bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai sikap berbicara maupun sikap berperilaku.
Sebelum pembahasan diperdalam, tidak ada salahnya apabila disinggung lebih dahulu sedikit mengenai unggah-ungguh dalam berbagai
aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah laku.
B. Unggah-Ungguh Dalam Beberapa Aspek
1. Unggah-Ungguh dalam Aspek Berbahasa
Dalam unggah-ungguh atau sopan santun berbahasa orang Jawa menggunakan bahasa yang dipilih secara tepat. Pemilihan kata-kata yang
tepat dan sesuai, dipergunakan untuk berbicara dan berhadapan dengan orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi
landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian bahasa tersebut. Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama.
8
Ngoko merupakan tingkat kesopanan berbahasa rendah yang biasa digunakan oleh
raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik orang kecil, maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih
tinggi dari ngoko adalah madya, yakni menyatakan kesopanan berbahasa tingkat menengah. Tingkatan madya biasanya digunakan oleh orang yang
memiliki kedudukan atau usia yang setara. Tingkat selanjutnya adalah krama,
yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling tinggi. Kesopanan berbahasa tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh rakyat
8
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama, h. 67.
biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan
sikap hormat. Kemudian ditambah lagi sesuai dengan tingkatannya yaitu krama
inggil, yang mengenai pribadi, tindakan-tindakan dan beberapa benda
yang amat erat hubungannya dengan pribadi manusia serta mengungkapkan sikap hormat yang amat tinggi, dan yang dikombinasikan
baik dengan bahasa krama maupun dengan bahasa ngoko. Oleh karena itu penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial
masing-masing.
9
Kedudukan status oleh banyak hal _ kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan dan kebangsaan. Tetapi yang
penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya; yaitu gaya bicara dalam semua hal ditentukan untuk sebagian oleh status relatif atau keakraban
para pembicara. Perbedaannya tidak kecil, seperti perbedaan kata du dan sie
. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri atau seorang yang dikenal dekat orang mengatakan ’apa pada slamet’? Tetapi orang
menyapa mereka yang lebih tinggi atau seseorang yang dikenal tapi tak
9
Yaitu penghalusan bahasa dari ngoko ke krama dan ke krama inggil disertai suatu pengaburan arti kata. Misalnya kata-kata arep, bakal masa depan, wani berani dan gelem mau
dalam bahasa krama menjadi hanya dua kata saja, yaitu badhe dan purun, dan dalam krama inggil semuanya menjadi karsa. Kata tuku atau tumbas membeli, njupuk atau mendhet mengambil,
kata takon atau nedha bertanya dan kata njaluk atau nedha minta, menjadi empat kata dalam ngoko
dan tiga dalam krama, dalam krama inggil menjadi mundhut. Pengaburan arti yang eksak ini adalah tanda kehalusan dan seiring dengan apa yang dalam hubungan dengan prinsip rukun
dikatakan tentang disimulasi, ethok-ethok dan sebagainya. Dalam komunikasi yang halus, obyektifitas dalam arti kesesuaian dengan suatu kenyataan di luar kesadaran orang, semakin
dianggap kurang penting dibandingkan dengan hubungan-hubungan intersubyektif dan dengan emosi-emosi yang menyertainya. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 63.
begitu dekat dengan bentuk ’menapa sami sugeng _ kedua-duanya berarti ”apakah anda sehat?”. Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini
’Panjenengan saking tindak pundhi?’ Dan kowe saka endi? Adalah pertanyaan yang sama ”Dari mana anda?”, kalimat yang pertama
ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada yang orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah
bahwa pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar, di sekitar mana pada umumnya mereka mengorganisasi tingkah laku sosial
mereka. 2.
Unggah-Ungguh dalam Aspek Pergaulan Sikap halus lainnya yang diwujudkan oleh orang Jawa adalah
kehalusan dalam pergaulan. Selain kemampuan dalam bertutur sapa dan pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau
andap-asor rendah hati yang berperan sangat penting dalam pergaulan
masyarakat Jawa. Pola andap-asor terdiri dari segala macam perbuatan seperti berkhidmat, karena orang Jawa mengartikan metafora dengan
sungguh-sungguh, mengasosiasikan ketinggian dengan kedudukan yang tinggi. Seperti para nelayan tua yang datang mengunjungi nyonya
besarnya, seorang istri priyayi tinggi. Nelayan tua itu menyajikan makanan di tengah-tengah keluarga dengan berlutut. hal itu suatu penghormatan
yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ini adalah dengan berlutut, dan menunjukkan isyarat dengan menunduk dua
telapak tangan bersama dengan ibu jari di depan hidung dan ”anggukan
horisontal” kepala ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada
meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain
untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola
yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu melakukan sikap yang utama tersebut.
Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri
dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar
moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar, semacam ini patut disayangkan. Karena masyarakat Jawa menganggap orang yang demikian
disebut durung Jawa belum menjawa, durung ngerti belum mengerti atau durung dadi wong belum jadi orang.
10
Demikian juga sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga tidak kaku
dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang tulen.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 158.
C. Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa