknik operasional juz’iyyah agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal arabisme. 48 48 Ibid. 2. Pola Pikir Aktivis Gender Dalam Menghadapi Masalah Kewarisan Menyangkut masalah kewarisan, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menerima warisan dari orang tua bila meninggal dunia sesuai dengan QS. al- Nisa4 :7. berdasarkan ayat tersebut antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dalam hal warisan. Walaupun pada akhir ayat di atas ada isyarat bahwa masing-masing memiliki bagian yang telah ditetapkan sedikit atau banyaknya. Karena seandainya bagiannya sama, tentulah kalimat di atas tidak perlu ada. 49 Selanjutnya pada QS. al- Nisa4 :11 dijelaskan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Secara sepintas dapat dikatakan bahwa ayat tersebut bias gender karena yang diinginkan adil adalah 1:1. Namun, sebagian pakar menyatakan bahwa justru 2:1 itulah yang sarat dengan nilai-nilai keadilan. Dengan alasan bahwa laki-laki mendapat dua bagian dari perempuan karena kewajibannya dari hal materi juga melebihi dari perempuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kewajiban laki-laki memberi mahar pada calon isteri. Laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isteri lihat al- Baqarah: 223 dan al- Thalaq: 6 dan 7 yang menekankan bahwa kewajiban nafkah tersebut disesuaikan dengan kadar kemampuan suami. 50 49 Laporan Penelitian: Studi Tentang Masalah Gender Dari Sudut Pandang Agama Islam, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Bekerja Sama Dengan Pusat Studi Wanita IAIN ALAUDDIN Makassar, Makassar: 2001 50 Ibid. Dengan alasan tersebut, maka pembagian warisan 2:1 merupakan ketentuan Allah yang sudah menjadi lambang keadilan. Berdasarkan tanggung jawab dalam mengayomi keluarga. Demikian halnya dengan ayat-ayat yang lain pada QS. al- Nisa4: 11 dan 12 telah ditetapkan Allah secara gamblang tentang jumlah bagian yang diterima, misalnya ibu dan bapak, atau isteri dan suami. Mencermati ayat-ayat tentang warisan pada umumnya, bagian itu disebut Allah secara jelas angka-angkanya, karena pada umumnya manusia cenderung pada warisan harta sedangkan kalau bukan angka-angka yang jelas maka mudah diubah. 51 C. Persepsi Para Aktivis Gender Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen Yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka 1. Zaitunnah Subhan Tentang pembagian warisan dalam Islam telah ditegaskan oleh Tuhan dalam al- Qur’an satu prinsip pokok, yaitu pria dan wanita 52 sama-sama berhak mendapatkan warisan dari peninggalan kedua orang tua atau kerabat masing- masing. 51 Ibid. 52 Penegasan al-Qur’an bahwa wanita mendapat warisan sebagaimana pria adalah merupakan suatu koreksi terhadap sistem pembagian warisan yang berlaku pada masyarakat arab wanita dan anak-anak tidak diberi hak waris. Mereka beralasan wanita tidak pernah memanggul senjata, berperang melawan musuh dan sebagainya. Islam memberi hak waris kepada pria dan wanita, tersebut di dalam al- Qur’an surat al- Nisaa’ 4:7 ”bagi pria ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya; dan bagi wanita ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyaknya, menurut bagian yang telah ditetapkan”. Kewarisan wanita yang semula tidak mendapat bagian bahkan menjadi barang warisan, telah dibenarkan dan dipraktekkan dengan ketentuan formula dua berbanding satu adalah firman Allah SWT surat al- Nisa4:11, ”Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu; bahagian anak pria sama dengan dua anak wanita...” Istilah yang digunakan oleh al- Qur’an berkaitan dengan kewarisan ini dengan kata zakar= pria dan untsa= wanita. Dua kata ini merupakan pasangan. Kata zakar mempunyai makna fakkara, iftikara, fatana = berpikir, cerdas. Sedangkan untuk kata untsa mempunyai arti lemah lembut dan halus. Menurut tafsir Departemen Agama, hikmah diberikannya kepada anak pria dua bagian dan kepada anak wanita satu bagian, adalah karena pria memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah isteri serta anak-anaknya, sedangkan wanita hanya memerlukan biaya untuk dirinya sendiri dan bila telah menikah, keperluannya ditanggung oleh suami. Karena itu, wajar bila wanita mendapatkan satu bagian saja. Menurut Hamka hal ini menunjukkan bahwa pria tidak boleh lepas tanggung jawabnya terhadap wanita. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa hikmah pembagian tersebut perbandingan 2:1 bagi pria dan wanita karena akal wanita itu kurang dan hanya separuh dari akal pria. Demikian juga, nafsu wanita lebih keras daripada pria sehingga bila wanita itu diberi warisan banyak, hanya akan dipergunakan untuk membeli perhiasan untuk bersolek dan bergaya. Pendapat ini ditolak oleh Hamka dengan mengatakan bahwa akal yang dimiliki wanita sama dengan akal yang dimiliki oleh pria, kedua-duanya kurang, baru akan cukup bila kedua akal pada wanita dan pria digabungkan. Pengalaman-pemgalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan hal itu. Beliau beri contoh bahwa seringkali tidak mendapat keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Sebaliknya, isterinya pun sering salah dalam mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. Demikian pula alasan bahwa nafsu syahwat wanita lebih besar daripada pria, suka memboroskan uang bila mendapatkan warisan yang banyak. Justru pria yang lebih banyak menghamburkan uang baik dari waris atau dari yang lain guna merayu dan membujuk wanita agar mau menyerahkan kehormatan kepadanya. Cukup banyak wanita yang akan rela menanggalkan perhiasannya untuk membantu suami saat kesusahan. Mahmud Yunus dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas merupakan tuntunan bagaimana membagikan harta pada pusaka mayat yang harus diikuti orang-orang Islam. 53 2. Syafiq Hasyim Bentuk lain dari tersubordinasinya perempuan dalam fikih ada dalam kasus pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sebanding. Dalam fiqih dinyatakan bahwa perempuan memperoleh separo dari bagian yang diperoleh laki-laki. Ketentuan ini memang bersumber dari al- Qur’an surah al- Nisa; 4 ayat 11 yang bunyi harfiahnya adalah: 53 Zaitunnah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 1999, h.42-55 Ìx.©Ï9….. ã≅÷VÏΒ Åeáym È⎦÷⎫u‹sVΡW{ …… li dzakari mitslu hazhzh al- untsayain bagi seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Menurut sebagian ulama fiqih, ayat tersebut masuk ke dalam kategori ayat qath’i, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Menurut pendapat ini, orang yang menolak kepastian makna ayat ini dapat dianggap telah kafir. Sebenarnya wacana mengenai warisan ini telah mengalami perkembangan sejak kehadiran Islam dan karena itu harus dilihat secara historis. Pada masa jahiliah, wacana tentang warisan hanya menjadi wacana kaum laki-laki. Pelaku, penentu dan penerima warisan adalah kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan dijadikan sebagai objek warisan. Wacana warisan ini berubah total setelah kedatangan Islam. Apabila sejarah sebelumnya menjadikan warisan hanya sebagai hak kaum laki-laki, setelah Islam, perempuan diizinkan atau bahkan diberi hak untuk mendapatkan warisan. Dengan demikian, Islam sebenarnya menghendaki perempuan kuat secara ekonomi. Di negara kita, beberapa tahun lalu telah terjadi diskusi yang cukup panas mengenai pemaknaan ayat ini. Persoalannya berkisar apakah komposisi 1:2 ini merupakan kepastian hukum yang tidak bisa diganggu gugat atau sangat fleksibel sesuai ruang dan waktu. Munawwir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, mengemukakan gagasannya mengenai reaktualisasi Islam. Menurut Munawwir, kepastian 1:2 ini seharusnya direaktualisasikan dan disesuaikan dengan perekembangan ruang dan waktu. 54 Pada masa awal Islam di tanah Arab, komposisi pembagian 1:2 ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, pada akhir-akhir ini, komposisi ini mendapat gugatan dari berbagai kalangan, terutama kalangan pejuang hak-hak perempuan, pada saat ruang dan waktu menuntut adanya penyesuaian- penyesuaian. Perubahan ruang dan waktu inilah yang pada dasarnya menyebabkan komposisi 2:1 dianggap sebagai bentuk diskriminasi fiqih terhadap perempuan. Pertanyaannya selalu, mengapa perempuan mendapat hanya separo dari yang didapatkan kaum laki-laki? Bukankah keduanya sama-sama makhluk Tuhan? Apakah perbedaaan perolehan tersebut dibedakan oleh gender atau biologis? Akan tetapi, baiklah, sebenarnya banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam mengenai persoalan ini. Pertama, sebagaimana kita memahami kasus- kasus lain, ayat tentang warisan ini pada dasarnya merupakan respons al- Qur’an tehadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Sebagaimana diketahui, perempuan pada masa itu tidak memiliki hak untuk memiliki apapun yang diberikan kepadanya. Apabila mereka diberi sesuatu, pemberian itu hanya numpang lewat. Pemberian itu biasanya diserahkan kepada kakak atau orang tua 54 Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001 h.236 mereka. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya merupakan bentuk dari penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk mempunyai harta. Islam memberikan dua alternatif cara memperoleh harta, yaitu melalui warisan dan melalui mas kawin. Dengan cara pemahaman yang demikian, berarti realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis- sosiologis yang sangat bergantung pada ruang dan waktu. 55 Kedua, secara teologis-sosiologis jumlah warisan laki-laki dilebihkan dari jumlah warisan perempuan karena Islam tidak menuntut perempuan memberikan mas kawin dan nafkah kepada keluarga mereka. Meskipun demikian, Islam tetap memberikan jalan keluar apabila orang tua ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Jalan yang ditawarkan adalah pembagian harta di luar mekanisme warisan, entah itu hibah atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah menyatakan, ”samakanlah di antara anak-anakmu pemberianmu. Jikalau aku boleh melebihkan pada salah satunya, sungguh aku akan melebihkan anak perempuan.” Dua alasan di atas sebenarnya cukup logis untuk menjelaskan mengapa laki-laki memperoleh bagian yang lebih dibandingkan perempuan. Dua alasan ini pula yang menuntun kita kepada kesimpulan bahwa perbedaan perolehan bagian warisan itu bukan disebabkan oleh faktor biologis kodrati, tetapi semata-mata 55 Ibid. h.237 disebabkan oleh persoalan sosial budaya, atau, dengan kata lain persoalan gender. Oleh karena gender, hukum atas persoalan ini pun bisa mengalami perubahan berdasarkan perubahan peranan gender. Bukankah peranan gender semata-mata didasarkan pada konstruksi sosial budaya dan karena itu ia tidak alergi pada perubahan. 56 3. Abdul Wahid Maryanto aktifis PUAN 57 Aturan tentang hukum kewarisan Islam ialah aturan qath’i yang sudah tidak perlu diubah-ubah lagi. Mengenai aturan pembagian dua berbanding satu bagi anak laki-laki terhadap perempuan, sudah merupakan ketentuan yang sifatnya mutlak dan mesti dijalankan. 58 Sebenarnya, yang menjadi permasalahan bukanlah pada ketentuan pembagiannya, melainkan proses pengelolaannya yang masih sering berjalan tidak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai saham diatas 60 di sebuah perusahaan mewariskan harta berupa saham kepada tiga orang anaknya, kemudian anak-anak dari pewaris ini selaku ahli waris yang sah membagi saham tersebut sesuai ketentuan yang ada dalam hukum waris. Tentunya setelah pembagian saham tersebut, saham pewaris yang tadinya menguasai perusahaan karena memiliki prosentase di atas 50 56 Ibid. h.238 57 PUAN adalah sebuah yayasan yang aktif dalam memperjuangkan masalah perempuan dengan nama lengkap Yayasan Puan Amal Hayati. 58 Wawancara pribadi dengan Abdul Wahid Maryanto. Jakarta, 06 oktober 2010. akan menjadi saham yang lebih kecil dan akan berdampak bahwa ahli waris tidak lagi menjadi pemilik saham terbesar dalam perusahaan tersebut. Padahal, jika ahli waris mau bermusyawarah untuk menentukan bahwa harta waris itu sebenarnya tidak mesti dibagikan secara langsung, melainkan hanya secara kekeluargaan bahwa sahamnya tetap dalam kondisi utuh sedangkan yang dibagikan adalah keuntungannya, tentu harta waris itu akan menjadi lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan bagi para ahli waris. 59 Maka dari itu, alangkah baiknya jika pengelolaan dari harta waris ini dikelola sedemikian rupa. Bahkan kalau perlu di Negara ini diatur tentang pengelolaan dari harta waris sehingga bukan hanya pengelolaan harta zakat saja yang diatur melainkan harta waris yang juga sering menimbulkan polemik dalam kehidupan masyarakat. 4. M. Taufik Damas aktifis JIL 60 Dalam menanggapi permasalahan kewarisan dua berbanding satu antara anak laki-laki dan anak perempuan, sudah sepatutnya dihadapi dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kekeluargaan. Hal ini karena masalah kewarisan dalam masyarakat indonesia tidak menjadi permasalahan serius selama diselesaikan dengan cara kekeluargaan. 61 59 Ibid. 60 JIL adalah singkatan dari Jaringan Islam Liberal 61 Wawancara pribadi dengan M. Taufik Damas. Jakarta, 12 oktober 2010. Adapun ketentuan yang digariskan al- Qur’an itu bisa diinterpretasikan berbeda, artinya tidak harus diartikan secara harfiyah melainkan merespons kondisi zaman dengan melihat keadaan sosial dan budaya dalam masyarakat yang ada. Sebagai contoh, pada masyarakat saat ini, beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Laki-laki bekerja dan perempuan pun bekerja, sehingga akan terjadi kecemburuan sosial bilamana laki-laki yang sudah mapan kehidupannya diberikan porsi yang lebih banyak ketimbang saudara perempuannya yang ekonominya masih butuh bantuan namun diberikan porsi yang lebih sedikit. Maka di sinilah prinsip keadilan dan kekeluargaan yang mesti ditekankan terlebih dahulu. Adapun dalam masalah kewarisan ini apabila kita berbeda penafsiran dengan kebanyakan orang kita tidak perlu serta merta menentang al- Qur’an. Artinya, dalam memahami sebuah ayat dalam al- Qur’an kita mesti memahami betul asbabun nuzul bagaimana ayat itu diturunkan, begitupun dalam hal pembagian harta waris ini. Sebagai contoh dapat kita ambil dari kisah pembagian Ghanimah pada masa Umar Bin Khattab, yang pada intinya dia tidak menggunakan pemahaman kebanyakan orang mengenai ketentuan ghanimah yang sudah diatur, melainkan melihat kondisi pada saat itu. Untuk itu perlu dipahami bahwa ayat kewarisan ini bukanlah ayat yang harus diterapkan seperti kebanyakan ayat lain, melainkan jalan terakhir yang ditempuh dan digunakan apabila sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara kekeluargaan. 62 5. Masdar F. Mas’udi Menurut Masdar, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu semangat utamanya bukan untuk menyatakan keputusan yang positif dan pasti tentang bagaimana membagi warisan secara adil antara pria dan wanita. Akan tetapi, semangat ayat itu lebih kepada keinginan untuk menggaris bawahi suatu prinsip bahwa “tuntutan tanggung jawab lelaki dalam kehidupan keluarga adalah lebih berat dibanding dengan yang harus dipikul oleh wanita, paling tidak secara kuantitatif seperti pada simbol angka 2:1’’. Bahwa kalau kita benar-benar tersentuh pada soal keadilan, yang akan mengguggah concern kita pastilah bukan pertama kali pada pertanyaan bagaimana mengubahmemodifikasi pola perbandingan waris, tapi mestinya jatuh pada kenyataan bahwa di kalangan masyarakat berbagai negeri, satu pihak kita lihat sekelompok kecil orang yang jika ditinggal mati orang tuanya, mereka dalam keadaan sulit dan serba kekurangan. mereka bukan berpikir “bagaimana warisan akan dibagi’’, melainkan “manakah warisan yang bisa dibagi’’. 63 62 Ibid. 63 M. Wahyuni Nafis. Et.al..ed, kontekstualisasi ajaran islam 70 tahun Prof. Dr. Munawwir Sjadzali, MA. Jakarta: Paramadina dan Ikatan persatuan haji indonesia IPHI, 19995. Cet. Ke-1 h.327 6. Munawwir Sjadzali Menurutnya, dalam pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan yaitu membagi sama besar kepada ahli waris anak laki-laki dan perempuan. Gagasan ini dilatar belakangi oleh, pertama: banyaknya sikap mendua di masyarakat Islam. Kedua: adanya pembagian waris dengan memberikan hibah kepada anak laki-laki dan perempuan sebelum orang tua meninggal dunia, ketiga: mengenai konsep keadilan yang berarti pembagian waris sama besar antara anak laki-laki dan perempuan. Adapun argumen yang mendukung gagasannya adalah, pertama, penyimpangan terhadap nash yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Contohnya dalam masalah pembagian rampasan perang dan dalam masalah hukum potong tangan. Kedua, adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya penahapan dalam penetapan hukum khamar dan dalam menetapkan hukum ziarah kubur. ketiga, mengenai dalil qath’i. 64 7. Komaruddin Hidayat Menurutnya, bahwa secara historis-sosiologis, al- Qur’an sangat membela hak-hak dan martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Jika semangatnya dipegang, maka menjadi Qur’ani jika mengikuti tradisi minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi wanita daripada bagi kaum laki-laki. Dengan demikian ia menawarkan formulasi berbanding terbalik dengan formulasi al- Qur’an, yaitu 1:2 bagi laki-laki dan perempuan. 64 Ibid. h.7 Karena rumus 2:1 yang dirumuskan al- Qur’an merupakan respons sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab waktu itu yang menganggap wanita sebagai “sesuatu’’, bukannya “seseorang’’. 65 Demikianlah persepsi para aktivis gender Indonesia mengenai konsep pembagian harta waris 2:1 terhadap anak laki-laki dan perempuan yang penulis jadikan bahan penelitian. 65 Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama Dan Krisis Modernisme, Jakarta: paramadina, 1999 h.121

BAB IV HASIL PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI AKTIVIS GENDER

INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1 A. Analisa Penulis Tentang Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam Memaparkan pemikiran para aktivis gender Indonesia , maka dapat ditarik sebuah sebuah titik terang bahwa reaktualisasi hukum Islam salah satu yang dibahas adalah mengenai pembagian waris anak laki-laki dan perempuan yang selama ini ditawarkan oleh sebagian besar aktivis gender berasal dari kegelisahan mereka akan nasib hukum Islam yang kurang bisa merespons kehidupan yang terus berlanjut. Kalau kita perhatikan dari sekian banyak persepsi aktivis gender yang sudah dipaparkan pada bab III, penulis membagi persepsi mereka ke dalam dua kategori kecenderungan. Kecenderungan yang pertama adalah kecenderungan persepsi yang mendukung atau setuju dengan konsep dua berbanding satu seperti apa yang sudah ditentukan oleh al- Qur’an dalam surat al- Nisa 4 ayat 11. diantara mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah Zaitunnah Subhan, Abdul Wahid Maryanto dan Masdar F. Mas’udi. Kecenderungan yang kedua adalah kecenderungan persepsi yang bertolak belakang atau tidak setuju dengan konsep yang sudah ditentukan al- Qur’an. Diantara mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah M. Taufik Damas, Syafiq Hasyim, Munawwir Sjadzali dan Komaruddin Hidayat. Kalau kita lihat sekilas, memang ayat tentang pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan ini tidak adil. Tapi pemahaman terhadap suatu teks hendaknya jangan dipahami secara tidak menyeluruh, akan tetapi sebaliknya harus dicermati baik-baik secara keseluruhan dengan melihat ayat lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Islam tidak membebankan tanggung jawab material keluarga kepada perempuan kecuali dalam keadaan yang khusus sekali. Di samping itu Islam tidak menghalangi perempuan untuk bekerja mencari nafkah, karena adanya hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal mencari nafkah, demikian pula adanya hak yang sama dalam menikmati hasil usahanya sesuai dengan usaha masing-masing. Bila kenyataan tanggung jawab laki-laki melebihi tanggung jawab perempuan dapat diterima, maka tidak ada pula dasarnya untuk menolak kenyataan jumlah hak yang diterima oleh laki-laki melebihi jumlah hak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat al- Qur’an yang bersifat qath’i tidak dapat diabaikan walaupun dengan dalih kemaslahatan, karena di mana ada teks yang bersifat qath’i disana pula terdapat kemaslahatan. Namun demikian, harus diakui bahwa teks yang bersifat qath’i sangat sedikit dan boleh jadi satu ayat sebagian penggalannya bersifat qath’i dan penggalan lainnya bersifat zhanni. Perlu kita ingat pula dalam penafsiran al- Qur’an terdapat dua macam cara dalam melakukannya, yaitu dengan metode tafsir bi al- ma’tsur yakni penafsiran yang disandarkan pada al- Qur’an, hadits, atau ijtihad sahabat. Dan juga metode tafsir bi al- Ra’yi yaitu metode tafsir yang menggunakan akal semata. Kedua hal ini akan sangat berpengaruh dalam hal istinbath hukum yang akan kita dapatkan ketika kita menafsirkan al-Qur’an. Namun demikian, tafsir bi al- Ra’yi pun harus diberi batasan agar tidak melenceng jauh dari esensi yang semestinya digariskan oleh al- Qur’an, batasan itu dikemukakan oleh imam al- Zarkasyi, yaitu: 1. Ra’yi tersebut merupakan nukilan yang valid dari Nabi Muhammad SAW. 2. Ra’yi tersebut dari perkataan sahabat Nabi 3. Prinsip-prinsip kebahasan diutamakan 4. Tidak terlepas dari konteks syariah 61 Dari hal tersebut penulis menarik suatu benang merah bahwa dari dua kategori kecenderungan persepsi yang sudah diutarakan di awal bab ini, keduanya disebabkan oleh perbedaan metode dalam menafsirkan ayat al- Qur’an. Kategori persepsi yang pertama yakni yang mendukung konsep yang sudah ditentukan al- Qur’an menggunakan metode tafsir bi al- ma’tsur. Sedangkan kategori persepsi yang kedua yang bertolak belakang dengan apa yang digariskan al- Qur’an menggunakan metode tafsir bi al- Ra’yi. 61 Siti Ruhaini Dzuharyatin, dkk; PSW IAIN Sunan Kalijaga. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, Yogyakarta: Mc Gill ICHIEP dan Pustaka Pelajar anggota IKAPI, 2002 cet. I, h.153 Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap persoalan bisa menimbulkan sikap pro dan kontra. Berlapang dada bagi perbedaan memang hal yang sangat diperlukan, apalagi Allah SWT. telah menjanjikan akan memberi ganjaran bagi mujtahid yang keliru. Mengenai masalah hibah, sebaiknya kita memang harus membedakan antara warisan dengan hibah. Warisan merupakan pemberian harta setelah meninggal, sedangkan hibah merupakan pemberian harta dalam keadaan hidup. Dan sesungguhnya hibah bukanlah suatu penyimpangan, melainkan suatu hak yang halal dan dari pemilik harta kekayaan yang dihibahkan. Namun, jika melihat KHI pasal 211 yang berbunyi: ”hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. 62 Boleh jadi pembagian harta tersebut oleh sementara pendapat dianggap sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi warisan. Di satu sisi ingin melaksanakan hukum waris Islam, namun realisasinya menempuh cara hibah. 63 Tetapi inilah realitas yang terjadi pada umat muslim di Indonesia. 62 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelambagaan Islam Proyek Penyuluhan Agama, 19951996 H.91 63 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 cet. Ke-4 h.473.