Koalisi Partai Politik Bagian dari Siste (1)

Koalisi Partai Politik Bagian dari Sistem
Pemeritahan Presidensial atau Parlementer?
Akhir-akhir ini partai-partai politik sedang gencar-gencarnya melakukan koalisi dengan partai
lain. Partai pemenang pemilu legislatif melakukan koalisi dengan partai-partai yang lain. Para
pemimpin partai semakin intensif melakukan pertemuan dengan pemimpin partai politik yang
lain. Mereka bertemu membahas tentang pemilu presiden Juni mendatang. Tak jarang pertemuan
antara pimpinan partai ini secara terbuka dilakukan di depan media massa secara terbuka.
Semakin panasnya koalisi antar partai ini mengindikasikan bahwa partai politik tidak main-main
dalam menentukan pilihan presiden dan atau wakil presidennya.
Tetapi sayangnya koalisi ini identik dengan adanya timbal balik antar partai politik. Apabila
salah satu calon presiden dari partai menang dalam pemilihan presiden, maka partai-partai
koalisi akan meminta jatah untuk duduk di dalam pemerintahan. Mereka akan meminta jatah
wakilnya duduk dalam jabatan menteri-menteri. Ujung-ujungnya pemerintahan di Indonesia
dipegang oleh koalisi partai politik yang sama saja hanya berporos pada satu ideologi yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Menteri-menteri yang diajukan oleh partai yang
berkoalisi belum tentu cakap dalam bidangnya. Dalam hal ini memang tidak ada salahnya jika
partai yang berkoalisi meminta jatah menteri, tetapi alangkah baiknya apabila dalam koalisi ini
partai politik melihat dahulu calon yang akan diajukan untuk mengisi jabatan menteri dalam
pemerintahan.
Koalisi sendiri sebenarnya ada dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan di sistem
pemerintahan presidensial seperti yang dijalankan di Indonesia. Partai pemenang suara dalam

pemilihan anggota legislatif yaitu DPRD, DPD, DPR Provinsi dan DPR RI akan melakukan
koalisi dengan partai pemenang pemilu yang lain untuk mencalonkan presiden dan wakil
presiden. Harusnya di Indonesia tidak menggunakan koalisi yang dilakukan dalam sistem
pemerintahan parlementer karena telah menganut sistem pemerintahan presidensial. Ini
menunjukkan bahwa negara Indonesia masih binggung dalam menentukan arah bagaimana cara
demokrasi yang baik. Semuanya seperti dicampuradukan menjadi satu.
Melihat hal ini sepertinya negara Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara
setengah-setengah. Meskipun demikian sebenarnya tujuan dari adanya koalisi ini untuk kebaikan
bersama. Tetapi adanya koalisi yang telah menjadi tradisi dalam setiap pemilihan presiden dan
wakil presiden ini menjadi ajang bagi para partai politik untuk mendekatkan diri dengan partai
lain yang tujuannya bukan untuk kemajuan negara Indonesia, tetapi demi kepentingan partai.
Ideologi yang dianut partai politik pun dapat berubah-ubah sesuai dengan koalisi yang dilakukan.
Ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang ada di Indonesia tidak sesuai dengan proses
dalam pemilihan presiden dan atau wakil presiden.

PROBLEMATIKA KOALISI DALAM SISTEM PRESIDENTIAL

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensiil Indonesia beralih
dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk
(multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem

pemerintahan presidensial (Saldy Isra, 2009). Sistem multipartai dan sistem pemerintahan
presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Kesulitan
ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara dua lembaga,
antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di lembaga legislatif
sendiri.
Misalnya berkenaan dengan dukungan lembaga legislatif kepada presiden (eksekutif),
meski presiden memenangkan pemilihan umum dan mendapat dukungan mayoritas dari pemilih,
tidak jarang partai politik presiden menjadi kekuatan minoritas di lembaga legislatif. Karena
presiden dan lembaga legislatif sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat (pemilih),
perbedaan partai mayoritas di lembaga legislatif dengan partai politik presiden sering berdampak
pada ketegangan di antara keduanya. Misalnya, praktik sistem pemerintahan presidensial di
Amerika Serikat perbedaan partai politik mayoritas di kongres dengan partai politik presiden
sering menimbulkan pemerintahan yang terbelah (divided government).
Dalam perjalanan rezim ketatanegaraan pasca perubahan konstitusi, muncul yang
namanya pemerintahan koalisi, sebagai perilaku Presiden dalam kaitannya dengan partai-partai
politik yang mendapatkan kursi di DPR. Perilaku itu mendapatkan pembenaran atas interferensi
pemikiran yang menghubungkan stabilitas sistem presidensial dengan multipartai.
Scott Mainwaring mengemukakan, pembentukan koalisi dalam sistem presidensial jauh
lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Kesulitan itu terjadi karena
dalam sistem presidensial coalitions are not institutionally necessary dan sistem presidensial not

conducive to political cooperation. Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih
rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem
kepertaian majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi
(Scott Mainwaring, 1992).
Berkaca dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, koalisi yang dibangun Presiden
Yudhoyono tidak banyak membantu memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di DPR.

Masalah itu diakui secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono bahwa dengan merangkul banyak
partai politik, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Nyatanya,
dukungan itu tidak terjadi. Dukungan yang dimaksudkan Presiden Yudhoyono tersebut tidak
hanya kebijakan dalam fungsi legislasi, tetapi untuk kebijakan non-legislasi
Dalam keterangan pers, Selasa, 1 Maret 2011 Presiden menyebutkan "…Saya ingin
memastikan dalam proses komunikasi saya, yang saya lakukan sekarang ini, bahwa semua partai
politik tanpa kecuali benar-benar committed, menaati, mematuhi apa yang telah disepakati, dan
secara eksplisit telah ditandatangani dalam nota kesepahaman itu bersama saya. Jika tidak, ke
depan tentu sanksi harus diberikan, dan dalam penataan kembali koalisi yang insya Allah akan
kami laksanakan dalam waktu dekat ini. Jika memang ada partai politik yang tidak lagi bersedia
mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuatnya bersama-sama saya dulu, tentu partai
politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi." (http://www.presidensby.info)
Tentunnya hal seperti ini akan sangat merusak prinsip konstitusionalisme kita.

Bagaimana bisa membenarkan bahwa instrumen DPR yang bernama fraksi harus wajib
mendukung kebijakan pemerintah? Bukankah fraksi adalah wadah anggota DPR yang hakhaknya dijamin konstitusi secara individual (Pasal 20A ayat 3 UUD 1945), Bahwa setiap anggota
DPR dijamin konstitusi ketika mengemukakan pendapat baik yang mendukung ataupun yang
bertentangan dengan pemerintah, baik yang cerdas maupun yang tidak, dijamin konstitusi
bahkan dilengkapi dengan imunitas.
Karena kontrak koalisi itulah, anggota DPR terasing dengan dirinya sebagai wakil rakyat
bahkan meski terpilih dengan suara terbanyak. Akibatnya, kebijakan Presiden berubah menjadi
kebijakan parpol koalisi, maka anggota DPR yang berseberangan pendapat dalam menjalankan
tugas konstitusionalnya terancam untuk di-recall. Tentunya hal seperti ini menzalimi konstitusi.
Pada konteks ini konstitusi tidak mengharamkan praktik koalisi yang dibangun, Namun,
konstruksi itu pun yang membuat saya menyayangkan, apalagi setelah perubahan konstitusi,
seandainya seluruh kekuatan politik di DPR mencabut dukungan mereka terhadap presiden untuk
kemudian mau memberhentikan presiden di tengah jalan, seluruh kekuatan politik tersebut hanya
bisa sampai melakukan hipotesis asumsi, yaitu melalui penggunaan hak menyatakan pendapat.
Hipotesa asumsi, atau pendapat, yang dibangun pun itu pun hipotesis politik belaka, tetapi harus
hipotesis konstitusional akan dugaan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden dan harus terbukti di Mahkamah Konstitusi.

Berbeda dengan dahulu konstitusi era Presiden Soeharto sesungguhnya dalam konteks
jatuh bangunnya presiden jauh lebih lemah daripada konstitusi sekarang era Susilo Bambang

Yudhoyono. Dahulu, presiden setiap saat bisa dijatuhbangunkan secara konstitusional cukup
dengan upaya-upaya politik di MPR/DPR dengan tuduhan melanggar haluan negara yang cukup
dengan parameter politik meski tidak jelas secara konstitusi, memorandum I dan II akan
berujung dengan sidang istimewa menjatuhkan presiden.
Bagaimanapun, ide dasar (design) pembentukan koalisi harus dalam kerangka
memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kalau hanya dilandaskan pada perhitungan untuk
memenuhi target memenangkan pemilu, koalisi akan mengalami pecah-kongsi sejak awal
pembentukan pemerintahan. Red.