42
kepada AS dan mulai menjauhi Asia termasuk Indonesia lihat Bhakti 2001; Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005.
Sedangkan menurut Pudjiastuti 2006 krisis tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan kekacauan stabilitas dalam negeri
Indonesia, hal ini membuat Australia yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih maju dari Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya menjadi salah satu
negara yang menjadi tujuan utama para imigran asal Indonesia maupun para imigran lain dari negara Asia Selatan dan Timur Tengah seperti Afghanistan dan
Irak yang memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit sebelum menuju Australia serta berbagai kegiatan lintas batas lainnya smuggling dan trafficking.
Sejak saat itulah isu-isu perbatasan antara Australia dan Indonesia semakin menonjol dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah Australia karena Isu
imigran gelap dan pelintas batas ini bukan hanya mengancam keamanan Australia tapi juga perekonomian Australia.
Perubahan konstelasi politik, keamanan dan ekonomi baik regional maupun interansional kembali berubah ketika terjadi peristiwa terorisme di AS
pada tahun 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC di New York. Perubahan ancaman dari konvensional menjadi non konvensional ikut pula
mempengaruhi kebijakan Australia terutama ketika terjadi peristiwa terorisme di Indonesia dengan meledaknya Bom di Bali pada tahun 2002 dan meledaknya
Bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005.
43
Hal ini juga terkait dengan pemaparan penulis pada bab sebelumnya bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis baik itu
perubahan kebijakan AS dan Inggris maupun perubahan ancaman ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri dan pertahanan Australia Bhakti dan Alami
2005: 32. Dari penjelasan yang telah penulis uraikan di atas, terlihat bahwa
kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi beberapa faktor penting baik itu faktor-faktor internal maupun faktor eksternal. Penjelasan mengenai faktor-faktor
bertujuan untuk membantu dalam memahami kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah pemerintahan John Howard dari Partai Liberal dan
pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh, yang akan penulis bahas pada bab selanjutnya.
44
BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA:
JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL 1996-2007 DAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH 2007-2010
Bab ini membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia pada Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal dan Kevin Rudd
dari Partai Buruh. Bab ini terdiri dari dua sub bab yakni, sub bab pertama membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah
Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal; sub bab kedua membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah Pemerintahan Kevin
Rudd dari Partai Buruh. Dari kedua pembahasan tersebut akan terlihat bagaimana karakter serta perbedaan kebijakan luar negeri dari kedua pemerintahan dengan
Perdana Menteri yang berbeda partai tersebut.
A.1 Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan John Howard Dari Partai Liberal
John Washington Howard merupakan Perdana Menteri Australia yang ke dua puluh lima. Ia merupakan Perdana Menteri yang diusung oleh Partai koalisi
Liberal dan secara resmi dilantik pada 11 Maret 1996. Dengan pelantikannya ini, menandakan berakhirnya masa kepemimpinan Paul Keating dari Partai Buruh
selama tiga belas tahun Wuryandari 2001.
45
Menurut Kelly 2006 Howard merupakan seorang Perdana menteri yang telah diragukan untuk membuat kontribusi dalam menentukan kebijakan luar
negeri dan keamanan nasional Australia. Hal ini dikarenakan, sebelum ia menjabat sebagai Perdana Menteri, selama dua puluh dua tahun ia berkarir di
parlemen Australia terkenal sangat fokus dan perhatian kepada isu-isu domestik dan memiliki perhatian terbatas pada dunia luas. Lebih jauh lagi, Kelly
mengutarakan bahwa Howard berkuasa sebagai pemula dalam kebijakan luar negeri, namun naluri yang ia miliki terhadap kebijakan luar negeri cukup dalam.
Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa pada awal pemerintahannya Howard merupakan seorang yang amatir dalam kebijakan luar negeri. Menurut
Howard dalam Kelly 2006 kebijakan luar negeri merupakan latihan dari sebuah praktek politik yang didasarkan pada kepentingan nasional dan nilai-nilai
Australia. Dia menolak jika pembuatan kebijakan luar negeri merupakan bentuk seni eksotis dari diplomasi. Howard merasa bahwa kebijakan luar negeri
dijalankan dengan akal sehat. Selama sepuluh tahun lebih ia memerintah, ia tidak pernah merubah rumus dasar dari kebijakan luar negerinya, yang hanya
didasarkan pada sikapnya yang juga dipengaruhi oleh Partai Koalisi Liberal yang konservatif dalam membuat kebijakan terutama pada awal pemerintahannya di
tahun 1996. Hanya saja seiring berjalannya waktu pengalamannya meningkat sehingga memperhalus kebijakan luar negerinya.
Sedangkan menurut
Wuryandari 2001:
50-51 sejak
awal pemerintahannya, Howard terlihat bingung dengan arah kebijakan luar negeri
Australia. Walaupun, setelah Howard dilantik sebagai Perdana Menteri, ia
46
mengatakan bahwa pemerintahan koalisi Liberal akan melanjutkan kebijakan pemerintahan Buruh sebelumnya yang dipimpin oleh Paul Keating, yakni
memiliki hubungan yang kuat dengan Asia. Namun, pernyataan tersebut berhenti hanya sebagai retorika saja. Howard dinilai tidak memberikan perhatian secara
khusus kepada kebijakan luar negeri Australia. Stagnasi kebijakan luar negeri pada pemerintahan Howard menyebabkan banyaknya kritikan yang ditujukan
kepadanya. Hal ini disebabkan oleh salah satu fungsi kebijakan luar negeri ialah mempromosikan berbagai kepentingan nasional Australia. Salah satu kritikan
tajam terhadap pemerintahan Howard datang dari surat kabar di Australia “The Age
” menjelang akhir 1996, yang menulis “Australian needs the federal Government to Determine a clear set of priorities in foreign, defence and trade
policy ” Australia membutuhkan pemerintahan federal untuk menentukan
seperangkat prioritas yang jelas dalam kebijakan luar negeri, pertahanan dan perdagangan terjemahan penulis.
Senada dengan pernyataan Wuryandari, Kelly 2006: 5 menilai bahwa stagnasi kebijakan luar negeri di awal pemerintahan Howard dikarenakan pada
saat pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Howard hanya memiliki sedikit kontak internasional, ia juga tidak memiliki jaringan dengan regional serta
memiliki kecurigaan terhadap pengaruh Hawke dan Keating pada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan. Selain itu, Howard juga kurang memahami tentang
konsep kebijakan luar negeri dan memiliki empati yang sedikit dengan Asia. Memperkuat argumen sebelumnya, menurut Trood 1998: 185 dalam
Wuryandari 2001: 52 dan Suryanarayana 2001 berbeda dengan pasangan