BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak dapat lepas dari hubungan dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain demikian
juga sebaliknya proses sosial tersebut dalam sosialisasi disebut sebagai interaksi sosial.
1
Interaksi yang berlangsung dalam masyarakat berkaitan dengan komunikasi. Melalui perjalanan hidup manusia dari zaman ke zaman,
sistem komunikasi dalam masyarakat mengalami perkembangan dan lambat laun sistem komunikasi mengalami kemajuan yang lebih praktis dari
sebelumnya. Komunikasi yang dilakukan manusia sedikit banyak membawa
pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Manusia dalam berkomunikasi mengalami berbagai bentuk fenomena, baik berupa konflik, kerja sama dan
sebagainya. Hidup seakan terentang dalam suatu jaringan norma
2
yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Jaringan itu seolah-olah
membelenggu manusia, mencegah manusia dari bertindak sesuai dengan segala keinginannya, yang mengikat manusia untuk melakukan sesuatu yang
sebetulnya dibenci atau sebaliknya. Menghadapi semacam ini, nampaknya
1
Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 153.
2
Norma adalah seperangkat aturan yang berlaku pada daerah tertentu yang telah menjadi kesepakatan bersama. Lihat: Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, h. 20.
manusia membutuhkan solusi dan orientasi yang tepat dalam menjalani hidup. Dalam hal ini etika memiliki peranan yang sangat besar dan vital.
Etika yang berlaku di Indonesia berbagai ragam. Ada daerah yang kuat sekali etikanya yang berpangkal pada adat aslinya, ada yang berpangkal
kuat pada agama yang sangat berpengaruh di daerah itu, ada juga daerah yang sama kuat etikanya berpangkal pada adat maupun agama sehingga terjadi
akulturasi.
3
Berbagai ragam dalam bidang etika ini dibawa oleh sejarah daerah masing-masing dalam menerima dan menyerap etika yang datang kesana.
Bangsa Indonesia dari zaman purba telah mempunyai kumpulan norma-norma dan nilai-nilai etikanya, yang mengatur tata kehidupan mereka.
Masuknya agama dan kebudayaan Hindhu kemudian ke Indonesia membawa etika yang bersumber dari agama Hindhu. Di dalam epos Mahabharata
misalnya digambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari tokoh-tokoh sejarah Hindhu, yang kemudian dijadikan teladan yang dimasukkan dalam
ceritera atau lakon wayang di Jawa.
4
Demikian juga Islam yang disebarkan oleh Walisongo, sangat mendominasi hampir semua tanah di Jawa. Selain itu,
Barat juga membawa etika yang bersumber dari Katolik, dan dipakai didaerah- daerah yang penduduknya memeluk agama ini. Sejalan dengan ini mulai pula
dibawa etika filosofis, yang berpangkal pada filsafat Yunani Kuno.
5
Etika filosofis inipun dipelajari pula oleh orang Indonesia, lebih-lebih di perguruan
tinggi.
3
Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, Jakarta: PT. Bina Aksara,1987, h. 11
4
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1992, h. 24. Selanjutnya ditulis Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa ... .
5
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat, Yogyakarta: Kanisisus, 2002, h.15. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ... .
Masuknya etika tersebut sedikit banyak mewarnai masyarakat baik dalam hal pandangan hidup, prilaku, pola hidup bahkan ideologi. Di Indonesia
khususnya suku Jawa memiliki corak budaya yang khas sehingga menarik perhatian para sarjana lokal bahkan tidak sedikit sarjana asing yang
melakukan penelitian tentang Jawa. Sebagai orang Suku Jawa, penulis juga merasa terpanggil dengan eksistensi budaya Jawa tersebut. Namun untuk
meneliti secara sistematis dan kronologis membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit.
Etika secara umum mencakup hampir semua yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Di samping itu pembahasan etika sangat luas, sehingga
Frans Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi. Dalam hal ini manusia berusaha menggunakan akal budi dan daya pikirannya
untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ingin menjadi lebih baik.
6
Disebut etika secara umum karena cakupannya sangat luas, sedangkan yang lingkupnya lebih terbatas adalah etika khusus. Yang terakhir
ini seperti etika Barat, etika Timur, etika Islam, dan sebagainya termasuk etika Jawa yang cakupannya lebih spesifik atau khusus pada daerah tertentu yaitu
Jawa. Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari
solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup. Bicara etika Jawa tidak terlepas
6
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat, h. 17.
dari sifat dan prilaku orang Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang unik. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur.
7
Tingkah laku dan sifat orang Jawa dalam hidup bermasyarakat sulit dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan pasti. Pada kehidupan sehari-hari
sering dijumpai bahwa ketika orang Jawa merasa sungkan malu-malu ketika disuguhi hidangan. Hal ini sulit dipastikan apakah dia tidak suka atau
pantangan terkait dengan kesehatannya ataukah dia merasa sudah kenyang dan sebagainya. Jelasnya, orang Jawa sangat pandai dalam hal menyembunyikan
maksud hatinya. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah cara mereka memegang prinsip hidup seperti: saiyeg saeka praya, patembayan, pasrah,
narimo ing pandum,
8
manunggaling kawula-gusti
9
dan sebagainya, adalah prinsip yang bermakna filosofis bagi orang Jawa.
Prinsip seperti ini menunjukkan bahwa orang Jawa selalu merendah hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela berkorban apapun demi
orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai.
10
Jika demikian yang terjadi adalah sesuatu yang sangat positif dan mulia. Akan tetapi yang kurang
baik apabila terjadi sebaliknya, dimana orang Jawa yang selalu atau memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau lebih tinggi
derajatnya tetapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang
7
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai,
Yogyakarta: Kanisius, 1983. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai ... .
8
H. Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual,” dalam H.M. Darori Amin, ed., Islam dan Kebudayaan Jawa Yogyakarta: Gama Media,
2000, h. 125.
9
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, h. 28.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,
Jakarta: Gramedia, 1985, h. 58. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ... .
demikian, dimana orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam kepada orang lain yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi dia harus
memberi hormat pada orang lain yang lebih tinggi baik usia, derajat maupun kedudukannya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik pada sikap orang
Jawa terutatama masalah unggah-ungguh. Unggah-ungguh
atau yang berarti tata sopan santun dalam sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari telah mengalami pergeseran
eksistensi pemaknaannya. Dalam perkembangannya, dahulu orang Jawa masih taat dan patuh atau dengan kata lain tunduk terhadap sesuatu yang dianggap
leluhur atau wejangan sesepuh terlepas dari unsur yang melatarbelakanginya.
Akan tetapi ketika gerbong zaman yang selalu berputar manusiapun menjadi roda putarannya, bahkan menjadi sebuah pemberontakan. Hal ini karena
pengaruh ilmu pengetahuan yang semakin maju, budaya Timur keramahan telah tergeser, atau bahkan pengaruh ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini
modernisasi menjadi tolak ukur dan alasan seseorang pada saat ini yang dianggap lebih maju. Dalam hal menghormati orang lain, hampir semua orang
Jawa dapat melakukannya, terutama di lingkungan kraton. Prinsip hormat yang dilakukan di lingkungan kraton oleh orang Jawa terkesan ada sikap wedi
takut, isin malu dan sungkan enggan. Namun sebaliknya sikap orang Jawa jika hidup diluar kraton selalu memegang prinsip hormat seperti tepo
sliro , andhap asor, terutama sikap unggah-ungguh yang menjadi dasar
kerukunan bermasyarakat.
Unggah-ungguh sebagai salah satu unsur pokok tata krama dalam
etika jawa dapat memberikan warna disetiap tindakan yang lebih baik tanpa adanya unsur pamrih atau agar mendapat pujian dari orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah perlu untuk diuraikan dan dijelaskan tentang pemaknaan dan pengetahuan secara mendalam unggah-
ungguh sehingga dapat diaktualisasikan dalam penerapan kehidupan pada saat
ini yang nilai-nilai dan norma-normanya telah mulai pudar eksistensinya. Tentu saja hal ini sangat menarik dan penulis merasa tertantang untuk
mengkajinya, yang kemudian akan ditulis dalam sebuah tulisan ilmiah yang
diberi judul ”Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah