BAB III ETIKA JAWA TENTANG UNGGAH-UNGGUH
A. Pengertian Unggah-Ungguh
1. Secara Etimologi
Unggah-ungguh menurut bahasa adalah gabungan dari dua kata
yaitu kata unggah dan kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa Jawa disama-artikan dengan kata munggah yang artinya naik, mendaki,
memanjat.
1
Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi.
Sedangkan ungguh dengan tingkat bahasa Jawa ngoko yang artinya berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya.
2
Dalam hal ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau
memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas
dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh
artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.
3
Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam bergaul dalam masyarakat selalu memperhatikan aturan
sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan sentausa tanpa ada konflik.
1
S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989, h. 296.
2
P.S. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995, h. 1334.
3
S.A. Mangunsuwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa Bandung: CV. Yrama Widya, 2002, h. 570.
2. Secara Terminologi Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan unggah-ungguh secara
langsung maupun tidak langsung. Tokoh tersebut diantaranya adalah Frans Magnis Suseno, S. Soemiati Soetjipto, Clifford Geertz dan Maryono
Dwiraharjo. Menurut Franz Magnis Suseno, unggah-ungguh identik dengan
prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada orang
lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
4
Menurutnya masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu diakui oleh semua
manusia dengan menempatkan diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus dihormati dan
mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah memakai sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tangung jawab. Orang Jawa dalam menyapa orang
lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan
gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil sebagai pengungkapan sikap
hormat yang paling tinggi. Tatanan dalam tingkat bahasa krama inilah merupakan suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik,
sehingga tatanan ngoko-krama mempunyai fungsi yaitu untuk mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan
4
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
Jakarta: PT. Gramedia, 1985, h. 60
lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi
dan bentuk suatu pembicaraan. Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan F.M. Suseno
merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat.
Begitu juga S. Soemiati Soetjipto mengartikan unggah-ungguh sebagai
pola tingkah
laku manusia
yang beradab,
dan menyamaartikannya dengan istilah sopan santun, yaitu suatu peradaban
lahiriah yang mencakup semua tindakan manusia yang keluar dari kesadaran dan selera baik.
5
Dalam hal ini sama dengan pemahaman dalam pandangan Islam, konsep ini merupakan sikap tawadhu’.
Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul abangan santri dan priyayi, istilah unggah-ungguh disebut juga dengan andap-asor yaitu
suatu sikap merendahkan diri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat atau
lebih tinggi.
6
Maryono Dwiraharjo mendefinisikan unggah-ungguh sebagai berikut: unggah-ungguh adalah tingkah laku berbahasa menurut adat
5
S. Soemiati Soetjipto, Sikap Kita dalam Pergaulan I Jakarta: Balai Pustaka, 1975, h. 11.
6
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983, h. 326.
sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain.
7
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh orang Jawa
dalam membawa diri di masyarakat yang selalu memperhatikan ucapan atau bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang
lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan lebih baik dan selaras. Pada dasarnya makna unggah-ungguh yang
dikonotasikan dalam berbagai bentuk tersebut berupa tatanan yang mengandung makna yang sama dan mempunyai tujuan yang sama pula.
Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, diantaranya ialah menunjukkan sikap dalam masyarakat. Sikap yang
ditunjukkan biasanya hanya sebatas basa-basi terkadang mereka saling menawari untuk singgah, tetapi hal itu bukan tawaran yang serius. Hal ini
ditunjukkan orang Jawa untuk memupuk rasa kerukunan dan keakraban. Ada beberapa literatur yang menyebutkan kepada siapa saja orang
harus melaksanakan unggah-ungguh berprilaku dan berbicara halus, biasa dan kasar. Di mana dari keseluruhan hal tersebut terbagi dalam
beberapa kriteria atau kelompok yaitu, berunggah-ungguh kepada orang yang mempunyai kedudukan, kepada orang yang lebih tua, kepada orang
asing, kepada orang yang setara, kepada orang yang lebih muda atau
7
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001, h. 67.
bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai sikap berbicara maupun sikap berperilaku.
Sebelum pembahasan diperdalam, tidak ada salahnya apabila disinggung lebih dahulu sedikit mengenai unggah-ungguh dalam berbagai
aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah laku.
B. Unggah-Ungguh Dalam Beberapa Aspek