Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa ETIKA JAWA TENTANG UNGGAH-UNGGUH

C. Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa

Pada dasarnya angoko-krama mengalami perkembangan dan perubahan. Terkait dengan terbatasnya literatur yang mengungkap munculnya tataran ngoko-krama, sebenarnya tidak begitu banyak literatur yang mencatat secara sistematis mengenai kronologis munculnya ngoko-krama. Namun ada beberapa bukti secara tidak langsung yang dapat dijadikan sumber pijakan, diantaranya adalah: 1. Perkembangan Dialektika Jawa a. Kutipan yang menggambarkan percakapan antara Cakuntala dengan Ducwanta oleh Adiparwa sebagai berikut: Cakuntala : ”sajna haji, samaa ni nghulun nguni mwang maharaja, anmanaka ngulun lawan haji ring dlaha, mangalilirana kadatwan rahadyan sanghulun. An mangkana ling patik haji, umon ta sang natha, yumogyani samya mami. Hetu mi nghulun manggan kaharasa de rahadyan sanghulun. Ike kari de Cri maharaja ri dalem weteng, yataki sarwadamana ngaranya.....yogya ta rahadyansanghulun umabhiseka ri samangkana ..... maweha ng kayuwarajan ring saputra rumuhun.” Ducwanata : ”......Syapa makastrikita sang dusta tapasi? Aku didahlita suaminyu, atyanta tan wruh ring asambawa ike ta karihhana karika ratu cakrawarti tapaswi nicajanma. Apa tiki kadatwan katunan striratna marika nghulun prabhu? Arah laku mur ta ko saka ngkel Aparan tatan kaharepa mwan pakastri dening prabhu cakrawarti.” 11 Untuk mengenali adanya unggah-ungguhing basa dari kutipan di atas masih sulit, meskipun seharusnya Cakuntala menggunakan bahasa krama. Kutipan di atas merupakan bahasa Jawa kuna sebelum tahun 1400 M, dan pada masa ini belum ditemukan adanya tatanan ngoko-krama. b. Percakapan antara tunggul Ametung sebagai Akuwu Tumapel dengan ayah angkat Ken Angrok sebagai pendeta Lohgawe: Tunggul Ametung : ” Bhageya pukulan sang brahmana, saking punend sira hanar katinghalan.” Lohgawe : ”Eh kaki sang akuwu, hanar saking sabrang ingsun, ati ingsun asewakaha maring sang akuwu ingsun kaki, lawan akon-akoningsun anak puneki ayun sumewakaha ring sang akuwu.” Tunggul Ametung : ”Lah suka ingsun sira danghyang yen sira santosa wontena ring siranarika.” c. Percakapan antara Ken Angrok dengan ayah angkatnya, Lohgawe: Ken Angrok : ”Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen hayu rika laksananipun”. 11 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa Yogyakarta: IKAPI, 2002, h. 46. Lohgawe : ”Sapa iku kaki” Ken Angrok : ”Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun”. Lohgawe : ”Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariswari arane, adikmukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu anakrawati”. Ken Angrok : ”Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun punika rabinira sang akuwu ring tumapel; lamun mangkana manirabahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira angadyani”. Lohgawe : ”Mati, bapa kaki, Tunggul Ametung denira, anghing ta ingsun tanyogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning pandita ahingan sakaharepira”. d. Percakapan antara Ken Dedes dengan putranya, Anusapati: Anusapati : ”Ibu ingsun ataken ing sira, punapa kelinganira bapa yen tuminghal ing ingsun, pahe tinghalira kalawan sanakingsun kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu anom, mangkin pahe tinghalira bapa”. Ken Dedes : ”Kaya dudu kang angadeli, yen sira kaki ayun wruha, sira Tunggul Ametungarane Ramanira; katinggal ingsun tigang cacihta, ingsun ingalap denira sang Amurwabhumi”. Anusapati : ”Kalingane, ibu dudu bapaningsun sang Amurwabhumi, punapita ibu pademanira bapa”. Ken Dedes : ”Sang Amurwabhumi, kaki, amateni”. Anusapati : ”Ibu, wanten duhungipun bapa antukipun Gandring akarya, ingsun-tedanipun ibu”. 12 Dari kutipan tersebut, pada poin b, c dan d merupakan dialog Jawa kuno yang lebih muda. Menurut Poerbatjaraka, kitab yang mengutip percakapan tersebut termasuk sastra Jawa Tengahan. Meskipun penggunaan bahasa Jawa lebih mudah dipahami dan nampak adanya unsur-unsur baru, seperti kata hana menjadi wonten, akhiran ne menjadi ipun dan sebagainya. Hal ini seolah-olah merupakan embrio yang menuju jalan lahirnya tataran ngoko-krama. 2. Perkembangan Sastra Jawa Penggunaan bahasa tersebut akan terasa beda kalau kita bandingkan dengan bahasa Jawa dalam bentuk sastra yang dimuat dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Agung atau Mangku Rat II yang dikeluarkan pada tahun 1632 M. a. Penget: ”Kang surat piagem saking insun sultan Mataram, kagadhuh deneng si wanda, Wedana Surakarta kang satja marang isun, lahiring surat piyagem: si wanda sun pradikakensarta wewengkone. Mandala Tjipiniha-Bodjongeren, iku kang 12 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 49. kawerat, deneng si wanda iku adja ana kang nganisiku, disakarepe, angulon watas Banten ngalor ing Tjarebon, pitung pandjenengan adja temu maranginsun. Ana dene tingkahe si Wanda milu ngangklakoning gaweng lurug maring Ukur angklakoni gawe anglurug maring Ukur iki sun sedhahi prajangan kalih welas sarta sun djenengaken mantri. Ana dene patut si Wanda iku kakange Wirawangsa kang djeneng taumenggung Wiradada nata prajangan, wadana kalih welas. Titi ing surat piyagem, kala nurat dina senen tanggal ping sanga sasi Mukarram tahun Djimakir.” b. Penget: ”Layangingsun Singaprabangsa kacekel deneng ki Astrawardana kalayan Wanayuda. Mila manira kacekel layang sawios manira angjuput pari kagengan Susuhunan kang kagadheh dening kirangga Sumedhang, lumbung kalaphadhuwa kang tininggu dening ki Astrawadana kalih Wanayuda. Isine kang manira juput pari limang tangkes punjul tiga welas jahi bobot; kala manira juput arawahe ki Yudabangsa. Titi kala nulis ing dina jamaat tanggal pisan sasi Mukarram, tahun Alip.” 13 Bahasa dalam prasasti tersebut sudah hampir sama dengan bahasa Jawa sekarang abad 20, meskipun masih terdapat kata-kata kuna. Lebih dari itu kutipan prasasti di atas juga menunjukkan adanya tatanan ngoko 13 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 53. yang dapat di mengerti dan nampaknya telah ada kata-kata krama yang dipakai untuk memuliakan raja dan untuk menghormati orang yang lebih tua atau status sosial nya lebih tinggi. Dari uraian di atas nampak bahwa sampai tahun 1500 M. unggah- ungguhing basa atau tataran ngoko-krama belum ada dan baru nampak jelas setelah tahun 1600 M. Sedangkan pada pertengahan antara tahun 1500-1600 M ini merupakan masa proses ke arah munculnya unggah- ungguhing basa. Pada masa tersebut di Jawa merupakan rezim Mataram. Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya unggah-ungguhing basa tersebut pada masa kerajaan Mataram. 14 3. Latar Belakang Munculnya Unggah-Ungguhing Basa Berabad-abad lamanya kebudayaan Hindu-Budha yang berasal dari India itu mempengaruhi tanah Jawa. Salah satu kebudayaannya yang disebarkan adalah melalui sarana bahasa yaitu bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta ini mempengaruhi terhadap perkembangan sastra Jawa Kuna. Namun Kejayaan Hindu-Budha berangsur-angsur menyusut setelah kekuasaan kerajaan Majapahit berakhir. Sejak abad ke-15 dan 16, peradaban Islam Jawa mulai berkembang sejak berdirinya kerajaan Demak. Peradaban Hindu-Jawa Kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam. Pada masa ini, Islam berkembang sangat pesat dan menjadi maju. Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik 14 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 55. yang heterodoks dan panteistik, telah mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam. 15 Dalam masyarakat Jawa Kuna, yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Budha tadi ternyata unggah-ungguhing basa belum ada. Dalam abad ke-16 terjadi perkembangan kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Namun tidak berlangsung lama, karena pada abad ke-17 berubah menjadi kabupaten yang dibawahkan Mataram. Oleh karena itu baik Demak maupun Pajang tidak meninggalkan banyak sumbangan dalam pengembangan kebudayaan, khususnya yang berupa karya sastra yang dapat mendukung studi kita tentang kebudayaan Jawa dalam masa itu. Tidak juga kita temukan kraton maupun babad. Karena itu kita tidak menemukan zaman kasusasteraan Demak atau Pajang, meskipun ada zaman kasusasteraan Islam. Setelah pemanahan Mataram berkembang menjadi negara dan Demak menjadi modelnya, barulah kemudian masa-masa Mataram mengembangkan kebudayaan sesuai dengan kepentingan politiknya. Sebaliknya Demak dan Pajang tidak memanfaatkan sastra yaitu bahasa untuk mencapai tujuan politiknya. Tidak mustahil bahwa unggah- unggahing basa pun merupakan alat politik. Sebagai pengarang, para pujangga kraton tidak hanya dapat memanfaatkan karya sastra yang ditulisnya, tetapi segala bentuk kekuasaan. 15 Purwadi, Tasawuf Jawa Yogyakarta: Narasi, 2003, h. 22. Fakta tersebut bisa dilihat pada masa permulaan tumbuhnya kerajaan Islam. Di mana pengaruh para wali demikian besar, sehingga para raja Demak dan Pajang dan permulaan Mataram sangat memerlukan restu bantuannya. Dalam penghormatannya mereka Mataram menyembah para wali, yang nampak dalam sikap dan tutur katanya. Raja- raja menggunakan basa krama, sedang para wali basa ngoko. 16 Tetapi sejak mulai zaman Sultan Agung, sikap raja Mataram berubah yaitu ingin menundukkan para wali dengan cara mengirimkan ekspedisi penyerangan ke Giri pada tahun 1635, dan kemudian Mangku Rat II menghancurkan pada tahun 1680. Tataran bahasa yang dipakai juga berubah. Seperti penaklukkan pangeran pekik, penguasa Surabaya keturunan Sunan Ngampel, yang diakuinya juga sebagai adik, sehingga Sultan Agung dari berbagai segi boleh basa ngoko terhadapnya. Begitu juga pemakaian gelar dalam keluarga kraton. Gelar panembahan, pangeran dan susuhan adalah gelar-gelar yang semula hanya dipakai para wali. Para raja dahulu menyebut diri prabu, karena para wali adalah pemimpin agama dan negara daerahnya sekaligus, maka mereka menyebut dirinya juga raja- Pandita, misalnya Sunan Giri. Keturunan Sultan Agung selalu berusaha menguasai dan mengungguli para wali atau pemimpin agama, setelah tindakan mangku Rat I yang melakukan pembunuhan terhadap para ulama. Pada Mangku Rat II ini, Giri dihancurkan. 16 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 96. Seperti percakapan yang dipakai Mangkurat II dengan Panembahan Natapraja Adilangu keturunan Kalijaga. Keduanya Basa Krama, tetapi untuk Mangkurat II dipakai krama inggil tinggi sementara untuk Panembahan Nata Praja yang diangkat sebagai sesepuh Mataram dipakai krama andhap rendah. Suatu hal yang tidak berlaku pada para wali zaman dahulu. Perubahan ini mengandung arti kalau keagungbinataraan Raja Mataram diakui oleh keturunan para wali. Raja Mataram dianggap lebih kuasa dan mulia dari pada keturunan para wali. 17 Namun dalam pengembangan tataran bahasa yang digunakan tersebut, jelas unggah-ungguhing basa merupakan alat politik untuk menghancurkan Islam sekaligus sebagai perumusan pemakaian unggha- ungguing basa . Dalam penulisannya faktor tabu dan dong-ding memegang peranan, para pujangga menghindari kata-kata tertentu yang bagi orang biasa boleh, tetapi bagi kalangan atas tidak. 18 Seperti kata gadhing untuk umbel ingus, semprit untuk sisi, grana untuk irung hidung. Aturan dong-ding yaitu menyesuaikan bunyi suku terakhir dengan tuntutan nama tembang, merupakan jalan kearah pembentukan tatanan bahasa juga, misalnya: udan-jawah-jawuh, jati-jatos, Tegalwangi-Tegalarum-Tegal ganda, Kaliwungu-Lepentengi, Mataram-Matawis-Matarum-Ngeksi- Ganda. 17 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 97. 18 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 58. Contoh kata-kata krama yang diambil dari bahasa asing Ngoko Krama Bahasa Asing Indonesia Omah Griya Sanskrit Rumah Wadon Putrisetri Sanskrit Perempuan Anak PutraAtmaja Sanskrit Anak Ratu Nata Sanskrit Ratu Batur Abdi ArabParsi Teman Kata-kata krama diambil dari Bahasa Jawa Kuna. Ngoko Krama Indonesia Kuping Talingan Telinga Endhog Tigan Telur Cangkem Tutuk Mulut Katon Katingal Kelihatan Omah Dalem Rumah Jika perkembangan tataran ngoko-krama bersamaan dengan berkembangnya babad, persoalannya adalah kapankah sastra babad Berkembang? Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa sastra babad berkembang dalam abad ke-17, atau sejak zaman Sultan Agung, raja terbesar dari Mataram yang lebih mulia dan berkuasa dari pada para pendahulunya dan para pemimpin masyarakat yang lain, termasuk keturunan para wali semuanya. Perjuangannya sebagai raja tidak hanya bertujuan untuk mencapai kejayaan politik, tetapi juga untuk kejayaan budaya. Pada akhir abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetap berupa tataran ngoko-krama. Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram melakukan pembinaan-pembinaan kekuasaan yang merupakan tradisi kraton dalam penulisan-penulisan babad tanah djawi, salah satu diantaranya adalah mengembankan budaya kraton yang bercorak halus 19 diantaranya: 1. Cara berpakaian dan macam pakaian yang serba indah, yang hanya boleh dipilih oleh mereka yang termasuk trah: kain parang bergaris miring, kain yang bermotif garuda, cara wanita menggelung rambut. 2. Cara mengambil sikap: semua orang yang lebih rendah harus menyembah. 3. Cara berbicara: yang status sosialnya lebih rendah, lebih muda usia atau lebih muda dilihat dari hubungan kekeluargaan harus basa krama berbahasa hormat Dikembangkan kemudian tataran ngoko-krama.

D. Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan