Faktor-faktor Internal Yang Mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri Australia

19 pendidikan Inggris yang juga sebagai model sistem pendidikan Australia; serta kebudayaan Inggris yang mengakar di masyarakat Australia, sehingga membentuk identitas ke-Inggris-an yang tidak dapat dihilangkan. Namun, sebelum terjadinya Perang Dunia II, Australia mulai menyadari bahwa Inggris tidak lagi mampu melindungi Australia. Bagi Australia saat itu Inggris lebih mementingkan keamanan wilayahnya. Keyakinan Australia semakin kuat ketika pada 15 Februari 1942, Jepang berhasil menyerang Singapura yang menyebabkan Australia menurunkan pasukan untuk ikut berperang. Pada saat yang sama Australia mulai mengalihkan perlindungannya dari Inggris kepada Amerika Serikat Firth 2005: 30. Senada dengan pendapat Firth, Bhakti dan Alami 2005: 30 mengatakan bahwa sekitar tahun 1788 sampai dengan 1941 kekuatan besar pelindung Australia adalah Inggris. Perang Dunia II mengharuskan Inggris untuk lebih mempertahankan keamanan wilayahnya di Eropa dari pada melindungi daerah- daerah jajahannya di Asia Tenggara. Serangan Jepang ke Asia Tenggara merupakan ancaman langsung bagi Australia, namun dengan bantuan Angkatan Laut serta Angkatan Udara AS, wilayah Australia bisa terhindar dari serbuan Jepang. Atas dasar alasan tersebut Australia berpaling dari Inggris ke Amerika Serikat. Akibatnya, Australia harus mengikuti kebijakan luar negeri AS untuk tetap mendapatkan jaminan keamanan dari AS, sebagai contoh ketika masa Perang Dingin fokus perhatian AS adalah mencegah perluasan komunisme di Asia Pasifik yang berdampak terhadap kebijakan Australia untuk mengembangkan “Forward Defence Strategy” yang diwujudkan salah satunya melalui 20 keikutsertaan Australia dalam politik pembendungan komunisme AS containment policy di Asia Pasifik seperti dalam Perang Korea dan Perang Vietnam. Penyerangan yang dilakukan Jepang pada saat Perang Dunia II, selain membuat Australia berpaling dari kekuatan Inggris juga memaksa Australia untuk lebih mandiri dalam hal keamanan dan kebijakan luar negerinya, terutama jika Pemerintahan Buruh berkuasa. Namun, pada kenyataannya pengaruh AS tidak dapat dihilangkan begitu saja. Seperti pada kasus pemerintahan Whitlam yang menginginkan Australia mandiri dan lepas dari pengaruh AS bahkan terkesan anti AS, hal ini menyebabkan Perdana Menteri Whitlam dari Partai Buruh dipecat pada tahun 1975 dan digantikan oleh Fraser dari Partai koalisi Liberal. Sejak saat itulah penerus-penerus Whitlam dari Partai Buruh seperti Hawke lebih berhati- hati dengan AS dan tetap membiarkan pengaruh AS ada dalam kebijakan luar negeri Australia Bhakti 2001 dan Firth 2005. Pengaruh kebijakan AS terhadap Australia juga terlihat dari perubahan sikap Australia dari menentang integrasi Papua ke Indonesia pada tahun 1950an sampai dengan pertengahan 1960an yang kemudian berubah mendukug Papua ke Indonesia. Hal ini terkait dengan kebijakan AS dan Inggris yang memilih untuk mendukung Indonesia karena alasan takut Indonesia jatuh ke pengaruh komunis. Tidak hanya itu pengaruh kebijakan luar negeri Australia atas Timor Timur pada tahun 1975-1999 juga sangat dipengaruhi kebijakan AS terhadap Timor Timur. Pengaruh AS terhadap kebijakan luar negeri Australia juga sangat terlihat pada pemerintahan Howard dari Partai Liberal di mana Howard mengklaim bahwa 21 Australia merupakan deputi serif AS di kawasan Asia Pasifik lihat Crithley 1995: 66; Siboro 1996: 179; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 22; Wuryandari 2001: 62; Bhakti 2001: 25; Tawes 2005: 10-12 dalam situs resmi Parliment of Australia. Kebijakan luar negeri Australia pada masa pemerintahan Howard yang sangat bergantung dan dipengaruhi oleh AS tidak terlepas dari adanya berbagai masalah baik di kawasan regional maupun internasional seperti, krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara ASEAN pada tahun 1997 yang menyebabkan perekonomian beberapa negara di Asia termasuk Indonesia mengalami keterpurukan, kasus terorisme yang melanda AS pada tahun 2001 yang ikut merubah agenda politik luar negeri AS menjadi perang melawan terorisme, kasus peledakan Bom di Bali tahun 2002 yang banyak menewaskan warga Australia, kasus peledakan Bom di depan Kedutaan Besar Australia di Indonesia pada tahun 2004 serta berbagai masalah lainnya, yang mengakibatkan Australia di bawah pemerintahan Howard semakin berlindung di bawah payung keamanan AS Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005. Dari penjelasan yang penulis paparkan di atas, terlihat bahwa sejarah dan juga demografis dari negara Australia menjadi salah satu faktor yang memang sangat berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Australia. Kedekatan bilateral antara Australia dan Inggris maupun Australia dengan AS menjadi pertimbangan Australia dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya terutama jika pemerintahan koalisi Liberal berkuasa. 22 A.2 Faktor Geografis Selain faktor sejarah yang telah penulis jelaskan, faktor lain yang penting dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Australia ialah faktor geografis. Hamid 1999: 387-388 menjelaskan bahwa secara geografis Australia menempati lokasi yang strategis di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, serta dikelilingi oleh dua samudera besar, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bagian Barat Australia diapit oleh Samudera Hindia yang merupakan jalur transportasi yang menghubungkan Australia dengan benua Afrika, anak benua India dan kawasan Asia Tenggara; sementara di bagian Timur Australia dikelilingi oleh Samudera Pasifik yang menghubungkan dengan bagian utara dan selatan benua Amerika. Pada bagian utara Australia dipagari oleh pulau-pulau Pasifik Selatan, dengan Indonesia dan Papua New Guinea sebagai penyangga utamanya. Oleh karena itu, kepentingan Australia terhadap pulau-pulau di utaranya bermakna strategis dalam sistem pertahanan Australia, yakni sebagai benteng pertahanan dan invasi musuh dan juga merupakan titik kelemahan utamanya. Hal ini pula yang menyebabkan Indonesia memiliki posisi strategis dan penting bagi Australia Hamid 1999: 387- 388. Pentingnya faktor geografis dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Australia pertama kali diakui oleh Menteri Luar Negeri Percy Spender pada tahun 1950 ketika menentang integrasi Papua ke Indonesia karena penentangan itu dikhawatirkan akan mengancam keamanan Australia Spender 1950: 12 dalam Crithley 1995: 80; Adil 1993: 6 dalam Hamid 1999: 387. 23 Sedangkan Bhakti 2001: 26 menjelaskan bahwa kedekatan geografis dengan negara-negara Asia di mana negara-negara tersebut memiliki perbedaan dalam banyak segi ditambah lagi dengan letak Australia yang terlalu jauh dengan AS dan Inggris membuat Australia sampai dengan pertengahan 1983, memandang bahwa kedekatannya dengan Asia bukan sebuah hikmah, melainkan sebuah hal yang menakutkan. Hal ini juga terkait dengan ancaman langsung yang dirasakan Australia ketika Jepang menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan pada Perang Dunia II yang membuat Australia semakin bergantung terhadap kekuatan dari negara besar, yakni AS untuk menjamin keamanannya. Ketakutan Australia terhadap bangsa Asia semakin terlihat ketika Partai Komunis Cina berhasil mengahalau Partai Nasionalis Cina dari daratan Cina ke Taiwan, akibatnya muncul persepsi Australia akan bahaya merah atau “Red Peril”. Ketakutan Australia pada bangsa-bangsa Asia ini menimbulkan kebijakan keamanannya yang “Mencari Keamanan dari Asia”. Masuknya Inggris ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa sekarang Uni Eropa pada tahun 1972, menyebabkan ekspor Australia ke Inggris menjadi berkurang Hamid 1999: 387. Pada saat yang sama, Australia mulai menyadari bahwa masa depan ekonominya sangat tergantung pada negara-negara Asia, khususnya Jepang dan Cina. Munculnya “macan-macan Asia” di bidang ekonomi serta adanya pandangan bahwa abad dua puluh satu merupakan abad Asia, pada akhirnya bukan saja membuat Australia sadar akan masa depan ekonominya, namun juga membuat Australia pada tahun 1983, mengubah kebijakan keamanannya dari “Mencari Keamanan dari Asia” menjadi “Mencari Keamanan 24 dalam Asia”. Perubahan kebijakan ini dilakukan oleh Pemerintahan Bob Hawke dari Partai Buruh dan terus bertahan hingga saat ini Bhakti 2001: 26; Bhakti 2006: 12. Sedangkan Firth 2005: 45 menilai bahwa perubahan pandangan Australia ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh, karena pada masa pemerintahan Whitlam ini Australia mulai terbuka terhadap imigran dari kawasan Asia karena kebijakan ini perasaan takut dari masyarakat Australia terhadap negara-negara Asia semakin berkurang. Kebijakan Whitlam ini kemudian diteruskan oleh para penggantinya seperti, Fraser, Hawke dan juga Paul Keating. Adanya perubahan kebijakan terhadap Asia yang telah dilakukan Australia di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh berdampak terhadap semakin membaiknya hubungan Australia dengan Indonesia pada saat itu. Hal tersebut juga dikatakan oleh Ryan 1995 bahwa hubungan Australia-Indonesia terjalin lebih erat lagi terutama pada masa Pemerintahan Paul Keating. Bahkan, secara tegas Paul Keating mengatakan dalam acara Austral ian Today Indonesia ’94 Promotion di Sydney pada 16 Maret 1994, seperti yang dikutip oleh Ryan 1995: 201: “No other country is more important to australia than Indonesia. If we fail to get this relationship right, and nurture and develope it, the whole web of our foreign relation is incomplete ”. Tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia, kecuali Indonesia. Jika kita tidak berhasil menjalin hubungan baik, memelihara dan membangun hubungan tersebut, maka keseluruhan jaringan dalam hubungan luar negeri Australia tidak lengkap. 25 Konsepsi Paul Keating yang tertuang dalam pernyataan di atas merupakan perwujudan bahwa jika Australia ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Cina dan Korea Selatan, maka Australia harus mampu membangun hubungan yang baik dengan negara tetangga Asia terdekatnya, yakni Indonesia Bhakti 2001: 26; Keating 1994 dalam Bhakti 2006: 12. Pembahasan di atas mengenai pentingnya pengaruh faktor geografis dalam kebijakan luar negeri Australia menggambarkan bahwa saat ini Australia tidak lagi hanya melihat dan tergantung dengan AS dan Inggris, tapi juga bergantung terhadap negara-negara Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga berpengaruh terhadap hubungan Australia dengan negara-negara Asia khususnya Indonesia. Kedua faktor yang telah penulis jelaskan, yakni faktor sejarah dan demografis serta faktor goegrafis merupakan faktor yang selalu dipertimbangkan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri Australia. Seperti yang dikatakan Hamid 1999: 391 bahwa faktor geografi dan sejarah merupakan faktor tetap yang dipertimbangkan oleh para pemimpin Australia. Namun, masih ada beberapa faktor lainnya yang juga berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Australia dan penting untuk diketahui lebih lanjut. Penjelasan menganai faktor- faktor lainnya penulis bahas pada sub bab-sub bab selanjutnya. 26 A.3 Kepentingan Nasional Faktor tetap lain yang menjadi pertimbangan dan memiliki pengaruh penting bagi kebijakan luar negeri Australia selain faktor sejarah dan geografis menurut Bhakti 2008 ialah kepentingan nasional. Hal ini juga terkait dengan penjelasan penulis pada bab sebelumnya bahwa kepentingan nasional merupakan starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri Evans 1991: 33. Senada dengan Evans, Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional adalah kunci kebijakan luar negeri. Oleh sebab itu, kepentingan nasional suatu negara merupakan pedoman bagi para pembuat kebijakan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional itu sendiri Frankel 1979 dalam Burchill 2005: 3. Menguatkan pernyataan dari Evans dan Frankel sebelumnya, Bhakti 2001: 31 berpendapat bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu negara dari kebijakan luar negerinya adalah kepentingan nasional negara tersebut. Selanjutnya, Bhakti 2001: 31 berargumen bahwa politik luar negeri Australia bukan hanya perwujudan dari kepentingan domestik Australia yang harus dicapai dalam hubungan internasionalnya, namun juga bagaimana membuat Australia menjadi warga negara internasional yang baik. Bhakti memandang bahwa politik luar negeri Australia memiliki political objectives, security objectives , dan economic objectives. Political objectives dari kebijakan luar negeri Australia terdiri dari empat hal pokok, yakni: pertama, Australia yang lebih aman, baik dari fisik atau wilayah, ekonomi, budaya, dan politik dalam hal ini termasuk ideologi serta national ethos; kedua , lingkungan internasional yang lebih aman; ketiga, dunia 27 yang lebih sejahtera; keempat, dunia yang lebih baik. Dari empat hal pokok tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa political objectives dari kebijakan luar negeri Australia memiliki makna politik, strategis dan ekonomi Bhakti 2001: 31; Palfreeman 1988 dalam Bhakti 2008: 20. Kemudian, dari sisi security objectives, kebijakan luar negeri Australia bermakna untuk menjaga keamanan Australia baik secara individual Self- reliance , dalam kerangka aliansi militer di bawah payung AS seperti SEATO South East Asia Treaty Organization tahun 1954 dan ANZUS Australia, New Zealand and The United State tahun 1951 , serta di bawah payung Inggris Five Power Defence Arrangement- FPDA tahun 1971. Bukan hanya dengan AS dan Inggris, Australia juga ikut dalam kerangka kerjasama regional, yakni membangun jaring-jaring kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN dan Pasifik Selatan, di antaranya melakukan Persetujuan Keamanan Antara Republik Indonesia-Australia Agreement on Maintaining Security--AMS pada tahun 1995, dan juga menandatangani Perjanjian Kerjasama Keamanan antara Republik Indonesia dan Australia Framework Agreement on Security Cooperation Between The Republic Indonesia and Australia pada tahun 2006 Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 61; Bhakti 2001: 31; Bhakti 2006: 5. Selain kedua tujuan yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, kebijakan luar negeri Australia juga mempunyai economic objectives. Artinya, Australia harus mampu mengaitkan antara kebijakan luar negeri dengan perdagangan komoditi Australia, bagaimana Australia mampu memainkan perannya dalam diplomasi ekonomi multilateral seperti di dalam GATT General Agreements on 28 Tariffs and Trade atau WTO World Trade Organization, World Bank, IMF International Monetery Fund dan lain-lain; mampu membuat Australia melakukan tukar-menukar kebijakan investasi asing; dan mampu meningkatkan hubungan ekonominya dengan negara-negara ASEAN, Jepang, Cina, Korea Selatan AS, Pasifik Selatan dan lain-lain Bhakti 2001: 32. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya Australia memang sangat bergantung pada perdagangan luar negerinya. Oleh karena itu, Australia memiliki kepentingan mengamankan jalur- jalur distribusinya lihat Hamid 1999: 387. Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, penulis menilai bahwa political objectives, security objectives dan economic objectives merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kebijakan luar negeri Australia. Tujuan-tujuan politik luar negeri itulah yang kemudian dijabarkan dalam apa yang disebut “kepentingan nasional”. Terkait dengan penjelasan penulis pada bab sebelumnya bahwa Evans 1991: 33 mengaktegorikan kepentingan nasional Australia secara luas ke dalam tiga kategori, yakni: pertama, kepentingan- kepentingan geopolitik dan strategis, yakni usaha untuk memepertahankan kedaulatan dan kemerdekaan politik Australia. Di dalam hal ini, memiliki dua dimensi, yakni dimensi global dan regional. Kepentingan langsung Australia adalah memastikan negara-negara di sekitarnya agar tetap dalam kondisi damai, stabil, tidak bermusuhan atau setidaknya tetap netral terhadap Australia. Di dalam Defence White Paper 1987 yang termasuk dalam wilayah ini, yakni wilayah teritori Australia dan wilayah-wilayah yang terdekat, seperti Indonesia, Papua New Guinea, New Zealand dan negara-negara lain di wilayah barat daya pasifik 29 serta negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara. Kedua, kepentingan ekonomi dan perdagangan, hal ini terkait dengan upaya Australia untuk melindungi seluruh sumber kekayaan alam yang dimilikinya, dalam meningkatkan perdagangan internasional yang bertujuan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa. Meningkatkan nilai ekspor Australia, dan pada saat yang sama melindungi nilai dan kualitas kehidupan bangsa Australia. Ketiga, kepentingan nasional Australia adalah bagaimana Australia berusaha untuk menjadi warga internasional yang baik. Hal ini berhubungan dengan kepedulian Australia terhadap masalah-masalah regional dan internasional yang seringkali membutuhkan pendekatan-pendekatan non-militer. Oleh karena itu, Australia harus memainkan perannya di bidang ini, seperti menangani isu-isu global, pejagaan perdamaian, kontrol senjata dan lain-lain. Khusus terhadap Indonesia, menurut Bhakti Tempo, 21 September 1996 siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap memandang Indonesia sebagai negara yang penting bagi Australia. Karena dilihat dari segi geostrategis Indonesia merupakan tameng sekaligus bisa menjadi ancaman bagi Australia. Oleh sebab itu, Australia berkepentingan untuk menjadikan Indonesia kuat, namun tidak terlalu kuat untuk menjadi ancaman bagi Australia. Sedangkan, dari segi ekonomi, Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar baik di bidang produk barang konsumsi ataupun jasa. Hal ini membuat Australia tetap mempertahankan forum- forum tahunan tingkat menteri Ministrial Forum sejak tahun 1992 dan juga meningkatkan promosinya di Indonesia yang bertujuan meningkatkan investasi dan bisnisnya. 30 Terkait dengan penjelasan di atas, dari wawancara penulis dengan Bhakti di Jakarta, tanggal 28 Maret 2011, diketahui bahwa pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara kepentingan nasional Australia pada saat Pemerintahan Buruh berkuasa maupun Pemerintahan koalisi Liberal. Hanya saja di dalam mencapai kepentingan nasional tersebut, meski substansinya sama, terdapat perbedaan pendekatan di dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia antara Perdana Menteri dari Partai Buruh dengan Perdana Menteri Partai koalisi Liberal. Pemaparan di atas menggambarkan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis bagi kepentingan nasional Australia. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa pertama, dari kepentingan geopolitik dan strategis, Australia memiliki kepentingan untuk memastikan Indonesia sebagai negara tetangga terdekatnya untuk tetap dalam kondisi damai, stabil dan tidak bermusuhan atau setidaknya tetap netral terhadap Australia; kedua, dari kepentingan ekonomi, posisi Indonesia menempati posisi strategis bagi jalur perdagangan luar negeri Australia selain itu sebagai negara yang memiliki penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia merupakan pangsa pasar kedelapan terbesar bagi Australia. Walaupun tidak sebesar Jepang, Cina dan Korea Selatan, namun perdagangan luar negeri dengan Indonesia tetap menguntungkan bagi Australia. A.4. Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia Menurut Bhakti 2001: 33 politik luar negeri memiliki tingkat kerahasiaan tertentu dibandingkan masalah-masalah politik domestik. Karena sifatnya yang rahasia serta berhubungan dengan pertahanan nasional, maka 31 kontrol dari politik luar negeri berada di tangan eksekutif. Penjelasan dari Bhakti tersebut sejalan dengan Smith 1992: 22 bahwa di Australia peran utama dalam kebijakan luar negeri dimainkan oleh eksekutif yang memiliki hak prerogatif. Di dalam membuat kebijakan luar negeri ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, antara lain: sensitifitas negara-negara lain, kecanggihan diplomasi, serta mengobservasi tuntutan-tuntutan intelejen militer. Selain itu, pembuatan kebijakan luar negeri memerlukan informasi yang banyak dan juga akurat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karenanya, Pemerintah melalui organisasi-organisasi birokratisnya mengumpulkan, menganalisa dan menelaah data yang datang terus menerus itu yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang komperhensif atas semua pristiwa yang terjadi Bhakti 2001 dan Firth 2005. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa peran birokrasi amatlah penting. Birokrasi yang dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia ialah Depertemen Luar Negeri dan Perdagangan serta Departemen Pertahanan. Dalam skala yang lebih rendah, kedua departemen tersebut dapat membuat keputusan mengenai kebijakan luar negeri tanpa harus melalui proses yang panjang lihat Bhakti 2001; Firth 2005: 77-78. Politik luar negeri juga cenderung menuntut tindakan yang cepat. Sebagai contoh ialah, krisis dalam hubungan antara Australia dan Indonesia, kebijakan Whitlam terhadap terhadap Timor Timur pada tahun 1974-1975, penandatanganan Kerjasama Pemeliharaan Keamanan Australia-Indonesia tahun 1995, diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Kevin Rudd terhadap Indonesia 32 terkait kasus terpidana mati Bali Nine beberapa waktu setelah menjabat sebagai Perdana Menteri. Tindakan-tindakan yang dibuat dilakukan dalam waktu yang sempit, maka tidak mungkin untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan kabinet, parlemen ataupun partai-partai politik Bhakti 2001: 34; Chega 2005: 28; . Hal lain yang penting untuk diingat dalam politik luar negeri adalah ketidak jelasan batasan antara isu politik, militer dan ekonomi karena isu-isu ini merupakan unsur dari kebijakan luar negeri yang saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, para pembuat kebijakan luar negeri harus mampu mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan internasional baik dari segi politik, militer dan ekonomi. Hal ini terkait dengan penjelasan sebelumnya bahwa pemeran utama dari proses pembuatan kebijakan luar negeri semua negara termasuk Australia adalah eksekutif, namun institusi-institusi lain seperti partai politik, parlemen, kelompok kepentingan, publik dan media pun ikut mempengaruhi pembuat keputusan Malhotra 2004: 186. Pertama , Eksekutif. Terkait dengan penjelasan di atas dan juga penjelasan pada Bab I bahwa kebijakan luar negeri Australia sebagian besar dimainkan oleh eksekutif. Dalam prakteknya istilah kekuatan eksekutif pemerintah mengacu pada Perdana Menteri dan menteri-mentari lainnya. Namun demikian, aktor utama yang memainkan kebijakan luar negeri adalah Perdana Menteri, di mana bentuk dan gaya setiap Perdana Menteri berbeda-beda dalam memimpin Smith 1992: 22-23. Senada dengan pernyataan tersebut Bahkti 2001 menilai bahwa setiap kabinet di Australia memiliki Komite yang menangani masalah poltik luar negeri dan pertahanan, di mana Perdana meneteri, 33 Menlu, Menteri Pertahanan dan Bendahara Negara menjadi anggotanya. Namun, hal ini amat bergantung pada Perdana Menteri dalam memainkan perannya serta hubungan antara Perdana Menteri dengan Menlunya misalnya, Perdana Menteri Whitlam yang memang sangat dominan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya karena saat ia memerintah ia sangat jarang memanggil rapat anggota Komite Luar Negeri dan Pertahanan. Kemudian, Perdana Menteri Fraser juga mendominasi kebijakan luar negeri, sedangkan Perdana Menteri Hawke cenderung kurang dominan bila dibandingkan dengan Whitlam dan Fraser. Pada masa Paul keating, kebijakan luar negeri Australia khususnya terhadap Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran dari Keating. Begitupula pada masa pemerintahan John Howard dan Kevin Rudd dimana kedua Perdana Menteri tersebut dinilai sangat dominan dalam merumuskan dan melaksankan kebijakan luar negeri Australia Bhakti 2001: 36; Kelly 2006; Gyngell 2008. Kedua , parlemen. Menurut Bhakti 2001: 37 dan Firth 2005: 86 meski parlemen kalah dominan dibandingkan dengan eksekutif dalam proses pembentukkan kebijakan luar negeri, namun para anggota parlemen dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut melalui “Joint Committee on Foreign Affairs and Defence ”. Hal ini juga bisa dilakukan secara individual, yakni jika para anggota parlemen yang memiliki keinginan di bidang luar negeri dan pertahanan juga dapat mempengaruhinya dengan bantuan para staf ahlinya serta ditunjang dengan informasi yang ada di Perpusatakaan Parlemen Australia. Ketiga , Partai Politik. Partai-partai politik di Australia merupakan lembaga yang tidak dikontrol oleh suatu perundangan apapun dan juga tidak pernah 34 disebut-sebut di dalam konstitusi. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam hal penerimaan anggota, perumusan kebijakan dan pemilihan calon-calon parlemen adalah urusan partai itu sendiri dan tidak dapat diajukan ke pengadilan seperti yang diberlakukan bagi lembaga-lembaga swasta lainnya. Walaupun demikian, partai-partai tersebut merupakan inti dari demokrasi parlementer yang mendominasi sistem politik Australia Sawer 1987 dalam Hamid 1999: 180. Lebih jelas lagi, Hamid 1999: 182 mengatakan bahwa Australia memakai sistem “dua-partai”. Hal ini didasari pada Partai Liberal dan Partai Nasional dahulu Partai Country selalu membentuk koalisi, baik ketika memerintah maupun ketika menjadi oposisi, untuk menghadapi Partai Buruh. Selain, Partai koalisi Liberal dan Partai Buruh masih ada beberapa partai kecil lainnya yang ambil bagian dalam proses politik seperti Green Party. Namun, dalam prakteknya hanya dua Partai yang dominan dalam proses politik di Australia yakni Partai koalisi Liberal dan Partai Buruh. Oleh sebab itu, pada pembahasan mengenai pengaruh partai politik dalam kebijakan luar negeri Australia, penulis hanya membahas mengenai dua partai tersebut. Partai Buruh Australian Labor Party adalah partai tertua di Australia yang terbentuk pada tahun 1980-an Moon dan Sharman 2003: 25. Periode berkuasa Partai Buruh lebih pendek dari Partai koalisi Liberal, namun partai ini berani membuat inovasi-inovasi dan perubahan-perubahan baru dalam sistem politik Australia, seperti penggabungan antara Kementrian Luar Negeri dengan Kementrian Perdagangan yang dilakukan pemerintahan Buruh pada tahun 1987 lihat Firth 2005. Di dalam situs resmi Partai Buruh tertulis bahwa Partai Buruh 35 memiliki hubungan institusional yang kuat dengan gerakan buruh yang dianggap mewakili kelas buruh. Partai ini berkembang dari sebuah pemogokan massal pada 1890an. Hal ini membuat serikat kerja menyadari bahwa mereka memerlukan wakil-wakil politik di parlemen untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Aikin, Jinks dan Warhust 1989 dalam Hamid 1999: 197 bahwa Partai Buruh dianggap sebuah partai yang berideologi sosialis demokratis yang memiliki tujuan untuk mengadakan sosialisasi terhadap sektor industri, yang juga disebutkan dalam Mukadimah dari tujuan partai, yang dirumuskan pada Konferensi Nasional tahun 1981. Hamid 1999: 211-213 mengatakan bahwa anggota-anggota parlemen Partai Buruh harus mengikuti aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan partai yang telah ditetapkan dalam Konferensi Nasional. Kalaupun ada kebebasan, maka hal itu adalah kebebasan menentukan prioritas kebijakan yang telah ditetapkan Konferensi Nasional. Kaukus dari Partai Buruh sangat berperan dalam pemerintahan Partai Buruh, jika Perdana Menteri tidak mendapat dukungan atau melakukan kebijakan yang tidak populer serta membahayakan partai, maka Perdana Menteri tersebut dapat diberhentikan dan diganti dengan anggota yang lain, seperti yang terjadi pada kasus Kevin Rudd tahun 2010. Senada dengan Hamid, Bhakti 2001: 37 mengatakan bahwa khusus Partai Buruh Australia, para anggota kaukus partai dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia melalui platform partai yang dihasilkan dalam konferensi dua tahunan. Meskipun begitu, dalam banyak hal, contohnya dalam hubungan Australia-Indonesia, kritik negatif hasil konferensi dapat dikesampingkan ketika Partai buruh Berkuasa. 36 Partai koalisi Liberal-Nasional atau juga sering disebut Partai Liberal merupakan salah satu partai terbesar di Australia, yang dibentuk pada tahun 1944 untuk menentang keberadaan Partai Buruh Liberal History dalam situs resmi Partai Liberal. Partai ini cukup lama berkuasa di Australia, bahkan Partai koalisi ini pernah memerintah selama dua puluh tiga tahun 1949-1972 dan yang terakhir selama sebelas tahun 1996-2007. Partai Liberal dibentuk oleh anggota-anggota parlemen yang berasal dari kelompok kapitalis kelas menengah, sebagai penentangan mereka terhadap keterwakilan gerakan buruh, yang masuk melalui Partai Buruh di dalam Parlemen Federal. Berbeda dengan Partai Buruh yang memiliki ideologi partai yang lebih jelas, Partai Liberal tidak memiliki itu. Partai Liberal memiliki dua faksi besar, yaitu faksi konservatif dan faksi liberal. dalam perkembangannya, faksi konservatif lebih mendominasi partai, sehingga Partai liberal lebih sering disebut partai konservatif. Ketidakjelasan ideologi dari Partai Koalisi Liberal ini menyebabkan anggota-anggota Partai Liberal tidak terlalu terikat pada prinsip-prinsip ideologi partai. Hal ini berdampak pada penerapan kebijakan partai, seorang anggota partai misalnya, dalam posisi apapun termasuk perdana menteri dapat bebas menafsirkan sesuai dengan kenyataan dan keadaan yang berkembang, seperti dalam Pemerintahan Partai Liberal seorang perdana menteri dapat memutuskan sendiri siapa yang akan menempati kursi kabinetnya. Hal inilah yang membedakan antara Partai Buruh dengan Partai Liberal Hamid 1999: 232. Keempat, Kelompok Kepentingan. Kelompok kepentingan yang ada di Australia dapat mempengaruhi proses kebijakan luar negeri Australia melalui tiga 37 cara: pertama, melalui pernyataan media massa untuk mempengaruhi opini publik; kedua, demonstrasi; ketiga, melakukan lobi dengan para menteri atau Perdana Menteri. Sebagai contoh, terkait masalah Papua antara Australia- Indonesia menurut Bhakti dalam wawancara, 28 Maret 2011 ada kelompok- kelompok kepentingan di Australia yang menginginkan Papua merdeka, hal ini juga menjadi salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah Papua dan menjadi dilema bagi pemerintah Australia untuk bersikap terhadap Indonesia. Contoh konkritnya adalah kasus pemberian visa sementara bagi 42 warga Papua oleh pemerintah Australia pada tahun 2006 yang membuat pemerintah Indonesia menyampaikan protes karena salah satu dari pencari suaka tersebut merupakan anggota dari gerakan Papua merdeka yang merupakan incaran polisi Indonesia. Menurut Bhakti, kuatnya lobi dari kelompok kepentingan yang menginginkan Papua merdeka membuat ke 42 warga Papua ini bisa mendapat suaka politik dari pemerintah Australia. Kelima, Media Massa. Paran media massa amat dominan dalam meningkatkan opini dan menggiring publik Australia dalam berbagai hal termasuk kebijakan luar negeri Bhakti 2001: 37-38. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi liberal seperti Australia, media memiliki kedudukan independen. Mereka memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi seluas- luasnya kepada publik, termasuk kritikan-kritikan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, kalangan pemerintahan, bahkan di negara lain termasuk Indonesia. Media Australia memang terkenal sangat kritis terhadap pemerintahan Indonesia dan juga berbagai isu terkait masalah Australia 38 dengan Indonesia. Kebebasan pers semacam ini sudah berlangsung di Australia sejak tahun 1824 pada saat pemerintah mengakhiri kontrolnya atas dunia pers Profil Australia dalam situs resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia. Menurut Bhakti 1997: 23-25 penyerangan Indonesia ke Timor Timur pada tahun 1975 yang menyebabkan kematian lima wartawan Australia merupakan salah satu alasan mengapa media massa dan radio Australia sering bersikap kritis terhadap pemerintah Indonesia mengenai kasus Timor Timur dan juga kasus-kasus lainnya seperti kasus David Jenkins pada tahun 1986. A.5 Kebijakan Pertahanan Australia Selain faktor-faktor yang telah penulis paparkan sebelumnya, faktor lain yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan luar negeri Australia menurut Bhakti 2001 ialah kebijakan pertahanan yang juga didominasi oleh eksekutif. Lebih lengkap, Bhakti menjelaskan bahwa dalam pembuatan kebijakan pertahanan, terdapat kaukus kabinet mengenai politik luar negeri dan pertahanan yang beranggotakan Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan Perdagangan, Menteri Pertahanan, Jaksa Agung, dan Bendahara Negara Menteri Keuangan. Tanggungjawab dalam menentukan kebijakan pertahanan Australia berada pada Departemen Pertahanan Australia yang terdiri dari kelompok sipil dan militer. Selanjutnya, sebagai negara yang sebagian besar penduduknya merupakan keturunan Eropa serta letaknya yang dekat dengan Asia, jauh dari negara asal dan pelindungnya Inggris dan AS menyebabkan Australia memiliki kepedulian yang 39 tinggi terhadap negara-negara tetangganya termasuk Indonesia. Sebelum tahun 1970an, doktrin strategis pertahanannya dikenal dengan Forward Defence Strategy . Strategi ini merupakan upaya Australia membantu AS dalam membendung komunisme yang datang dari Utara. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi Australia turut serta dalam Perang Korea, Perang Vietnam atau bahkan konflik antara Indonesia dan Malaysia, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya Bhakti 2001: 40-41. Menurut Bhakti dan Alami 2005: 32 kebijakan pertahanan Australia dipengaruhi paling tidak oleh dua hal yaitu, pertama, perubahan strategis pertahanan AS dan Inggris di Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara; kedua, perubahan bentuk ancaman. Perubahan modernisasi alat utama sistem persenjataan, postur dan strategi pertahanan Australia disesuaikan dengan perubahan-perubahan lingkungan strategis tersebut. Selain itu, perubahan kebijakan pertahanan Australia juga dipengaruhi oleh pemerintahan dan Perdana Menteri dari partai mana yang berkuasa. Jika pemerintahan dari Partai Buruh yang berkuasa maka, ikatan kekuatan pertahanan dengan negara-negara Asia lebih kuat dibanding dengan AS, namun bukan berarti Australia melepaskan diri dari perlindungan AS. Karena jika pemerintahan Buruh berkuasa politik luar negeri Australia lebih nasionalistik, internasionalistik serta berpandangan luas terhadap negara-negara di Asia dan Pasifik Selatan. Dengan kata lain kebijakan luar negeri Australia yang memiliki keterikatan dengan kebijakan pertahanannya selalu disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal dan juga internal. 40 Dalam kaitan dengan Indonesia, siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap memandang Indonesia penting bagi pertahanan Australia. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia yang merupakan tameng sekaligus ancaman bagi Australia. Oleh sebab itu, Indonesia selalu dicantumkan dan dianggap penting di dalam Buku Putih Pertahanan Australia Bhakti dalam Tempo, 21 September 1996; lihat juga Buku Putih Pertahanan Australia 1987; Buku Putih Pertahanan Australia 1997; Buku Putih Pertahanan Australia 2000; Buku Putih Pertahanan Australia 2003; Buku Putih Pertahanan Australia 2005; Buku Putih Pertahanan Australia 2009.

B. Faktor Eksternal

Selain faktor-faktor internal yang menentukan kebijakan luar negeri Australia ada pula faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi seperti yang sudah penulis jelaskan. Pemaparan mengenai faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia di bawah ini juga berpijak pada pendapat dari Bhakti di dalam laporan penelitian LIPI tahun 2001, yakni: B.1. Perubahan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan regional dan internasional Konstelasi politik, ekonomi dan keamanan regional serta internasional tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis dan selalu berubah. Adanya dinamika baik regional maupun interasional amat mempengaruhi implementasi politik luar negeri Australia. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya 41 bahwa sebelum dan pada Perang Dunia I, politik luar negeri Australia dimainkan oleh Inggris. Namun, pasca Perang Dunia I menjelang Perang Dunia II Australia melihat Inggris tidak lagi dapat mengamankan daerah jajahannya di kawasan Asia Pasifik yang menyebabkan Australia mulai mengalihkan pandangannya ke AS. Kemudian Perang Pasifik yang mengakibatkan jatuhnya Singapura ke tangan Jepang akhirnya membuat Australia benar-benar mengalihkan perlindungannya ke AS yang mengakibatkan kebijakan Australia dipengaruhi oleh AS. Pasca Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin membuat Australia ikut dalam kebijakan AS dengan melaksanakan pembendungan komunisme di kawasan Asia Pasifik. Selain itu, Australia juga masuk dalam kerangaka keamanan AS yakni, ANZUS dan SEATO dalam rangka pencegahan komunisme di kawasan Asia Pasifik lihat Evans 19991; Firth 2005. Pada tahun 1983 di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh, Australia mulai merubah kebijakan keamanannya dari “Mencari keamanan dari Asia” menjadi “Mencari Keamanan di dalam Asia”. Hal ini didasari oleh pemikiran Hawke bahwa masa depan perdagangan luar negeri Australia berada di Asia, terutama perdagangan dengan negara Jepang, Cina dan Korea Selatan. Namun, pada tahun 1997 krisis ekonomi melanda kawasan Asia Pasifik membuat terpuruknya ekonomi negara-negara Asia tidak terkecuali Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda Asia tersebut bahkan selain membuat ekonomi Indonesia terpuruk juga menyebabkan kekacauan politik dan memicu konflik sosial di Indonesia. Hal ini membuat kebijakan luar negeri Australia di bawah pemerintahan Howard dari Partai koalisi Liberal semakin mendekatkan diri 42 kepada AS dan mulai menjauhi Asia termasuk Indonesia lihat Bhakti 2001; Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005. Sedangkan menurut Pudjiastuti 2006 krisis tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan kekacauan stabilitas dalam negeri Indonesia, hal ini membuat Australia yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih maju dari Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya menjadi salah satu negara yang menjadi tujuan utama para imigran asal Indonesia maupun para imigran lain dari negara Asia Selatan dan Timur Tengah seperti Afghanistan dan Irak yang memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit sebelum menuju Australia serta berbagai kegiatan lintas batas lainnya smuggling dan trafficking. Sejak saat itulah isu-isu perbatasan antara Australia dan Indonesia semakin menonjol dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah Australia karena Isu imigran gelap dan pelintas batas ini bukan hanya mengancam keamanan Australia tapi juga perekonomian Australia. Perubahan konstelasi politik, keamanan dan ekonomi baik regional maupun interansional kembali berubah ketika terjadi peristiwa terorisme di AS pada tahun 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC di New York. Perubahan ancaman dari konvensional menjadi non konvensional ikut pula mempengaruhi kebijakan Australia terutama ketika terjadi peristiwa terorisme di Indonesia dengan meledaknya Bom di Bali pada tahun 2002 dan meledaknya Bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005.