Analisis Kasus : Penetapan Nomor 0076Pdt.P2015PA.Yk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan Bab IV dapat disimpulkan bahwa dalam kedua kasus di atas dijelaskan bahwa wali nasab calon mempelai perempuan tidak bersedia menikahkan anaknya karena alasan tertentu, sementara salah satu syarat dalam perkawinan adalah adanya wali nikah. Perlindungan hukum bagi calon mempelai perempuan dalam hal terdapat wali adhol adalah dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama pemohon berdomisili agar wali nikahnya itu dinyatakan adhol dan walinya berpindah ke wali hakim. Penetapan bahwa seorang wali dikatakan adhol apabila alasan tersebut tidak sesuai dengan syari’at yaitu bila ada hubungan darah, berhubungan semenda, seseorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain, mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang menikah. Karena alasan dari kedua kasus analisis di atas tidak sesuai syariat. Maka, Majelis Hakim mengabulkan perkara permohonan Pemohon dengan menetapkan bahwa wali pemohon telah adhol. Penetapan tersebut melihat pada kebenaran peristiwa dan fakta yang diajukan pemohon melalui alat bukti yang sah dan keterangan saksi-saksi dalam acara persidangan. Pengganti wali hakim tersebut diperkuat pada Pasal 23 ayat 1 KHI terdapat ketentuan yang menentukan bahwa: “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.” Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan wali adhol yaitu dengan membuktikan kebenaran peristiwa dan fakta yang diajukan pemohon melalui alat bukti yang sah dan keterangan saksi-saksi dalam acara persidangan. Dalam perkara wali adhol digolongkan sebagai permohonan volunteer yang hanya melibatkan calon mempelai wanita sebagai pemohon tanpa ada pihak lain yang dijadikan termohon. Karena orang tua atau wali nasab dari calon mempelai perempuan tidak dianggap sebagai salah satu pihak yang berperkara, maka wali nasab tidak mempunyai kedudukan hukum untuk melakukan upaya hukum seperti verzet, banding, dan kasasi. Sebaliknya jika permohonan tersebut ditolak, perlindungan hukum bagi calon mempelai perempuan dalam hal terdapat wali adhol bisa mengajukan upaya kasasi. Pernyataan tersebut diperkuat pada Pasal 23 Ayat 2 KHI yang menentukan bahwa: “Dalam hal wali adhol atau enggan, maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.”

B. Saran-saran

Dengan terselesaikannya skripsi ini, ada beberapa hal yang menjadi harapan penulis,antara lain : 1. Hubungan antara sebuah keluarga hendaknya di jaga kekeluargaannya, terutama hubungan anak dan orangtua, maupun sebaliknya. Apabila ada permasalahan upaya yang terbaik tentu melalui pendekatan musyawarah keluarga. 2. Ajaran agama Islam menuntut kepada kita untuk berbuat baik terhadap orangtua kita. Begitu besarnya hak orangtua terhadap kita sampai ada hadis yang menyatakan ridhonya Tuhan tergantung dari ridhonya orangtua. Orangtua juga manusia yng tidak lepas dari kemungkinan salah dan khilaf dalam berbuat dan bertindak. Bila ingin bersikeras untuk menikah dengan pemuda pilihan sendiri sebaiknya bisa lebih menyakinkan kedua orang tua bahwa laki-laki yang dipilih itu adalah yang terbaik. 3. Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga peradilan negara yang bertugas dan memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam memutus permohonan wali adhol harus lebih jeli dan bijak dalam menetapkan perkara ini karena untuk kedepannya menikah itu menggabungkan ikatan lahir batin antara kedua keluarga besar mempelai. DAFTAR PUSTAKA Afandi Mansur, 2009, Peradilan Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, Malang, Setara Press. Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia Press. Amir Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Baharuddin Ahmad, 2008, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Syari’ah Press. Basiq Djalil, 2010, Peradilan Agama di Indonesia,Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Djaman Nur, 1993, Fikih Munakahat I, Bandung, Dina Utama. Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara. Helmy Masdar, 1969, Islam dan Keluarga Berencana, Semarang, CV Thoha Saputra. Jaenal Aripin, 2008, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Kamal Muchtar, 1974, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan Bintang. Mahmud Yunus, 1979, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta, H. Dakarya Agung. Mohd Idris Ramulyo, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, PT Bumi Aksara. M. Saidus Syahar, 1981, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Bandung, Alumni. M. Saifullah et al., 2005, Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia Press. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Mukti Fajar ND, dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Roihan A. Rasyid, 2013, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Rusli, dan R. Tama, 1986, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya, Bandung, Pionir Jaya. Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty. Sution Usman Adji, 1989, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta, Liberty. Taufiq Hamami, 2003, Mengenal Lebih Dekat Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni. Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Kencana. Yahya Harahap, 1990, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka Kartini. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim. Media Internet: Diakses pada tanggal 19 Mei 2016, http:www.ict.ugm.ac.idchapter_view.php ,, 21.14.