Keadilan Gender Dalam Hukum Waris Islam

BAGIAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DALAM HUKUM WARIS ISLAM
Munadi
IAIN Lhokseumawe
Email: munadiusman83@gmail.com

A. Pendahuluan
Faraidh termasuk paling mulia fungsinya, paling tinggi kedudukannya,
paling besar ganjarannya. Karena pentingnya sampai Allah sendiri menentukan
takaran harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan dalam
beberapa ayat yang jelas, karena harta merupakan sumber ketamakan manusia.
Harta warisan diperuntukkan bagi pria dan wanita, besar dan kecil, yang lemah
dan kuat. Tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat dengan hawa
nafsu. Sebab Allah telah mengatur sendiri pembagiannya serta rinc, yaitu
meratakan diantara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia
ketahui.1
Pada zaman Jahiliyyah dahulu, mereka hanya membagikan harta untuk
orang dewasa tanpa memberi kepada anak-anak, dan kepada laki-laki saja tidak
kepada wanita. Sedangkan dalam hukum waris Islam kepada semua keturunan
dan kerabat diberikan harta warisan tanpa kecuali. Hanya saja ada perbedaan hak
antara ahli waris, khususnya antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini

merupakan masalah yang menarik dikaji untuk mengetahui penyebab, atau
mencari maqashid syar’iyah-nya. Terlebih belakangan ini banyak kalangan yang
mempersoalkan keadilan hukum waris Islam yang membedakan hak laki-laki dan
perempuan.
B. Sistim Waris Pra Islam
Pada masa sebelum Islam masyarakat jahiliyah telah memiliki sistim
kewarisan tersendiri. Mereka menjadikan sebab mendapat warisan dalam dua
bentuk. Pertama karena garis keturunan, yaitu kerabat yang memiliki hubungan
darah. Namun tidak semua kerabat diberikan, hanya laki-laki dewasa saja.
Sedangkan perempuan dan anak kecil tidak diberikan.
Asas pemberian harta warisan kepada laki-laki dewasa karena mereka
dianggap bermanfaat bagi keluarga karena kuat, sanggup berperang membela
keluarga dan merampas harta peperangan. Sedangkan perempuan dan anak-anak
tidak mampu melakukan hal-hal tersebut, maka tidak diberikan harta warisan.
Bahkan perempuan lebih tragis lagi waktu itu, hidupnya terancam dan banyak

1

Syech Muhammad bin Ibrahim Tuwaijry, Muhktasar Fiqh al-Islami, (Islamhouse.com,
2009), h. 2.


1

2
yang dibunuh, karena dianggap aib bagi keluarga. Perempuan ketika itu juga
dijadikan harta warisan.2
Di masa awal Islam sistim warisan jahiliyah masih berlaku dan Rasulullah
saw, belum merubahnya karena belum turun wahyu yang mengatur masalah
warisan. Ketika salah seorang sahabat Nabi, Aus bin Tsabit syahid dalam perang
Uhud, isterinya Ummu Kujjah mengadu kepada Rasulullah saw, bahwasanya
suaminya telah syahid dan meninggalkan tiga orang anak perempuan. Suaminya
memiliki banyak harta, namun semua harta tersebut telah diambil oleh kedua
anak pamannya Suwaid dan Arfajah tanpa menyisakan sedikitpun baginya dan
ketiga anak perempuannya. Ia mengaku tidak sanggup membiayai nafkah anakanaknya.
Rasulullah ketika itu tidak dapat menjawab persoalan ini dan meminta
Ummu Kujjah menunggu jawabannya. Ketika itu turunlah ayat 7 surat an-Nisa
yang berbunyi:

          


        

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.
Ayat ini diturunkan Allah sebagai jawaban atas pengaduan Ummu Kujjah,
sekaligus untuk merobah kebiasaan bangsa Arab yang tidak memberikan harta
warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak.3 Setelah turunnya ayat ini
Rasulullah saw, memiliki jawaban terhadap persoalan Ummu Kujjah, dan
memanggil Suwaid dan Arfajah untuk menyampaikan hal itu. Saat keduanya
datang, Rasulullah saw menjelaskan perihal turunnya ayat. Rasulullah saw, juga
bertanya kepada keduanya kenapa mengambil semua harta Aus bin Tsabit, tanpa
menyisakan untuk anak dan isterinya. Mereka menjawab isteri dan anak
perempuan Aus bin Tsabit tidak berhak terhadap harta tersebut, karena mereka
lemah tidak sanggup menunggang kuda, berperang melawan musuh dan
merampas harta peperangan.
Rasulullah saw, menyampaikan perihal turunnya ayat yang bahwasanya
Allah swt, menyamakan hak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan,
baik masih kanak-kanak maupun telah dewasa. Keduanya menerima penjelasan

Nabi saw, dan mengembalikan harta yang telah mereka ambil. Dalam masyarakat
jahiliyyah harta warisan hanya diberikan untuk laki-laki dewasa. Dengan turunnya
ayat ini sistim waris yang demikian dirubah.
2

Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Medan: Cita Pustaka Media
Perintis, 2012), Cet, 1, h. 9.
3

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir al-Jalalain, Juz-1, (Indonesia:
al-Haramain, tt), h. 272.

3

C. Sistim Kewarisan Islam
Setelah Islam datang, sistim kewarisan jahiliyyah berangsur-angsur
dirubah, melalui turunnya ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw. antara lain
ayat yang telah disebutkan di atas. Setelah itu turun beberapa ayat lain yang juga
mengatur masalah harta warisan. Surat an-Nisa ayat 7 hanya menegaskan
persamaan laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan. Adapun bahagian

masing-masing ahli waris belum jelas, sehingga waktu itu pembahagian harta
warisan belum bisa dilaksanakan. Kemudian turun ayat berikutnya menjelaskan
perihal bahagian ini. Allah berfirman:

              

              

                 

               

               
 
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. AnNisa: 11)
Dengan turunnya ayat ini, maka bahagian masing-masing ahli waris
menjadi jelas, yaitu laki-laki mendapatkan dua bahagian anak perempuan. Anak

4
perempuan bila jumlahnya lebih dari seorang, maka hak mereka dua pertiga, bila
hanya satu orang bahagiannya separoh. Dan bagi kedua ibu bapak masing-masing
seperenam bila simati meninggalkan anak. Bila simati tidak meninggalkan anak
dan saudara maka ibu mengambil sepertiga harta. Warisan dibagikan setelah
menunaikan wasiat dan hutang.
Allah menetapkan bahagian masing-masing ahli waris, dan menjadikan
sebagai ketetapan yang harus dijalankan dalam pembahagian harta warisan,
dikarenakan seseorang tidak mengetahui persis siapa yang paling dekat dan

bermanfaat baginya, baik didunia maupun akhirat. Apakah ibu dan bapaknya,
anak-anaknya atau saudara-saudaranya. Seseorang kadang menyangka bahwa
orang tua lebih bermanfaat, dan memberikan harta lebih banyak kepada mereka.
Tapi dalam realitas kehidupan ternyata anaknya lebih bermanfaat atau saudaranya.
Allah lah yang lebih mengerti masalah ini, sebagaimana tersebut pada akhir ayat,
sehingga Allah menetapkan sendiri bahagian-bahagian tersebut.4
Hubungan dan manfaat ahli waris sangat-sangat relatif dan berbeda antara
satu orang dengan orang yang lain. Mana ahli waris yang lebih berbakti
kepadanya ketika didunia dan setelah ia mati sangat misterius dan tidak pasti. Bila
penentuan bahagian harta warisan ini diserahkan kepada manusia dengan ijtihad,
maka akan ada kesukaran, dan hasilnya rentan terhadap komplain dan masalah,
persoalan harta sangat sensitif dan sering menyulut konflik dalam keluarga. Maka
Allah menetapkan sendiri bahagian ahli waris ini dengan porsi masing-masing.
Ketetapan Allah mengenai harta warisan, memiliki tujuan dan hikmah yang
penting. Tujuan dan hikmah ini harus dilakukan ekplorasi dalam ayat dan hadits.
Sehingga dapat ditemukan kebenaran dalam penetapan bahagian ini, selanjutnya
menambah keyakinan kita terhadapnya.
Pada prinsipnya hukum waris Islam mengatur secara rinci masalah harta
warisan, mulai dari persamaan hak menerima warisan oleh laki-laki dan
perempuan, atau pada istilah yang lain disebut warisan bilateral. Kemudian

mengatur bahagian yang diterima masing-masing ahli waris dan sebab menerima
demikian. Allah Maha Mengetahui tentang warisan yang rentan terhadap
pertikaian, maka Allah swt mengaturnya secara rinci dan menegaskan supaya
dilaksanakan sebagaimana yang telah diatur itu.
D. Bahagian Laki-Laki dan Perempuan
Salah satu point dalam ayat kewarisan yang dewasa ini banyak disorot
oleh kalangan non muslim, kaum feminim dan sebahagian pemikir muslim adalah
mengenai bahagian warisan laki-laki sama dengan dua bahagian perempuan (anNisa ayat 11). Ketetapan ini dianggap tidak adil dan mendiskriminasikan
perempuan. Sedangkan al-Quran jauh sebelumnya mengatur demikian dan
menganggapnya cukup adil.
Untuk menjawab persoalan ini, harus dibuka kembali al-Quran dan
memaknainya dengan seksama. Dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 11 Allah swt,
menyatakan bahwa bahagian laki-laki sama dengan dua bahagian anak
perempuan. Allah menetapkannya demikian karena fitrah dan tanggung jawab
4

Ibid, h. 275.

5
laki-laki lebih besar dalam kehidupan, yaitu memimpin perempuan, menanggung

nafkah, memberikan maskawin, perang dan lain-lain. Mengenai keunggulan
lelaki, Allah menjelaskannya pada bahagian lain dalam al-Quran yaitu ayat 34
surat an-Nisa yang berbunyi:

            
           

        
          

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Ayat diatas menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, laki-laki mengajarkan perempuan dan melindunginya. Allah
melebihkan laki-laki dalam beberapa hal, yaitu ilmu, akal, kekuasaan, jihad,
kesaksian, shalat jumat, berjamaah, kenabian, pemimpin dan lain-lain. Selain itu
laki-laki juga berkewajiban memberi nafkah bagi perempuan, dan bahagian dari
nafkah adalah maskawin.5
Para ulama mengaitkan ayat ini dengan ayat sebelumnya tentang bahagian
warisan laki-laki dan perempuan. Atas dasar keunggulan ini maka laki-laki berhak
mendapatkan warisan melebihi perempuan. Dengan demikian Allah menetapkan
bahagian harta warisan melalui dua sebab yaitu; pertama berdasarkan kedekatan
ahli waris dengan sipewaris, maka anak mendapat hak lebih besar dibandingkan
ibu dan bapak, bahkan saudara dan paman tidak mendapatkan warisan sebab ada
anak. Kedua berdasarkan besar kecilnya kebutuhan finansial, laki-laki memiliki
tanggung jawab yang lebih besar, maka haknya lebih besar yaitu dua kali
bahagian perempuan. Keadilan menurut ketentuan waris al-Quran berasaskan
keadilan berimbang, yaitu penentuan harta berdasarkan kedekatan hubungan dan
kebutuhan finansial.

5


Ibid, h. 288-289.

6
Allah swt, mengatur bahagian ahli waris secara proporsional kepada
seluruh manusia, tidak hanya untuk masyarakat Arab saja. Bahagian laki-laki
lebih besar jelas tertera dalam al-Quran, dan sama sekali bukan pengaruh sistim
keluarga bangsa Arab yang patrilineal, sehingga muncul tafsir yang memihak
laki-laki, sebagaimana dikemukakan oleh pemikir kemudian seperti Hazairin.6
Pendapat demikian menurut saya bergeser dari dzahir ayat dan filosofi dari
penentuan hak waris laki-laki dan perempuan.
Syari’at ini selaras dengan garis kodrat manusia, laki-laki berkewajiban
menafkahi dan memimpin kaum wanita, maka haknya lebih besar. Syari’at ini adil
dan tidak ada yang perlu dirisaukan. Walaupun wanita mendapatkan bagian yang
sedikit, seluruh bagiannya itu hanya ia nikmati seorang diri. Sebab itu, walau
nominalnya kecil, faktor pembaginya hanya seorang, maka hasilnya menjadi
besar. Adapun anak lelaki, walau ia mendapatkan bagian dua kali lipat, ia harus
menggunakannya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dengan demikian,
walaupun nominalnya besar, pada akhirnya menjadi sedikit.
Islam telah mewajibkan kepada laki-laki beberapa beban dan kewajiban
dari hartanya, pada saat hal tersebut tidak diharuskan terhadap wanita, seperti
pembayaran mahar (mas kawin), menyediakan rumah, memberi nafkah kepada
istri dan anak, membayar diyat, sementara wanita tidak diwajibkan bagi mereka
untuk memberi nafkah, tidak terhadap dirinya dan tidak pula terhadap anakanaknya.7
Islam telah memuliakan wanita ketika meniadakan seluruh beban tersebut
darinya, dan membebankannya kepada laki-laki, kemudian memberikan setengah
bagian dari apa yang didapat oleh laki-laki, sehingga hartanya semakin
bertambah, sementara harta laki-laki akan berkurang oleh nafkah terhadap dirinya,
istrinya dan juga anak-anaknya, inilah dia bentuk keadilan diantara dua jenis
kelamin yang berbeda, karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah berbuat
kedzaliman terhadap hamba-Nya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Allah berfirman:

          
      

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji,kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (An-Nahl: 90)

Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil kepada saudaranya,
terlebih keluarganya. Warisan merupakan salah satu proses pengalihan harta dari
6

Alyasa Abubakar, Rekontruksi Fikih Kewarisan, Reposisi Hak-hak Perempuan, (Banda
Aceh: LKAS, 2012), h. 21.
7
Syekh Sulaiman Muhammad, Hasyiah Bujairimi, Juz, 3, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah,
2000), h. 280.

7
pewaris kepada ahli waris, sepatutnya dilakukan secara adil sesuai porsi masingmasing. Allah melarang diskriminasi terhadap orang lain, sebab itu merupakan
perbuatan zalim yang dilarang.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahagian harta
warisan bagi setiap ahli waris telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran.
Ketetapan ini bersifat pasti baik ahli waris maupun bahagiannya. Perbedaan
bahagian laki-laki dan perempuan didasarkan atas fitrah dan kebutuhan masingmasing. Laki-laki memiliki tanggungjawab lebih besar dalam hidup untuk
menafkahi keluarganya, memberikan maskawin dan beberapa tanggungjawab
lainnya mendapatkan hak lebih besar dari perempuan. Sedangkan perempuan
tidak diwajibkan beban seperti laki-laki, maka bahagiannya lebih sedikit. Namun
bila dikalkulasikan atas dasar kebutuhan laki-laki dan perempuan memperoleh
hak yang sama (adil).
F. Kepustakaan
Alyasa Abubakar, Rekontruksi Fikih Kewarisan, Reposisi Hak-hak Perempuan,
(Banda Aceh: LKAS, 2012).
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Medan: Cita Pustaka Media
Perintis, 2012), Cet, 1.
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir al-Jalalain, Juz-1,
(Indonesia: al-Haramain, tt).
Syekh Sulaiman Muhammad, Hasyiah Bujairimi, Juz, 3, (Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiyyah, 2000).
Syech

Muhammad bin Ibrahim Tuwaijry,
(Islamhouse.com, 2009), h. 2.

Muhktasar

Fiqh

al-Islami,