Semiokimia yang dihasilkan herbivor dan interaksi tritropik

33 kandungan nitrogen tinggi dibandingkan dengan tanaman yang rendah nitrogen. Tanaman yang rendah kualitas nutrisinya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan larva dan perkembangan serangga herbivor, menyajikan suatu paradoks bagi pengamat karena serangga perlu makan yang banyak untuk mencapai ganti kulit menuju dewasa, hal ini penyebab lebih banyak kerusakan pada tanaman inang dibandingkan dengan mekanisme ketahanan lain seperti antibiosis. Tetapi, perkembangan larva yang panjang yang berasosiasi dengan kualitas tanaman inang yang rendah mungkin meningkatkan kesempatan eksposur pada predator dan patogen. Ketika kumbang chrysomelid Galerucella lineola dipelihara pada dua spesies tanaman inang, satu cocok untuk perkembangan larva Salix viminalis dan satu tidak cocok Salix dasyclados, pertumbuhan dan kemampuan hidup larva lebih tinggi pada Salix viminalis tetapi laju pemangsaan setiap harinya lebih tinggi pada S. dasyclados.

C. Semiokimia yang dihasilkan herbivor dan interaksi tritropik

Herbivor secara nyata terkait dalam interaksi tritropik, dimana disatu sisi berinteraksi dengan tanaman dan satu sisi lain dengan musuh alaminya, maka, dalam dua cara mereka harus mengatasi pertahanan intrinsik tanaman dan serangan musuh alami. Jadi herbivor menghasilkan semiokimia lain untuk mengatasi pertahanan tanaman atau untuk menolak musuh alami. Semiokimia juga memainkan peranan penting dalam interaksi tritropik. Contoh dari synomon yang menjadi perantara interaksi herbivor-predator adalah larva kupu-kupu Lycaenid dan aphid yang menghasilkan synomon embun madu yang kaya gula yang menarik semut untuk perlindungan melawan musuh alami. Suatu asosiasi mutualisme berkembang antara semut dan aphid, semut melindungi aphid dan larva kupu-kupu dari musuh alami lain. Sebaliknya aphid menyediakan makanan untuk semut dalam bentuk embun madu. Herbivor juga menghasilkan beberapa kairomon yang terdeteksi oleh musuh alaminya. Kairomon ini mungkin menarik parasitoid dalam bentuk bau tubuh, sex pheromone, aggregation pheromone, hasil ekskresi, sisik tubuh, dan lain-lain. Sebagai contoh bee wolf, Philanthus triangulum, mendeteksi bee hanya dengan menggunakan bau tubuh bee. Predator biasanya menggunakan feromon mangsa untuk mendeteksinya pada rayap dan Megaponera foeteus. Kairomon 34 yang digunakan oleh serangga untuk menemukan makanannya diklasifikasikan sebagai foraging pheromone. Tanaman juga merespon kairomon yang dilepas oleh herbivor. Pucuk, buah, bunga, dan daun sering digugurkan oleh tanaman terhadap deteksi herbivor. Pengguguran buah dan meningkatkan laju pertumbuhan adalah pengaruh lain yang dihasilkan karena interaksi serangga-tanaman. Herbivor menghasilkan allomon juga penting dalam interaksi tritropik. Allomon mungkin berperan untuk melawan tanaman lain atau musuh alami, contoh serangga pembuat puru menghasilkan kimia tertentu yang menyebabkan bentuk puru, menyediakan habitat yang cocok untuk herbivor. Herbivor mengambil senyawa dari tanaman inangnya dan menggunakan sebagai allomon untuk melawan musuh alami. Tomatin, suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman tomat diambil oleh corn earnworm, Heliothis zea. Alkaloid ini tidak membahayakan earworm tetapi menghasilkan pengaruh yang buruk terhadap parasitoid, Hyposter exigua, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan hidup, lama hidup dan lambatnya pertumbuhan larva parasitoid di dalam tubuh inang. Sirkulasi toxin pada tingkat tropik ketiga adalah suatu faktor yang jelas dalam menentukan fitnes parasitoid. Kemampuan hidup tabuhan parasit dari Drosophila melanogaster tergantung pada kemampuannya untuk bertahan hidup pada konsentrasi etanol yang tinggi di dalam tubuh inang. Hal yang sama, nicotin di dalam hornworm mempengaruhi kemampuan hidup Appenteles spp Ahmad et al. 2004. D. Semiokimia yang dilepas predator dan interaksi tritropik Pada interaksi tritropik semiokimia yang dilepas oleh musuh alami tidak diabaikan karena ini juga merubah perilaku atau fisiologi tanaman atau herbivor. Beberapa predator melepas synomon yang diambil dari tanaman, ketika predator atau parasitoid mendapatkan makanan dari tanaman. Tanaman merespon synomon yang dihasilkan oleh predator. Sebagai contoh, tanaman Piper cenocladum, menghasilkan makanan dari tubuhnya hanya ketika dia mendeteksi keberadaan spesies semut, yaitu Pheidole bicorins. Sebaliknya beberapa kairomon juga dihasilkan oleh musuh alami, yaitu kairomon penghindar musuh. Ketika herbivor mendeteksi kairomon ini, mereka menghindar dari habitat untuk menghindari serangan predator. Predator mungkin juga menghasilkan allomon untuk menarik 35 mangsanya, atau untuk penyamaran identitas yang sebenarnya. Pada kasus ini predator memperoleh beberapa kimia dari mangsanya dan menyamarkan bau tubuhnya untuk mangsanya. Beberapa laba-laba menghasilkan allomon yang sama dengan sex pheromone dan menarik mangsa jantan kearah jaring. Meskipun predator menduduki tingkat tropik ketiga, dia juga mempunyai tingkat tropik keempat diatasnya. Maka dia juga menghasilkan beberapa allomon untuk menghindar serangan dari predator atau hiperparasit-nya. Beberapa serangga seperti kumbang ladybird, stink bug, semut dan kumbang tanah mensintesis senyawa pertahanan, sementara beberapa predator mengambil toxin dari mangsanya dan menggunakannya untuk melawan predatornya sendiri Ahmad et al. 2004. Pengaruh Tanaman Transgenik Tahan Hama Terhadap Musuh Alami Anggapan bahwa tanaman transgenik mempunyai potensi mempengaruhi keseimbangan alam, sedangkan tanaman hasil pemuliaan konvensional tidak berdampak negatif tidak selalu benar. Secara keseluruhan, tanaman transgenik seperti halnya dengan tanaman konvensional mempunyai potensi mempengaruhi populasi musuh alami. Namun demikian, pengaruh ini tidak dapat diambil secara umum digeneralisasikan. Pengaruh ini sangat spesifik, tergantung jenis gen tahan yang diintroduksikan ke tanaman transgenik, jenis hama, dan jenis predator atau parasitoidnya. Pengaruh negatif dari varietas tahan terhadap larva parasitoid juga ditemukan pada parasitoid yang memarasit hama yang hidup pada tanaman tahan hasil pemuliaan konvensional. Misalnya α-tomatine dan nicotine menunjukkan pengaruh negatif terhadap daya bertahan hidup parasitoid pada hamanya Bahagiawati 2005. Menurut Losey et al. 2004 tanaman transgenik mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara yaitu: 1 langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; 2 makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan 3 melalui pengurangan populasi inang. Menurut Dutton et al. 2003 dan Fontes et al. 2002, pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh alami dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung disebabkan oleh pengaruh toxin secara langsung terhadap musuh alami. 36 Pengaruh tidak langsung terjadi karena reduksi dari jumlah dan kualitas inang atau mangsa dan secara tidak sengaja introgresi gen menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanaman, sehingga tanaman tidak menarik untuk dikunjungi musuh alami. Schuler 2000 menyatakan pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami akan tergantung pada faktor tingkat ketahanan tanaman, spesifikasi jaringan dari ekspresi transgen, spesifikasi dari produk transgen, keberadaan tanaman yang rentan, spesies tanaman, lokasi geografi, dan pengelolaan tanaman secara menyeluruh. Tingkat ketahanan tanaman Setiap tanaman transgenik cenderung mempengaruhi herbivor hanya dalam spektrum yang terbatas, kadang-kadang spesies hama targetnya tunggal. Tingkat ketahanan tanaman terhadap hama target tergantung pada tingkat ekspresi dari transgen, sifat toksisitas dari protein yang disandi oleh transgen, dan kerentanan serangga hama target. Contoh untuk sistem hama-tanaman yang mempunyai keefektifan tinggi adalah jagung Bt dan european borer, kentang Bt dan colorado Leptinotarsa decemlineata, dan oilseed rape Bt dan diamondback moth Plutella xylostella. Mortalitas hama hingga 100 teramati dengan sistem ini. Mortalitas yang tinggi akan menyebabkan a ketersediaan inang menipis untuk parasitoid spesifik dari hama target, b pengurangan mangsa untuk musuh alami generalis. Promoter dan ekspresi transgen Eksposur nontarget terhadap produk transgenik akan dipengaruhi oleh lokasi dimana di dalam tanaman transgen tersebut diekspresikan. Jaringan yang spesifik dan juga waktu untuk ekspresi sebagian besar ditentukan oleh promoter yang digunakan untuk menyetir transgen. Promoter constitutive telah digunakan pada semua tanaman Bt komersial dimana ekspresinya terus menerus sepanjang kehidupan tanaman. Jagung Bt Event 176 yang dikembangkan oleh Novartis telah ditransformasi dengan menggunakan promoter green tissue-specific dan promoter pollen. Yang lainnya mengekspresikan transgen pada beberapa jaringan tanaman dibawah kendali promoter CaMV 35S, tetapi tingkat ekspresinya akan 37 bervariasi dari jaringan ke jaringan, dengan umur tanaman dan antara kejadian transformasi. Spesifikasi dari produk transgen Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi protein Bt pada tanaman transgenik komersial secara eksklusif spesifik terhadap serangga lepidoptera protein Bt cryIAb dan cryIAc pada jagung Bt dan kapas Bt atau serangga coleoptera cry3A pada kentang Bt. Berdasarkan informasi, hanya pengecualian diketahui predator Chrysoperla carnea yang memperlihatkan rentan terhadap dua toksin Bt spesifik lepidoptera. Studi laboratorium yang dilakukan oleh Hilbeck et al. 1998 mendemonstrasikan kemampuan hidup larva C. carnea berkurang ketika mereka diberi makan larva lepidoptera O. nubilalis dan S. littoralis yang dipelihara pada makanan yang mengandung toxin Bt atau pada daun jagung Bt. Kemampuan hidup juga berkurang ketika larva C. carnea diberi makan toxin Bt secara langsung pada makanan buatan. Sebaliknya, tidak ada pengaruh terhadap C. carnea yang teramati ketika larva diberi makan aphid yang dipelihara pada jagung Bt di laboratorium dan studi lapang sejauh ini tidak melaporkan banyak pengurangan populasi C. carnea pada tanaman Bt dibanding tanaman non Bt. Pada jagung, C. carnea makan pada beberapa spesies mangsa, khususnya aphid dan thrip, dan hanya kadang-kadang cornborer. C. carnea mempunyai sedikit kesempatan untuk memangsa cornborer, seperti O. nubilalis, karena larva muda cornborer menggerek masuk ke tongkol jagung dimana mereka tidak terekspos predator. Keberadaan tanaman yang rentan Keberadaan tanaman yang mendukung inang alternatif untuk musuh alami secara kuat akan mempengaruhi pengaruh tanaman transgenik terhadap populasi musuh alami spesialis seperti parasitoid. Jika inang alternatif yang cocok untuk suatu parasitoid ada dekat tanaman lain atau pada tanaman pinggiran di lapangan dan memagari, populasi musuh alami ini akan kurang tereduksi. Penambahan sumber atau inang potensial yang dikenal dengan daerah “refugia” 38 direkomendasikan untuk memperlambat perkembangan ketahanan Bt pada populasi target. Refugia adalah daerah dari tanaman inang yang rentan di sekitar atau di dalam tanaman Bt. Hama yang tahan Bt yang mungkin dapat bertahan hidup pada tanaman Bt selanjutnya akan kawin dengan hama yang rentan dari refugia, jadi mencegah meningkatnya populasi hama tahan yang homozigot. Untuk jagung Bt di USA telah direkomendasikan bahwa daerah refugia paling sedikit 30 dari daerah jagung. Daerah refugia dapat juga dikelola untuk memelihara dan menambah populasi musuh alami pada tanaman Bt. Pertama, musuh alami mungkin penting untuk mengendalikan hama nontarget pada tanaman Bt. Kedua, musuh alami mempunyai potensi untuk memperlambat meningkatnya populasi tahan karena studi baru-baru ini telah menunjukkan bahwa parasitoid sangat tertarik pada hama yang tahan yang makan pada tanaman Bt, karena hama dapat memberikan inang yang baik untuk parasitoid. Spesies tanaman, lokasi geografi, dan pengelolaan tanaman Pengaruh tanaman transgenik terhadap arthropoda nontarget akan sangat tergantung pada spesies yang dibicarakan dan lokasi geografi dimana tanaman transgenik ditanam. Selain itu, perbedaan hama dan spesies nontarget terjadi pada bagian dunia yang berbeda, jadi hasil penilaian resiko yang dihasilkan pada satu negara tidak perlu dipakai pada daerah geografi lain. Keputusan pengelolaan tanaman seperti penambahan aplikasi insektisida, pemeliharaan border dan tanaman liar di pinggir lapangan semuanya memainkan peranan penting dalam bagaimana serangga nontarget akan tertarik pada tanaman transgenik. Peningkatan pengetahuan ekologi dan perilaku musuh alami harus digunakan untuk meminimalisasi beberapa pengaruh negatif tanaman transgenik dan untuk meningkatkan peran musuh alami dalam sistem IPM termasuk tanaman transgenik. Dari beberapa hasil studi baik skala laboratorium maupun lapangan, tanaman transgenik mempunyai potensi mempengaruhi keberadaan dan fungsi musuh alami. Pengaruhnya dapat bersifat positif, negatif atau netral, tergantung 39 jenis toxin yang diekspresikan oleh gen yang terdapat pada tanaman transgenik tersebut, jenis hama, dan jenis predator serta parasitoid pada habitat tanaman tahan tersebut. Rangkuman pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alaminya dapat dilihat pada Tabel 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5, dan 2.6. 40 Tabel 2.1 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami Spesies Lokasi studi Pengaruh Hasil perbandingan antara jagung transgenik dan non transgenik Referensi Serangga Predator Neuroptera: Chrysopidae Chrysoperla carnea Stephens Lapangan 0 Jumlah imago di lapangan transgenik Pilcher 1999 Lab Perkembangan dan kemampuan hidup larva pada pollen transgenik Pilcher et al. 1997 Lab - Menurunkan kemampuan hidup larva pada pollen transgenik atau mangsa yang diekspos pada Bt toxin Hilbeck et al. 1999 Lab Perkembangan dan kemampuan hidup larva pada mangsa aphid yang dipelihara pada jagung Bt Lozzia et al. 1998 Coleoptera: Coccinellidae Coleomegilla maculata De Geer Lapangan 0 Jumlah imago dan larva Orr Landis 1997 Lapangan 0, + Meningkatkan jumlah imago Pilcher 1999 Lab Kemampuan hidup dan per- kembangan larva pada pollen Pilcher et al. 1997 Cycloneda munda Say Lapangan Jumlah imago Pilcher 1999 Hippodamia convergens Guerin-Meneville Lapangan 0 Jumlah imago Pilcher 1999 Hemiptera: Anthocoridae Orius insidiosus Say Lapangan Jumlah imago dan nimfa Orr Landis 1997 Lapangan -, + Jumlah imago Pilcher 1999 Lab Perkembangan dan kemampuan hidup nimfa pada pollen Pilcher et al. 1997 Orius majusculus Reuter Lab Perkembangan dan kemampuan hidup nimfa pada mangsa trips yang dipelihara pada jagung Bt Zwahlen et al. 2000 Serangga Parasitoid Hymenoptera: Braconidae Macrocentrus cingulum M. grandii Brischke Lapangan - Mengurangi imago sekitar 30 sampai 60 di lapangan transgenik Pilcher 1999 Lapangan Parasitisme inang larva pada tanaman non transgenik di dalam plot transgenik Orr Landis 1997 Hymenoptera: Ichneumonidae Erioborus terebrans Gravenn horst Lapangan 0 Parasitisme inang larva pada tanaman non transgenik di dalam plot transgenik Pilcher 1999 Sumber: Losey et al. 2004 Keterangan: - = negatif; + = positif; 0 = tidak ada pengaruh 41 Tabel 2.2 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami Spesies Lokasi studi Pengaruh Hasil perbandingan Referensi Serangga Predator Neuroptera: Chrysopidae Chrysoperla carnea Stephens Lab Perkembangan, kemampuan hidup, dan berat predator dengan mangsa Tetranychus urticae dan Rhopalosiphum padi Dutton et al. 2002 - Meningkatkan mortalitas dan menghambat perkembangan predator dengan mangsa Spodoptera litura yang dipelihara pada jagung Bt Dutton et al. 2002 Coleoptera: Coccinellidae Coleomegilla maculata De Geer Lapangan 0 Kelimpahan telur, larva, pupa, dan imago kumbang McManus et al. 2005 Propylea japonica Thunberg Lab Perkembangan Bai et al. 2006 Arthropoda lain: Arthropoda tanah Lapangan Jumlah arthropoda pada permukaan dan bawah tanah Ahmad et al. 2005 Predator heteroptera fitofag Lab Lama hidup Armer et al. 2000 Predator berguna Lapangan Kelimpahan Reed et al. 2001 Arthropoda predator Lapangan - Jangka panjang: kapas Bt pengaruh negatifnya insektisida berspektrum luas Naranjo 2005a Predator pada tanaman kapas Lapangan Jangka panjang terhadap kerapatan predator Naranjo 2005b Arthropoda Lapangan Populasi arthropoda Head et al. 2005 Predator Lapangan + Laju predasi lebih tinggi Head et al. 2005 Arthropoda Lapangan Keanekaragaman dan respon tingkat komunitas Dively 2005 Keterangan: - = negatif; + = positif; 0 = tidak ada pengaruh 42 Tabel 2.3 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami Musuh alami Inangsumber makananekspresi protein Lokasi studi Parameter biologi dan hasil Referensi Coleoptera Carabidae Lebia grandis Hentz Larvakentang Bt cry3A L Konsumsi mangsa NA Riddick Barbosa 2000 Fauna Carabidae Jagung Bt [cryIAb] F Keragaman NA Lozzia 1999 Kerapatan NA Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan lapangan tanpa disemprot BrazilCTNBio 1999a Kerapatan = lapangan disemprot Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan tanpa disemprot BrazilCTNBio 1999b Coccinellidae Hippodamia convergens Guerin-Meneville Aphidkentang Bt cry3A L Perkembangan NA Dogan et al. 1996 Kemampuan hidup NA Reproduksi NA Konsumsi mangsa NA Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan NA Pilcher et al. 1997 Coleomegilla maculata De Geer Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan NA Pilcher et al. 1997 Pollen jagung Bt [cryIAb] L Perkembangan NA Pilcher et al. 1997 Survivorship NA Coccinella septempunctata L. Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan tidak disemprot Bourguet et al. 2002 Adalia bipunctata L. Aphidskentang GNA L Fekunditas A Birch et al. 1999 Laju kemunculan A Lama hidup betina A Fauna Coccinellidae Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan tidak disemprot BrazilCTNBio 1999b 43 Tabel 2.4 Lanjutan Musuh alami Inangsumber makananekspresi protein Lokasi studi Parameter biologi dan hasil Referensi Dermaptera Forficulidae Doru luteips Scudder Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan lapangan yang disemprot BrazilCTNBio 1999a Kerapatan lapangan yang tidak disemprot Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan yang tidak disemprot BrazilCTNBio 1999b Diptera Syrphidae Syrphus corollae Meigen Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan yang tidak disemprot Bourguet et al. 2002 Hemiptera Anthocoridae Orius majusculus Reuter Thrips Jagung Bt [cryIAb] L Perkembangan NA Zwahlen et al. 2000 Survivorship NA O. tristicolor White Daun kentang Bt cry IIIA L Lama hidup NA Armer et al. 2000 O. insidiosus Say Polen jagung Bt [cryIAb] L Perkembangan NA Pilcher et al. 1997 Survivorship NA Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan yang tidak disemprot Bourguet et al. 2002 Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan NA Pilcher et al. 1997 Lygaeidae Geocoris spp. Daun kentang Bt cry IIIA L Lama hidup NA Armer et al. 2000 Miridae Lygus hesperus Knight Daun kentang Bt cry IIIA L Lama hidup NA Armer et al. 2000 Nabidae Nabis spp. Daun kentang Bt cry IIIA L Lama hidup NA Armer et al. 2000 Fauna predator Hemiptera Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan yang tidak disemprot BrazilCTNBio 1999b 44 Tabel 2.5 Lanjutan Musuh alami Inangsumber makananekspresi protein Lokasi studi Parameter biologi dan hasil Referensi Hymenoptera Braconidae Cotesia plutellae Kurdjumov Larva rentan Bt Bt-oil seed rape cry IAc L Laju kemunculan A Schuler et al. 1999a Larva tahan Bt Bt-oil seed rape cry IAc L Laju kemunculan NA Larva rentan Bt Bt-oil seed rape leaves cryIAc L Atraksi A Larva tahan Bt Bt-oil seed rape leaves cryIAc L Atraksi NA Diaeretiella rapae McIntosh AphidBt-oil seed rape cryIAc L Laju parasitisme NA Schuler et al. 1999b Macrocentrus grandii Goid Jagung Bt cryIAb F Laju parasitisme NA Orr Landis 1997 Eulophidae Eulophus pennicornis Nees Larvatrypsin inhibitor-potato CpT1 L Laju parasitisme A Perkembangan NA Bell et al. 2001 Larva CpT1- makanan buatan L Laju parasitisme NA Perkembangan NA Bell et al. 2001 Ichneumonidae Erioborus terebrans Grav. Jagung Bt cryIAb F Parasitisme NA Orr Landis 1997 Specidae Stictia sp Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan lapangan tidak disemprot BrazilCTNBio 1999a Kerapatan = lapangan yang disemprot Tachinidae Lydella thompsoni Herting Jagung Bt [cryIAb] F Laju parasitisme A Bourguet et al. 2002 Pseudoperichaeta nigrolineata Walker Jagung Bt [cryIAb] F Laju parasitisme A Bourguet et al. 2002 45 Tabel 2.6 Lanjutan Musuh alami Inangsumber makananekspresi protein Lokasi studi Parameter biologi dan hasil Referensi Neuroptera Chrysopidae Fauna Chrysopidae Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan NA Pilcher et al. 1997 Chrysoperla carnea Stephens Larva Jagung Bt [cryIAb] L Survivorship A Perkembangan A Hilbeck et al. 1998a Bt-makanan buatan [cryIAb] L Survivorship A Perkembangan A Hilbeck et al. 1998b LarvaBt-makanan buatan [cryIAb cry2A] L Survivorship A Perkembangan A Hilbeck et al. 1999 Aphid Jagung Bt [cryIAb] L Perkembangan NA Survivorship NA Lozzia et al. 1998 Bt-pollen jagung [cryIAb] L Perkembangan NA Pilcher et al. 1997 Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan = lapangan tidak disemprot Bourguet et al. 2002 Hemerobius sp. Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan lapangan disemprot BrazilCTNBio 1999a Arthropoda lain: Arthropofauna berguna Kapas Bt F Kerapatan lapangan disemprot Greenpeace Report 2002 Kerapatan = lapangan tidak disemprot Fauna predator Kapas Bt F Kerapatan NA Greenpeace Report 2002 Entomofauna berguna Kapas Bt F Kerapatan NA Cui Xia 2000 Fauna parasitoid Kapas Bt F Kerapatan A Cui Xia 2000 Fauna predator Kentang Bt cry3A F Kerapatan NA Riddick et al. 2000 Sumber: Fontes et al. 2002 Keterangan: L = laboratorium; F = lapangan; NA = tidak ada pengaruh; lapangan tidak disemprot = pertanaman konvensional tanpa pengendalian dengan insektisida; lapangan disemprot = pertanaman konvensional dengan pengendalian insektisida; A = Ada pengaruh 46 Tanaman Transgenik Komersial Sejak pelepasan tanaman transgenik komersial pertama pada tahun 1996 hingga tahun 2009 tanaman transgenik telah menunjukkan peningkatan dalam luas area 80 kali lipat dari 1.7 juta hektar pada tahun 1996 sampai 134 juta hektar pada tahun 2009 James 2009. Pada tahun 2009, tanaman transgenik telah ditanam seluas 134 juta hektar dan menyebar di 25 negara dengan proporsi pertanaman oleh negara berkembang sebanyak 46 Tabel 2.7. Berdasarkan jenis tanaman, tanaman kedelai transgenik toleran herbisida adalah tertinggi yang ditanam pada tahun 2009 yaitu seluas 69.2 juta hektar atau 52 dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 65.8 juta hektar pada tahun 2008. Selanjutnya diikuti oleh tanaman jagung transgenik seluas 41.7 juta hektar atau 31 dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 37.3 juta hektar pada tahun 2008, tanaman kapas transgenik seluas 16.1 juta hektar atau 12 dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 15.5 juta hektar pada tahun 2008, dan tanaman canola transgenik seluas 6.4 juta hektar atau 5 dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 5.9 juta hektar pada tahun 2008 James 2009. Berdasarkan sifat dari tanaman transgenik, tanaman transgenik toleran herbisida adalah yang paling dominan. Pada tahun 2009, tanaman transgenik toleran herbisida terdapat pada tanaman kedelai, jagung, canola, kapas, beet-gula, dan alfalfa sebesar 62 atau 83.6 juta hektar dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 79 juta hektar pada tahun 2008. Pada tahun 2009, tanaman transgenik dengan sifat double dan triple menempati luas area yang terluas yaitu 28.7 juta hektar, atau 21 dari luas area global tanaman transgenik meningkat dari 26.9 juta hektar pada tahun 2008 dibanding varietas tahan hama yang menempati 21.7 juta hektar atau 15 dari luas area global tanaman transgenik meningkat dari 19.1 juta hektar pada tahun 2008 James 2009. 47 Tabel 2.7 Luas area global tanaman transgenik pada tahun 2009 Peringkat Negara Luas area Juta hektar Tanaman transgenik 1 USA 64.0 Kedelai, jagung, kapas, canola, squash, pepaya, alfalfa, beet-gula 2 Brazil 21.4 Kedelai, jagung, kapas 3 Argentina 21.3 Kedelai, jagung, kapas 4 India 8.4 Kapas 5 Canada 8.2 Canola, jagung, kedelai, beet- gula 6 China 3.7 Kapas, tomat, poplar, pepaya, sweet pepper 7 Paraguay 2.2 Kedelai 8 Afrika Selatan 2.1 Jagung, kedelai, kapas 9 Uruguay 0.8 Kedelai, jagung 10 Bolivia 0.8 Kedelai 11 Filipina 0.5 Jagung 12 Australia 0.2 Kapas, canola 13 Burkina Faso 0.1 Kapas 14 Spain 0.1 Jagung 15 Mexico 0.1 Kapas, kedelai 16 Chile 0.1 Jagung, kedelai, canola 17 Colombia 0.1 Kapas 18 Honduras 0.1 Jagung 19 Czech Republic 0.1 Jagung 20 Portugal 0.1 Jagung 21 Romania 0.1 Jagung 22 Poland 0.1 Jagung 23 Costa Rica 0.1 Kapas, kedelai 24 Egypt 0.1 Jagung 25 Slovakia 0.1 Jagung 15 negara mega biotek yang menanam 50 000 hektar atau lebih tanaman transgenik Sumber: James 2009 48 Daftar Pustaka Ahmad F, M Aslam, M Razaq. 2004. Chemical ecology of insects and tritrophic interactions. J res Sci 152:181-190. Ahmad A, GE Wilde, KY Zhu. 2005. Detectability of coleopteran-specific cry3Bb1 protein in soil and its effect on nontarget surface and below- ground arthropods. Environ Entomol 342:385-394. Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Armer CA, RE Berry, M Kogan. 2000. Longevity of phytophagous heteropteran predators feeding on transgenic Btt-potato plants. Entomol Experiment Et Appl 95:329-333. Baco D, MY Said . 1998. Perubahan populasi penggerek batang putih dan faktor penyebabnya pada padi di Sulawesi Selatan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 171:13-19. Bahagiawati.. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84. Bai YY, MX Jiang, JA Cheng, D Wang. 2006. Effects of cry1Ab toxin on Propylea japonica Thunberg Coleoptera: Coccinellidae through its prey, Nilaparvata lugens Stal Homoptera: Delphacidae, feeding on transgenic Bt rice. Environ Entomol 354:1130-1136. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter Jour Pest Manag 511:37-43. Becker DK, B Dugdale, MK Smith, RM Harding, JL Dale. 2000. Genetic transformation of Cavendish banana Musa spp. AAA group cv ’Grand Nine’ via microprojektile bombardment. Plant Cell Reports 193:229- 234. Belarmino MM, M Mii. 2000. Agrobacterium-mediated genetic transformation of a Phalaenopsis orchid. Plant Cell Reports 195:435-442. Bhat SR, VL Chopra. 2005. Transgenic crops: priorities and strategies for India. Current Science 886:886-889. Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Reports 19:1195-1202. 49 Dekeyser, Inze RP, Van Montagu M. 1990. Transgenic Plants. In. Gustafson JP ed. Gene Manipulation in Plant Improvement II. New York: Plenum Press. p 237-250. Dively GP. 2005. Impact of transgenic VIP3A x cry1Ab lepidopteran-resistant field corn on the nontarget arthropod community. Environ Entomol 345:1267-1291. Dutton A, H. Klein, J Romeis, F Bigler. 2002. Uptake of Bt-toxin by herbivores feeding on transgenic maize and consequences for the predator Chrysoperla carnea. Ecol Entomol 27:441-447. Dutton A, J Romeis, F Bigler. 2003. Assessing the risks of insect resistant transgenic plants on entomophagous arthropods: Bt-maize expressing cry1Ab as a case study. BioControl 48:611-636. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Fukuoka H et al. 2000. Agrobacterium-mediated transformation of monocot and dicot plant using an NCR promoter derived from soybean chlorotic mottle virus. Plant Cell Reports 198:815-820. Hattori I., SS Siwi. 1986. Rice stemborers in Indonesia. Tropical Agricultural Research Center. Tarc 201:25-26. Head G et al. 2005. A Multiyear, large-scale comparison of arthropod populations on commercially managed Bt and non-Bt cotton fields. Environ Entomol 345:1257-1266. Hegedus DD, MY Gruber, L Braun, GG Khachatourians. 2002. Genetic Engineering and resistance to insects. In Khachatourians GG et al., Ed. Transgenic Plants and Crops. New York: Marcel Dekker, Inc. p 249-278. Hendarsih S, N Usyati, D Kertoseputro. 2002. Analisis perubahan status penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker di kabupaten Subang, Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Purwokerto, 7 September 2002. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, PFI Komda Purwokerto, PEI Komda Purwokerto. 12 hlm. Hilbeck A, M Baumgartner, PM Fried, F Bigler. 1998. Effects of transgenic Bacillus thuringiensis corn-fed prey on mortality and development time of immature Chrysoperla carnea Neuroptera: Chrysopidae. Environ Entomol 272:480-487. 50 Hilder VA et al. 1995. Expression of snowdrop lectin in transgenic tobacco plants result in added protection against aphids. Transgenic Research 4:18-25. Hofte H, HR Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol Review 53:242-255. Irie K et al. 1996. Transgenic rice established to express corn cystatin exhibits strong inhibitory activity against insect gut proteinases. Plant Moleculer Biology 30:149-1557. James C. 2009. Global Status of Commercialized BiotechGM Crops: 2009. The first fourteen years, 1996 to 2009. ISAAA Brief 41. ISAAA: Ithaca, NY. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de cultuurgeweassen in Indonesia. Kessler A, IT Baldwin. 2002. Plant-mediated tritrophic interactions and biological pest control. AgBiotechNet 4:1-7. Kiritani K. 1988. What has happened to the rice borers during the past 40 years in Japan. Jarq 214:264-268. Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and Sons. Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. p156-159. Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits. http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt ext=true [5 Mei 2008]. Manwan I, E Soenarjo, MO Adnyana, T Soewito T, Sutrisno. 1990. Hasil Pemahaman Secara Cepat Serangan Penggerek Padi di Jalur Pantura Jawa Barat MT 19891990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785. 51 Maqbool SB, T Husnain, S Riazuddin, L Masson, P Christou. 1998. Effective control of yellow stem borer and rice leaf folder in transgenic rice indica varieties Basmati 370 and M7 using the novel δ-endotoxin cry2A Bacillus thuringiensis gene. Molecular Breeding 00:1-7. Marfa V, E Mele, R Gabarra, JM Vassal, E. Guiderdoni, J. Messeguer. 2002. Influence of the developmental stage of transgenic rice plants cv. Senia expressing the cryIB gene on the level of protection against the striped stem borer Chilo suppressalis. Plant Cell Rep 20:1167-1172. McManus BL et al. 2005. Abundance of Coleomegilla maculata Coleoptera: Coccinellidae in corn rootworm-resistant Cry3Bb1 maize. J Econ Entomol 986:1992-1998. Metz TD, RT Roush, JD Tang, AM Shelton, ED Earle. 1995. Transgenic brocolli expressing a Bacillus thuringiensis insecticidal crystal protein: implication for pest resistance management study. Molecular Breeding 1:309-317. Moraes CM, MC Mescher. 2004. Biochemical crypsis in the avoidance of natural enemies by an insect herbivore. PNAS 101 24:8993-8997. Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δ- endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer Scirpophaga incertulas. Proc Natl Acad Sci USA 94:2111-2116. Naranjo SE. 2005a. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the abundance of nontarget arthropod natural enemies. Environ Entomol 345:1193-1210. Naranjo SE. 2005b. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the function of the natural enemy community. Environ Entomol 345:1211-1223. Old RW, SB Primrose. 1994. Gene transfer to plants. In Prinsiples of gene manipulation. An introduction to genetic engineering Old RW, SB Primrose eds. 5th eds. Blackwell Scientific Education. USA. p 268-301. Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International Intl. Rice Res. Inst. Philippines: Los Banos. 431 p. Pathak MD, ZR Khan. 1994. Insect pests of rice. IRRN. ICIPE. 1-12. Price PW. 1997. Insect Ecology. 3rd ed. New York: John Wiley Sons, Inc. 874 p. Price PW. 1980. Interactions among three trophic levels: influence of plant on interactions between insect herbivore and natural enemies. Ann Rev Ecol Sust 11:41-65. 52 Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm. Reed GL et al. 2001. Transgenic Bt potato and conventional insecticides for Colorado potato beetle management: comparative efficacy and non-target impacts. Entomol Experiment Et Appl 100:89-100. Rubia EG, De Vries F. W, T. Penning. 1990. Simulation of rice yield reduction caused by stemborer SB. IRRN 151:34. Schuler TH. 2000. The impact of insect resistant GM crops on populations of natural enemies. Antenna 24:59-65. Sosromarsono S. 1990. Bioekologi dan strategi pengendalian terpadu penggerek padi putih. Seminar Pengendalian Penggerek Padi Putih. Bogor 1990. 34 hal. Speight MR, MD Hunter, AD Watt. 1999. Ecology of Insects: Concepts and Applications. London: Blackwell Science Ltd. 350 p. Tamayo MC, M Rufat, JM Bravo, BS Segundo. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and characterization of its activity toward digestive proteinases of Spodoptera littoralis larvae. Planta 211:62-71. Vet LEM, M Dicke. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritropik context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172. Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132. Wunn J et al. 1996. Transgenic indica rice breeding line IR-58 expressing a synthetic cryIAb gene from Bacillus thuringiensis provides effective insect pest control. BioTechnol 14:171-176. Xiang Y, WKR Wong, MC Ma. 2000. Agrobacterium-mediated transformation of Brassica campestris ssp. Parachinensis with synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb and cryIAc genes. Plant Cell Report 19:251-256. Yang J et al. 1999. Genetic transformation of Cymbidium orchid by particle bombardment. Plant Cell Reports 1812:978-984. BAB III KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP IN VITRO Abstrak Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Tanaman padi transgenik adalah salah satu cara alternatif untuk mengendalikan hama ini. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas penelitian tahap in vitro dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April 2008-Juli 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik: galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik mempunyai keefektifan yang tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Ada perbedaan keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai keefektifan tertinggi 94 dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi 89 dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi 78. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi 74.5 dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi 73.5 mempunyai keefektifan sedang, sementara protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai keefektifan terendah 69.5 dalam mematikan larva S. incertulas. Galur DTcry Azygous keefektifannya sama dengan varietas padi bukan transgenik 45. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S. incertulas dari mulai instar-1 sampai instar-4. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva. Kata kunci: keefektifan, padi transgenik, S. incertulas 54 Abstract Rice stemborer is one of the major pests on rice plant in Indonesia. Transgenic rice plant is an alternative to control this pest. To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, in vitro test was conducted at laboratory of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from April 2008–July 2009. Completely randomize design with 10 treatments and 20 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa, 3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous line is a segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice varieties i.e., Rojolele, Cilosari, and Ciherang. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice lines were highly effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae compared to non transgenic rice varieties. There were differences of effectiveness and activity among protoxin in transgenic Rojolele rice lines. Based on the effectiveness and activity, protoxin in T9-6.11-420 line was the highest 94 followed by 4.2.4-21-8-16-4 line 89 and 3R7-8-15-2-7 line 78. Protoxin in transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line 74.5 and 3R9-8-28-26-2 line 73.5 were categorized as moderat and DTcry-13 line was the lowest 69.5. DTcry Azygous line was as effective as non transgenic rice varieties 45. Protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line and 4.2.4-21-8-16-4 line had longest effectiveness range that were effective in increasing the mortality of first to fourth instar S. incertulas larvae. Protoxin in transgenic Rojolele rice lines were effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae, but its effectiveness declined gradually along the development of larvae growth. Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas Pendahuluan Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek batang padi menempati peringkat pertama yaitu seluas 112 950 ha. Peringkat ke-2 adalah hama tikus seluas 103 786 ha dan peringkat ke-3 adalah hama wereng coklat seluas 28 421 ha DIRJENTAN PANGAN 2007. Penggerek batang padi dapat menyerang semua stadium pertumbuhan tanaman padi Alam et al. 1998. Pada stadium vegetatif serangan menyebabkan kematian anakan tiller muda yang disebut sundep deadhearts, dan pada stadium generatif serangan menyebabkan malai tampak putih dan hampa yang disebut beluk whiteheads Bandong Litsinger 2005. 55 Perakitan varietas padi tahan hama selama ini masih bertumpu pada metode konvensional yang mengandalkan persilangan antar tetua terseleksi. Dengan metode tersebut telah berhasil dirakit cukup banyak varietas tahan wereng coklat Satoto et al. 2003. Namun untuk penggerek batang padi belum ada varietas padi yang memberikan tingkat ketahanan terhadap hama yang cukup Wu et al. 1997; Bandong Litsinger 2005. Transformasi genetika tanaman merupakan alternatif yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah yang sulit diatasi oleh teknik pemuliaan konvensional. Teknik transformasi genetika ini mempunyai keuntungan antara lain mampu mentransfer karakter baru dari plasma nutfah yang lebih luas, gen baru langsung ke kultivar target tanpa melalui banyak generasi persilangan, dan gen tertentu dapat ditransfer tanpa menyertakan banyak gen lain yang tidak dikehendaki Conner 1997. Transformasi genetika tanaman padi untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry Ghareyazie et al. 1997; Datta et al. 1998; Breitler et al. 2000, gen potato proteinase inhibitor II Duan et al. 1996, dan gen CpTi cowpea trypsin inhibitor Xu et al. 1996. Tanaman padi transgenik yang ditransformasi dengan gen cry terbukti terlindungi dari serangan hama padi dari ordo lepidoptera. Ghareyazie et al. 1997 melaporkan padi aromatik Tarom Molaii yang ditransformasi dengan gen cryIAb sintetik menunjukkan tahan terhadap penggerek batang padi. Datta et al. 1998 melaporkan 81 tanaman transgenik kultivar CBII, IR64, dan padi tipe baru IRRI yang ditransformasi dengan gen cryIAb mampu mematikan larva penggerek batang padi kuning S. incertulas sebesar 100. Breitler et al. 2000 melaporkan gen cryIB sintetik mampu melindungi padi Mediterranean cvs. Senia dan Ariete dari serangan penggerek batang padi bergaris instar 2 sampai instar 4. Introduksi gen potato proteinase inhibitor II dan gen CpTi cowpea trypsin inhibitor pada tanaman padi juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap hama padi. Pada bioassay untuk ketahanan serangga dengan menggunakan tanaman padi transgenik generasi ke-5 dengan gen potato proteinase inhibitor II menunjukkan tanaman padi transgenik meningkatkan ketahanan terhadap hama utama padi S. inferens Duan et al. 1996. Mochizuki et al. 1999 melaporkan 56 tanaman transgenik yang mengekspresikan trypsin inhibitor terlindungi dari serangan hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis. Di Indonesia, transformasi genetika untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry pada padi varietas Rojolele dengan teknik penembakan Slamet-Loedin et al. 1998 dan melalui Agrobacterium cryIAb Rachmat 2006. Selain itu, untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang mempunyai ketahanan panjang tidak mudah patah, telah dilakukan transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga dan transformasi gen cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi Rahmawati 2004. Keberhasilan perakitan varietas tahan hama melalui transformasi genetika, pada tahap akhir ditentukan oleh keefektifannya terhadap hama sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama sasaran yaitu hama penggerek batang padi kuning S. incertulas pada tahap in vitro. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April 2008-Juli 2009. Bahan dan Alat Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggerek batang padi kuning S. incertulas. Imago S. incertulas diambil dari pertanaman padi di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago S. incertulas dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur. Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung gelas untuk dipelihara sampai menetas menjadi larva instar-1. Larva instar-1 ini kemudian dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang sampai mencapai instar-2, instar-3, instar-4, dan instar-5. Untuk mendapatkan larva dengan berbagai 57 stadia tersebut, infestasi larva instar-1 pada tanaman padi varietas Ciherang dilakukan setiap minggu. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium]. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 o C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering 58 anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20 o C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H 2 O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95 o C 3 menit; 95 o C 1 menit, 60 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 35 siklus; 72 o C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95 o C 3 menit, 95 o C 1 menit, 62 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H 2 O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 o C 3 menit 1 siklus, 95 o C 1 menit, 55 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 59 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl trans galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H = varietas Rojolele, I = varietas Cilosari, dan J = varietas Ciherang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Nayak et al. 1997. Tahap-tahap pengujian adalah sebagai berikut: batang padi yang masih muda dengan daerah ruas dipotong sepanjang 7 cm. Selanjutnya potongan batang padi tersebut ditempatkan pada cawan petri atau cup plastik, ujung batang padi tersebut dibalut dengan kapas basah untuk menjaga kelembaban. Sepuluh ekor larva S. incertulas masing-masing instar ke- 1, 2, 3, 4, dan 5 ditempatkan pada setiap cawan petri atau cup plastik. Selanjutnya cawan petri atau cup plastik diinkubasi pada tempat gelap pada suhu 28 o C dan kelembaban relatif 70. Pengamatan dilakukan dengan membelah batang padi pada 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah infestasi JSI untuk melihat tingkat mortalitas larva Tamayo et al. 2000. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA, perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990. 60 Hasil Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat terlihat dari tingkat mortalitasnya. Mortalitas larva S. incertulas yang makan pada tanaman padi Rojolele transgenik maupun pada tanaman padi bukan transgenik sudah terlihat pada pengamatan 3 jam setelah infestasi, dan mortalitasnya meningkat seiring dengan lamanya pemaparan Gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4, 3.5. Mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele transgenik terlihat sangat tinggi. Pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas tertinggi terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat mortalitas sebesar 94. Namun demikian, tingkat mortalitas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi yang menyebabkan mortalitas sebesar 89 Gambar 3.1. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu pengamatan jam M o rt al it as Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T 9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang Gambar 3.1 Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi terhadap larva instar-1 S. incertulas. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi menyebabkan mortalitas sebesar 78, namun tidak berbeda dengan galur 4.2.3- 61 28-15-2-7 fusi 74.5, galur 3R9-8-28-26-2 mpi 73.5, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium 69.5. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 42-45 Gambar 3.1. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele transgenik masih terlihat cukup tinggi, walaupun mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan larva instar-1. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.0001. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas tertinggi terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat mortalitas sebesar 90. Namun demikian, tingkat mortalitas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi yang menyebabkan mortalitas masing-masing sebesar 88 dan 82 Gambar 3.2. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu pengamatan jam M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang Gambar 3.2 Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 4.2.3- 28-15-2-7 fusi terhadap larva instar-2 S. incertulas. Padi Rojolele transgenik 62 galur 3R7-8-15-2-7 mpi menyebabkan mortalitas sebesar 77.5, tidak berbeda dengan galur 3R9-8-28-26-2 mpi 75.5. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas terendah terlihat pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium yang menyebabkan mortalitas sebesar 59. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 42-44.5 Gambar 3.2. Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat mulai menurun terhadap larva instar-3 S. incertulas. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.0001. Namun antar galur padi Rojolele transgenik dan antar varietas padi bukan transgenik tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas. Tingkat mortalitas pada galur padi Rojolele transgenik berkisar 52.5-68.5, sementara tingkat mortalitas pada varietas padi bukan transgenik berkisar 40.5-43.5 Gambar 3.3. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu pengamatan jam M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang Gambar 3.3 Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat sangat menurun terhadap larva instar-4 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan, kecuali pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik tidak berbeda dibandingkan dengan varietas 63 padi bukan transgenik P=0.0211; P=0.7867; P=0.9316; P=0.8397; P=0.4025 Gambar 3.4. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S. incertulas yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik hanya terlihat pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan P=0.0001. Tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi sebesar 61.5 dan tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan sebesar 61. Hal ini menunjukkan bahwa galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya terhadap larva instar-4 S. incertulas. Mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, galur 3R7-8-15-2-7 mpi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium terlihat tidak berbeda jika dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 34.5-38.5 Gambar 3.4. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu pengamatan jam M o rt a li ta s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang Gambar 3.4 Persentase mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan 64 Semua padi Rojolele transgenik terlihat tidak efektif terhadap larva instar- 5 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan, mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik tidak berbeda dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.5276; P=0.0010; P=0.1976; P=0.2058; P=0.5774; P=0.1418 Gambar 3.5. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu pengamatan jam M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang Gambar 3.5 Persentase mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian pada tahap in vitro ini terlihat bahwa terdapat perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik terhadap hama S. incertulas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji mempunyai keefektifan yang lebih tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Hal ini disebabkan oleh sumber ketahanan intrinsik yang berbeda antara padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik. Sumber ketahanan intrinsik pada padi Rojolele transgenik adalah protoxin yang berasal dari gen cryIAb, fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB. Gen cry adalah penyandi δ-Endotoksin dari B. thuringiensis yang menghasilkan suatu kristal protein yang bersifat racun jika terhidrolisis dalam sistem pencernaan serangga Dekeyser et al. 1990. Kristal ini di alam merupakan protoxin yang jika larut dalam sistem pencernaan serangga karena proses proteolisis akan diubah menjadi 65 polipeptida yang lebih pendek 27-149 kilo Dalton serta mempunyai sifat insektisida. Toxin aktif ini berinteraksi dengan sel-sel epitel midgut serangga. Toxin Bt mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang kecil pada membran sel epidermis sistem pencernaan serangga, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Sel yang terganggu tekanan osmosisnya menjadi bengkak dan pecah, sehingga serangga mati Hofte Whiteley 1989; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mekanisme ketahanan tanaman transgenik ini termasuk mekanisme ketahanan antibiosis. Menurut Panda dan Khush 1995 pengaruh antibiosis mengakibatkan berkurangnya ukuran atau berat serangga, mengurangi proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, dan kematian larva serta pradewasa. Sumber ketahanan intrinsik pada padi bukan transgenik umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga Kogan 1982. Karakteristik biokimia dapat berupa senyawa kimia primer yang tidak terdapat secara seimbang, senyawa yang bekerja sebagai hormon serangga, dan metabolit sekunder senyawa sekunder Reese 1979 seperti phenol, steroid, dan terpenoid yang pada kadar tertentu tahan terhadap serangan serangga tertentu. Senyawa sekunder dapat bersifat racun baik secara langsung atau setelah dihidrolisis di dalam sistem pencernaan serangga Speight et al. 1999. Karakteristik biofisik tanaman dapat berupa sifat-sifat morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan, peletakan telur, dan pergerakan serangga secara normal Kogan 1982, misalnya adanya rambut-rambut pada permukaan daun yang disebut trichome dan glandular trichome, duri, daun yang licin atau mengkilat, dan adanya lapisan lilin Speight et al. 1999. Pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele transgenik. Keefektifan tertinggi terlihat pada protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai keefektifan sedang, dan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium 66 mempunyai keefektifan terendah. Galur DTcry Azygous mempunyai keefektifan yang sama dengan padi bukan transgenik. Selain itu, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang karena kedua galur tersebut efektif mematikan larva S. incertulas dari mulai instar-1 sampai instar-4. Selain perbedaan keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele transgenik, pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan daya kerja masing-masing protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik tersebut menyebabkan mortalitas 50 pada setiap stadium larva. Mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi tercapai pada 12 jam setelah infestasi. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3- 28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi tercapai pada 24 jam setelah infestasi. Mortalitas 50 pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium lebih lambat yaitu tercapai pada 48 jam setelah infestasi Gambar 3.1. Pada larva instar-2 dan instar-3 S. incertulas, mortalitas 50 pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji lebih lambat jika dibandingkan dengan larva instar-1 S. incertulas Gambar 3.2 dan 3.3. Pada larva instar-4 S. incertulas, mortalitas 50 hanya tercapai pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi pada 72 jam setelah infestasi Gambar 3.4. Pada larva instar-5 S. incertulas, mortalitas 50 tidak tercapai pada semua galur padi Rojolele transgenik Gambar 3.5. Berdasarkan analisis daya kerja ini dapat dikatakan bahwa protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai daya kerja yang paling cepat dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai daya kerja sedang, sementara protoxin dalam padi Rojolele 67 transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai daya kerja yang paling lambat dalam mematikan larva S. incertulas. Perbedaan keefektifan dan daya kerja ini disebabkan oleh adanya perbedaan kontrol ekspresi gen dan tingkat toksisitas dari aktivitas insektisida pada gen yang digunakan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dan jumlah gen yang diintroduksikan adalah tunggal. Promoter yang digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Dengan demikian larva S. incertulas akan terpapar terus menerus oleh tanaman transgenik sepanjang umur serangga tersebut. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida sangat tinggi. Menurut Wu et al. 1997 dan Datta et al. 1998 gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi dan mampu menekan perkembangan larva S. incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100 pada 4 hari setelah infestasi. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai keefektifan dan daya kerja yang hampir sama dengan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mengandung dua gen cry yaitu cryIB-cryIAa yang mempunyai binding site berbeda. Promoter yang digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai keefektifan yang tinggi dan daya kerja yang cepat setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi. Galur 3R7-8-15-2-7 mpi mengandung gen mpi::cryIB dan jumlah gen yang diintroduksikannya adalah tunggal yaitu gen cryIB. Promoter yang digunakan adalah promoter maize proteinase inhibitor yang bersifat inducible. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya hanya akan terekspresi apabila ada gigitan serangga. Selain itu gen cryIB mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi. 68 Menurut Breitler et al. 2000 cryIB mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi dan mampu menekan perkembangan larva penggerek batang padi bergaris C. suppressalis instar-2 dengan tingkat mortalitas mencapai 90-100 pada 7 hari setelah infestasi. Untuk padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 3R9-8- 28-26-2 mpi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium yang mempunyai keefektifan dan daya kerja lebih rendah dibandingkan dengan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi kemungkinan disebabkan gennya kurang terekspresi Satoto 2003. Untuk galur DTcry Azygous yang mempunyai keefektifan sama dengan varietas padi bukan transgenik disebabkan galur ini adalah segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null. Pada pengujian tahap in vitro ini ada fenomena bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva Gambar 3.6. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kuantitas makanan yang dikonsumsi dan efisiensi penggunaan makanan antara larva instar awal dan larva instar lanjut. Larva instar awal dapat mengkonsumsi jaringan tanaman sampai 6 kali berat badannya per hari, selain itu lebih efisien dalam penggunaan makanannya. Fenomena ini terkait pula dengan tingkat enzim detoksifikasi yang diduga masih rendah. Larva instar lanjut per hari hanya makan sekitar berat badannya sendiri dan kurang efisien dalam penggunaan makanannya. Hal ini terkait dengan adanya tingkat enzim detoksifikasi yang lebih tinggi Schoonhoven et al. 1998. Dengan kondisi demikian maka pada larva instar awal lebih banyak protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya melalui banyaknya makanan yang dimakan. Selain itu toxin yang sudah masuk dalam tubuh larva instar awal tidak bisa dikeluarkan dari tubuhnya karena enzim detoksifikasinya diduga masih rendah. Sebagai akibatnya larva instar awal adalah yang paling terpengaruh oleh toxin tersebut. Sebaliknya pada larva instar lanjut karena makannya sedikit, maka protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya pun sedikit. 69 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rt al it as Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang a b 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rt a li ta s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rt al it as Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang c d 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5 Stadia perkembangan M o rta lita s Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Cilosari Ciherang e f Gambar 3.6 Persentase mortalitas larva instar 1-5 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan: a 3 jam, b 6 jam, c 12 jam, d 24 jam, e 48 jam, f 72 jam 70 Selain itu larva instar lanjut mampu mengeluarkan toxin dari tubuhnya karena tingkat enzim detoksifikasinya tinggi. Menurut Matsumura 1975 proses detoksifikasi senyawa aktif berlangsung dalam 2 tahap yaitu primer dan sekunder. Tahap primer melalui reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis serta proses-proses enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar. Tahap sekunder melalui konjugasi yang menghasilkan konjugat-konjugat yang dapat diekskresikan keluar tubuh. Dengan demikian larva instar lanjut kurang terpengaruh oleh toxin. a 6 mm 8 mm b Gambar 3.7 Gejala larva S. incertulas yang makan pada: a tanaman padi transgenik, b tanaman padi bukan transgenik Kesimpulan 1. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik mempunyai keefektifan yang tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. 2. Ada perbedaan keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai keefektifan tertinggi 94 dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi 89 dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi 78. Protoxin dalam padi Rojolele 71 transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi 74.5 dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi 73.5 mempunyai keefektifan sedang, sementara protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai keefektifan terendah 69.5 dalam mematikan larva S. incertulas. Galur DTcry Azygous keefektifannya sama dengan varietas padi bukan transgenik 45. 3. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S. incertulas dari mulai instar-1 sampai instar-4. 4. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva. Daftar Pustaka Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Bahagiawati. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer, Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter Jour Pest Manag 511:37-43. Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Reports 19:1195-1202. Conner AJ. 1997. Genetically engineered crops: environmental and food safety issues. The Royal Society of New Zealand. Miscellaneous Series 39. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97:20-30. Dekeyser, Inze RP, Van Montagu M. 1990. Transgenic Plants. In. Gustafson JP ed. Gene Manipulation in Plant Improvement II. New York: Plenum Press. pp 237-250. 72 [DIRJENTAN PANGAN] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.2007. Informasi Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata 5 Tahun 2000-2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman. Duan X et al. 1996. Transgenic rice plants harboring an introduced potato proteinase inhibitor II gene are insect resistant. Nature Biotechnology 14:494-498. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Ghareyazie et al. 1997. Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic rice containing a synthetic cryIAb gene. Moleculer Breeding 3:401-414. Hofte H, HR Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol Review 53:242-255. Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley Sons. pp 93-134. Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785. Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York and London: Plenum Press. 503 p. Mochizuki et al. 1999. Transgenic rice plants expressing a trypsin inhibitor are resistant against rice stem borers, Chilo suppressalis. Entomol Exper Appl 93:173-178. Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δ- endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer Scirpophaga incertulas. Proc Natl Acad Sci USA 94:2111-2116. Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p. Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi Oryza sativa L. transgenik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 73 Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm. Reese JC. 1979. Interaction of allelochemicals with nutrients in herbivore food. In Rosenthal GA, DH Janson Eds. Herbivores: Their Interaction with Secondary Plant Metabolites. New York: Academic Press. pp 309-330. SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc. Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Satoto, I Slamet-Loedin, A Hartana, S Manuwoto, H Aswidinnoor. 2003. Ketahanan padi rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning dan wereng coklat. Jurnal Penelitian Pertanian 223:121-128. Schoonhoven LM, T Jermy, JJA van Loon. 1998. Plants as insect food: not the ideal. In: Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. First edition. London: Chapman Hall. pp 83-120. Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb anti-insect proteins. Proceedings of the 4 th Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208. Speight MR, MD Hunter, AD Watt. 1999. Ecology of Insects: Concepts and Applications. London: Blackwell Science Ltd. 350 p. Tamayo MC, M Rufat, JM Bravo, BS Segundo. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and characterization of its activity toward digestive proteinases of Spodoptera littoralis larvae. Planta 211:62-71. Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP TM marker. Theor Appl Genet 100:118-126. Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132. 74 Xu D et al. 1996. Constitutive expression of a cowpea trypsin inhibitor gene, CpTi, in transgenic rice plants confers resistance to two major rice insect pest. Molecular Breeding 2:167-173. BAB IV KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP IN PLANTA Abstrak Upaya untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan panjang tidak mudah patah dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga dan transformasi gen cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas, penelitian tahap in planta dilakukan di Rumah Kaca Khusus Padi Transgenik Biosafety Containment, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April–September 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 10 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam semua galur padi Rojolele transgenik, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif dalam menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 1. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan masing-masing pada skala 7 dan 9. Kata kunci: keefektifan, nilai ketahanan, padi transgenik, S. incertulas 76 Abstract Transformation two cry genes cryIB-cryIAa and transformation with the cry1B gene under the control of wound-inducible maize proteinase inhibitor gene mpi promoter were two approaches used to get resistant rice to the rice stemborer which had durable resistance. To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, in planta test was conducted at greenhouse of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from April– September 2008. Randomize complete block design with 10 treatments and 10 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa, 3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous line is a segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice varieties i.e., Rojolele, Cilosari, and Ciherang. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice lines, except DTcry-13 line cryIAb gene by Agrobacterium, were effective to suppress damage, had inhibition effect on the growth of S. incertulas, and had high resistance compared to non transgenic rice varieties. There were differences on resistance value among transgenic Rojolele rice lines. Based on the resistance value, transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb gene by particle bombardment was the highest 0 scale followed by 4.2.4-21-8-16-4 line and 3R7-8-15-2-7 line, these lines were categorized as high resistance 1 scale. Transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line and 3R9-8-28-26-2 line were categorized as moderat resistance 3 scale. Transgenic Rojolele rice DTcry-13 line cryIAb gene by Agrobacterium and DTcry Azygous lines were susceptible 7 and 9 scale. Key words: effectiveness, resistance value, transgenic rice, S. incertulas Pendahuluan Dengan berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka pintu untuk merakit tanaman tahan hama dengan rekayasa genetika. Teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan teknologi konvensional, yaitu 1 memperluas pengadaan sumber gen ketahanan karena dengan teknologi ini kita dapat menggunakan gen tahan dari berbagai sumber, tidak hanya dari tanaman dalam satu spesies tetapi juga dari tanaman yang berbeda spesies, genus atau famili, dari bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain, 2 dapat memindahkan gen spesifik ke lokasi yang spesifik pula di tanaman, 3 dapat menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksi ke tanaman dalam setiap generasi tanaman, 4 dapat mengintroduksi beberapa gen 77 tertentu dalam satu event transformasi sehingga dapat memperpendek waktu perakitan tanaman multiple resistant, dan 5 perilaku gen yang diintroduksi di dalam lingkungan tertentu dapat diikuti dan dipelajari, seperti kemampuan gen tersebut di dalam tanaman tertentu untuk pindah ke tanaman lain yang berbeda spesiesnya outcrossing, dan dampak negatif dari gen tersebut di dalam tanaman tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan target Bahagiawati 2001. Namun seperti halnya hasil pemuliaan konvensional, ketahanan tanaman transgenik dapat dipatahkan. Ho et al. 2006 melaporkan beberapa populasi serangga telah berkembang tahan terhadap gen cry tunggal. Ketahanan hama terhadap Bt-toxin dapat terjadi pada dua fase, yaitu pada proses aktivasi protoxin menjadi toxin dan pada proses melekatnya binding Bt- toxin yang aktif di sel receptor di epitel pada dinding sistem pencernaan serangga. Berkurangnya afinitas Bt-toxin pada receptor di epitel sel dinding sistem pencernaan serangga dilaporkan menjadi penyebab ketahanan Plutella xylostella dan Spodoptera exigua. Mekanisme ketahanan serangga Heliothis virescens terhadap Bt-toxin bukan karena berkurangnya afinitas Bt-toxin pada receptor di epitel sel dinding sistem pencernaan serangga. Ketahanan terjadi karena dijumpai enzim proteinase yang memproses protoxin lebih lama untuk menjadi toxin dan setelah toxin terbentuk terjadi proses degradasi toxin lebih cepat Bahagiawati 2001. Untuk managemen ketahanan, Cohen 2000 menganjurkan untuk menggunakan strategi “high-dose” dan refugia, serta menganjurkan untuk mengembangkan tanaman dengan dua toxin Bt, karena kultivar dengan dua toxin memerlukan refugia paling kecil dan memungkinkan untuk dilepas di lapangan. Penggunaan gen multiple-toxin dengan cara kerja yang berbeda juga dianjurkan sehingga cross-resistance tidak mungkin terjadi, yaitu dengan menggunakan dua gen cry untuk toxin yang berbeda receptor atau kombinasi gen cry yang semuanya berbeda dan tidak berkaitan gen toxinnya Ho et al. 2006. Keefektifan fusi hibrid gen cry1Ab-cryIAc pada padi transgenik indica telah berhasil diuji pada kondisi rumah kaca Wu et al. 1997; Datta et al. 1998, dan hasilnya menunjukkan mampu melindungi serangan penggerek batang padi kuning. Padi transgenik Bt-IR72 dengan fusi gen ini menunjukkan konsisten 78 tahan melawan empat serangga lepidoptera, termasuk penggerek batang padi kuning lebih dari 3 generasi di bawah kondisi serangan secara buatan dan alami Ye et al. 2001. Ho et al. 2006 melaporkan fusi dua gen cry cryIAb-IB pada kultivar padi transgenik elit Vietnam mampu mematikan 100 larva instar-1 penggerek batang padi kuning dalam 1 minggu setelah infestasi. Upaya untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan panjang tidak mudah patah telah dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu: 1 transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga, dan 2 transformasi gen cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi. Dari hasil penelitian pada tahun 2003 dan 2004 pada generasi pertama dan kedua, telah diperoleh 2 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa dan 4 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung gen mpi-cryIB Rahmawati 2004. Namun demikian, keefektifan galur-galur tersebut terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas belum teruji pada tahap in planta. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas pada tahap in planta. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Khusus Padi Transgenik Biosafety Containment, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April–September 2008. Bahan dan Alat Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggerek batang padi kuning S. incertulas. Imago S. incertulas diambil dari pertanaman padi di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago S. incertulas dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur. Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung gelas 79 untuk dipelihara sampai menetas menjadi larva instar-1. Larva instar-1 ini yang digunakan untuk pengujian. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium]. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 o C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. 80 DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20 o C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H 2 O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95 o C 3 menit; 95 o C 1 menit, 60 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 35 siklus; 72 o C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95 o C 3 menit, 95 o C 1 menit, 62 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H 2 O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 o C 3 menit 1 siklus, 95 o C 1 menit, 55 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 81 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 10 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl trans galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H = varietas Rojolele, I = varietas Cilosari, dan J = varietas Ciherang. Uji ketahanan terhadap serangga dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Heinrich et al. 1985. Tahap-tahap uji ketahanan adalah sebagai berikut: bibit padi berumur 21 hari di tanam di dalam pot sebanyak 1 bibit per pot. Masing-masing galur dan varietas padi ditanam 10 pot dan 1 pot dianggap 1 ulangan. Pot tersebut kemudian diatur dalam tata letak yang mengikuti rancangan acak kelompok. Tanaman padi dikurung dalam kurungan plastik milar segera setelah tanam untuk menghindari serangga lain di area pengujian. Pada umur 45 hari setelah sebar, tanaman padi diberi larva instar-1 S. incertulas dengan kepadatan 3 larva per 1 anakan. Larva ditempatkan di dekat aurikel daun termuda dan pot ditutup atau dikurung dengan kurungan plastik milar untuk mencegah perpindahan larva antar pot. Persentase sundep untuk masing- masing galur dihitung pada 2 dan 4 minggu setelah infestasi larva menggunakan formula berikut: Jumlah sundep pada galur yang diamati Serangan sundep = ---------------------------------------------------- X 100 Jumlah anakan dari galur yang sama 82 Persentase sundep tersebut dikonversikan ke dalam nilai D sebagai berikut: sundep dari galur yang diuji D = ------------------------------------------------------- X 100 sundep dari varietas pembanding rentan Nilai D ditransformasikan ke dalam skala 0-9 0 = 0; 1 = 1-20; 3 = 21- 40; 5 = 41-60; 7 = 61-80; 9 = 81-100. Tanaman tahan adalah tanaman yang mempunyai nilai D 0, 1, 3, atau 5, sedangkan tanaman rentan mempunyai nilai D 7 atau 9. Pada 4 minggu setelah infestasi MSI, tanaman padi yang diuji pada satu ulangan yang sama sebanyak 1 tanaman per ulangan dibedah untuk mengetahui perkembangan larva. Variabel yang diukur adalah bobot basah pupa. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990. Hasil Kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama terhadap tanaman tergantung pada ukuran populasi serangga dan kemampuan tanaman untuk menangkal kerusakan Kogan 1982. Tanaman padi Rojolele transgenik terbukti mempunyai kemampuan untuk menangkal kerusakan yang disebabkan oleh hama penggerek batang padi kuning S. incertulas. Hal ini dapat terlihat dari hasil pengujian pada tahap in planta pada 2 dan 4 minggu setelah infestasi. Pada 2 minggu setelah infestasi, intensitas serangan S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele dan Ciherang, serta galur DTcry Azygous P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik, intensitas serangan S. incertulas terendah terlihat pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0 dan tertinggi pada galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dengan tingkat intensitas serangan sebesar 23.33. Selain itu, intensitas serangan S. incertulas pada galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium 83 terlihat tidak berbeda jika dibandingkan dengan galur 3R9-8-28-26-2 mpi, galur 3R7-8-15-2-7 mpi, dan varietas Cilosari Tabel 4.1. Pada padi bukan transgenik, intensitas serangan S. incertulas terendah terlihat pada varietas Cilosari dengan tingkat intensitas serangan sebesar 45.83 dan tertinggi pada varietas Rojolele dengan tingkat intensitas serangan sebesar 80. Antar varietas Rojolele, Ciherang, dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas Tabel 4.1. Tabel 4.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 2 minggu setelah infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada berbagai perlakuan Perlakuan Rata-rata intensitas serangan Nilai D Skala Ketahanan ± SE Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 20.00 ± 8.17 cde 25.81 3 T Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 23.33 ± 7.93 cd 30.10 3 T Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 15.00 ± 7.64 de 19.35 1 T Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 15.00 ± 7.64 de 19.35 1 T Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.00 ± 0.00 e 0.00 T DTcry Azygous 60.83 ± 9.47 ab 78.49 7 R Rjl trans DTcry-13 cryIAb 22.50 ± 6.58 cd 29.03 3 T Rojolele 80.00 ± 8.17 a 103.23 9 R Cilosari 45.83 ± 11.33 bc 59.14 5 T Ciherang 77.50 ± 7.03 a 100.00 9 R Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. T = Tahan, R = Rentan Pada 4 minggu setelah infestasi, intensitas serangan S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.0001. Intensitas serangan S. incertulas terendah terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0. Namun demikian, intensitas serangan S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi, dan nyata berbeda jika dibandingkan dengan galur 4.2.3-28- 15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi. Pada varietas padi bukan transgenik 84 tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas, tingkat intensitas serangannya adalah 49.33-65.67 Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 4 minggu setelah infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada berbagai perlakuan Perlakuan Rata-rata intensitas serangan Nilai D Skala Ketahanan ± SE Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 18.33 ± 7.64 b 28.58 3 T Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 6.67 ± 4.44 bc 10.40 1 T Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 20.00 ± 10.18 b 31.19 3 T Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 11.67 ± 6.11 bc 18.20 1 T Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.00 ± 0.00 c 0.00 T DTcry Azygous 60.33 ± 5.05 a 94.07 9 R Rjl trans DTcry-13 cryIAb 45.83 ± 7.58 a 71.46 7 R Rojolele 65.67 ± 7.76 a 102.40 9 R Cilosari 49.33 ± 11.49 a 76.92 7 R Ciherang 64.13 ± 6.91 a 100.00 9 R Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. T = Tahan, R = Rentan Secara umum penentuan galur padi tahan penggerek batang padi berdasarkan nilai rata-rata bukan merupakan cara yang baik Heinrich et al. 1985, persentase serangan tersebut sebaiknya dikonversikan ke dalam nilai D yang kemudian dimasukkan dalam skala 0-9. Berdasarkan nilai D tersebut, pada pengamatan 2 minggu setelah infestasi terlihat bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji masuk dalam kategori tahan. Antar galur padi Rojolele transgenik menunjukkan adanya perbedaan nilai ketahanan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan nilai ketahanannya pada skala 0 dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi dan 3R7-8-15-2-7 mpi nilai ketahanannya pada skala 1. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium nilai ketahanannya pada skala 3. Padi bukan transgenik varietas Rojolele, Ciherang, dan galur DTcry Azygous masuk dalam kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 7 dan 9. Sebaliknya padi bukan 85 transgenik varietas Cilosari masuk dalam kategori tahan dengan nilai ketahanan pada skala 5 Tabel 4.1. Pada pengamatan 4 minggu setelah infestasi, kecuali padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, terlihat adanya perubahan nilai ketahanan baik pada galur padi Rojolele transgenik maupun varietas padi bukan transgenik. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21- 8-16-4 fusi nilai ketahanannya berubah dari skala 3 menjadi skala 1, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi nilai ketahanannya berubah dari skala 1 menjadi skala 3. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan padi bukan transgenik varietas Cilosari berubah dari kategori tahan menjadi rentan dengan nilai ketahanan sama yaitu pada skala 7 Tabel 4.2. Tanaman padi Rojolele transgenik selain mempunyai kemampuan untuk menangkal kerusakan juga mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan hama S. incertulas. Hal ini terbukti pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji tidak ada satu pun S. incertulas yang mencapai stadium pupa. Sebaliknya pada semua tanaman padi bukan transgenik, S. incertulas mampu mencapai stadium pupa dengan bobot pupa berkisar 0.01–0.02 gram Tabel 4.3 dan Gambar 4.1. Tabel 4.3 Rata-rata bobot pupa S. incertulas pada 4 minggu setelah infestasi pada berbagai perlakuan Perlakuan Rata-rata bobot pupa ± SE gram Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi - c Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi - c Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi - c Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi - c Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb - c DTcry Azygous 0.02 ± 0.01 ab Rjl trans DTcry-13 cryIAb - c Rojolele 0.02 ± 0.01 a Cilosari 0.01 ± 0.01 bc Ciherang 0.02 ± 0.01 ab Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. 86 8 mm Gambar 4.1 Pupa S. incertulas pada tanaman padi bukan transgenik Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian pada tahap in planta ini menunjukkan bahwa semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik yang diuji, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif dalam menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Hal ini disebabkan oleh sumber ketahanan intrinsik yang berbeda antara padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik. Sumber ketahanan intrinsik pada padi Rojolele transgenik adalah protoxin yang berasal dari gen cryIAb, fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB. Sumber ketahanan intrinsik pada padi bukan transgenik umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga Kogan 1982. Selain itu, pada pengujian tahap in planta ini terlihat ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Menurut Schuler 2000 tingkat ketahanan tanaman terhadap hama target tergantung pada tingkat ekspresi dari transgen, sifat toksisitas dari protein yang disandi oleh transgen, dan kerentanan serangga hama target. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0, hal ini disebabkan galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur 87 T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai toksisitas yang sangat tinggi. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 94. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 1. Hal ini disebabkan galur 4.2.4- 21-8-16-4 fusi mengandung dua gen cry yaitu cryIB-cryIAa yang mempunyai binding site berbeda dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai toksisitas yang tinggi setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur 4.2.4-21-8- 16-4 fusi tercapai dalam waktu 24 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 89. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi mengandung gen cryIB dengan promoter maize proteinase inhibitor yang bersifat inducible. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya hanya akan terekspresi apabila ada gigitan serangga. Selain itu, galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai toksisitas yang tinggi setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur 3R7-8-15-2-7 mpi tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 78. Selain faktor kontrol ekspresi gen dan toksisitas yang menyebabkan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan tinggi, faktor jumlah salinan gen copy number juga turut berperan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 3R7- 88 8-15-2-7 mpi mempunyai jumlah salinan gen copy number cukup banyak Tabel 4.4. Dengan jumlah salinan gen copy number yang banyak tersebut kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih tinggi. Jumlah salinan gen copy number pada beberapa kasus berkorelasi dengan ekspresi gen, meskipun tidak selalu demikian, posisi insersi gen pada genom sangat menentukan tingkat ekspresinya. Tabel 4.4 Jumlah salinan gen copy number pada berbagai perlakuan Perlakuan Jumlah salinan gen copy number Sumber Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 2 Rachmat et al. 2007 Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 1 Rachmat et al. 2007 Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 6 Rachmat et al. 2007 Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 6 Rachmat et al. 2007 Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 5 Novalina 2000 Rjl trans DTcry-13 cryIAb 1 Rachmat 2006 Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28- 26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Hal ini diduga disebabkan gennya kurang terekspresi karena situs insersi gen kurang tepat dalam genom tanaman. Menurut Satoto 2003 ekspresi transgen yang dicerminkan oleh tingkat ketahanan diduga ditentukan oleh situs insersi transgen dalam genom tanaman. Selain itu, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai toksisitas moderat. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur 4.2.3-28-15- 2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi tercapai dalam waktu 24 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya masing-masing mencapai 74.5 dan 73.5. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 7. Hal ini disebabkan jumlah salinan gen copy number yang sedikit Tabel 4.4 dan diduga situs insersi gen kurang tepat dalam genom tanaman. Dengan jumlah salinan gen copy number yang sedikit kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih rendah dan 89 situs insersi gen yang kurang tepat dapat menyebabkan gen kurang terekspresi. Selain itu, galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai toksisitas yang rendah. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium tercapai dalam waktu 48 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya hanya mencapai 69.5. Selain itu diduga hal ini disebabkan oleh generasi galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium ini masih generasi awal yaitu generasi ke-2. Menurut Meyer 1995 uji ketahanan galur padi transgenik pada generasi awal mempunyai kelemahan yaitu pada umumnya pada tanaman transgenik generasi 2-3 masih terdapat keragaman antar tanaman yang sangat besar. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium sama mengandung gen cryIAb, namun kedua galur tersebut mempunyai nilai ketahanan yang berbeda. Galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0, sementara galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 7. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh faktor jumlah salinan gen copy number yang berbeda Tabel 4.4, posisi insersi gen dalam genom tanaman dan tingkat toksisitas yang berbeda. Perbedaan jumlah salinan gen copy number pada kedua galur tersebut disebabkan oleh perbedaan teknik transformasi. Galur T9-6.11-420 teknik transformasinya melalui penembakan dan galur DTcry-13 melalui Agrobacterium. Teknik transformasi genetika melalui penembakan pada umumnya menghasilkan tanaman transgenik dengan salinan transgen ganda yang sangat banyak Vain et al. 2002, sementara teknik transformasi genetika melalui Agrobacterium pada umumnya menghasilkan tanaman transgenik dengan salinan transgen yang relatif sedikit Maftuchah 2003. Galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 9. Hal ini disebabkan galur DTcry Azygous adalah segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null. Dengan demikian sumber ketahanan intrinsik pada galur DTcry Azygous ini bukan 90 protoxin, tetapi sama dengan padi bukan transgenik yaitu berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik tanaman Kogan 1982. Kesimpulan 1. Protoxin dalam semua galur padi Rojolele transgenik, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif dalam menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. 2. Ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 1. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan masing- masing pada skala 7 dan 9. Daftar Pustaka Bahagiawati. 2001. Manajemen resistensi serangga hama pada pertanaman tanaman transgenik Bt. Buletin AgroBio 41:1-8. Cohen MB. 2000. Bt rice: practical steps to sustainable use. International Rice Research Notes 252:4-10. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97:20-30. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Heinrich EA, FG Medrano, HR Rapusas. 1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in Rice. Los Banos, Philippines: Intl Rice Res Inst. p 356. Ho NH et al. 2006. Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against yellow stem borer in transgenic elite vietnamese rice Oryza sativa L. cultivars. Crop Sci 46:781-789. 91 Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley Sons. pp 93-134. Maftuchah. 2003. Transformasi genetik padi indica dengan gen cryIAb dan cryIB menggunakan Agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap hama penggerek batang kuning Scirpophaga incertulas Walker [disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Meyer P. 1995. Understanding and controlling transgene expression. TibTech 13:332-337. Novalina. 2000. Analisis pewarisan dan pengujian efektivitas gen cryIAb pada padi transgenik Oryza sativa L untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi Oryza sativa L. transgenik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmat et al. S. 2007. Aplikasi teknologi DNA untuk ketahanan terhadap hama penggerek batang padi serta uji keamanan lingkungan [laporan teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hal.67-73. Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm. SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc. Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Schuler TH. 2000. The impact of insect resistant GM crops on populations of natural enemies. Antenna 24:59-65. Vain P, VA James, B Worland, JW Snape. 2002. Transgene behaviour across two generations in a large random population of transgenic rice plants produced by particle bombardment. Theor Appl Genet 105:878-889. 92 Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP TM marker. Theor Appl Genet 100:118-126. Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132. Ye GY, J Tu, C Hu, K Datta, SK Datta. 2001. Transgenic IR72 with fused Bt gene cry1Abcry1Ac from Bacillus thuringiensis is resistant against four lepidoptera species under field condition. Plant Biotechnol 18:125- 133. BAB V KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP LAPANGAN TERBATAS Abstrak Penggerek batang padi kuning S. incertulas hidup dan makan di dalam batang padi. Hal ini menyebabkan hama S. incertulas sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil. Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani untuk mengendalikan hama S. incertulas. Untuk mengurangi penggunaan insektisida telah dikembangkan tanaman padi transgenik yang tahan S. incertulas. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas, penelitian tahap lapangan terbatas dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Ukuran plot yang digunakan adalah 9 m x 5 m, dan jarak antar plot 0.5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif sundep maupun pada stadium generatif beluk. Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele. Kata kunci: keefektifan, padi transgenik, S. incertulas 94 Abstract The rice yellow stemborer S. incertulas lives and feeds inside the stems of rice plant. This behavior causes S. incertulas difficult to control and resulted in failures of harvest and yield loss. At present, most of farmers depend the rice stemborer control on insecticide. To reduce insecticide use, development of transgenic rice plant that are resistant to S. incertulas that effort a promising opportunity. To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, a limited field test was conducted at Pusakanegara Research Station - Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from November 2007-April 2008. Randomize complete block design with 5 treatments and 5 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice T9- 6.11-420 line cryIAb by particle bombardment, Rojolele non insecticide, Rojolele with insecticide, Cilosari, and Ciherang varieties. The plot size was 9 m x 5 m, and the distance between plot was 0.5 m. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment effective to suppress S. incertulas infestation at the vegetative and the generative stages. At the vegetative stage, protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment could suppress S. incertulas infestation deadhearts about 3-4 fold and at the generative stage whiteheads about 5-57 fold compared to non insecticide treatment. Protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment was as effective as insecticide treatment with active ingredient were carbofuran and dimehipo. The yield of transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment was the lowest, i.e. it was only17 than Rojolele. Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas Pendahuluan Di Indonesia terdapat enam spesies penggerek batang padi Hattori Siwi 1986. Dari keenam spesies penggerek batang padi tersebut, penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae adalah yang paling dominan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Lombok Manwan et al. 1990; Hendarsih et al. 2002. Larva penggerek batang padi kuning S. incertulas makan bagian dalam batang padi. Pada saat menetas, larva instar-1 S. incertulas segera menyebar mencari anakan tanaman padi dan segera masuk ke dalam batang tanaman padi, yang normalnya satu larva menginfestasi satu anakan. Hal tersebut menyebabkan larva S. incertulas terlindungi dari musuh alami dan insektisida Bandong Litsinger 2005, sehingga hama S. incerulas ini sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil. 95 Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani dalam mengendalikan hama S. incertulas. Kondisi tersebut sangat beresiko karena penggunaan insektisida yang terus menerus berdampak negatif terhadap lingkungan seperti hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, berpengaruh negatif terhadap organisma non target, dan residu insektisida Metcalf 1982; Sutanto 2002. Untuk mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama penggerek batang padi, pada saat ini telah dikembangkan tanaman padi transgenik dengan menggunakan gen Bt baik dengan gen cry tunggal ataupun dua gen cry Ho et al. 2006. Hasil penelitian National Center for Food and Agricultural Policy NCFAP pada tanaman kapas menunjukkan pemanfaatan kapas Bt mampu menekan penggunaan insektisida. Data dari enam sentra produksi kapas mengindikasikan terjadinya pengurangan penggunaan insektisida untuk bollwormbudworm, dan pink bollworm sekitar 2 juta lbs pada tahun 1998 dan 2.7 juta lbs pada tahun 1999. Jumlah aplikasi insektisida juga menurun sekitar 8.7 juta pada tahun 1998 dan 15 juta pada tahun 1999, atau 13 dan 22 dari total jumlah aplikasi insektisida pada tahun 1995 Berenbaum et al. 2002. Penggunaan kapas Bt di Arizona untuk pink bollworm pada tahun 1997 mengurangi 5.4 aplikasi insektisida dan petani dapat menghemat 80 per hektar William dalam Berenbaum et al. 2002. Di India, penggunaan kapas Bt efektif mengendalikan bollworms Manjunath 2005 dan dapat mengurangi 70 aplikasi insektisida, serta menghemat biaya insektisida sekitar US30 per hektar. Pengurangan aplikasi pestisida pada pertanaman kapas Bt dilaporkan juga di Cina, dan proporsi penggunaan pestisida berkurang dari 22 sampai 4.7 Christou et al. 2006. Dengan tujuan untuk mengendalikan serangan hama padi dari ordo lepidoptera, terutama hama penggerek batang padi kuning S. incertulas, penggerek batang padi bergaris C. suppressalis, dan penggulung daun Cnaphalocrocis medinalis beberapa laboratorium di dunia saat ini telah mentransformasi padi dengan gen Bt, dan mengevaluasinya di rumah kaca dan 96 lapangan, tetapi belum ada varietas padi Bt yang dilepas ke petani Berenbaum et al. 2002. Gen cryIAb Bt telah berhasil ditransformasi ke varietas Rojolele Javanica melalui teknik penembakan Slamet-Loedin et al. 1998. Berdasarkan pengujian sampai dengan generasi kelima, telah terbukti bahwa gen cryIAb Bt tetap diwariskan pada turunannya dan telah teridentifikasi galur-galur potensial tahan S. incertulas Satoto 2003. Namun demikian, keefektifan galur tersebut belum teruji pada tahap lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik yang mengandung gen cryIAb terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas di lapangan terbatas. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Bahan dan Alat Materi penelitian yang digunakan terdiri dari tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan dan tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris- HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 o C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 97 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20 o C. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H 2 O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 o C 3 menit 1 siklus, 95 o C 1 menit, 55 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Bibit galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan berumur 36 hari 98 setelah sebar HSS, varietas Rojolele berumur 27 HSS, dan Cilosari serta Ciherang berumur 13 HSS ditanam pada petak percobaan berukuran 9 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan jarak antar plot 0.5 m. Pada saat tanam, dilakukan pemupukan dengan 40 kg Nha dan 40 kg P 2 O 5 ha, pada 25 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha, dan pada 50 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha. Plot perlakuan varietas Rojolele yang diaplikasi insektisida diberi insektisida berbahan aktif karbofuran dan dimehipo. Insektisida berbahan aktif karbofuran diaplikasikan pada periode pertumbuhan vegetatif dengan dosis 20 kgha dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali. Insektisida berbahan aktif dimehipo diaplikasikan pada saat tanaman padi mencapai stadium generatif dengan dosis 2 lha konsentrasi 4 ccl dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali sampai 10 hari menjelang panen. Di sekeliling percobaan ditanam varietas Rojolele selebar 3 m sebagai isolasi terhadap varietas yang ditanam di sekitarnya. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam sampai 10 hari menjelang panen. Variabel yang diamati adalah tingkat serangan S. incertulas pada 72 rumpun sampel secara acak pada setiap plot perlakuan dan hasil panen dari setiap plot perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990. Hasil Penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat menyerang pada semua stadium pertumbuhan tanaman padi Alam et al. 1998. Serangan S. incertulas pada stadium vegetatif dapat menimbulkan gejala sundep dan pada stadium generatif dapat menimbulkan gejala beluk. Pada pengujian lapangan terbatas ini populasi hama S. incertulas di lokasi pengujian tinggi pada 2 dan 4 minggu setelah tanam dan sangat rendah sampai menjelang panen. Kondisi populasi S. incertulas seperti ini berpengaruh pada besarnya tingkat intensitas serangan yang ditimbulkan. Pada 2 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep cukup tinggi berkisar 0.46-10.63. Namun demikian, pada padi Rojolele 99 transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan belum terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas sundep jika dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, varietas Rojolele dengan insektisida, varietas Cilosari, dan varietas Ciherang. Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas sundep pada varietas Cilosari dan varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida dan Rojolele dengan insektisida P=0.0193 Gambar 5.1. Pada 4 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep meningkat pada semua varietas dan galur padi yang diuji. Intensitas serangan S. incertulas sundep tertinggi terlihat pada varietas Rojolele tanpa insektisida dengan tingkat intensitas serangan sebesar 13.26 dan terendah terlihat pada varietas Ciherang dengan tingkat intensitas serangan sebesar 2.61. Intensitas serangan S. incertulas sundep pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, tetapi tidak berbeda dengan varietas Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang P=0.0168 Gambar 5.1. Pada 6 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep menurun pada semua varietas dan galur padi yang diuji dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 1. Namun demikian masih terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas antar varietas dan antar galur padi yang diuji. Intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele dengan insektisida terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida dan Cilosari dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.09. Namun demikian intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele dengan insektisida tersebut tidak berbeda dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan dan varietas Ciherang. Pada varietas Rojolele tanpa insektisida tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas sundep dengan varietas Cilosari P=0.0042. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas sundep dan keefektifannya sama dengan varietas Ciherang dan perlakuan dengan insektisida Gambar 5.1. 100 Pada 8 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep rendah dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 2. Intensitas serangan S. incertulas sundep pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari. Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas sundep pada varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, dan Cilosari. Namun demikian intensitas serangan S. incertulas sundep pada varietas Ciherang tersebut tidak berbeda dengan Rojolele dengan insektisida P=0.0295 Gambar 5.1. ab a a b b bc a ab bc c b a b a b ab abbca c 2 4 6 8 10 12 14 R ata -r ata in te n sita s s e ra n g an S in c ert u la s 2 4 6 8 Waktu pengamatan MST Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida Cilosari Ciherang Gambar 5.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium vegetatif. MST– Minggu setelah tanam. Pada stadium generatif sampai menjelang panen, intensitas serangan S. incertulas beluk pada semua varietas dan galur padi yang diuji sangat rendah dengan intensitas serangan kurang dari 2. Pada 10 minggu setelah tanam, belum terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas beluk pada semua varietas dan galur padi yang diuji P=0.2869 Gambar 5.2. 101 Pada 12 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas beluk pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.4. Namun demikian, intensitas serangan S. incertulas beluk pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda jika dibandingkan dengan varietas Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang P=0.0192 Gambar 5.2. a a a a a b a b b b c a b b ab 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 R ata -r ata in te n sita s s er an g an S . in ce rtu la s 10 12 14 Waktu pengamatan MST Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida Cilosari Ciherang Gambar 5.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium generatif. MST– Minggu setelah tanam. Pada 14 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas beluk pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Intensitas serangan S. incertulas beluk pada varietas Ciherang terlihat tidak berbeda dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan 102 insektisida, dan Cilosari. Intensitas serangan S. incertulas beluk pada varietas Cilosari terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan Rojolele tanpa insektisida, tetapi tidak berbeda dengan Rojolele dengan insektisida P=0.0049 Gambar 5.2. Hasil panen Salah satu tujuan perakitan varietas unggul tahan hama adalah untuk mendapatkan varietas yang mampu menangkal kerusakan oleh hama sehingga tanaman mampu berproduksi secara optimal. Dalam penelitian ini ada indikasi hasil yang bertolak belakang. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terbukti mampu menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas. Tetapi dari sisi produksi, tanaman padi Rojolele transgenik tersebut tidak mampu berproduksi secara optimal. Hal ini dapat terlihat dari hasil panen yang diperoleh pada saat pengujian. Pada pengujian lapangan terbatas, hasil panen GKP maupun GKG padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Hasil panen GKP dan GKG padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan adalah 2.76 kg45 m 2 dan 2.18 kg45 m 2 atau setara dengan 0.61 tha dan 0.48 tha. Hasil panen tertinggi terlihat pada varietas Ciherang yang tidak berbeda dengan Cilosari. Hasil panen GKP dan GKG varietas Ciherang adalah 32.19 kg45 m 2 dan 27.82 kg45 m 2 atau setara dengan 7.15 tha dan 6.18 tha, dan hasil panen GKP dan GKG varietas Cilosari adalah 32.14 kg45 m 2 dan 27.09 kg45 m 2 atau setara dengan 7.14 tha dan 6.02 tha. Sementara itu, hasil panen varietas Rojolele tanpa insektisida dan Rojolele dengan insektisida terlihat sedang dan antar kedua varietas tersebut tidak terlihat adanya perbedaan hasil panen. Hasil panen GKP dan GKG varietas Rojolele dengan insektisida adalah 19.50 kg45 m 2 dan 15.81 kg45 m 2 atau setara dengan 4.33 tha dan 3.51 tha, dan hasil panen GKP dan GKG varietas Rojolele tanpa insektisida adalah 18.44 kg45 m 2 dan 15.24 kg45 m 2 atau setara dengan 4.09 tha dan 3.39 tha P=0.0001; P=0.0001 Gambar 5.3. 103 c b b a a c b b a a 5 10 15 20 25 30 35 R a ta -r a ta ha si l pa ne n kg 45 m 2 GKP GKG Kondisi gabah Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida Cilosari Ciherang Gambar 5.3 Rata-rata hasil panen pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik. GKP- Gabah kering panen; GKG- Gabah kering giling Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian pada lapangan terbatas ini dapat dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif sundep maupun pada stadium generatif beluk. Pada stadium vegetatif, padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Pada stadium generatif, padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas beluk lebih tinggi yaitu sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Selain itu terlihat bahwa keefektifan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan ini sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Tingginya keefektifan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dalam menekan serangan S. incertulas ini disebabkan 104 galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai jumlah salinan gen copy number cukup banyak yaitu 5 Novalina 2000. Dengan jumlah salinan gen copy number yang banyak tersebut kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih tinggi. Jumlah salinan gen copy number pada beberapa kasus berkorelasi dengan ekspresi gen, meskipun tidak selalu demikian. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida yang sangat tinggi dan mampu menekan perkembangan larva S. incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100 pada 4 hari setelah infestasi Wu et al. 1997; Datta et al. 1998; Cheng et al. 1998. Hasil pengujian pada tahap in vitro juga menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 94. Demikian pula pada pengujian tahap in planta terbukti padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0. Selain itu, pada pengujian lapangan terbatas ini ada indikasi bahwa varietas Cilosari dan Ciherang tahan terhadap serangan S. incertulas. Namun demikian, ketahanan kedua varietas tersebut terlihat tidak konsisten. Adanya fenomena seperti ini di duga disebabkan varietas Cilosari dan Ciherang ini mendapatkan ketahanan ekologi pseudoresistance yaitu sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik, tetapi sepenuhnya oleh faktor lingkungan yang memungkinkan munculnya penampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama. Sifat ketahanan ini tidak tetap dan biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama Panda Khush 1995; Untung 2006 seperti varietas Cilosari dan Ciherang. Berdasarkan hasil panen pada pengujian lapangan terbatas ini dapat dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik 105 penembakan hasilnya sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele. Rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan diduga antara lain disebabkan sebagian besar energi tanaman dialokasikan untuk pertahanan. Keadaan ini sesuai dengan teori hubungan antara tingkat pertahanan dan hasil yang dikemukakan oleh Kogan 1986 bahwa jika pertahanan rendah, produktivitas mencapai maksimum dalam keadaan tidak ada hama. Tetapi ketika tanaman meningkatkan infestasi energinya pada pertahanan, mereka mencapai suatu batas atas metabolic cost hargabiaya metabolisme, pada batas ini tidak ada reproduksi dan tanaman dengan gen untuk ketahanan yang ekstrim dihilangkan. Selain itu, rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan ini disebabkan adanya indikasi pengurangan hasil yield penalty yang dapat diakibatkan oleh variasi somaklonal akibat kultur jaringan atau pengaruh posisi insersi gen pada genom tanaman. Dalam pengembangan tanaman transgenik secara komersial seharusnya dilakukan backcrossing dari galur tahan untuk menghindari dampak dari variasi somaklonal akibat perlakuan kultur jaringan dan galur yang dihasilkan umumnya dalam jumlah besar sehingga seleksi fertilitas dapat dilakukan pada tahap awal. Kesimpulan 1. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif sundep maupun pada stadium generatif beluk. 2. Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. 3. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. 106 4. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele. Daftar Pustaka Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter Jour Pest Manag 511:37-43. Berenbaum MR, RT Carde, GE Robinson. 2002. Economic, ecological, food safety, and social consequences of the deployment of Bt transgenic plants. Annu Rev Entomol 47:845-881. Cheng X, R Sardana, H Kaplan, I Altosar. 1998. Agrobacterium-transformed rice plants expressing synthetic cryIAb and cryIAc genes are highly toxic to striped stem borer and yellow stem borer. PNAS 956:2767-2772. Christou P, T Capell, A Kohli, JA Gatehouse, AMR Gatehouse. 2006. Recent developments and future prospects in insect pest control in transgenic crops. TRENDS in Plant Science 116:302-308. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97:20-30. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Hattori I., SS Siwi. 1986. Rice stemborers in Indonesia. Tropical Agricultural Research Center. Tarc 201:25 – 26. Hendarsih S, N Usyati, D Kertoseputro. 2002. Analisis perubahan status penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker di kabupaten Subang, Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Purwokerto, 7 September 2002. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, PFI Komda Purwokerto, PEI Komda Purwokerto. 12 hlm. Ho NH et al. 2006. Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against yellow stem borer in transgenic elite vietnamese rice Oryza sativa L. cultivars. Crop Sci 46:781-789. 107 Kogan M. 1986. Plant defense strategies and host-plant resistance. In Kogan M, editor. Ecological Theory and Integrated Pest Management Practice. New York: John Wiley Sons. pp 83-134. Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits. http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt ext=true [5 Mei 2008]. Manwan I, E Soenarjo, MO Adnyana, T Soewito T, Sutrisno. 1990. Hasil Pemahaman Secara Cepat Serangan Penggerek Padi di Jalur Pantura Jawa Barat MT 19891990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley Sons. pp 217-277. Novalina. 2000. Analisis pewarisan dan pengujian efektivitas gen cryIAb pada padi transgenik Oryza sativa L untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p. SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc. Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb anti-insect proteins. Proceedings of the 4 th Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 218 hal. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 348 hal. Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP TM marker. Theor Applied Genet 100:118-126. 108 Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132. BAB VI PERKEMBANGAN PRADEWASA DAN KEMAMPUAN HIDUP PREDATOR Verania lineata THURNBERG COLEOPTERA: COCCINELLIDAE PADA PADI TRANSGENIK Abstrak Penggunaan tanaman transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan. Namun demikian tanaman transgenik ini masih diperdebatkan terutama mengenai potensi pengaruhnya terhadap lingkungan, diantaranya terhadap musuh alami. Untuk mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik, penelitian tahap laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan Januari-Oktober 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 8 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21- 8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yaitu varietas Rojolele. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten rendah. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata. Kata kunci: padi transgenik, predator V. lineata 110 Abstract The use of transgenic crops in agricultural production system can provide several benefits. However, uses of transgenic crops has raised debate about their potential impact on the environment, such as on natural enemies. To study the impact of transgenic to natural enemies, we conducted a study on larvae development and survival of insect predator V. lineata in transgenic Rojolele rice. Laboratory test was conducted at laboratory of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from January-October 2009. Completely randomize design with 8 treatments and 30 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa, 3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous is a segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice Rojolele variety. The result showed that there were differences of larvae development and survival of insect predator V. lineata among transgenic Rojolele rice lines. In transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb gene by particle bombardment and DTcry-13 line cryIAb gene by Agrobacterium, life time, developmental stage, the number eclosion of adult female, adult weight, and survival of preimaginal and adult of insect predator V. lineata were consistantly low. In transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line, 3R9-8-28-26-2 line, and 3R7-8-15-2-7 line had no consistant effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. DTcry Azygous line had no effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. Whereas transgenic Rojolele rice 4.2.4-21-8-16-4 line had one effect in decreasing of adult weight of insect predator V. lineata. Key words: transgenic rice, predator V. lineata Pendahuluan Penggunaan tanaman transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan, seperti mengurangi penggunaan insektisida konvensional yang berspektrum luas, menekan hama target, meningkatkan hasil, mengurangi biaya produksi untuk meningkatkan keuntungan, dan meningkatkan kesempatan untuk pengendalian biologi Naranjo et al. 2005. Namun demikian, tanaman transgenik ini masih diperdebatkan terutama mengenai potensi pengaruhnya terhadap lingkungan. Isu yang sering menjadi bahan perdebatan adalah mengenai potensi pengaruhnya terhadap biodiversitas, terutama pengaruhnya terhadap organisma bukan sasaran termasuk serangga herbivor bukan sasaran, musuh alami, dan mikrobiota tanah. Isu lainnya adalah serangga yang berkembang menjadi tahan dan perpindahan gen yang diinsersikan dari tanaman ke tanaman liar atau gulma Fontes et al. 2002; Naranjo et al. 2005. 111 Agroekosistem terdiri dari interaksi tropik yang kompleks, dengan tanaman sebagai basis jaring-jaring makanan ini. Banyak aspek fisiologi, ekologi dan perilaku organisma di dalam ekosistem ditentukan oleh interaksi dengan organisma yang sama atau tingkat tropik yang lain Ferry et al. 2007. Musuh alami seperti predator dan parasitoid adalah regulator populasi hama. Kemampuan hidup musuh alami tergantung pada suplai serangga inang hama, artinya berkurangnya jumlah inang hama yang makan pada tanaman transgenik akan mempengaruhi kerapatan populasi musuh alami O’Callaghan 2005. Tanaman transgenik dapat mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara yaitu: 1 langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; 2 makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan 3 melalui pengurangan populasi inang Losey et al. 2004; O’Callaghan 2005. Menurut Dutton et al. 2003 dan Fontes et al. 2002, pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh alami dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung disebabkan oleh pengaruh toxin secara langsung terhadap musuh alami. Pengaruh tidak langsung terjadi karena reduksi dari jumlah dan kualitas inang atau mangsa dan secara tidak sengaja introgresi gen menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanaman, sehingga tanaman tidak menarik untuk dikunjungi musuh alami. Coleoptera penting dalam penelitian agro-ekologi karena jumlah spesiesnya yang besar, distribusinya yang kosmopolitan, dan berperan sebagai agen pengendali hayati. Coleoptera seperti kumbang coccinellid selain sebagai predator juga makan pollen tanaman dan nektar dari bunga. Kegunaannya sebagai makanan alternatif yang penting untuk potensi reproduksi coccinellid dan untuk bertahan hidup ketika makanan utamanya jarang. Di dalam pertanian, kumbang coleoptera ini penting karena sebagai spesies indikator kunci yang digunakan untuk memonitor perubahan ekologi atau lingkungan, termasuk biodiversitas Ferry et al. 2007. Banyak studi agro-ekologi yang telah mencoba untuk menentukan pengaruh tanaman transgenik terhadap predator dari ordo coleoptera maupun predator dari ordo lainnya. Namun hasilnya berbeda-beda dan tidak konsisten, bergantung pada jenis predatornya. Pilcher et al. 1997 melaporkan tidak ada 112 pengaruh negatif dari pollen tanaman transgenik protein cryIAb terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator Coleomegilla maculata DeGeer Coleoptera: Coccinellidae, Orius insidiosus Say Heteroptera: Anthocoridae, dan Chrysoperla carnea Stephens Neuroptera: Chrysopidae. Demikian juga Ferry et al. 2007 melaporkan Bt cry3A tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap reproduksi dan aktivitas kumbang Harmonia axyridis Coleoptera: Coccinellidae dan kumbang Nebria brevicollis Coleoptera: Carabidae. Hilbeck et al. 1998 mengamati mortalitas larva C. carnea yang memangsa Ostrinia nubilalis dan Spodoptera littoralis yang dipelihara pada tanaman jagung Bt dan non-Bt. Mereka menemukan persentase mortalitas larva C. carnea yang memangsa O. nubilalis yang diperbanyak pada tanaman jagung Bt lebih tinggi 62 daripada mortalitas larva predator pada jagung non-Bt 37. Hal serupa tidak terjadi pada C. carnea yang memangsa S. littoralis, baik pada tanaman jagung Bt maupun jagung non-Bt. Dutton et al. 2002 melaporkan C. carnea yang makan Tetranychus urticae yang mengandung toxin cryIAb atau yang makan Rhopalosiphum padi yang tidak mencerna toxin, tidak mempengaruhi kemampuan hidup, perkembangan, atau berat C. carnea. Sebaliknya secara nyata meningkatkan mortalitas dan memperlambat perkembangan predator C. carnea ketika makan S. littoralis. Studi untuk mempelajari pengaruh tanaman transgenik khususnya tanaman padi transgenik terhadap predator V. lineata belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan Januari - Oktober 2009. Bahan dan Alat Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah predator V. lineata dan wereng coklat. Imago predator V. lineata diambil dari pertanaman 113 padi yang sedang berbunga di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang-Jawa Barat. Selanjutnya imago predator V. lineata dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru generasi ke-2. Telur yang dihasilkan dari imago predator V. lineata generasi ke-2 ini selanjutnya dibagi dua, sebagian digunakan untuk perbanyakan dan sebagian lagi digunakan untuk pengujian. Imago wereng coklat diambil dari pertanaman padi di Cibinong-Bogor. Selanjutnya imago wereng coklat dipelihara pada tanaman padi varietas Rojolele di rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru generasi ke-2. Nimfa instar- 2 dari wereng coklat generasi ke-2 ini digunakan untuk pakan predator V. lineata dalam pengujian. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yaitu varietas Rojolele. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium]. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer 114 isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 o C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20 o C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H 2 O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95 o C 3 menit; 95 o C 1 menit, 60 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 35 siklus; 72 o C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95 o C 3 menit, 95 o C 1 menit, 62 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 115 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H 2 O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 o C 3 menit 1 siklus, 95 o C 1 menit, 55 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 8 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl trans galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H = varietas Rojolele. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Pilcher et al. 1997. Tahap-tahap pengujian adalah sebagai berikut: larva instar-1 predator V. lineata ditempatkan pada tabung gelas berukuran 3 cm x 20 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut dimasukkan bunga padi pollen dan anther sesuai perlakuan, wereng coklat instar-2, madu, dan air sebagai pakan predator. Banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan sebagai pakan disesuaikan dengan perkembangan predator. Untuk instar-1 dan 2 116 banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan sebanyak 0.01 gram. Untuk instar-3, 4, dan imago banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan masing-masing adalah: 0.02 gram, 0.03 gram, dan 0.04 gram. Banyaknya wereng coklat yang diberikan adalah 5 ekor untuk setiap perlakuan. Madu diberikan dalam bentuk kapas basah yang dicelupkan pada larutan madu 10, dan air diberikan dalam bentuk kapas basah yang dicelupkan dalam air. Pergantian pakan dilakukan setiap 2 hari sekali. Pengamatan perkembangan predator V. lineata dilakukan setiap hari dari mulai instar-1 sampai imago mati. Variabel yang diamati meliputi: lama perkembangan pada setiap stadia perkembangan, persentase individu yang gagal mencapai perkembangan, persentase individu yang berhasil mencapai perkembangan, persentase imago jantan yang muncul, persentase imago betina yang muncul, berat imago total, berat imago jantan, berat imago betina, kemampuan hidup pradewasa, dan kemampuan hidup dewasa. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990. Hasil Lama perkembangan predator V. lineata Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan lama perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Perbedaan ini mulai terlihat pada stadium perkembangan instar-2 sampai imago Tabel 6.1. Lama perkembangan predator V. lineata dari mulai instar-3 sampai imago pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium terlihat konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8- 28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi lama perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan terlihat tidak konsisten. Sebaliknya lama perkembangan predator V. lineata dari mulai instar-1 sampai imago kecuali pada 117 stadia pupa pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry Azygous terlihat konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Tabel 6.1. Predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan Pada setiap stadium perkembangan terlihat bahwa predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium konsisten nyata lebih tinggi dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi, predator V. lineata yang gagal pada setiap stadium perkembangan terlihat tidak konsisten. Sebaliknya pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry Azygous, predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Tabel 6.2. Predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan keberhasilan predator V. lineata dalam mencapai setiap stadium perkembangan antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Perbedaan ini mulai terlihat pada stadium perkembangan instar-1 sampai imago Tabel 6.3. Pada setiap stadium perkembangan terlihat bahwa predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Keberhasilan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi terlihat tidak konsisten. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry Azygous, predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Tabel 6.3. 118 Tabel 6.1 Rata-rata lama perkembangan predator V. lineata pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan Perlakuan Rata-rata lama perkembangan ± SE hari Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Pupa Imago Total Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 2.00 ± 0.00 d 3.43 ± 0.35 de 2.53 ± 0.38 cd 3.80 ± 0.59 c 3.33 ± 0.67 b 23.37 ± 7.02 a 38.47 ± 7.85 bc Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 2.40 ± 0.09 bc 3.87 ± 0.13 abcd 2.83 ± 0.24 abc 6.70 ± 0.64 ab 2.73 ± 0.31 b 25.10 ± 5.58 a 43.63 ± 6.02 ab Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 2.17 ± 0.07 cd 4.90 ± 0.19 a 2.20 ± 0.18 bcd 9.17 ± 1.41 ab 3.63 ± 1.15 bc 2.50 ± 0.82 b 24.57 ± 3.02 bc Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 2.30 ± 0.09 bc 3.67 ± 0.26 bcde 2.90 ± 0.36 bc 5.73 ± 0.87 bc 2.93 ± 0.57 bc 10.07 ± 2.89 a 27.60 ± 4.07 bc Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 2.67 ± 0.12 a 3.27 ± 0.25 cde 1.93 ± 0.33 d 5.50 ± 1.12 c 1.37 ± 0.39 c 1.73 ± 0.59 b 16.47 ± 2.18 c DTcry Azygous 2.37 ± 0.09 bc 4.40 ± 0.15 ab 3.07 ± 0.22 ab 8.27 ± 0.82 ab 2.87 ± 0.35 b 20.53 ± 6.19 a 41.50 ± 6.74 ab Rjl trans DTcry-13 cryIAb 2.43 ± 0.09 ab 3.13 ± 0.29 e 1.73 ± 0.23 d 6.13 ± 1.51 c 1.43 ± 0.42 c 4.30 ± 2.92 b 19.17 ± 4.14 c Rojolele 2.17 ± 0.07 cd 3.87 ± 0.08 abc 3.43 ± 0.10 a 8.77 ± 0.44 a 5.50 ± 0.64 a 21.23 ± 6.07 a 44.97 ± 6.29 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. 119 Tabel 6.2 Persentase individu predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan Perlakuan Persentase individu yang gagal ± SE Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Pupa Imago Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 0.00 ± 0.00 a 33.33 ± 8.75 a 36.67 ± 8.95 ab 36.67 ± 8.95 bc 40.00 ± 9.09 c 40.00 ± 9.09 c Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 0.00 ± 0.00 a 3.33 ± 3.33 cd 3.33 ± 3.33 d 26.67 ± 8.21 bc 30.00 ± 8.51 c 30.00 ± 8.51 c Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 0.00 ± 0.00 a 10.00 ± 5.57 bcd 16.67 ± 6.92 bcd 70.00 ± 8.51 a 73.33 ± 8.21 a 73.33 ± 8.21 a Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 0.00 ± 0.00 a 20.00 ± 7.43 abc 33.33 ± 8.75 abc 46.67 ± 9.26 ab 46.67 ± 9.26 bc 46.67 ± 9.26 bc Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.00 ± 0.00 a 30.00 ± 8.51 a 50.00 ± 9.28 a 66.67 ± 8.75 a 70.00 ± 8.51 ab 70.00 ± 8.51 ab DTcry Azygous 0.00 ± 0.00 a 3.33 ± 3.33 cd 13.33 ± 6.31 cd 20.00 ± 7.43 c 26.67 ± 8.21 c 26.67 ± 8.21 c Rjl trans DTcry-13 cryIAb 0.00 ± 0.00 a 26.67 ± 8.21 ab 50.00 ± 9.28 a 70.00 ± 8.51 a 80.00 ± 7.43 a 80.00 ± 7.43 a Rojolele 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 d 6.67 ± 4.63 d 16.67 ± 6.92 c 23.33 ± 7.85 c 23.33 ± 7.85 c Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. 120 Tabel 6.3 Persentase individu predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan Perlakuan Persentase individu yang berhasil ± SE Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Pupa Imago Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 100.00 ± 0.00 a 66.67 ± 8.75 d 63.33 ± 8.95 cd 63.33 ± 8.95 ab 60.00 ± 9.09 a 60.00 ± 9.09 a Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi 100.00 ± 0.00 a 96.67 ± 3.33 ab 96.67 ± 3.33 a 73.33 ± 8.21 ab 70.00 ± 8.51 a 70.00 ± 8.51 a Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 100.00 ± 0.00 a 90.00 ± 5.57 abc 83.33 ± 6.92 abc 30.00 ± 8.51 c 26.67 ± 8.21 c 26.67 ± 8.21 c Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 100.00 ± 0.00 a 80.00 ± 7.43 bcd 66.67 ± 8.75 bcd 53.33 ± 9.26 bc 53.33 ± 9.26 ab 53.33 ± 9.26 ab Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 100.00 ± 0.00 a 70.00 ± 8.51 d 50.00 ± 9.28 d 33.33 ± 8.75 c 30.00 ± 8.51 bc 30.00 ± 8.51 bc DTcry Azygous 100.00 ± 0.00 a 96.67 ± 3.33 ab 86.67 ± 6.31 ab 80.00 ± 7.43 a 73.33 ± 8.21 a 73.33 ± 8.21 a Rjl trans DTcry-13 cryIAb 100.00 ± 0.00 a 73.33 ± 8.21 cd 50.00 ± 9.28 d 30.00 ± 8.51 c 20.00 ± 7.43 c 20.00 ± 7.43 c Rojolele 100.00 ± 0.00 a 100.00 ± 0.00 a 93.33 ± 4.63 a 83.33 ± 6.92 a 76.67 ± 7.85 a 76.67 ± 7.85 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. 121 Imago predator V. lineata yang muncul Persentase imago predator V. lineata jantan yang muncul pada semua padi Rojolele transgenik, kecuali pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0640. Sebaliknya persentase imago predator V. lineata betina yang muncul terlihat berbeda antar padi Rojolele transgenik yang diuji P=0.0105. Pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi imago predator V. lineata betina yang muncul terlihat nyata lebih rendah 10-13.33 dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele 40. Pada padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan persentase imago predator V. lineata betina yang muncul dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Tingkat kemunculan imago predator V. lineata betina adalah 26.67-43.33 Gambar 6.1. ab ab a ab ab b ab ab ab b ab a b b a a 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 Im ag o ya n g m un cul Rj l t ra ns 4.2.3-28- 15-2-7 F us i Rj l t ran s 4. 2. 4- 21- 8-16- 4 Fu si R jl t ra ns 3 R 9- 8-28- 26-2 mp i Rj l tr ans 3R7-8- 15-2- 7 m pi R jl tra ns T 9- 6.11- 420 cr yIA b D T c ry A zygous Rj l t ran s D tcr y- 13 cr yI A b R oj ol el e Perlakuan Betina Jantan Gambar 6.1 Persentase imago predator V. lineata yang muncul pada berbagai perlakuan 122 Berat imago predator V. lineata Semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata. Hal ini dapat terlihat pada berat total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001; P=0.0004; P=0.0002. Namun antar galur padi Rojolele transgenik tidak terlihat adanya perbedaan berat imago. Kisaran berat imago total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada padi Rojolele transgenik masing- masing adalah: 0.0018-0.0040 gram, 0.0002-0.0018 gram, dan 0.0009-0.0023 gram. Kisaran berat imago total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada galur DTcry Azygous dan padi bukan transgenik varietas Rojolele masing- masing adalah: 0.0066-0.0088 gram, 0.0014-0.0042 gram, dan 0.0046-0.0051 gram Gambar 6.2 dan 6.3. b b b b b a b a Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi 0.0000 0.0010 0.0020 0.0030 0.0040 0.0050 0.0060 0.0070 0.0080 0.0090 Ra ta -ra ta be ra t i m ago gra m Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Jantan dan betina Jenis kelamin Gambar 6.2 Rata-rata berat imago predator V. lineata total jantan dan betina yang muncul pada berbagai perlakuan 123 b b b b b b b a b b b b b a b a 0.0000 0.0010 0.0020 0.0030 0.0040 0.0050 0.0060 Ra ta -ra ta be ra t i m ago gra m Jantan Betina Jenis kelamin Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T 9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Gambar 6.3 Rata-rata berat imago predator V. lineata jantan dan betina yang muncul pada berbagai perlakuan Kemampuan hidup predator V. lineata Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan hidup predator V. lineata baik pada pradewasa maupun dewasa antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji Gambar 6.4. Pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi, kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi berpengaruh terhadap kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata. Pada padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya 124 perbedaan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Gambar 6.4. a a c ab bc a c a a a c ab bc a c a 10 20 30 40 50 60 70 80 K e m a m p ua n h idu p Pradewasa Dewasa Stadia perkembangan Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele Gambar 6.4 Persentase kemampuan hidup predator V. lineata pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian ini terlihat bahwa perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata berbeda antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata terlihat konsisten lebih rendah. Perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8- 15-2-7 mpi terlihat tidak konsisten. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata terlihat konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Sebaliknya padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata. 125 Berdasarkan hasil seperti tersebut diatas dapat dikatakan bahwa tidak semua padi Rojolele transgenik mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata. Selain itu pada padi Rojolele transgenik yang menunjukkan adanya pengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga pengaruh tersebut bukan disebabkan oleh toxin. Hal ini disebabkan adanya perbedaan spesifikasi kristal protein dari gen yang digunakan. Pada penelitian ini gen yang digunakan adalah gen cryIAb, fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB yang spesifik untuk lepidoptera, dan tidak spesifik untuk coleoptera Coccinellidae seperti V. lineata. Faktor utama yang menentukan kisaran inang kristal protein adalah perbedaan pH di midgut larva yang mempengaruhi proses kelarutan solubilization dan pengubahan kristal yang tidak aktif menjadi aktif, serta keberadaan lokasi penempelan binding site yang spesifik dari protoxin di dalam sistem pencernaan serangga Lereclus et al. 1993; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006. pH di midgut coleoptera coccinellidae adalah 6 pada larva dan 5.5 pada imago Walker et al. 1998, sementara pH di midgut lepidoptera adalah 8-10 Nation 2002. Enzim protease di midgut coleoptera terutama adalah cysteine dan aspartic protease, sementara pada lepidoptera adalah serine protease Evans 2002. Dengan kondisi midgut pada coleoptera Coccinellidae yang bersifat asam dan enzim protease yang berbeda maka protoxin tidak larut dan tidak berubah menjadi toxin aktif Manjunath 2005. Selain itu pada coleoptera Coccinellidae seperti V. lineata tidak ada lokasi penempelan yang spesifik receptor dari protoxin tersebut. Adanya pengaruh padi Rojolele transgenik terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, gen untuk protein B. thuringiensis dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman. Karena modifikasi ini mempengaruhi tingkat ekspresi B. thuringiensis dan cara pengiriman pada tanaman, maka ada potensi tanaman transgenik B. thuringiensis untuk mempengaruhi serangga non lepidoptera. Selain itu karena modifikasi protein ini, mungkin predator tidak mau makan pada pollen yang mengandung protein B. thuringiensis karena kecocokan pollen sebagai sumber makanan telah berubah 126 Pilcher et al. 1997. Alasan bahwa gen untuk protein B. thuringiensis dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman, karena jika urutan gen lengkap yang mengkode protoxin diklon dan disisipkan ke dalam tanaman maka aras ekspresi protoxin yang dihasilkan sangat rendah sekitar 0.0001 ngmg protein total sehingga menjadi tidak efektif dalam memberikan perlindungan terhadap tanaman. Oleh karena itu yang kemudian dilakukan adalah mengklon dan mengekspresikan sebagian gen protoxin yaitu hanya bagian ujung- N protein yang mengandung urutan toxin yang aktif. Molekul toxin yang dihasilkan di dalam tanaman transgenik dapat mencapai aras 0.01 protein total sehingga meningkatkan ketahanan terhadap serangga hama. Ekspresi protein toxin B. thuringiensis di dalam tanaman transgenik diketahui masih lebih rendah dibanding dengan aras ekspresi protein rekombinan yang lain. Hal ini diketahui disebabkan oleh 2 hal yaitu: 1 faktor penggunaan kodon yang berbeda antara bakteri dengan tanaman karena genom bakteri banyak mengandung nukleotida A+T sedangkan tanaman mempunyai kandungan G+C yang tinggi sehingga translasi mRNA menjadi tidak efisien, dan 2 kandungan A+T yang tinggi pada bakteri menghasilkan mRNA yang tidak lengkap sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi protein yang fungsional. Oleh karena itu kemudian dilakukan rekayasa terhadap urutan gen toxin Bt dengan cara membuat gen sintetik yang mengkode protein yang sama tetapi dengan pola penggunaan kodon yang sesuai untuk tanaman. Hasil ekspresi gen sintetik semacam ini dapat mencapai 0.3 protein total jika diekspresikan pada tanaman transgenik Yuwono 2006. Kedua, diduga terkait dengan hilangnya susunan makanan yang diperlukan di dalam pollen seperti asam amino. Menurut Geng et al. 2006 pollen mengandung nutrisi dengan berat molekul kecil meliputi asam amino, sementara nektar mengandung karbohidrat dengan konsentrasi tinggi yang dapat menyediakan energi. Pollen dan nektar dapat menyediakan diet yang komplit untuk keberhasilan pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi sebagian besar serangga. Ketiga, insersi gen baru ke dalam tanaman melalui rekayasa genetik dapat merubah kualitas nutrisi tanaman Dutton et al. 2002. Menurut O’Callaghan et al. 2005 dan Riudavets et al. 2006 menyatakan manipulasi genetik dapat 127 menyebabkan perubahan dalam karakteristik tanaman, seperti C:N rasio, kandungan lignin, kandungan nitrogen, dan kandungan karbohidrat. Kesimpulan 1. Ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji. 2. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten rendah. 3. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. 4. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. 5. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata. Daftar Pustaka Bahagiawati.. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84. Dutton A, H. Klein, J Romeis, F Bigler. 2002. Uptake of Bt-toxin by herbivores feeding on transgenic maize and consequences for the predator Chrysoperla carnea. Ecol Entomol 27:441-447. Dutton A, J Romeis, F Bigler. 2003. Assessing the risks of insect resistant transgenic plants on entomophagous arthropods: Bt-maize expressing cry1Ab as a case study. BioControl 48:611-636. Evans HF. 2002. Environmental impact of Bt exudates from roots of genetically modified plants [final report]. Forest Research Alice Holt Lodge Wrecclesham Farnham, Surrey GU104LH. pp 1-130. 128 Ferry N, EA Mulligan, MEN Majerus, AMR Gatehouse. 2007. Bitrophic and tritrophic effects of Bt Cry3A transgenic potato on beneficial, non target, beetles. Transgenic Res 16:795-812. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Geng JH, ZR Shen, K Song, L Zheng. 2006. Effect of pollen of regular cotton and transgenic Bt+CpTI cotton on the survival and reproduction of the parasitoid wasp Trichogramma chilonis Hymenoptera: Trichogrammatidae in the laboratory. Environ Entomol 356:1661-1668. Hilbeck A, M Baumgartner, PM Fried, F Bigler. 1998. Effects of transgenic Bacillus thuringiensis corn-fed prey on mortality and development time of immature Chrysoperla carnea Neuroptera: Chrysopidae. Environ Entomol 272:480-487. Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and Sons. Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. pp 156-159. Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits. http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt ext=true [5 Mei 2008]. Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785. Naranjo SE. 2005. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the abundance of nontarget arthropod natural enemies. Environ Entomol 345:1193-1210. Nation JL. 2002. Digestion in: Insect Physiology and Biochemistry. United States of Amerika: CRC Press LLC. pp 27-63. O’Callaghan M, TR Glare, EPJ Burgess, LA Malone. 2005. Effects of plants genetically modified for insect resistance on nontarget organisms. Annu Rev Entomol 50:271-292. Pilcher CD, JJ Obrycki, ME Rice, LC Lewis. 1997. Preimaginal development, survival, and field abundance of insect predators on transgenic Bacillus thuringiensis corn. Environ Entomol 262:446-454. 129 Riudavets J, R Gabarra, MJ Pons, J Messeguer. 2006. Effect of transgenic Bt rice on the survival of three nontarget stored product insect pests. Environ Entomol 355:1432-1438. SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc. Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP TM marker. Theor Appl Genet 100:118-126. Walker AJ et al. 1998. Characterisation of the midgut digestive proteinase activity of the two-spot ladybird Adalia bipunctata L and its sensitivity to proteinase inhibitors. Insect Biochem Molec Biol 283:173-180. Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 284 hal. BAB VII POPULASI SERANGGA NONTARGET PADA PERTANAMAN PADI TRANSGENIK Abstrak Kemajuan dalam bidang biologi molekuler dan biokimia pada dua dekade yang lalu telah memberikan peluang berkembangnya teknologi rekayasa genetika. Beberapa spesies tanaman, termasuk padi, telah dimodifikasi dengan metode rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen dari berbagai subspesies B. thuringiensis yang mengkode kristal protein cry δ-endotoxin. Protein cry ini efektif melindungi tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama. Namun dibalik efektifnya tanaman transgenik terhadap hama target, ada sejumlah pertanyaan mengenai ekologi dan lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tanaman transgenik, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap serangga nontarget. Untuk mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik, penelitian tahap lapangan terbatas dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metode yang digunakan pada penelitian ini belum bisa diambil kesimpulan mengenai pengaruh protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terhadap serangga hama nontarget dan musuh alami di lapangan. Kata kunci: padi transgenik, hama nontarget, musuh alami 131 Abstract The progress in plant molecular biology and biochemistry in the last two decades have allowed development of modern genetic engineering technology. Several crops, including rice crop, have been modified with genetic engineering methods to express genes from various subspecies of Bacillus thuringiensis Berliner Bt that encode crystalline cry proteins δ-endotoxin. These cry proteins confer effective protection to the crop plants from damage by certain phytophagous insect pests. However, there also are a number of ecological and environmental questions associated with use of transgenic crops, one of the most prominent being effects on nontarget insect. To study nontarget impact of transgenic Rojolele rice, a limited field test was conducted at Pusakanegara Research Station - Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from November 2007-April 2008. Randomize complete block design with 5 treatments and 5 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice T9- 6.11-420 line cryIAb by particle bombardment, Rojolele non insecticide, Rojolele with insecticide, Cilosari, and Ciherang varieties. The result showed that based on method in this research, effect of protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment on nontarget pests and natural enemies in the field can not be concluded. Key words: transgenic rice, nontarget pest, natural enemies Pendahuluan Kemajuan dalam bidang biologi molekuler dan biokimia pada dua dekade yang lalu telah memberikan peluang berkembangnya teknologi rekayasa genetika. Beberapa spesies tanaman, termasuk padi, telah dimodifikasi dengan metode rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen dari berbagai subspesies B. thuringiensis yang mengkode kristal protein cry δ-endotoxin. Protein cry ini efektif melindungi tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama Reed et al. 2001; Head et al. 2001. Namun dibalik efektifnya tanaman transgenik terhadap hama target, ada sejumlah pertanyaan mengenai ekologi dan lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tanaman transgenik, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap serangga nontarget Geng et al. 2006. Gen Bt yang diekspresikan pada tanaman pada umumnya spesifik digunakan untuk mengendalikan serangga hama target, tetapi pada tanaman banyak juga serangga hama lain yang bukan target Bt toxin. Serangga hama nontarget ini makan pada tanaman yang sama dan meskipun mereka tidak dipengaruhi oleh Bt toxin-nya sendiri, mereka dapat sebagai perantara terpaparnya serangga karnivora musuh alami terhadap toxin Ferry et al. 2007. Serangga 132 hama nontarget dan musuh alami mungkin dipengaruhi secara langsung oleh pengaruh lethal dan sublethal dari tanaman Bt, sementara musuh alami mungkin juga dipengaruhi secara tidak langsung melalui perantaraan inang atau mangsa Bokonon-Ganta et al. 2003 . Sejumlah studi lapangan telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh tanaman Bt terhadap serangga nontarget terutama pada tanaman kapas, jagung, dan kentang. Naranjo 2005 melaporkan dalam studi jangka panjang, pengaruh negatif kapas Bt terhadap arthropoda nontarget terutama musuh alami adalah kecil dan adanya penurunan sedikit dalam kerapatan beberapa taxa predator menunjukkan tidak berkaitan dengan perubahan yang berarti pada fungsi komunitas musuh alami. Head et al. 2005 melaporkan kapas Bt tidak berpengaruh buruk terhadap populasi arthropoda nontarget. Dively 2005 melaporkan biodiversitas dan tingkat komunitas tidak dipengaruhi oleh ekspresi VIP3A dan protein cryIAb. Kerapatan beberapa taxa nontarget yang terpapar pada jagung hibrida Bt menunjukkan tidak berbeda dibandingkan dengan kontrol isogenik. Daly dan Buntin 2005 dan Pilcher et al. 2005 melaporkan jagung transgenik Bt tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap populasi fitofag nontarget atau arthropoda predator pada agroekosistem jagung. Bokonon-Ganta et al. 2003 melaporkan Spodoptera frugiperda J.E. Smith Lepidoptera: Noctuidae yaitu hama nontarget dipengaruhi oleh kultivar jagung Bt. Reed et al. 2001 melaporkan kentang transgenik Bt tidak mempengaruhi kelimpahan predator atau hama sekunder kentang. Tanaman padi Bt belum dilepas ke petani, tetapi pengujian tahap lapangan telah dilakukan di Cina sejak tahun 1998. Namun demikian masih sedikit publikasi hasil penelitian mengenai pengaruh padi Bt terhadap nontarget Chen et al. 2006. Chen et al. 2006 dan Bernal et al. 2002 melaporkan padi Bt tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap nontarget wereng dan musuh alaminya, khususnya predator C. lividipennis. Sebaliknya Bai et al. 2006 melaporkan serangga nontarget N. lugens dan predatornya Propylea japonica Thunberg Coleoptera: Coccinellidae terpapar toxin cryIAb dari padi transgenik cryIAb, tetapi perkembangan predatornya tidak dipengaruhi oleh toxin melalui interaksi tritropik. 133 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi transgenik. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Bahan dan Alat Materi penelitian yang digunakan terdiri dari tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan dan tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris- HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 o C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20 o C. 134 Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl 2 , 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H 2 O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 o C 3 menit 1 siklus, 95 o C 1 menit, 55 o C 1 menit, 72 o C 1 menit 40 siklus; 72 o C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Bibit galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan berumur 36 hari setelah sebar HSS, varietas Rojolele berumur 27 HSS, dan Cilosari serta Ciherang berumur 13 HSS ditanam pada petak percobaan berukuran 9 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan jarak antar plot 0.5 m. Pada saat tanam, dilakukan pemupukan dengan 40 kg Nha dan 40 kg P 2 O 5 ha, pada 25 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha, dan pada 50 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha. Plot perlakuan varietas Rojolele yang diaplikasi insektisida diberi insektisida berbahan aktif karbofuran dan dimehipo. Insektisida berbahan aktif karbofuran 135 diaplikasikan pada periode pertumbuhan vegetatif dengan dosis 20 kgha dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali. Insektisida berbahan aktif dimehipo diaplikasikan pada saat tanaman padi mencapai stadium generatif dengan dosis 2 lha konsentrasi 4 ccl dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali sampai 10 hari menjelang panen. Di sekeliling percobaan ditanam varietas Rojolele selebar 3 m sebagai isolasi terhadap varietas yang ditanam di sekitarnya. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam sampai 10 hari menjelang panen. Variabel yang diamati meliputi populasi serangga hama nontarget dan musuh alami yaitu predator pada 72 rumpun sampel secara acak untuk setiap plot perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis repeated measure proc mixed dan analisis ragam ANOVA dengan menggunakan program SAS. Perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji Tukey dan dengan uji wilayah berganda Duncan taraf nyata 5. Hasil Hama Nontarget Pada saat penelitian terlihat bahwa populasi serangga hama target S. incertulas tinggi pada 2 dan 4 minggu setelah tanam dan sangat rendah pada pengamatan berikutnya sampai menjelang panen. Tidak berbeda dengan populasi serangga hama target, serangga hama nontarget dan musuh alami populasinya juga rendah Tabel 7.1 dan 7.2. Serangga hama nontarget yang ditemukan pada saat penelitian meliputi hama putih palsu Cnaphalocrocis medinalis Guenee Lepidoptera: Pyralidae, ulat grayak Mythimna separata Walker Lepidoptera: Noctuidae, ganjur Orseolia oryzae Wood-Mason Diptera: Cecidomyiidae, wereng hijau Nephotettix virescens Distant Hemiptera: Cicadellidae, kepinding tanah Scotinophara coarctata Fabricus Hemiptera: Pentatomidae, dan walang sangit Leptocorisa oratorius Fabricius Hemiptera: Alydidae dengan populasi yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan tidak terlihat adanya perbedaan antar perlakuan terhadap serangga hama nontarget tersebut Tabel 7.1. 136 Serangga hama nontarget yang populasinya cukup tinggi adalah hama wereng punggung putih Sogatella furcifera Horv. Hemiptera: Delphacidae dan wereng coklat Nilaparvata lugens Stal Hemiptera: Delphacidae. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa populasi S. furcifera dan N. lugens terlihat nyata dipengaruhi oleh varietas padi P.0001; P.0001, waktu pengamatan P.0001; P.0001, dan interaksi antara varietas padi dan waktu pengamatan P.0001; P.0001 Tabel 7.1. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, populasi S. furcifera terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, namun tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele dengan insektisida dan Cilosari. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat menekan populasi S. furcifera di lapangan. Pada varietas Ciherang, populasi S. furcifera terlihat nyata paling rendah dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Populasi S. furcifera tertinggi terlihat pada varietas Rojolele tanpa insektisida pada pengamatan 10 minggu setelah tanam Tabel 7.1 dan Gambar 7.1a. Populasi N. lugens pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Ciherang. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi N. lugens di lapangan. Pada varietas Cilosari, populasi N. lugens terlihat nyata paling tinggi dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Populasi N. lugens tertinggi terlihat pada varietas Cilosari pada pengamatan 12 minggu setelah tanam Tabel 7.1 dan Gambar 7.1b. 137 Tabel 7.1 Rata-rata jumlah individu hama nontarget pada berbagai varietas padi dan waktu pengamatan Perlakuan Rata-rata jumlah individu hama nontarget72 rumpun C. medinalis ± SE M.separata ± SE O. oryzae ± SE S. furcifera ± SE N. lugens ± SE N. virescens± SE S. coarctata ± SE L. oratorius ± SE Varietas padi - Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.89 ± 0.15 a 0.20 ± 0.19 b 0.05 ± 0.07 a 69.86 ± 4.54 b 19.06 ± 2.61 bc 0.30 ± 0.20 a 2.56 ± 0.61 ab 1.67 ± 0.44 a - Rojolele tanpa insektisida 0.59 ± 0.15 a 0.40 ± 0.19 b 0.09 ± 0.07 a 88.29 ± 4.54 a 18.57 ± 2.61 bc 0.20 ± 0.20 a 1.16 ± 0.61 ab 0.93 ± 0.44 a - Rojolele dengan insektisida 0.89 ± 0.15 a 0.55 ± 0.19 b 0.03 ± 0.07 a 74.46 ± 4.54 ab 21.74 ± 2.61 b 0.30 ± 0.20 a 0.92 ± 0.61 b 0.53 ± 0.44 a - Cilosari 0.56 ± 0.15 a 0.80 ± 0.19 ab 0.06 ± 0.07 a 72.49 ± 4.54 ab 39.89 ± 2.61 a 0.30 ± 0.20 a 3.32 ± 0.61 a 1.40 ± 0.44 a - Ciherang 0.47 ± 0.15 a 1.35 ± 0.19 a 0.14 ± 0.07 a 25.03 ± 4.54 c 10.63 ± 2.61 c 0.10 ± 0.20 a 2.24 ± 0.61 ab 1.33 ± 0.44 a Waktu pengamatan MST - 2 0.66 ± 0.12 a 0.00 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a 2.20 ± 5.37 c 0.24 ± 3.08 c 0.00 ± 0.12 a 0.04 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b - 4 0.66 ± 0.12 a 0.00 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a 2.20 ± 5.37 c 0.24 ± 3.08 c 0.00 ± 0.12 a 0.04 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b - 6 0.00 ± 0.12 a 0.00 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a 102.24 ± 5.37 b 10.48 ± 3.08 bc 0.00 ± 0.12 a 0.00 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b - 8 0.00 ± 0.12 a 0.08 ± 0.17 b 0.07 ± 0.03 a 98.08 ± 5.37 b 10.68 ± 3.08 bc 0.00 ± 0.12 a 0.00 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b - 10 0.73 ± 0.12 a 0.16 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a 246.48 ± 5.37 a 23.36 ± 3.08 b 0.32 ± 0.12 a 1.20 ± 0.61 b 0.76 ± 0.34 b - 12 0.00 ± 0.12 a 1.44 ± 0.17 a 0.00 ± 0.03 a 9.52 ± 5.37 c 104.80 ± 3.08 a 0.00 ± 0.12 a 0.84 ± 0.61 b 0.68 ± 0.34 b - 14 0.00 ± 0.12 a 0.96 ± 0.17 a 0.00 ± 0.03 a 1.44 ± 5.37 c 4.04 ± 3.08 c 0.16 ± 0.12 a 8.08 ± 0.61 a 2.08 ± 0.34 a Varietas padiMST 0.5997 0.0038 - .0001 .0001 0.6856 0.0121 0.0005 Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf nyata 5. MST-Minggu setelah tanam 138 50 100 150 200 250 300 350 400 2 4 6 8 10 12 14 Waktu pengamatan MST Ra ta -ra ta j u m la h i ndi vi du S . furc if er a 72 rum pun Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida Cilosari Ciherang a 50 100 150 200 250 2 4 6 8 10 12 14 Waktu pengamatan MST R ata- rata ju mlah i n d iv id u N . lu g en s7 2 r u mp u n Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida Cilosari Ciherang b Gambar 7.1 Populasi serangga hama nontarget pada berbagai varietas padi dan waktu pengamatan: a S. furcifera, b N. lugens. MST-Minggu setelah tanam 139 Musuh Alami Musuh alami yang ditemukan pada saat penelitian dari kelompok predator adalah laba-laba Lycosa pseudoannulata Boesenberg dan StrandAraneae: Lycosidae, Paederus fuscipes Curt. Coleoptera: Staphylinidae, Verania lineata Thurnberg Coleoptera: Coccinellidae, Cyrtorhinus lividipennis Reuter Hemiptera: Miridae dan Ophionea nigrofasciata Schmidt-Goebel Coleoptera: Carabidae Tabel 7.2. Predator yang populasinya cukup tinggi adalah L. pseudoannulata, P. fuscipes, V. lineata, dan C. lividipennis. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa populasi P. fuscipes, V. lineata, dan C. lividipennis terlihat nyata dipengaruhi oleh varietas padi P=0.0012; P=0.0043; P.0001, waktu pengamatan P.0001; P.0001; P.0001, dan interaksi antara varietas padi dan waktu pengamatan P=0.0015; P.0001; P.0001. Untuk L. pseudoannulata hanya terlihat nyata dipengaruhi oleh waktu pengamatan P.0001, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh varietas padi P=0.1795 dan interaksi antara varietas padi dan waktu pengamatan P=0.9256 Tabel 7.2. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, populasi P. fuscipes terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari. Sebaliknya pada varietas Ciherang, populasi P. fuscipes terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi P. fuscipes, namun sebaliknya untuk varietas Ciherang Tabel 7.2. Populasi V. lineata pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi V. lineata. Populasi V. lineata tertinggi terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan pada pengamatan 14 minggu setelah tanam Tabel 7.2. 140 Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, populasi C. lividipennis terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari. Sebaliknya pada varietas Ciherang, populasi C. lividipennis terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi C. lividipennis, namun sebaliknya untuk varietas Ciherang. Populasi C. lividipennis tertinggi terlihat pada varietas Cilosari pada pengamatan 12 minggu setelah tanam Tabel 7.2. Melihat hasil analisis berdasarkan jumlah individu dari masing-masing spesies seperti tersebut diatas dengan kondisi populasi serangga yang rendah, maka hasil penelitian menjadi tidak konklusif karena tidak terlihat adanya perbedaan antar perlakuan. Ada beberapa prinsip dasar untuk melihat perbedaan antar perlakuan yaitu jumlah populasi harus tinggi dan adanya kepastian bahwa populasi yang dijumpai tersebut benar-benar karena dampak perlakuan, artinya ada isolasi. Oleh karena itu dicoba dilakukan analisis dengan mengelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu sebagai kelompok hama nontarget dan musuh alami. Kelompok Hama Nontarget Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kelompok serangga hama nontarget pada 2 dan 4 minggu setelah tanam MST tidak terlihat adanya perbedaan antar perlakuan P=0.1354; P= 0.7016 Gambar 7.2. Pada 6, 8, dan 10 MST, populasi kelompok serangga hama nontarget pada varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari P=0.0005; P= .0001; P=.0001. Populasi kelompok serangga hama nontarget pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari terlihat tidak berbeda Gambar 7.2. 141 Tabel 7.2 Rata-rata jumlah individu musuh alami pada berbagai varietas padi dan waktu pengamatan Perlakuan Rata-rata jumlah individu musuh alami72 rumpun L. pseudoannulata ± SE P. fuscipes ± SE V. lineata ± SE

C. lividipennis ± SE O. nigrofasciata ± SE Varietas padi