PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIAH SEPTITA H. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2010 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

DIAH SEPTITA H. NIM : 0590561041

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010

Lembar Pengesahan

Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 13 April 2010

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. I Made Widnyana, SH Purwati, SH,MH NIP. 130346027

NIP. 130515141

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195604191983031003

NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 13 April 2010

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 0584/H14.4/HK/2010

Ketua : Prof. I Made Widnyana, SH Sekretaris : Purwati, SH,MH Anggota

: 1. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH,MH

2. Wayan Tangun Susila, SH,MH

3. Gede Made Swardhana, SH,MH

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini pula penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana Universitas Udayana

3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

4. Prof. I Made Widnyana, SH selaku Pembimbing I, dan Ibu Purwati, SH, MH selaku Pembimbing II, yang demikian sabar dan penuh perhatian telah 4. Prof. I Made Widnyana, SH selaku Pembimbing I, dan Ibu Purwati, SH, MH selaku Pembimbing II, yang demikian sabar dan penuh perhatian telah

5. Penguji tesis, yaitu Dr. I Gst. Ketut Ariawan, SH, MH, Wayan Tangun Susila, SH, MH, dan Gede Made Swardhana, SH, MH yang telah memberikan saran dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.

6. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, ilmunya yang tersampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan telah menginspirasi dan penyemangat dalam tesis ini.

7. Seluruh tenaga pengajar Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana khususnya pada jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.

8. Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

9. Seluruh karyawan/karyawati Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Udayana.

10. Almarhumah Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta yang telah menghidupi penulis sejak dalam janin dan telah membimbing penulis sampai terbentuk karakter seperti sekarang ini, serta kakak sulungku Ir. Prasetyo Hadi “Mas Didik” sekeluarga yang terhormat, yang selalu perhatian dengan segala kebaikannya mendukung penulis baik spiritual maupun material. Terima kasih juga diucapkan kepada kakakku Dodit Hariyanto, SE, MBA “Mas Yanto” sekeluarga yang telah menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam 10. Almarhumah Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta yang telah menghidupi penulis sejak dalam janin dan telah membimbing penulis sampai terbentuk karakter seperti sekarang ini, serta kakak sulungku Ir. Prasetyo Hadi “Mas Didik” sekeluarga yang terhormat, yang selalu perhatian dengan segala kebaikannya mendukung penulis baik spiritual maupun material. Terima kasih juga diucapkan kepada kakakku Dodit Hariyanto, SE, MBA “Mas Yanto” sekeluarga yang telah menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam

11. Lekna dan Umi sekelurga yang selalu melapangkan hati, teman-teman, serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang selalu membantu tanpa pamrih.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pihak yang terkait terutama tentang perlindungan perempuan yang mendapat perlakuan semena-mena.

Denpasar, 13 April 2010

Penulis

ABSTRAK

Perlindungan terhadap perempuan terutama dalam kasus KDRT masih belum sepenuhnya menjamin walaupun tak kurang peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan. Apalagi sejak diberlakukannya UUPKDRT, perlindungan terhadap perempuan lebih spesifik terutama terhadap korban KDRT.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Bahan hukum yang diteliti meliputi bahan primer yang terdiri dari KUHP, UU Ratifikasi CEDAW, UU HAM, UUPKDRT, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UUPTPPO, dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, dan internet.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya telah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik tentang KDRT adalah UUPKDRT. Namun dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan perempuan belum cukup akomodatif atas kebutuhan perempuan sebagai korban. Adanya bias gender yang mempengaruhi pola pikir masyarakat termasuk lembaga legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang serta adanya ketidaksingkronan atau bahkan mendukung ke arah legalisasi secara tidak langsung atas suatu tindak pidana.

Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khususnya korban KDRT ini bukan sekedar dalam taraf implementasi penegakan hukumnya, tetapi terakomodasinya kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban KDRT ke dalam bentuk undang-undang yang benar-benar menjamin perlindungan hukum atas dirinya dan masyarakat pada umumnya. Di sini lah dibutuhkan peran kebijakan legislatif dalam kebijakan kriminal untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan akan perlindungan hukum khususnya dalam kasus KDRT

Kata Kunci : Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KDRT, Kebijakan Kriminal

ABSTRACT

Protection for women especially on domestic violence cases is yet to completely ensuring, although there is not less than considerable amount of laws protecting women available. Especially ever since Domestic Violence Elimination Code has been applied, protection of women is even more specific, notably towards domestic violence victims.

This research is a normative one. Legal material studied including primary sources, including Criminal Law Code, CEDAW Code Ratification, Human Rights Code, Domestic Violence Elimination Code, Commissions of Truth and Reconciliation Code, Witness and Victim Protection Code, Human Trafficking Prevention Code, as well as secondary source from legal text books, legal journals, papers or legal practitioner’s point of view published on mass media, dictionary and encyclopedia, and internet.

The result from this research shows that protection on female domestic violence victims were actually has been applied in the form of various legislations. One of the legislation specifically regulate domestic violence is the Domestic Violence Elimination Code. However, from various legislation that regulates women protection is not thoroughly accommodative for women as a victim. Existing gender bias influence community mindset and legislative institutions as legislatures, and asynchronous condition, even towards indirect legalization of a crime.

Legal protection effort of women, especially domestic violence victim, is not only in the level of implementation of law enforcing, but on the fulfill of public needs especially women as domestic violence victim into a form of legislation that really ensure legal protection of themselves and the general public. At this very point legislative policy is needed to accommodate women’s needs of legal protection especially on domestic violence cases.

Keywords: Legal Protection on Women inDomestic Violence, Criminal Policy

RINGKASAN

Penelitian ini disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat dkemukakan sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian.

Bab II adalah bab yang menguraikan tentang definisi kekerasan dan korban, serta batasan yang digunakan dari definisi kekerasan dan korban sebagai batasan penelitian.

Bab III berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap perempuan khususnya korban KDRT. Beberapa peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan adalah KUHP, UU HAM, UUPKDRT, UUPTPPO, UU perkawinan dan UU Ratifikasi CEDAW sebagai dasar hukum perlindungan perempuan dalam ruang lingkup internasional. Selain itu, KUHPerdata juga menjamin perempuan untuk menggugat ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya.

Bab IV merupakan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada Bab I. Bab ini berisi tentang perlindungan perempuan dalam KDRT dalam perspektif perbandingan hukum baik dengan RKUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 maupun dengan hukum pidana negara lain. Selain itu juga dibahas tentang politik kriminal Bab IV merupakan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada Bab I. Bab ini berisi tentang perlindungan perempuan dalam KDRT dalam perspektif perbandingan hukum baik dengan RKUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 maupun dengan hukum pidana negara lain. Selain itu juga dibahas tentang politik kriminal

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara kuantitatif cenderung meningkat dengan modus operandi yang beragam dengan dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-laki. Keprihatinan terhadap korban kekerasan ini semakin mengemuka karena banyaknya kasus kejahatan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan dampak terhadap korban pada saat kejadian hingga pasca viktimisasi cukup mengenaskan dan membawa traumatik berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa pun dan di mana pun. Namun, bila ditelusuri secara seksama dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada perempuan yang dikarenakan mereka adalah ”perempuan” cenderung meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual yang mayoritas ditujukan pada perempuan. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gender violence. Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara kuantitatif cenderung meningkat dengan modus operandi yang beragam dengan dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-laki. Keprihatinan terhadap korban kekerasan ini semakin mengemuka karena banyaknya kasus kejahatan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan dampak terhadap korban pada saat kejadian hingga pasca viktimisasi cukup mengenaskan dan membawa traumatik berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa pun dan di mana pun. Namun, bila ditelusuri secara seksama dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada perempuan yang dikarenakan mereka adalah ”perempuan” cenderung meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual yang mayoritas ditujukan pada perempuan. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gender violence. Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless

Kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut baik di sektor domestik maupun publik. Tidak menutup kemungkinan adanya dark number walaupun pemerintah telah menjamin hak perempuan dalam berbagai produk hukum. Begitu juga dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) tidak menjamin serta merta dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik, merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat peradilan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan hubungan antar individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, serta dikukuhkan oleh persoalan ketergantungan ekonomi, dan masa depan, serta status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup rapat kasus domestiknya.

Dengan sistem budaya patriarki, laki-laki akan merasa bahwa dirinya memiliki kekuasaan dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Mahar yang tinggi dan tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi keluarganya serta adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, membuat kaum `adam` merasa memiliki kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan

1 Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 226.

memperlakukan apa saja terhadap perempuan. 2 Apalagi di beberapa daerah, masih ada adat yang mengkultuskan garis laki-laki secara tegas sehingga garis

keturunan keluarga, warisan dan sebagainya jatuh ke tangan laki-laki. Adat kebiasaan seperti itu memang sulit untuk dihilangkan karena sudah diakui dan

diterapkan secara turun temurun. Sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga hanya dinilai sebagai masalah internal sehingga para tetangga maupun sanak famili tidak sepantasnya ikut campur. 3 Seorang perempuan berstatus istri saja diperlakukan seperti itu, apalagi hanya seorang pembantu rumah tangga yang level derajatnya jauh lebih rendah dapat dipastikan akan mendapat perlakuan yang lebih buruk.

Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah tidak layak diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya. 4 Ditambah lagi, sifat undang-undang ini adalah delik aduan (klacht

2 Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.

3 Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, www.sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.

4 Romany Sihite, Op.cit., h. 145.

delict). Tujuan sifat delik aduan ini adalah untuk melindungi ”privacy”, agar tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”. 5

Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami

kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. 6 Mereka lebih banyak mendiamkan permasalahannya untuk menutupi aib keluarganya. Korban kekerasan dalam

rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dimana posisinya yang tersubordinat enggan untuk melakukan pengaduan. Bagi mereka, membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk memutuskan pengaduan atas kelakuan suami mereka. Korban akan berpikir seribu kali untuk melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Keadaan tertekan dan ketergantungan hidup biasanya yang menjadi alasan terbesar.

Berikut contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga :

1. Ag bin S melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Ny. S, yang menyebabkan pendarahan pada hidung, luka memar di dada, dan pernah pingsan. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat oleh dr. Basuki pada RS Panti Rapih Yogyakarta tanggal 12 November 1990 Nomo 373/WS/MR/VIS/UM/11/90 atas nama Ny. S menyimpulkan bahwa penderita mengalami gejala gegar otak akibat kekerasan benda tumpul. Menurut terdakwa, ia melakukan penganiayaan hanya merupakan pelampiasan saja dari perbuatan istri terhadap terdakwa yang main serong dengan laki-laki lain dan pagi itu ia meminta uang kepada korban tidak

5 Mardjono Reksodiputro, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1) , Sumber : http://reformasikuhp.org/ , Senin, 17 Desember 2007, www.jodisantoso.blogspot.com .

6 Siti Musdah Mulia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan dari Makalah Seminar Sehari diselenggarakan Tim PUG Departemen Agama bekerjasama dengan

Komnas Perempuan, 22 Juni 2004 di Jakarta, www.icrp-online.org.

diberi, malahan korban ngomel. Padahal kenyataannya terdakwa sendiri yang melakukan penyelewengan dan menghendaki kawin lagi. Dan terdakwa saat ini sedang menjalani pidana penjara pada kasus penganiayaan terhadap WILnya. Atas perbuatan terdakwa tersebut Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan karena terdakwa Ag bin S telah terbukti secara sah dan keyakinan bersalah melakukan tindak pidana ”penganiayaan yang dilakukan terhadap istrinya” (melanggar Pasal 351 ayat (1) jo. 356 ke-1 KUHP) sebagaimana hasil putusan pengadilan No. 14/Pid/B/1991/PN.YK. 7

2. Yup bin Sup melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Tik binti Wak, yang telah dinikahinya enam bulan yang lalu. Selama perkawinannya tersebut, mereka sering cekcok karena terdakwa sudah punya wanita lain. Berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 356 ke-1 KUHP, Yup bin Sup telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan penganiayaan terhadap istri sahnya, maka dalam putusannya 84/1/B/2002/PN Smg, hakim memutuskan pidana penjara selama tiga bulan. 8

3. Merasa laporannya tidak menemui titik terang setelah melapor ke Polres Bengkayang, korban KDRT, Er, warga asal Kampung Kaum Kabupaten Bengkayang, mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PeKa) Kota Singkawang.

Er mengatakan, yang memukulnya adalah Jn, yang tidak lain sebagai mantan suaminya. Er menduga, tidak adanya perkembangan kasus tersebut lantaran pelaku yang memukulnya dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Er meminta kasusnya diusut tuntas. Dan berharap pelaku dapat ditindak tegas. Wanita berusia 27 tahun melaporkan suaminya Jn Bin Bjg ke Polres Bengkayang, 12 Desember 2008.

Direktur LBH PeKa, Rosita Ningsi sebagai lembaga yang mendampingi mengatakan, kasus KDRT yang diterima Er ini divisum di Dokter Bengkayang Jalan Sanggau Ledo nomor 32 Bengkayang.

“Hasil kesimpulan dokter, bahwa pada korban terdapat pembengkakan dan memar di pipi kiri dan kepala sebelah kiri akibat benturan benda tumpul,” kata Rosita mendampingi Er.

Kemudian, kata Rosita, pengacara korban pada 15 Desember 2008 meminta pihak Polres Bengkayang untuk memeriksakan kejiwaan tersangka Jn bin Bjg ke Rumah Sakit Jiwa Bodok Singkawang (RS Jiwa Provinsi Kalbar).

7 Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelsaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 152. 8 Ibid.

Kata Rosita, kemudian Kapolres Bengkayang saat itu mengirimkan surat ke RS Jiwa Provinsi Kalbar di Singkawang meminta agar kejiwaan tersangka diperiksa. Lalu, lanjut Rosita, pada tanggal 12 Januari 2009 keluarlah surat keterangan dari Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar yang menyatakan tersangka mengalami gangguan kejiwaan. “Dengan keluarnya surat keterangan itu, pemeriksaan dan proses hukum terhadap tersangka tidak bisa dilanjutkan pihak kepolisian karena tersangka telah lama mengalami gangguan kejiwaan dan mental (tidak sehat rohani) yang cukup berat,” jelas Rosita. Hingga, tersangka pun tidak diproses.

Menurut Rosita, Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar, dr. Suliana merasa tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani surat itu. Rosita menjelaskan, dr Suliana bukan dokter kejiwaan, melainkan dokter umum. “Dokter Suliana juga pernah mendatangi saya. Dia tidak pernah mengeluarkan surat keterangan itu.,” terang Rosita.

Rosita menerangkan, dr. Suliana kemudian melapor ke Polres Singkawang, karena merasa tidak pernah menandatangani surat tersebut. Namun, sampai sekarang ini belum jelas, sampai di mana proses tindak lanjut terhadap laporan itu. 9

4. Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada hari Senin (22/02/2010) di pengadilan negeri (PN) Situbondo tampaknya marak dengan rekayasa antara hakim dan keluarga terdakwa, Adi (30). Dalam kasus terssebut sebelumnya, Adi yang juga anak dari kepala kantor kecamatan (Camat) Arjasa itu didakwa telah menganiaya sang istri, Rista (29) yang juga seorang bidan di desa Seliwung. Selain menganiaya istri, Adi juga telah didakwa membunuh janin di dalam rahim bidan Rista.

Dalam sidang perdananya kemarin, Senin (22/02/2010), para majelis hakim di sidang yang digelar di pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jawa Timur (Jatim) tersebut seolah telah merekayasa kasus dengan keluarga terdakwa. Sebab Ketua majelis hakim menyatakan bahwa Adi dinyatakan telah menjadi tahanan kota. Ada apa dengan para hakim di PN Situbondo. Sedangkan sang keluarga terdakwa, terutama sang ayah yang juga Camat Arjasa menjamin jabatannya selaku Camat serta juga menjamin jabatan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) “Abdur Rahim”, dr Tony sebagai pimpinan Adi yang hingga kini masih tenaga sukwan di RSUD itu. 10

9 http://borneotribune.com/singkawang/kasus-kdrt-tak-kunjung-selesai-warga-bengkayang- Melapor-ke-lbh-peka.html

Akhirnya kasus KDRT tersebut, Adi diputus bersalah dengan dijatuhi pidana penjara 6 bulan. Atas putusan tersebut, Adi sedang melakukan upaya banding.Hingga saat ini belum ada berita kejelasannya.

5. Seorang terdakwa dosen perguruan tinggi negeri di Jakarta Dr AMA dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (1/7) kemarin terancam hukuman pidana 4 tahun penjara. Tuduhannya yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Pri-nuka Arrom adalah AMA telah menganiaya isteri nikah sirinya Tiur Mauli Siregar (41) hingga mengalami luka memar.

Korban, mengaku pernah diancam terdakwa dengan todongan senjata api ke mulutnya. Bahkan saat hamil 5 bulan korban ditin-dih hingga kandungannya keguguran. Kehamilan dan keguguran tersebut ada keterangannya dari rekam medis RS MMC Jakarta, 2 Januari 2005. Akhirnya Tiur terpaksa kabur dari rumah selanjutnya mengadu ke Polres Jakarta Timur dengan Surat Pengaduan No. 344/K/III/2010/RES.JT.

Di depan sidang PN Jakarta Timur, Kamis (1/7) dengan majelis hakim diketuai Jesayas Tarigan dengan anggota S Donatus, Wahyu Prasetyo, terdakwa dituduh melanggar pasal pidana penganiayaan sesuai pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan ancaman 6 bulan penjara. Rencananya sidang dilanjutkan Kamis (8/7) dengan menghadirkan saksi dari a de charge yang meringankan terdakwa Sehari sebelumnya (30/6) Tiur selaku korban KDRT sudah melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan di Jalan Latu-harhari, Jakarta Pusat. 11

Kelima contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga di atas menunjukkan implementasi yang berbeda atas perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban dengan penerapan hukum yang berbeda dimana pada kasus pertama dan kedua masih menggunakan Pasal 351 (penganiayaan) dan Pasal 356 ke 1 KUHP sebagai dasar hukum perlindungan terhadap korban pada

10 http://politik.kompasiana.com/2010/02/23/kasus-kdrt-anak-camat-arjasa-diduga-disetting- hakim/

11 http://bataviase.co.id/node/278492

kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perlindungan terhadap terhadap perempuan lebih tampak nyata dengan diprosesnya kasus tersebut secara hukum hingga dijatuhkannya sanksi pidana kepada pelaku dibandingkan dengan penerapan UUPKDRT pada kasus ketiga, keempat, dan kelima yang pada saat itu telah diberlakukan tetapi implementasi perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban masih jauh dari harapan walaupun perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu pokok tujuan dibuatnya UUPKDRT. Pada kasus ketiga dan keempat, nampak sekali keberpihakan kepada laki-laki yang mempunyai kekuasaan lebih besar dibanding perempuan yang ditempatkan pada posisi powerless. Untuk mendapatkan keadilan, butuh perjuangan yang sangat berat bagi perempuan. Di samping itu juga kuaslitas sumber daya manusia pada posisi aparat penegak hukum masih rendah. Sedangkan pada kasus terakhir, pelaku dijerat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 351 KUHP dan UUPKDRT untuk menghindari lolosnya pelaku dari jeratan pasal pidana dimana ancaman pidana pada UUPKDRT jauh lebih ringan dibanding ketentuan Pasal 351 KUHP. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya antara KUHP dengan UUPKDRT. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPKDRT dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum khususnya perempuan karena KUHP belum mengatur secara eksplisit tentang kekerasan dalam rumah tangga.

UUPKDRT menentukan beberapa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 52, dan 53 karena sifatnya yang privat sehingga undang-undang ini sulit untuk diberlakukan secara optimal. Dianutnya delik aduan dalam undang–undang ini hanya memperkuat kengganan korban untuk tidak mengadukan tindak kekerasan yang dialaminya karena dengan sifat delik aduan ini dapat diartikan bahwa adanya keberpihakan terhadap pelaku yang didominasi laki-laki. Secara sosiologis, manusia cenderung untuk menyelamatkan kepentingannya, termasuk menyelamatkan diri dari hukuman. Bukankah kemudian akan muncul keadaan yang lebih parah yaitu para pelaku akan mendiamkan saja peristiwanya bahkan menyembunyikan karena ia takut dipidana? Sedangkan secara alami jelas disadari bahwa wanita kaum yang lemah, 12 pelaku akan mengintervensi korban untuk tidak mengadukan kepada pihak berwajib sehingga pelaku semakin berkuasa atas diri korban sewenang-wenang melakukan kekerasan. Apabila undang-undang ini tetap bersifat delik aduan, maka sulit rasanya untuk melindungi kaum perempuan seluruhnya. Tidak mustahil bila undang-undang ini hanya bersifat pajangan atau sebagai pelengkap hukum nasional kita bagi perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang hidup di tengah masyarakat berpola pikir patriarki. Mereka akan terus menjadi korban selama hidupnya. Maka secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa hak

12 I Ketut Artadi, 2004, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahannya, Cetakan Keempat, Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 226-227.

asasi warga negara khususnya korban tidak terjamin. Padahal apabila membaca konsideran undang-undang ini, jelas sekali terlihat perhatian negara terhadap perlindungan warga negaranya terutama terhadap perempuan yang umumnya rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sangat besar. Selengkapnya, isi konsideran tersebut sebagai berikut :

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;

c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;

d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis kelamin (perempuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia yang mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hal ini terlihat di dalam dokumen- dokumen HAM. Misalnya di dalam UDHR (Universal Declaration of Human Rights), antara lain ditegaskan : 13

Pasal 1 : 13 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 65. (selanjutnya disebut Barda I)

”All human beings are born free and equal in dignity and rights.”

Pasal 2 : ”Everyone is entitled to all the rights and freedom set fort in this

Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”

Negara kita pun menjamin hak perempuan tanpa diskriminasi. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Sebagai negara hukum, salah satu cirinya adalah adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam segala segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan senatiasa melekat pada kehidupan dan keberadaban manusia itu sendiri. Hal ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal yang tersusun dalam Batang Tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1) mengatur tentang ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut, dapat diartikan sebagai bentuk hak asasi setiap orang atas pengakuan, jaminan, Negara kita pun menjamin hak perempuan tanpa diskriminasi. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Sebagai negara hukum, salah satu cirinya adalah adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam segala segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan senatiasa melekat pada kehidupan dan keberadaban manusia itu sendiri. Hal ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal yang tersusun dalam Batang Tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1) mengatur tentang ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut, dapat diartikan sebagai bentuk hak asasi setiap orang atas pengakuan, jaminan,

Dalam penugasan hak asasi manusia, dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi sebagai instrumen Perserikatan Bangsa- bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan tersebut, Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wanita, dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman) tanggal 24 Juli 1984, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 29. Pengesahan terhadap Konvensi Wanita mengandung makna bahwa (1) Negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi, (2) Mengutuk diskriminasi, (3) Negara sepakat menghapus diskriminasi, dengan segala cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, (4) Aparat negara, aparat propinsi dan daerah lainnya dituntut bertanggung jawab bila

masih ada diskriminasi. 14

14 I Gusti Ariyani, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas Udayana ke 43 dan HUT FH Universitas Udayana ke 41, di Denpasar 30 Agustus 2005, h. 2.

Selain itu, jaminan atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi ini juga diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat, salah satunya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak asasi dalam penegakan hukun pidana adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan.

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat : ”to

much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims.” 15

15 Gilbert Geis, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 4, The Free Press : A Division of Macmillan Inc.,

New York, h. 1600.

Untuk itu perlu kiranya perhatian khusus terhadap korban. Menurut Arif Gosita, dasar diperlukannya perhatian terhadap kedudukan si korban dalam tindak pidana, adalah antara lain sebagai berikut :

1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai si korban secara yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban.

2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 yang mewajibkan setiap warga negara melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.

3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan hukum acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban.

4) Adanya peningkatan kejahatan internasional yang mungkin juga menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini apabila tidak ada yang mau memberikan kompensasi tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.

5) Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin dalam peraturan hukum pidana kolonial dan nasional, (siapakah pada hakekatnya seorang gelandangan, germo, pencuri, koruptor, pembunuh Indonesia bagi kita sesama orang Indonesia).

6) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban- korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu.

7) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar pada si pembuat korban daripada si korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana. Seolah-olah undang-undang hukum pidana membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dan si korban, sedangkan masing-masing mempunyai peranan fungsional, hubungan yang erat satu sama yang lain dalam terjadinya suatu tindak pidana. Tanggapan yang tidak benar ini dapat berakibat adanya ketidakadilan dalam pemberian hukuman dan ganti rugi.

8) Adanya kurang perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam 8) Adanya kurang perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam

9) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin mendapatkan/menuntut penggantian kerugian ia harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama. Bagi si korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan hidupnya dengan segera ketentuan ini adalah sangat merugikan dan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian perlu dicarikan cara penyelesaian yang lebih sederhana dan cepat, tetapi tepat dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan.

10) Agar dapat lebih baik lagi merealisasikan keadilan, maka ada pendapat, bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana perlu dimasukkan lagi dimensi hukum perdata yang lebih kuat lagi dan menetralisasikan sifat eksklusif hukum publik dari peradilan pidana. 16

Dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum pidana terhadap korban, Quinney menulis bahwa konsep hukum pidana dikembangkan ketika kesalahan pribadi dan masyarakat digantikan oleh asas bahwa negara dirugikan ketika di antara masyarakat diserang. Hak masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan salah telah diambil alih oleh negara sebagai wakil masyarakat. 17 Dengan demikian, negara bertindak sebagai sarana hukum pidana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini terkait dengan tujuan negara

16 Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 80-82.

17 Richard Quinney, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown and Company, Canada, h. 44.

Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sila kelima.

Sesuai dengan pendapat Quinney di atas, Mardjono Reksodiputro, yang melihat pada sejarah perkembangan hukum pidana 18 , menulis :

Pada mulanya reaksi terhadap pelanggaran adalah sepenuhnya hak (dan kewajiban) korban. Akibat dari dendam (darah) yang sering tidak berkeputusan, telah timbul keadaan, bahwa lambat laun ganti rugi oleh pelanggar dapat dibayar dengan harta. Selanjutnya, dirasakan pula bahwa pelanggaran itu tidak hanya hubungan (urusan) pelaku dan korban. Pelaku pelanggaran dianggap juga mengganggu keseimbangan ketertiban dalam masyarakat sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam keseimbangan antara pelaku dan masyarakatnya. Rupanya, gangguan yang terakhir inilah yang lebih diperhatikan sehingga masyarakat (negara) sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut ’ganti rugi’ dari pelaku.

Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi pehatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Dalam implementasinya, apabila negara tidak menjamin perlindungan hukum terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain UDHR dan CEDAW, the International Covenant on Civil and Political Rights (”ICCPR”), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (“IESCR”), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,

18 Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, h. 75.

or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”) adalah dokumen HAM Internasional yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia,

dimana para korban KDRT dapat mengugat negaranya masing-masing. 19 Serta beberapa dokumen HAM regional yang dapat dijadikan andasan bagi korban

KDRT antara lain The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and Peoples Rights (“African Charter”). 20 Hal ini lebih

dipertegas lagi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan umum UUPKDRT Pasal 1 angka 2 yang berbunyi sebagai berikut :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

1.2. Rumusan Masalah

19 Yuhong Zhao, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211, h. 223.

20 Perlindungan terhadap Perempuan melalui Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga : Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India, www.jurnalhukum.blogspot.com.

Sebagaimana latar belakang yang telah terurai di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Sebagaimana telah tersebut dalam rumusan masalah, maka tulisan ini hanya akan membahas seputar hak perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan kebijakan hukum pidananya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai meliputi tujuan umum (het van het ondeerzoek) dan tujuan khusus (het doel in het onderzoek), yaitu :

1.4.1. Tujuan umum

1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

2. Untuk mengkaji secara mendalam bagaimana kebijakan hukum pidana.

1.4.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana atas kriminalisasi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang sebaiknya digunakan untuk masa mendatang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa hak-hak perempuan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga beserta kebijakan hukum pidananya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004.

1.5. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1.5.1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan masukan atau solusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

1.5.2. Manfaat praktis

Bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat kebijakan dalam perumusan perundang-undangan dan pemidanaan mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga maupun pihak Bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat kebijakan dalam perumusan perundang-undangan dan pemidanaan mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga maupun pihak

1.2. Landasan Teoritis

1.2.1. Perlindungan Hukum

Perlindungan dari kata lindung, mendapat awalan per dan akhiran –an. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia disusun W.J.S. Poerwodarminto bahwa perlindungan artinya tempat berlindung.

Terkait dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif. Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan azas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum. Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus. 21

Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu

21 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya , h. 10.

adalah perlindungan terhadap umum (protection of the public) 22 termasuk di dalamnya perlindungan hukum terhadap korban.