Pada akhir abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetap
berupa tataran ngoko-krama. Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram melakukan pembinaan-pembinaan kekuasaan yang merupakan tradisi
kraton dalam penulisan-penulisan babad tanah djawi, salah satu diantaranya adalah mengembankan budaya kraton yang bercorak halus
19
diantaranya: 1.
Cara berpakaian dan macam pakaian yang serba indah, yang hanya boleh dipilih oleh mereka yang termasuk trah: kain parang bergaris
miring, kain yang bermotif garuda, cara wanita menggelung rambut. 2.
Cara mengambil sikap: semua orang yang lebih rendah harus menyembah.
3. Cara berbicara: yang status sosialnya lebih rendah, lebih muda usia
atau lebih muda dilihat dari hubungan kekeluargaan harus basa krama berbahasa hormat Dikembangkan kemudian tataran ngoko-krama.
D. Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan
1. Unggah-Ungguh dalam Keluarga
Keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Secara umum keluarga terdiri dari paling tidak suami dan istri. Keluarga kecil
biasanya terdiri dari suami istri dan anak, sedangkan keluarga yang terdapat ibu dan ayah, kakek, nenek dan seterusnya ke atas juga terdapat
19
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 88.
anak, cucu dan seterusnya. Ke bawah disebut keluarga besar. Disinilah kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat
dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga
Keluarga merupakan pusat keamanan dan kedamaian dalam masyarakat Jawa,
20
sehingga untuk mewujudkannya harus didukung dengan aturan-aturan yang sesuai dengan nilai-nilai adat yang berlaku di
Jawa. Salah satu aturan yang masih berlaku adalah aturan sopan santun yang disebut dengan unggah-ungguh. Suami dalam keluarga mempunyai
kedudukan paling tinggi dari istri dan anak, sehingga suami disebut sebagai kepala rumah tangga. Suami istri tidak hanya mempunyai
kewajiban untuk mendapat anak, mereka juga harus mengurus kesejahteraannya, mendidik mereka untuk menjadi manusia, yaitu menjadi
orang Jawa, sambil memperlengkapi mereka dengan bekal-bekal yang diperlukan
untuk perjalanan
melintasi kehidupan.
21
Mengurus kesejahteraan anak di sini maksudnya adalah mulai menyambut kelahiran
anak dengan memasuki keadaan prihatin, dimana suatu kesadaran yang dipertinggi mengenai peristiwa-peristiwa yang mengganggu. Slametan
mitoni yang diadakan pada bulan ketujuh dari kelahiran. Setelah delapan
bulan dari kelahiran diadakan slametan tedhak siti, yakni ”turun ke tanah” dan akan diperbolehkan menapakkan kakinya di atas tanah. Siklus
20
Maria A. Sardjono, Paham Jawa Jakarta: Pusat Sinar Harapan, 1992, h. 14.
21
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Jakarta : Ikapi, 1996, h. 36. .
slametan tidak berhenti sampai di sana, melainkan akan diteruskan untuk
merayakan semua krisis kehidupan sampai masa perkawinan. Orang tua berperan penting dalam menerapkan sikap-sikap isin
malu yang dapat memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat kepada orang-orang lain dan keinginan untuk menghindari pertikaian dan
konfrontasi. Malu adalah rasa kekuatiran mengenai penampilan seseorang, kekuatiran untuk jangan dikritik atau ditertawakan, singkatnya suatu rasa
rikuh dan kekuatiran akan mata, telinga dan pendapat orang-orang lain.
Sikap yang setara dikenal sebagai sungkan. Sikap ini berkembang pertama kali dari pertumbuhan hubungan yang segan-segan dengan ayahnya
sendiri, yang setelah umur sepuluh atau dua belas, cenderung kearah menghindarkan diri. Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa
halus krama yang resmi untuk berbicara dengan ayahnya, dan memakai bahasa keluarga yaitu bahasa untuk memanggil kepada seluruh anggota
keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besarnya menggunakan bahasa krama seperti: Embah, Mbak, Kakang, mbakyu, paklek, budhe.
Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi adat-istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur
bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan patuh dari anak-anak
kepada tatanan, pertama-tama harus dinyatakan dengan tunduk, yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan tunduk pada keinginan
orang tuanya. Terhadap orang luar mereka harus mempertahankan
penampilan yang sesuai dengan kedudukan dan menjaga nama baik orang tuanya. Dengan suatu tamsil pemakaman, hal ini dinyatakan dalam
pepatah bahwa anak-anak harus mikul dhuwur mendhem jero. Secara harfiah mikul dhuwur berarti ”memikul tinggi-tinggi ” nama baik dan
moral yang tak tercela dari orang tua dengan memuji kebaikan orang tua dan keserasian dalam kehidupan keluarga. Sedangkan Mendhem jero
artinya adalah ”menanam dalam-dalam” segala sesuatu yang bisa menimbulkan ketidakselarasan, perasaan agresif, atau apa saja yang
dirasakan sebagai negatif mengenai kehidupan keluarga, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anak.
Dalam hubungan orang tua anak, orang tua memberi dan anak menerima. Kalau hubungan itu rusak, maka anak-anaklah yang bersalah.
Orang tua adalah mulia, bukan karena apa yang mereka lakukan atau berikan, tetapi semata-mata karena mereka lebih tinggi kedudukannya.
Sebagai orang tua mereka adalah wakil hidup, contoh dari tatanannya, dan karenanya secara wajar dijunjung tinggi dan disegani. Kehormatan adalah
haknya, pihak yang lebih bawah selalu menerima, penerimaan persembahan semata-mata hanyalah menggarisbawahi keunggulan moral
mereka sambil memohonkan kebaikannya untuk mengingatkan orang yang lebih rendah kedudukannya dan memberikan restu.
2. Unggah-Ungguh Terhadap Orang Lain
Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan orang lain. Dalam hidup orang tidaklah sendiri,
orang-orang terus bergerak ke dalam dan ke luar dari ruang pribadi masing-masing, dan hanya bijaksanalah kalau kontak-kontak semacam itu
dapat tetap tanpa percekcokan dan menyenangkan dengan mengakui secara sopan kehadiran yang lain, seperti misalnya dengan memberi salam
dengan menganggukkan kepala sedikit atau membungkukkan badan ketika berjalan melewatinya. Ketika masuk dan menempatkan diri pada meja di
dalam warung makan kecil dimana orang hampir bersinggungan bahu satu sama lain, orang harus menyapa salam dan mungkin menggumamkan
permintaan maaf karena mengganggu. Pada gilirannya orang lain itu yang telah dilayani terlebih dahulu akan mengakui kehadiran orang lain dan
minta ”permisi” untuk terus makan dengan menggumamkan permintaan maaf mereka nyuwun sewu, sedangkan orang yang baru datang akan
mengundang mereka untuk makan terus mangga dhahar. Ungkapan tersebut adalah bentuk sopan santun menyapa
menghormati ketika bertemu yang merupakan keharusan. Adalah tidak sopan dan kasar untuk tidak saling menegur dan sering kali dapat
merupakan petunjuk adanya pertikaian. Semuanya ini tentu saja tidak begitu menarik. Apa yang menarik perhatian ialah bahwa kebanyakan
orang sangat sadar akan arti pentingnya dari tegur sapa ini. Dalam ungkapan Jawa disebutkan ”ajining diri saka ing lathi”
yang artinya harga diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya cara bicara. Dalam berbicara atau bertutur sapa selalu mengutamakan perkataan yang
akan disampaikan kepada lawan bicaranya. Orang Jawa dalam bertutur
sapa selalu memperhatikan dengan siapa mereka bicara atau lingkungan yang bagaimana. Pendek kata orang Jawa yang mampu mengendalikan
ucapannya akan dilihat orang lain sudah dewasa wis dadi wong sudah menjadi orang atau wong Jowo tulen orang Jawa asli. Ini berarti
mengatur dan berhati-hati dalam berbicara dengan menggunakan kata-kata yang halus dan tepat sangatlah penting. Disamping itu menjaga perilaku
juga tidak kalah pentingnya dalam interaksi sosial. Berperilaku yang dimaksud ialah aktifitas atau kegiatan yang
ditunjukkan orang Jawa ketika berhadapan dengan orang lain. Orang jawa selalu berusaha menjaga sikap dan perilakunya dalam segala situasi agar
tidak sampai menimbulkan konflik.
22
Disamping itu, tujuan yang sebenarnya supaya orang Jawa dapat mencapai kesempurnaan hidup
seperti telah disinggung pada bab sebelumnya. Dalam rangka mewujudkan keinginannya itu orang Jawa berusaha semaksimal mungkin untuk
bertindak dari yang terlihat kasar sampai alus. Orang Jawa cenderung mengutamakan ”rasa” dan ”rasa” yang benar hanya dapat dicapai dengan
tindakan-tindakan atau perilaku yang alus. Untuk mengetahui kepada siapa saja orang Jawa harus
mengimplementasikan unggah-ungguh dalam bersosialisasi di masyarakat. Hal itu akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 38.
a. Kepada orang yang mempunyai kedudukan
Kata kedudukan sebenarnya mengandung banyak pengertian. Namun dalam hal ini yang dimaksud adalah raja dan orang-arang
penting lainnya dalam kraton, pemimpin negara dan para menterinya, pemimpin perusahaan, dan pemimpin-pemimpin lainnya.
1. Raja
Raja adalah pemimpin kerajaan yang berkuasa mengatur dan mengayomi serta melindungi rakyat. Maju dan mundurnya
suatu kerajaan bergantung pada sikap dan perilaku sang raja. Orang Jawa memandang seorang raja sebagai figur yang karismatik,
karena ia dianggap keturunan dewa atau utusan Tuhan untuk menjaga kelangsungan hidup rakyat. Apabila raja bersikap
bijaksana, adil, jujur dan bersikap baik lainnya, maka rakyat makmur, panen melimpah, aman, tentram dan damai. Sebaliknya
bila raja bersikap tamak, rakus, kejam, membela yang salah, arogan dan atribut lainnya yang kurang baik, maka rakyat akan sengsara,
terjadi balak bencana, konflik dimana-mana, rakyat mengalami paceklik
dan sebagainya.
23
Orang Jawa sangat takut dan menghormati rajanya karena ucapannya akan menjadi kenyataan. Bentuk hormat yang
ditunjukkan dalam bertutur sapa pada raja mayoritas orang Jawa menggunakan tingkatan krama inggil. Tujuan orang Jawa dalam
23
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 Yogyakarta: Yayasan Taman Siswa, 1989, h. 4.
hal ini tidak semata ingin supaya kelihatan sopan, tetapi lebih dari itu, yakni mendapat restu dari raja. Maka wajar saja orang Jawa
akan patuh dan taat pada rajanya bahkan berkorban apa saja mereka rela.
2. Pemimpin
Atasan dan bawahan, pemimpin dan pengikut adalah dua macam, masing-masing dengan tugas dan kewajibannya sendiri.
Pemimpin adalah orang yang diberi kepercayaan atau tanggung jawab untuk menjalankan organisasi yang dipimpinnya, baik
organisasi yang besar maupun yang kecil. Dalam pembicaraan ini lebih tepatnya disebut atasan atau orang kaya. Masuk tempat
kehidupan dari atasan untuk menunjukkan keunggulannya dengan mampu menguasai diri sendiri dan keadaan. Karena penguasaan ini
ia dapat memberikan perlindungan pengayoman moral atau material kepada para pengikutnya anak buah yang harus
menerima kepemimpinannya dan menghormatinya, karena itu merupakan kewajiban dan tempatnya dalam kehidupan.
Atasan diharapkan untuk tahu lebih baik, untuk bersikap kebapaan, dan memperhatikan bawahan atau pengikut mereka.
Mereka harus bersimpati tepa slira dengan orang-orang yang tergantung padanya, mengilhami sekaligus rasa takut dan percaya
wedi asih . Di lain pihak bawahan tidak dapat bersimpati kepada
atasan mereka, sebab tepa slira betapapun berarti ’mengukur pada
diri mereka sendiri dari tugas-tugas dari kedudukan yang mulia? Memikirkan hal itu saja adalah tidak pada tempatnya dan
merupakan kekurangajaran belaka. Dan itu akan merupakan satu demonstrasi mengenai ketidaktahuan seseorang akan tempatnya,
dan demikian secara etik dapat dikutuk.
24
Pembagian terlembaga antara atasan dan bawahan dalam dirinya membawa bahaya saling menjauhkan diri, atasan menjadi
congkak, pemimpin jadi sewenang-wenang, dan bawahan menentang secara pasif. Di pihak bawahan jarak yang memisahkan
mereka dari atasan sering kali dinyatakan oleh rasa takut yang dialami sebagai rasa segan yang kuat sungkan. Rasa sungkan ini
tidak disebabkan oleh ketakutan akan pelanggaran atau kecaman yang secara khas akan menyebabkan rasa malu dan kepercayaan
diri yang merendah, tetapi lebih merupakan sikap melindungi diri dalam suatu keadaan yang dialami sebagai tak tertanggungkan.
Sungkan berbatasan
dengan ketakutan
dan dapat
menghambat kelancaran hubungan-hubungan kerja. Bahaya ini disadari oleh nasihat moral yang banyak sekali jumlahnya yang
kiranya akan membimbing kepemimpinan yang baik, sering kali diungkapkan dalam semboyan aja dumeh, yang diterjemahkan
sebagai kata ”jangan mentang-mentang”, yang berarti kira-kira
24
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat Jawa, h. 57
jangan berfikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih unggul.
Sikap hidup aja dumeh orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat ini, selalu mengutamakan kepentingan umum
atau masyarakatnya dari pada kepentingan pribadinya, agar bisa menghindari Aji mumpung. Aja dumeh adalah pedoman mawas
diri
25
bagi semua orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aja dumeh adalah suatu
peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Sebagian besar orang Jawa akan selalu berkata inggih ya
dan mboten tidak, ketika berbicara dihadapan atasannya. Orang Jawa hampir tidak pernah menunjukkan penolakan terhadap apa
yang diperintahkan oleh atasannya. Mereka selalu berkata inggih ya, meskipun itu bukan pertanda bersedia.
Dengan demikian ya bisa berarti tidak dan tidak yang diucapkan dengan ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah didapat
suatu kepastian dari ucapan orang Jawa. Kepastian baru diketahui nanti pada pelaksanaan selanjutnya. Apabila sesuatu direalisasikan
25
Aji mumpung atau sekarang orang menyebutnya mumpungisme adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang
diberi anugerah kesempatan untuk hidup “di atas”. Pedoman mawas diri dapat dikategorikan sebagai: 1. aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksa marang sapada-pada, artinya
janganlah mentang-mentang sedang berkuasa, segala tindak tanduknya pongah dan congkak serta sewenang-wenang terhadap sesamanya. 2. Aja dumeh pinter tumindake keblinger, artinya
janganlah mentang-mentang diakui pintar, lalu kebijaksanaannya menyimpang dari aturan yang seharusnya, 3. Aja dumeh kuat lan gagah tumindake sarwa gegabah, 4. Aja dumeh sugih
tumindake lali karo sing ringkih
, 5. Aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang. Budiono Herusatoto, Simbolisme Budaya Jawa Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 1987, h. 82.
atau dilaksanakan sesuai perintah berarti ya dan jika sebaliknya maka artinya tidak.
Sifat orang Jawa selalu berusaha membuat senang orang lain terutama atasannya dengan tujuan tercapainya komunikasi
yang harmonis. Sikap di atas itulah oleh Marbangun Hardjowirogo disebut sebagai sikap feodalistik manusia Jawa.
26
Yaitu sikap mental khusus terhadap sesama karena adanya perbedaan usia dan
kedudukan. Orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan kepada lawan bicara sesuai kedudukan dan usianya.
Sebagaimana dipaparkan di muka bahwa orang yang mempunyai kedudukan dapat berarti raja, pemimpin, pejabat,
orang kaya, guru dan orang yang mempunyai derajat tinggi lainnya. Mereka diposisikan seperti orang yang ditaati dan ditakuti.
Orang Jawa yang merasa lebih rendah derajatnya akan bersikap hormat dan merasa tidak leluasa bergerak dihadapan orang yang
memiliki kedudukan. Mereka membungkuk hormat dan tersenyum sambil mengisyaratkan dengan tangan kanannya, ketika ia akan
berlalu. Secara mental mereka dibebani dengan tradisi dan tata gaul dimana ia tidak mampu dan tidak berani membebaskan diri
darinya. Fenomena tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun
terutama di dalam lingkungan keraton. Seorang panglima, demang,
26
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, h. 11.
apalagi rakyat biasa, ketika dihadapan raja tanpa memandang usia, mereka mengangkat kedua tangan sedemikian rupa mirip orang
melakukan sembah dan berjalan dengan jongkok pada waktu datang maupun akan meninggalkan tempat duduk. Tradisi
demikian ditunjukkan orang Jawa tidak hanya di dalam lingkungan keraton saja, tetapi juga dalam pertemuan-pertemuan dalam kantor,
musyawarah organisasi dan sebagainya, meskipun sikapnya sedikit berbeda.
b. Kepada orang yang lebih tua usianya
Yang dimaksud orang yang lebih tua di sini adalah kakek, nenek, ayah, ibu, pakdhe, bulik, kakak dan yang lain. Terhadap mereka
biasanya orang jawa menggunakan bahasa krama bahkan krama inggil dalam bertutur sapa. Seorang yang berbicara dengan bahasa Jawa
tinggi krama inggil secara mulus adalah alus. Jiwa dan watak seseorang akan alus sepanjang ia secara emosional memahami struktur
akhir keberadaannya atau mampu menempatkan diri secara tepat.
27
Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan istilah- istilah dari bahasa keluarga. Untuk laki-laki dewasa ke atas disebut
kang, paklik, pakdhe, mbah, dan seterusnya. Sedangkan untuk
perempuan dewasa ke atas dengan panggilan mbakyu, bulik, budhe, mbah
dan seterusnya.
28
Hal ini digunakan sebagai wujud rasa hormat dan mempererat rasa persaudaraan. Orang Jawa selalu mengutamakan
27
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 312.
28
Frans Magnis Suseso, Etika Jawa, h. 61.
kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, sehingga rasa kegotong-royongan mereka sangat tinggi.
Kefasihan dalam menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam
keluarga. Pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat,
yaitu wedi takut, isin malu, dan sungkan malu-malu. Seorang anak akan mendapat pujian apabila bersikap wedi takut terhadap
orang yang lebih tua, karena jika tidak demikian dianggap tidak sopan dengan slogan wong cilik wani wong tuwo bakal ciloko anak kecil
berani sama orang tua akan celaka atau kuwalat. Selain wedi juga isin malu. Belajar merasa malu ngerti isin
adalah langkah awal kearah kepribadian Jawa yang matang. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat
yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Marbangun Hardjowirogo menamakan hal itu sebagai sikap rumangsan yang
berarti perasa. Dengan kata lain orang Jawa merasa tindak-tanduknya selalu diawasi orang lain sehingga ia takut atau malu kalau perilakunya
melanggar kesopanan. Maka dengan sendirinya seorang warga tidak berani berbuat bebas karena merasa takut mendapat malu dengan
melanggar tata-krama dan kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.
c.
Kepada Orang Asing
Adapun yang dimaksud orang asing disini adalah orang yang belum dikenal dengan mengesampingkan usia dan kedudukan. Orang
asing yang belum dikenal bisa dari daerah sendiri maupun dari luar daerah. Orang asing yang sedaerah, dalam hal ini ialah orang Jawa
dengan orang Jawa lain yang belum dikenal sama sekali. Sedangkan orang asing luar daerah yaitu orang Jawa dengan orang yang berasal
dari daerah luar Jawa yang belum dikenal. Dalam menghadapi orang asing mayoritas orang Jawa akan
bersikap rendah hati, menghormatinya karena salah satu faktor unggah-ungguh
adalah menghormati yang baru dikenal. Hal ini bertujuan agar keselarasan sosial terwujud dan menghindari terjadinya
konflik terbuka. Biasanya orang Jawa menggunakan kata-kata yang pantas
untuk memberi hormat pada orang asing. Terkadang orang Jawa menggunakan bahasa krama biasa kepada orang asing yang lebih
muda dan menggunakan bahasa krama inggil terhadap orang asing yang lebih tua. Untuk menyapa orang yang dikenal tetapi tidak begitu
dekat atau orang yang belum dikenal sama sekali, orang Jawa mengucapkan menapa sami sugeng apakah anda sehat atau
panjenengan saking tindak pundhi? kamu dari mana? dan
sebagainya.
29
Ini menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi orang
29
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 334.
Jawa menggunakan dan selalu memperhatikan pola berbahasa yang mengikuti aturan kasar-alus. Kenyataan tersebut ditunjukkan terutama
ketika berhadapan dengan orang asing. Orang asing selalu disapa dengan menggunakan istilah-istilah bahasa keluarga seperti: pak, bu’,
mbah, mbakyu, mas, budhe, pakdhe, budhe, dan seterusnya.
Sikap orang Jawa terhadap orang asing selalu menunjukkan rasa sungkan. Sungkan merupakan suatu perasaan yang mendekati rasa
malu isin, namun berbeda dengan malunya seorang anak kepada orang asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif dan
sebagai rasa hormat yang sopan terhadap orang yang belum dikenal, sehingga merasa tidak bebas bertingkah laku karena takut dianggap
orang yang tidak tahu unggah-ungguh. Orang Jawa selalu merahasiakan maksud yang akan
disampaikan kepada orang yang belum akrab, terlebih lagi orang yang belum dikenal itu juga sebagai pejabat atau orang yang derajatnya
lebih tinggi. Rasa takut dan sungkan selalu ditunjukkan seseorang terhadap orang asing. Seandainya terpaksa harus menyampaikan, maka
akan digunakan cara yang sehalus mungkin. Cara menyembunyikan maksud sebagai penghormatan pada orang lain yang belum dikenal ini
dikembangkan orang Jawa melalui sikap ethok-ethok pura-pura. Sikap pura-pura seakan merupakan suatu keharusan bagi orang Jawa,
untuk tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya secara langsung terutama kepada tamu. Setiap macam perasaan yang negatif terhadap
orang lain harus ditutup-tutupi, dan orang sangat dianjurkan untuk tersenyum dan menyenangkan orang lain walaupun mereka sebenarnya
menjengkelkan. Usaha tersebut adalah untuk menjaga tingkat keakraban tetap
sedang-sedang saja dalam hubungan antar orang. Orang Jawa selalu menawari setiap orang yang lewat untuk mampir, meskipun
sebenarnya ia orang yang paling tidak disukai. Demikian juga yang terjadi ketika orang bertemu. Mereka akan menolak tawaran makan
walaupun sebenarnya sangat kelaparan. Orang Jawa sudah mengerti dan paham betul dengan tawaran-tawaran tersebut, karena hal itu
dianggap pura-pura, maka mereka pun menanggapi dengan sikap pura- pura pula. Inilah yang membuat sulit untuk menafsirkan sikap dan
perilaku orang Jawa. d.
Kepada orang yang setara atau sederajat Dalam memperhatikan aturan kasar-alus berbahasa, orang
Jawa bersikap lain. Artinya dengan orang yang berkedudukan, pemimpin, dan orang yang lebih tua serta orang asing, mereka
menggunakan bahasa yang halus, namun terhadap orang yang setara mereka menggunakan bahasa ngoko. Hampir semua orang Jawa
berbahasa ngoko kepada orang yang memiliki status sosial sederajat atau sama, tetapi terkadang orang yang sama-sama memiliki
kedudukan terhormat menggunakan bahasa krama bahkan krama inggil
. Misalnya raja dengan raja, atasan dengan atasan, majikan
dengan majikan dan sebagainya.
30
Namun meskipun kepada orang yang setara atau sederajat tetapi belum dikenal sama sekali orang
asing dalam komunikasi ini menggunakan bahasa krama bahkan krama inggil
. Orang Jawa yang setara baik usia, derajat dan sudah dikenal
akrab kebanyakan menggunakan tataran bahasa ngoko. Hal ini bukan berarti
tanpa ada
penghormatan di
antara mereka
atau mengesampingkan unggah-ungguh, tetapi dengan bahasa ngoko sudah
dianggap sebagai prinsip saling menghormati. Sikap pada saat mereka berkomunikasi atau tepatnya berbicara, mereka bebas dengan tidak
meninggalkan sopan santun.
31
Orang Jawa yang menggunakan bahasa Jawa ngoko ini biasanya dilakukan antara bawahan dengan bawahan,
anak muda dengan anak muda, bukan dari golongna ningrat, rakyat biasa dengan rakyat biasa termasuk murid dengan murid. Seperti
kalimat ”kowe arep neng endi?”, atau ”Sampean arep neng endi?”. Terhadap orang yang memiliki derajat sama antara orang Jawa
satu dengan lainnya ada sedikit perbedaan. Sikap orang Jawa yang sama-sama mempunyai derajat dan kedudukan atau kekayaan berbeda
dengan orang yang sama-sama tidak memiliki derajat dan kedudukan atau kekayaan.
30
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah
Yogyakarta: Depdikbud, 1990, h. 36.
31
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 42.
Seorang raja selalu dipersilahkan duduk di atas kursi ketika bertamu menemui raja yang lain. Meskipun pada awalnya dibiarkan
duduk di bawah. Mereka juga saling menjaga sikap dengan tidak bebas bergerak dan selalu menjaga sopan-santun. Demikian juga yang
dilakukan seorang atasan terhadap atasan lainnya, mereka ditempatkan dan diposisikan secara terhormat bahkan terkadang dimuliakan. Ini
merupakan wujud adanya rasa saling hormat-menghormati. Ketika keduanya bertemu dalam suatu pertemuan, maka mempersilahkan
duduk dengan badan membungkuk atau condong ke depan dengan tangan kiri di perut dan tangan kanan diacungkan ke tempat duduk.
Sikap dan perilaku orang Jawa yang tidak memiliki derajat atau kedudukan sangat berbeda dengan hal di atas. Orang yang sama-sama
bawahan cenderung bebas dan memperhatikan kesopanan secara tidak ketat. Ketika mereka bertemu langsung mempersilahkan duduk dengan
isyarat tangan kanan bahkan terkadang tidak sama sekali dan juga tanpa membungkukkan badan.
e. Kepada orang yang lebih muda atau bawahan
Untuk menjaga keharmonisan dan kesalarasan sosial, maka orang yang lebih tua harus dapat menjaga kehormatannya dihadapan
orang yang usianya lebih muda. Kebanyakan orang tua menggunakan bahasa Jawa ngoko atau krama madya terhadap orang usianya lebih
muda.
32
Orang Jawa yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa ngoko
32
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 47.
kepada orang yang lebih muda, apabila sudah dikenal akrab atau mempunyai hubungan darah. Jika orang yang lebih muda belum
dikenal akrab atau tidak mempunyai hubungan darah maka orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa krama madya.
Disamping usia juga status sosial. Sebagai atasan atau orang yang mempunyai kedudukan sederajat lebih tinggi, orang Jawa tetap
akan berusaha menjaga sikap berbicara kepada orang biasa atau bawahannya. Orang yang lebih rendah mengambil pola andap-asor
dan yang lebih tinggi mengambil pola yang lebih tinggi, meskipun terkadang sedikit terkesan sombong. Sebagai orang yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi harus berhati-hati dan waspada dalam berbicara kepada orang yang lebih rendah. Jika salah persepsi pada diri bawahan
yang menganggap ucapan atasan tersebut diartikan suatu penghinaan, maka mereka akan marah.
33
Demikian juga dalam berperilaku. Demi menjaga statusnya yang terhormat tersebut, mereka tidak sembarangan dalam berperilaku
meskipun dihadapan orang yang lebih muda atau bawahan. Kebanyakan orang Jawa menunjukkan sikap kewibawaannya di
hadapan orang miskin atau orang yang lebih muda. Apabila atasan atau orang tua bertemu dengan bawahan, orang miskin atau lebih muda
usianya ia bersikap bebas dengan tetap menjaga kesopanan. Demikian juga ketika duduk bersama dilantai atau lesehan, dihadapan orang yang
33
Clifford Greetz, Abangan Santri Priyayi, h. 327
lebih muda atau bawahan, mereka duduk sila yakni posisi telapak kedua kaki di bawah paha.
Sikap demikian disebut sebagai rasa asah, asih, asuh. Asah, mengasah
34
yaitu mengasah benda tajam dengan alat khusus grendo agar benda tersebut menjadi tajam. Asah berarti juga mengasahi yaitu
membersihkan gelas, piring, dan sebagainya. Karena berkaitan dengan sikap seorang pemimpin terhadap bawahan atau sikap orang tua
terhadap orang yang lebih muda, maka arti yang lebih tepat yaitu mengasah dalam arti membuat benda menjadi tajam. Maksudnya
adalah bahwa seorang pemimpin atau orang tua harus menghormati dengan memberi wejangan teladan sikap yang cerdas agar bawahan
atau anak yang lebih muda bersikap cerdas dan pandai serta berpengetahuan luas.
Asih artinya cinta,
35
kasih sayang, bijaksana dan sejenisnya. Maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin atau orang yang lebih tua
harus bersikap bijaksana, memberi kasih sayang dan cinta terhadap bawahan atau anak yang lebih muda. Atasan atau orang lebih tua
dengan sikap asihnya di atas membuat bawahan atau orang yang lebih muda merasa dihormati dan sudah sesuai dengan unggah-ungguh.
Asuh sama dengan membimbing,
36
artinya pemimpin atau orang yang lebih tua yang memahami unggah-ungguh harus dapat dan
mampu membimbing bawahannya atau orang yang lebih muda. Karena
34
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 28.
35
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa, h. 29.
36
Zoetmulder, Kamus Bahasa Jawa Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 3
apabila tidak mampu membimbing akan dikatakan orang tua atau pemimpin yang tidak tahu unggah-ungguh terhadap bawahan atau
orang yang lebih muda. 3.
Unggah-Ungguh terhadap Dunia lain Telah disebut dalam bab sebelumnya bahwa orang Jawa terutama
abangan telah mewarisi keyakinan dari nenek moyangnya. Keyakinan itu disebut animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu keyakinan
adanya roh atau jiwa dalam benda hidup maupun benda mati, sedangkan dinamisme yaitu suatu keyakinan adanya kekuatan gaib yang terkandung
dalam benda mati
37
dalam keyakinan semacam itu orang Jawa menganggap adanya roh yang paling berkuasa. Agar terhindar dari
kekuatan roh tersebut maka orang Jawa menghormatinya dengan cara menyediakan sesaji dan mengadakan upacara-upacara agar roh tersebut
tidak menyakiti manusia dan sebaliknya bersedia melindungi manusia. Apabila manusia Jawa ingin merasa slamet dari gangguan roh-roh
tersebut, maka ritus religius yang terpenting dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan diadakan pada semua peristiwa penting
dalam hidup. Seperti kehamilan, kelahiran, sunat, perkawinan, pemakaman, sebelum panen padi, dan juga sebelum melakukan perjalanan
besar seperti naik haji, sesudah naik pangkat, atau pada setiap kesempatan dimana keselamatan kosmis perlu dijamin kembali.
37
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam”, dalam HM. Darori Amin, ed, Islam kebudayaan Jawa Yogyakarta: Gama Media, 2000, h. 9.
Gaib adalah sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Percaya kepada yang gaib seperti pada Allah SWT, kepada Malaikat, Jin,
Syaitan dan sebagainya. 4.
Unggah-Ungguh Terhadap Tuhan Orang Jawa merupakan masyarakat yang berkeyakinan, sejak
zaman nenek moyang orang Jawa sudah mempunyai keyakinan animisme dan dinamisme. Dengan keyakinan itu orang menganggap bahwa ada
kekuatan gaib di luar kekuatan manusia, keyakinan orang Jawa terhadap adanya ruh pada setiap benda, baik benda hidup maupun benda mati
disebut animisme, sedangkan dinamisme adalah suatu keyakinan terhadap suatu benda hidup atau mati dianggap memiliki kekuatan gaib.
Orang Jawa melakukan hormat terhadap Tuhan yang diyakininya seperti tersebut di atas dengan mengadakan upacara dan ritual-ritual
tertentu. Hal ini bertujuan untuk mereka tenang dan selalu di lindungi oleh ruh maupun kekuatan gaib yang dianggap sebagai Tuhan.
Dengan demikian, dalam hidup bermasyarakat secara tidak langsung manusia selalu berhadapan dengan aturan yang berlaku atas
kesepakatan bersama. Aturan itu sangat berfariasi sesuai dengan latar belakang dan geografis lingkungan secara turun-temurun. Inilah yang
disebut etiket. Di Jawa misalnya dikenal adanya etiket unggah-ungguh. Unggah-ungguh
merupakan salah satu etiket orang Jawa yang selalu diaplikasikan ketika bersosialisasi dalam masyarakat, khususnya Jawa.
Dalam bertindak orang Jawa selalu memperhatikan unggah-ungguh.
Orang yang sudah memahami unggah-ungguh akan mampu menempatkan dalam masyarakat.
Salah satu tujuan hidup orang Jawa adalah mencapai keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos atau oleh Frans Magnis Suseno
disebut kesatuan numinus. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut orang Jawa akan berusaha semaksimal mungkin. Salah satu usaha yang
dilakukan adalah memperbaiki sikap atau perilaku. Orang Jawa akan dikatakan baik apabila sikap dan perilakunya sesuai atau selaras dengan
sikap batin yang tepat. Artinya manusia terdiri dari lahiriah dan batiniah, tetapi karena segi lahiriah manusia berkaitan dengan materi yang menjadi
penghambat kejernihan batin, maka hambatan tersebut harus dihilangkan. Hambatan-hambatan itu diantaranya rame ing gawe dan pamrih egois.
Untuk membangun sikap batin yang sesuai adalah sikap sepi ing pamrih yang didasari oleh sikap eling, sabar, nrimo, dan ikhlas.
E. Pemakaian Bentuk Hormat dalam Bahasa Jawa