33 kandungan nitrogen tinggi dibandingkan dengan tanaman yang rendah nitrogen.
Tanaman yang rendah kualitas nutrisinya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan larva dan perkembangan serangga herbivor, menyajikan suatu
paradoks bagi pengamat karena serangga perlu makan yang banyak untuk mencapai ganti kulit menuju dewasa, hal ini penyebab lebih banyak kerusakan
pada tanaman inang dibandingkan dengan mekanisme ketahanan lain seperti antibiosis. Tetapi, perkembangan larva yang panjang yang berasosiasi dengan
kualitas tanaman inang yang rendah mungkin meningkatkan kesempatan eksposur pada predator dan patogen. Ketika kumbang chrysomelid Galerucella lineola
dipelihara pada dua spesies tanaman inang, satu cocok untuk perkembangan larva Salix viminalis dan satu tidak cocok Salix dasyclados, pertumbuhan dan
kemampuan hidup larva lebih tinggi pada Salix viminalis tetapi laju pemangsaan setiap harinya lebih tinggi pada S. dasyclados.
C. Semiokimia yang dihasilkan herbivor dan interaksi tritropik
Herbivor secara nyata terkait dalam interaksi tritropik, dimana disatu sisi berinteraksi dengan tanaman dan satu sisi lain dengan musuh alaminya, maka,
dalam dua cara mereka harus mengatasi pertahanan intrinsik tanaman dan serangan musuh alami. Jadi herbivor menghasilkan semiokimia lain untuk
mengatasi pertahanan tanaman atau untuk menolak musuh alami. Semiokimia juga memainkan peranan penting dalam interaksi tritropik. Contoh dari synomon
yang menjadi perantara interaksi herbivor-predator adalah larva kupu-kupu Lycaenid dan aphid yang menghasilkan synomon embun madu yang kaya gula
yang menarik semut untuk perlindungan melawan musuh alami. Suatu asosiasi mutualisme berkembang antara semut dan aphid, semut melindungi aphid dan
larva kupu-kupu dari musuh alami lain. Sebaliknya aphid menyediakan makanan untuk semut dalam bentuk embun madu.
Herbivor juga menghasilkan beberapa kairomon yang terdeteksi oleh musuh alaminya. Kairomon ini mungkin menarik parasitoid dalam bentuk bau
tubuh, sex pheromone, aggregation pheromone, hasil ekskresi, sisik tubuh, dan lain-lain. Sebagai contoh bee wolf, Philanthus triangulum, mendeteksi bee hanya
dengan menggunakan bau tubuh bee. Predator biasanya menggunakan feromon mangsa untuk mendeteksinya pada rayap dan Megaponera foeteus. Kairomon
34 yang digunakan oleh serangga untuk menemukan makanannya diklasifikasikan
sebagai foraging pheromone. Tanaman juga merespon kairomon yang dilepas oleh herbivor. Pucuk, buah, bunga, dan daun sering digugurkan oleh tanaman
terhadap deteksi herbivor. Pengguguran buah dan meningkatkan laju pertumbuhan adalah pengaruh lain yang dihasilkan karena interaksi serangga-tanaman.
Herbivor menghasilkan allomon juga penting dalam interaksi tritropik. Allomon mungkin berperan untuk melawan tanaman lain atau musuh alami, contoh
serangga pembuat puru menghasilkan kimia tertentu yang menyebabkan bentuk puru, menyediakan habitat yang cocok untuk herbivor. Herbivor mengambil
senyawa dari tanaman inangnya dan menggunakan sebagai allomon untuk melawan musuh alami. Tomatin, suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman
tomat diambil oleh corn earnworm, Heliothis zea. Alkaloid ini tidak membahayakan earworm tetapi menghasilkan pengaruh yang buruk terhadap
parasitoid, Hyposter exigua, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan hidup, lama hidup dan lambatnya pertumbuhan larva parasitoid di dalam tubuh inang.
Sirkulasi toxin pada tingkat tropik ketiga adalah suatu faktor yang jelas dalam menentukan fitnes parasitoid. Kemampuan hidup tabuhan parasit dari Drosophila
melanogaster tergantung pada kemampuannya untuk bertahan hidup pada konsentrasi etanol yang tinggi di dalam tubuh inang. Hal yang sama, nicotin di
dalam hornworm mempengaruhi kemampuan hidup Appenteles spp Ahmad et al. 2004.
D. Semiokimia yang dilepas predator dan interaksi tritropik Pada interaksi tritropik semiokimia yang dilepas oleh musuh alami tidak
diabaikan karena ini juga merubah perilaku atau fisiologi tanaman atau herbivor. Beberapa predator melepas synomon yang diambil dari tanaman, ketika predator
atau parasitoid mendapatkan makanan dari tanaman. Tanaman merespon synomon yang dihasilkan oleh predator. Sebagai contoh, tanaman Piper cenocladum,
menghasilkan makanan dari tubuhnya hanya ketika dia mendeteksi keberadaan spesies semut, yaitu Pheidole bicorins. Sebaliknya beberapa kairomon juga
dihasilkan oleh musuh alami, yaitu kairomon penghindar musuh. Ketika herbivor mendeteksi kairomon ini, mereka menghindar dari habitat untuk menghindari
serangan predator. Predator mungkin juga menghasilkan allomon untuk menarik
35 mangsanya, atau untuk penyamaran identitas yang sebenarnya. Pada kasus ini
predator memperoleh beberapa kimia dari mangsanya dan menyamarkan bau tubuhnya untuk mangsanya. Beberapa laba-laba menghasilkan allomon yang sama
dengan sex pheromone dan menarik mangsa jantan kearah jaring. Meskipun predator menduduki tingkat tropik ketiga, dia juga mempunyai tingkat tropik
keempat diatasnya. Maka dia juga menghasilkan beberapa allomon untuk menghindar serangan dari predator atau hiperparasit-nya. Beberapa serangga
seperti kumbang ladybird, stink bug, semut dan kumbang tanah mensintesis senyawa pertahanan, sementara beberapa predator mengambil toxin dari
mangsanya dan menggunakannya untuk melawan predatornya sendiri Ahmad et
al. 2004.
Pengaruh Tanaman Transgenik Tahan Hama Terhadap Musuh Alami
Anggapan bahwa tanaman transgenik mempunyai potensi mempengaruhi keseimbangan alam, sedangkan tanaman hasil pemuliaan konvensional tidak
berdampak negatif tidak selalu benar. Secara keseluruhan, tanaman transgenik seperti halnya dengan tanaman konvensional mempunyai potensi mempengaruhi
populasi musuh alami. Namun demikian, pengaruh ini tidak dapat diambil secara umum digeneralisasikan. Pengaruh ini sangat spesifik, tergantung jenis gen
tahan yang diintroduksikan ke tanaman transgenik, jenis hama, dan jenis predator atau parasitoidnya. Pengaruh negatif dari varietas tahan terhadap larva parasitoid
juga ditemukan pada parasitoid yang memarasit hama yang hidup pada tanaman tahan hasil pemuliaan konvensional. Misalnya
α-tomatine dan nicotine menunjukkan pengaruh negatif terhadap daya bertahan hidup parasitoid pada
hamanya Bahagiawati 2005. Menurut
Losey et al. 2004 tanaman transgenik mempengaruhi musuh
alami melalui tiga cara yaitu: 1 langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; 2 makan pada inang yang makan pada tanaman
transgenik; dan 3 melalui pengurangan populasi inang. Menurut Dutton et al. 2003 dan Fontes et al. 2002, pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh
alami dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung disebabkan oleh pengaruh toxin secara langsung terhadap musuh alami.
36 Pengaruh tidak langsung terjadi karena reduksi dari jumlah dan kualitas inang atau
mangsa dan secara tidak sengaja introgresi gen menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanaman, sehingga tanaman tidak menarik untuk dikunjungi musuh
alami. Schuler 2000 menyatakan pengaruh tanaman transgenik tahan hama
terhadap musuh alami akan tergantung pada faktor tingkat ketahanan tanaman, spesifikasi jaringan dari ekspresi transgen, spesifikasi dari produk transgen,
keberadaan tanaman yang rentan, spesies tanaman, lokasi geografi, dan pengelolaan tanaman secara menyeluruh.
Tingkat ketahanan tanaman Setiap tanaman transgenik cenderung mempengaruhi herbivor hanya
dalam spektrum yang terbatas, kadang-kadang spesies hama targetnya tunggal. Tingkat ketahanan tanaman terhadap hama target tergantung pada tingkat ekspresi
dari transgen, sifat toksisitas dari protein yang disandi oleh transgen, dan kerentanan serangga hama target. Contoh untuk sistem hama-tanaman yang
mempunyai keefektifan tinggi adalah jagung Bt dan european borer, kentang Bt dan colorado Leptinotarsa decemlineata, dan oilseed rape Bt dan diamondback
moth Plutella xylostella. Mortalitas hama hingga 100 teramati dengan sistem ini. Mortalitas yang tinggi akan menyebabkan a ketersediaan inang menipis
untuk parasitoid spesifik dari hama target, b pengurangan mangsa untuk musuh alami generalis.
Promoter dan ekspresi transgen Eksposur nontarget terhadap produk transgenik akan dipengaruhi oleh
lokasi dimana di dalam tanaman transgen tersebut diekspresikan. Jaringan yang spesifik dan juga waktu untuk ekspresi sebagian besar ditentukan oleh promoter
yang digunakan untuk menyetir transgen. Promoter constitutive telah digunakan pada semua tanaman Bt komersial dimana ekspresinya terus menerus sepanjang
kehidupan tanaman. Jagung Bt Event 176 yang dikembangkan oleh Novartis telah ditransformasi dengan menggunakan promoter green tissue-specific dan
promoter pollen. Yang lainnya mengekspresikan transgen pada beberapa jaringan tanaman dibawah kendali promoter CaMV 35S, tetapi tingkat ekspresinya akan
37 bervariasi dari jaringan ke jaringan, dengan umur tanaman dan antara kejadian
transformasi. Spesifikasi dari produk transgen
Penelitian menunjukkan
bahwa ekspresi protein Bt pada tanaman transgenik komersial secara eksklusif spesifik terhadap serangga lepidoptera
protein Bt cryIAb dan cryIAc pada jagung Bt dan kapas Bt atau serangga coleoptera cry3A pada kentang Bt. Berdasarkan informasi, hanya pengecualian
diketahui predator Chrysoperla carnea yang memperlihatkan rentan terhadap dua toksin Bt spesifik lepidoptera.
Studi laboratorium yang dilakukan oleh Hilbeck et al. 1998 mendemonstrasikan kemampuan hidup larva C. carnea berkurang ketika mereka
diberi makan larva lepidoptera O. nubilalis dan S. littoralis yang dipelihara pada makanan yang mengandung toxin Bt atau pada daun jagung Bt. Kemampuan
hidup juga berkurang ketika larva C. carnea diberi makan toxin Bt secara langsung pada makanan buatan. Sebaliknya, tidak ada pengaruh terhadap C.
carnea yang teramati ketika larva diberi makan aphid yang dipelihara pada jagung Bt di laboratorium dan studi lapang sejauh ini tidak melaporkan banyak
pengurangan populasi C. carnea pada tanaman Bt dibanding tanaman non Bt. Pada jagung, C. carnea makan pada beberapa spesies mangsa, khususnya aphid
dan thrip, dan hanya kadang-kadang cornborer. C. carnea mempunyai sedikit kesempatan untuk memangsa cornborer, seperti O. nubilalis, karena larva muda
cornborer menggerek masuk ke tongkol jagung dimana mereka tidak terekspos predator.
Keberadaan tanaman yang rentan Keberadaan tanaman yang mendukung inang alternatif untuk musuh alami
secara kuat akan mempengaruhi pengaruh tanaman transgenik terhadap populasi musuh alami spesialis seperti parasitoid. Jika inang alternatif yang cocok untuk
suatu parasitoid ada dekat tanaman lain atau pada tanaman pinggiran di lapangan dan memagari, populasi musuh alami ini akan kurang tereduksi. Penambahan
sumber atau inang potensial yang dikenal dengan daerah “refugia”
38 direkomendasikan untuk memperlambat perkembangan ketahanan Bt pada
populasi target. Refugia adalah daerah dari tanaman inang yang rentan di sekitar atau di
dalam tanaman Bt. Hama yang tahan Bt yang mungkin dapat bertahan hidup pada tanaman Bt selanjutnya akan kawin dengan hama yang rentan dari refugia, jadi
mencegah meningkatnya populasi hama tahan yang homozigot. Untuk jagung Bt di USA telah direkomendasikan bahwa daerah refugia paling sedikit 30 dari
daerah jagung. Daerah refugia dapat juga dikelola untuk memelihara dan menambah
populasi musuh alami pada tanaman Bt. Pertama, musuh alami mungkin penting untuk mengendalikan hama nontarget pada tanaman Bt. Kedua, musuh alami
mempunyai potensi untuk memperlambat meningkatnya populasi tahan karena studi baru-baru ini telah menunjukkan bahwa parasitoid sangat tertarik pada hama
yang tahan yang makan pada tanaman Bt, karena hama dapat memberikan inang yang baik untuk parasitoid.
Spesies tanaman, lokasi geografi, dan pengelolaan tanaman
Pengaruh tanaman transgenik terhadap arthropoda nontarget akan sangat tergantung pada spesies yang dibicarakan dan lokasi geografi dimana tanaman
transgenik ditanam. Selain itu, perbedaan hama dan spesies nontarget terjadi pada bagian dunia yang berbeda, jadi hasil penilaian resiko yang dihasilkan pada satu
negara tidak perlu dipakai pada daerah geografi lain. Keputusan pengelolaan tanaman seperti penambahan aplikasi insektisida,
pemeliharaan border dan tanaman liar di pinggir lapangan semuanya memainkan peranan penting dalam bagaimana serangga nontarget akan tertarik pada tanaman
transgenik. Peningkatan pengetahuan ekologi dan perilaku musuh alami harus digunakan untuk meminimalisasi beberapa pengaruh negatif tanaman transgenik
dan untuk meningkatkan peran musuh alami dalam sistem IPM termasuk tanaman transgenik.
Dari beberapa hasil studi baik skala laboratorium maupun lapangan, tanaman transgenik mempunyai potensi mempengaruhi keberadaan dan fungsi
musuh alami. Pengaruhnya dapat bersifat positif, negatif atau netral, tergantung
39 jenis toxin yang diekspresikan oleh gen yang terdapat pada tanaman transgenik
tersebut, jenis hama, dan jenis predator serta parasitoid pada habitat tanaman tahan tersebut. Rangkuman pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap
musuh alaminya dapat dilihat pada Tabel 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5, dan 2.6.
40 Tabel 2.1 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami
Spesies Lokasi
studi Pengaruh
Hasil perbandingan antara jagung transgenik dan non
transgenik Referensi
Serangga Predator Neuroptera: Chrysopidae
Chrysoperla carnea Stephens
Lapangan 0
Jumlah imago di lapangan transgenik
Pilcher 1999 Lab
Perkembangan dan kemampuan hidup larva pada pollen transgenik
Pilcher et al. 1997
Lab -
Menurunkan kemampuan hidup larva pada pollen transgenik atau
mangsa yang diekspos pada Bt toxin
Hilbeck et al. 1999
Lab
Perkembangan dan kemampuan hidup larva pada mangsa aphid
yang dipelihara pada jagung Bt
Lozzia et al. 1998
Coleoptera: Coccinellidae
Coleomegilla maculata De Geer
Lapangan 0
Jumlah imago dan larva
Orr Landis 1997
Lapangan 0,
+
Meningkatkan jumlah imago
Pilcher 1999 Lab
Kemampuan hidup dan per- kembangan larva pada pollen
Pilcher et al. 1997
Cycloneda munda Say Lapangan
Jumlah imago
Pilcher 1999 Hippodamia convergens
Guerin-Meneville Lapangan 0
Jumlah imago
Pilcher 1999
Hemiptera: Anthocoridae
Orius insidiosus Say Lapangan
Jumlah imago dan nimfa
Orr Landis 1997
Lapangan -,
+
Jumlah imago
Pilcher 1999 Lab
Perkembangan dan kemampuan hidup nimfa pada pollen
Pilcher et al. 1997
Orius majusculus Reuter Lab
Perkembangan dan kemampuan hidup nimfa pada mangsa trips
yang dipelihara pada jagung Bt
Zwahlen et al. 2000
Serangga Parasitoid Hymenoptera: Braconidae
Macrocentrus cingulum M. grandii Brischke
Lapangan -
Mengurangi imago sekitar 30 sampai 60 di lapangan transgenik
Pilcher 1999 Lapangan
Parasitisme inang larva pada tanaman non transgenik di dalam
plot transgenik
Orr Landis 1997
Hymenoptera: Ichneumonidae
Erioborus terebrans Gravenn horst
Lapangan 0
Parasitisme inang larva pada tanaman non transgenik di dalam
plot transgenik
Pilcher 1999 Sumber: Losey et al. 2004
Keterangan: - = negatif; + = positif; 0 = tidak ada pengaruh
41 Tabel 2.2 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami
Spesies Lokasi
studi Pengaruh
Hasil perbandingan Referensi
Serangga Predator Neuroptera: Chrysopidae
Chrysoperla carnea Stephens Lab
Perkembangan, kemampuan hidup, dan
berat predator dengan mangsa
Tetranychus urticae dan
Rhopalosiphum padi Dutton et al.
2002
- Meningkatkan
mortalitas dan menghambat
perkembangan predator dengan
mangsa
Spodoptera litura yang dipelihara
pada jagung Bt Dutton et al.
2002
Coleoptera: Coccinellidae
Coleomegilla maculata De Geer
Lapangan 0 Kelimpahan telur,
larva, pupa, dan imago kumbang
McManus et al. 2005
Propylea japonica Thunberg Lab
Perkembangan Bai
et al. 2006
Arthropoda lain:
Arthropoda tanah Lapangan
Jumlah arthropoda pada permukaan dan
bawah tanah Ahmad et al.
2005
Predator heteroptera fitofag Lab
Lama hidup Armer et al.
2000 Predator berguna
Lapangan Kelimpahan
Reed et al.
2001 Arthropoda predator
Lapangan -
Jangka panjang: kapas Bt pengaruh negatifnya
insektisida berspektrum luas
Naranjo 2005a
Predator pada tanaman kapas Lapangan
Jangka panjang terhadap kerapatan
predator Naranjo
2005b
Arthropoda Lapangan Populasi
arthropoda Head
et al. 2005
Predator Lapangan +
Laju predasi lebih tinggi
Head et al.
2005 Arthropoda Lapangan
Keanekaragaman dan respon tingkat
komunitas Dively 2005
Keterangan: - = negatif; + = positif; 0 = tidak ada pengaruh
42 Tabel 2.3 Pengaruh tanaman transgenik tahan hama terhadap musuh alami
Musuh alami Inangsumber
makananekspresi protein
Lokasi studi
Parameter biologi dan hasil
Referensi
Coleoptera Carabidae
Lebia grandis Hentz Larvakentang
Bt cry3A
L Konsumsi mangsa
NA Riddick
Barbosa 2000 Fauna Carabidae
Jagung Bt [cryIAb] F
Keragaman NA Lozzia 1999
Kerapatan NA
Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan lapangan tanpa
disemprot BrazilCTNBio
1999a Kerapatan =
lapangan disemprot
Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan tanpa
disemprot BrazilCTNBio
1999b
Coccinellidae
Hippodamia convergens Guerin-Meneville
Aphidkentang Bt
cry3A L
Perkembangan NA
Dogan et al.
1996 Kemampuan hidup
NA Reproduksi
NA Konsumsi mangsa
NA Jagung
Bt [cryIAb] F Kerapatan
NA Pilcher et al.
1997 Coleomegilla maculata
De Geer Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan NA
Pilcher et al. 1997
Pollen jagung Bt [cryIAb]
L Perkembangan
NA Pilcher et al.
1997 Survivorship
NA Coccinella septempunctata
L. Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan tidak
disemprot Bourguet et al.
2002
Adalia bipunctata L. Aphidskentang GNA
L Fekunditas A
Birch et al.
1999 Laju kemunculan
A Lama hidup betina
A Fauna Coccinellidae
Jagung Bt [cryIAb] F Kerapatan =
lapangan tidak disemprot
BrazilCTNBio 1999b
43
Tabel 2.4 Lanjutan
Musuh alami Inangsumber
makananekspresi protein
Lokasi studi
Parameter biologi dan hasil
Referensi
Dermaptera Forficulidae
Doru luteips Scudder Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan lapangan yang
disemprot BrazilCTNBio
1999a Kerapatan
lapangan yang tidak disemprot
Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan yang
tidak disemprot BrazilCTNBio
1999b
Diptera Syrphidae
Syrphus corollae Meigen Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan yang
tidak disemprot Bourguet et al.
2002
Hemiptera Anthocoridae
Orius majusculus Reuter Thrips Jagung Bt
[cryIAb] L
Perkembangan NA
Zwahlen et al. 2000
Survivorship NA
O. tristicolor White Daun kentang Bt cry
IIIA L
Lama hidup NA Armer
et al. 2000
O. insidiosus Say Polen jagung Bt
[cryIAb] L
Perkembangan NA
Pilcher et al. 1997
Survivorship NA
Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan yang
tidak disemprot Bourguet et al.
2002 Jagung
Bt [cryIAb] F Kerapatan
NA Pilcher et al.
1997
Lygaeidae
Geocoris spp. Daun kentang Bt cry
IIIA L
Lama hidup NA Armer
et al. 2000
Miridae
Lygus hesperus Knight Daun kentang Bt cry
IIIA L
Lama hidup NA Armer
et al. 2000
Nabidae
Nabis spp. Daun kentang Bt cry
IIIA L
Lama hidup NA Armer
et al. 2000
Fauna predator Hemiptera Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan = lapangan yang
tidak disemprot BrazilCTNBio
1999b
44
Tabel 2.5 Lanjutan
Musuh alami Inangsumber
makananekspresi protein
Lokasi studi
Parameter biologi dan hasil
Referensi
Hymenoptera Braconidae
Cotesia plutellae Kurdjumov
Larva rentan Bt Bt-oil seed rape cry
IAc L
Laju kemunculan A
Schuler et al. 1999a
Larva tahan
Bt Bt-oil seed rape cry
IAc L
Laju kemunculan NA
Larva rentan
Bt Bt-oil seed rape
leaves cryIAc L Atraksi
A Larva
tahan Bt
Bt-oil seed rape leaves cryIAc
L Atraksi NA
Diaeretiella rapae McIntosh
AphidBt-oil seed rape cryIAc
L Laju parasitisme
NA Schuler et al.
1999b Macrocentrus grandii Goid
Jagung Bt cryIAb F Laju parasitisme
NA Orr Landis
1997
Eulophidae
Eulophus pennicornis Nees Larvatrypsin
inhibitor-potato CpT1
L Laju parasitisme
A Perkembangan
NA Bell
et al. 2001
Larva CpT1- makanan buatan
L Laju parasitisme
NA Perkembangan
NA Bell
et al. 2001
Ichneumonidae
Erioborus terebrans Grav. Jagung Bt cryIAb F
Parasitisme NA Orr Landis
1997
Specidae
Stictia sp Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan lapangan tidak
disemprot BrazilCTNBio
1999a Kerapatan =
lapangan yang disemprot
Tachinidae
Lydella thompsoni Herting Jagung Bt [cryIAb] F
Laju parasitisme A
Bourguet et al. 2002
Pseudoperichaeta nigrolineata Walker
Jagung Bt [cryIAb] F Laju parasitisme
A Bourguet et al.
2002
45
Tabel 2.6 Lanjutan
Musuh alami Inangsumber
makananekspresi protein
Lokasi studi
Parameter biologi dan hasil
Referensi
Neuroptera Chrysopidae
Fauna Chrysopidae Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan NA
Pilcher et al. 1997
Chrysoperla carnea Stephens
Larva Jagung Bt [cryIAb]
L Survivorship A
Perkembangan A Hilbeck et al.
1998a Bt-makanan buatan
[cryIAb] L Survivorship
A Perkembangan A
Hilbeck et al. 1998b
LarvaBt-makanan buatan [cryIAb
cry2A] L Survivorship
A Perkembangan A
Hilbeck et al. 1999
Aphid Jagung Bt [cryIAb]
L Perkembangan
NA Survivorship NA
Lozzia et al. 1998
Bt-pollen jagung [cryIAb]
L Perkembangan
NA Pilcher et al.
1997 Jagung
Bt [cryIAb] F Kerapatan
= lapangan tidak
disemprot Bourguet et al.
2002
Hemerobius sp. Jagung Bt [cryIAb] F
Kerapatan lapangan disemprot
BrazilCTNBio 1999a
Arthropoda lain:
Arthropofauna berguna Kapas Bt
F Kerapatan lapangan disemprot
Greenpeace Report 2002
Kerapatan = lapangan tidak
disemprot
Fauna predator Kapas Bt F
Kerapatan NA
Greenpeace Report 2002
Entomofauna berguna Kapas Bt
F Kerapatan NA Cui Xia
2000 Fauna parasitoid
Kapas Bt F Kerapatan
A Cui Xia
2000 Fauna predator
Kentang Bt cry3A F Kerapatan NA Riddick et al.
2000 Sumber: Fontes et al. 2002
Keterangan: L = laboratorium; F = lapangan; NA = tidak ada pengaruh; lapangan tidak disemprot = pertanaman
konvensional tanpa pengendalian dengan insektisida; lapangan disemprot = pertanaman konvensional dengan pengendalian insektisida; A = Ada pengaruh
46
Tanaman Transgenik Komersial
Sejak pelepasan tanaman transgenik komersial pertama pada tahun 1996 hingga tahun 2009 tanaman transgenik telah menunjukkan peningkatan dalam luas
area 80 kali lipat dari 1.7 juta hektar pada tahun 1996 sampai 134 juta hektar pada tahun 2009 James 2009.
Pada tahun 2009, tanaman transgenik telah ditanam seluas 134 juta hektar dan menyebar di 25 negara dengan proporsi pertanaman oleh negara berkembang
sebanyak 46 Tabel 2.7. Berdasarkan jenis tanaman, tanaman kedelai transgenik toleran herbisida
adalah tertinggi yang ditanam pada tahun 2009 yaitu seluas 69.2 juta hektar atau 52 dari 134 juta hektar luas area global tanaman transgenik meningkat dari 65.8
juta hektar pada tahun 2008. Selanjutnya diikuti oleh tanaman jagung transgenik seluas 41.7 juta hektar atau 31 dari 134 juta hektar luas area global tanaman
transgenik meningkat dari 37.3 juta hektar pada tahun 2008, tanaman kapas transgenik seluas 16.1 juta hektar atau 12 dari 134 juta hektar luas area global
tanaman transgenik meningkat dari 15.5 juta hektar pada tahun 2008, dan tanaman canola transgenik seluas 6.4 juta hektar atau 5 dari 134 juta hektar luas
area global tanaman transgenik meningkat dari 5.9 juta hektar pada tahun 2008 James 2009.
Berdasarkan sifat dari tanaman transgenik, tanaman transgenik toleran herbisida adalah yang paling dominan. Pada tahun 2009, tanaman transgenik
toleran herbisida terdapat pada tanaman kedelai, jagung, canola, kapas, beet-gula, dan alfalfa sebesar 62 atau 83.6 juta hektar dari 134 juta hektar luas area global
tanaman transgenik meningkat dari 79 juta hektar pada tahun 2008. Pada tahun 2009, tanaman transgenik dengan sifat double dan triple menempati luas area
yang terluas yaitu 28.7 juta hektar, atau 21 dari luas area global tanaman transgenik meningkat dari 26.9 juta hektar pada tahun 2008 dibanding varietas
tahan hama yang menempati 21.7 juta hektar atau 15 dari luas area global tanaman transgenik meningkat dari 19.1 juta hektar pada tahun 2008 James
2009.
47 Tabel 2.7 Luas area global tanaman transgenik pada tahun 2009
Peringkat Negara Luas area
Juta hektar Tanaman transgenik
1 USA
64.0 Kedelai, jagung, kapas, canola,
squash, pepaya, alfalfa, beet-gula 2 Brazil
21.4 Kedelai,
jagung, kapas
3 Argentina 21.3
Kedelai, jagung,
kapas 4 India
8.4 Kapas
5 Canada
8.2 Canola, jagung, kedelai, beet-
gula 6
China 3.7
Kapas, tomat, poplar, pepaya, sweet pepper
7 Paraguay 2.2
Kedelai 8
Afrika Selatan 2.1
Jagung, kedelai, kapas 9 Uruguay
0.8 Kedelai,
jagung 10 Bolivia
0.8 Kedelai 11 Filipina
0.5 Jagung 12 Australia
0.2 Kapas, canola
13 Burkina Faso 0.1 Kapas
14 Spain 0.1 Jagung
15 Mexico 0.1 Kapas,
kedelai 16
Chile 0.1
Jagung, kedelai, canola 17 Colombia
0.1 Kapas
18 Honduras 0.1
Jagung 19 Czech
Republic 0.1
Jagung 20 Portugal
0.1 Jagung
21 Romania 0.1
Jagung 22 Poland
0.1 Jagung
23 Costa Rica
0.1 Kapas, kedelai
24 Egypt 0.1
Jagung 25 Slovakia
0.1 Jagung
15 negara mega biotek yang menanam 50 000 hektar atau lebih tanaman transgenik
Sumber: James 2009
48
Daftar Pustaka
Ahmad F, M Aslam, M Razaq. 2004. Chemical ecology of insects and tritrophic interactions. J res Sci 152:181-190.
Ahmad A, GE Wilde, KY Zhu. 2005. Detectability of coleopteran-specific cry3Bb1 protein in soil and its effect on nontarget surface and below-
ground arthropods. Environ Entomol 342:385-394. Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a
synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30.
Armer CA, RE Berry, M Kogan. 2000. Longevity of phytophagous heteropteran predators feeding on transgenic Btt-potato plants. Entomol Experiment Et
Appl 95:329-333. Baco D, MY Said . 1998. Perubahan populasi penggerek batang putih dan faktor
penyebabnya pada padi di Sulawesi Selatan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 171:13-19.
Bahagiawati.. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84.
Bai YY, MX Jiang, JA Cheng, D Wang. 2006. Effects of cry1Ab toxin on Propylea japonica Thunberg Coleoptera: Coccinellidae through its
prey, Nilaparvata lugens Stal Homoptera: Delphacidae, feeding on transgenic Bt rice. Environ Entomol 354:1130-1136.
Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter
Jour Pest Manag 511:37-43. Becker DK, B Dugdale, MK Smith, RM Harding, JL Dale. 2000. Genetic
transformation of Cavendish banana Musa spp. AAA group cv ’Grand Nine’ via microprojektile bombardment. Plant Cell Reports 193:229-
234.
Belarmino MM, M Mii. 2000. Agrobacterium-mediated genetic transformation of a Phalaenopsis orchid. Plant Cell Reports 195:435-442.
Bhat SR, VL Chopra. 2005. Transgenic crops: priorities and strategies for India. Current Science 886:886-889.
Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell
Reports 19:1195-1202.
49 Dekeyser, Inze RP, Van Montagu M. 1990. Transgenic Plants. In. Gustafson JP
ed. Gene Manipulation in Plant Improvement II. New York: Plenum Press. p 237-250.
Dively GP. 2005. Impact of transgenic VIP3A x cry1Ab lepidopteran-resistant field corn on the nontarget arthropod community. Environ Entomol
345:1267-1291. Dutton A, H. Klein, J Romeis, F Bigler. 2002. Uptake of Bt-toxin by herbivores
feeding on transgenic maize and consequences for the predator Chrysoperla carnea. Ecol Entomol 27:441-447.
Dutton A, J Romeis, F Bigler. 2003. Assessing the risks of insect resistant transgenic plants on entomophagous arthropods: Bt-maize expressing
cry1Ab as a case study. BioControl 48:611-636. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops
resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Fukuoka H et al. 2000. Agrobacterium-mediated transformation of monocot and
dicot plant using an NCR promoter derived from soybean chlorotic mottle virus. Plant Cell Reports 198:815-820.
Hattori I., SS Siwi. 1986. Rice stemborers in Indonesia. Tropical Agricultural Research Center. Tarc 201:25-26.
Head G et al. 2005. A Multiyear, large-scale comparison of arthropod populations on commercially managed Bt and non-Bt cotton fields. Environ Entomol
345:1257-1266. Hegedus DD, MY Gruber, L Braun, GG Khachatourians. 2002. Genetic
Engineering and resistance to insects. In Khachatourians GG et al., Ed. Transgenic Plants and Crops. New York: Marcel Dekker, Inc. p 249-278.
Hendarsih S, N Usyati, D Kertoseputro. 2002. Analisis perubahan status penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker di
kabupaten Subang, Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Purwokerto, 7 September 2002.
Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, PFI Komda Purwokerto, PEI Komda Purwokerto. 12 hlm.
Hilbeck A, M Baumgartner, PM Fried, F Bigler. 1998. Effects of transgenic Bacillus thuringiensis corn-fed prey on mortality and development time of
immature Chrysoperla carnea Neuroptera: Chrysopidae. Environ Entomol 272:480-487.
50 Hilder VA et al. 1995. Expression of snowdrop lectin in transgenic tobacco
plants result in added protection against aphids. Transgenic Research 4:18-25.
Hofte H, HR Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol Review 53:242-255.
Irie K et al. 1996. Transgenic rice established to express corn cystatin exhibits strong inhibitory activity against insect gut proteinases. Plant Moleculer
Biology 30:149-1557. James C. 2009. Global Status of Commercialized BiotechGM Crops: 2009.
The first fourteen years, 1996 to 2009. ISAAA Brief 41. ISAAA: Ithaca, NY.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de cultuurgeweassen in Indonesia. Kessler A, IT Baldwin. 2002. Plant-mediated tritrophic interactions and biological
pest control. AgBiotechNet 4:1-7. Kiritani K. 1988. What has happened to the rice borers during the past 40 years in
Japan. Jarq 214:264-268. Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis
toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and Sons.
Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of
Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. p156-159. Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of
their global adoption, safety and benefits. http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt
ext=true [5 Mei 2008].
Manwan I, E Soenarjo, MO Adnyana, T Soewito T, Sutrisno. 1990. Hasil Pemahaman Secara Cepat Serangan Penggerek Padi di Jalur Pantura
Jawa Barat MT 19891990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is
this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785.
51 Maqbool SB, T Husnain, S Riazuddin, L Masson, P Christou. 1998. Effective
control of yellow stem borer and rice leaf folder in transgenic rice indica varieties Basmati 370 and M7 using the novel
δ-endotoxin cry2A Bacillus thuringiensis gene. Molecular Breeding 00:1-7.
Marfa V, E Mele, R Gabarra, JM Vassal, E. Guiderdoni, J. Messeguer. 2002. Influence of the developmental stage of transgenic rice plants cv. Senia
expressing the cryIB gene on the level of protection against the striped stem borer Chilo suppressalis. Plant Cell Rep 20:1167-1172.
McManus BL et al. 2005. Abundance of Coleomegilla maculata Coleoptera: Coccinellidae in corn rootworm-resistant Cry3Bb1 maize. J Econ
Entomol 986:1992-1998. Metz TD, RT Roush, JD Tang, AM Shelton, ED Earle. 1995. Transgenic brocolli
expressing a Bacillus thuringiensis insecticidal crystal protein: implication for pest resistance management study. Molecular Breeding 1:309-317.
Moraes CM, MC Mescher. 2004. Biochemical crypsis in the avoidance of natural enemies by an insect herbivore. PNAS 101 24:8993-8997.
Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δ-
endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer Scirpophaga incertulas. Proc Natl Acad Sci USA 94:2111-2116.
Naranjo SE. 2005a. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the abundance of nontarget arthropod natural enemies. Environ
Entomol 345:1193-1210. Naranjo SE. 2005b. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton
on the function of the natural enemy community. Environ Entomol 345:1211-1223.
Old RW, SB Primrose. 1994. Gene transfer to plants. In Prinsiples of gene manipulation. An introduction to genetic engineering Old RW, SB
Primrose eds. 5th eds. Blackwell Scientific Education. USA. p 268-301. Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International
Intl. Rice Res. Inst. Philippines: Los Banos. 431 p. Pathak MD, ZR Khan. 1994. Insect pests of rice. IRRN. ICIPE. 1-12.
Price PW. 1997. Insect Ecology. 3rd ed. New York: John Wiley Sons, Inc.
874 p. Price PW. 1980. Interactions among three trophic levels: influence of plant on
interactions between insect herbivore and natural enemies. Ann Rev Ecol Sust 11:41-65.
52 Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan
penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang
pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.
Reed GL et al. 2001. Transgenic Bt potato and conventional insecticides for Colorado potato beetle management: comparative efficacy and non-target
impacts. Entomol Experiment Et Appl 100:89-100. Rubia EG, De Vries F. W, T. Penning. 1990. Simulation of rice yield reduction
caused by stemborer SB. IRRN 151:34. Schuler TH. 2000. The impact of insect resistant GM crops on populations of
natural enemies. Antenna 24:59-65. Sosromarsono S. 1990. Bioekologi dan strategi pengendalian terpadu penggerek
padi putih. Seminar Pengendalian Penggerek Padi Putih. Bogor 1990. 34 hal.
Speight MR, MD Hunter, AD Watt. 1999. Ecology of Insects: Concepts and Applications. London: Blackwell Science Ltd. 350 p.
Tamayo MC, M Rufat, JM Bravo, BS Segundo. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and
characterization of its activity toward digestive proteinases of Spodoptera littoralis larvae. Planta 211:62-71.
Vet LEM, M Dicke. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritropik context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172.
Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem
borer. Plant Cell Reports 17:129-132. Wunn J et al. 1996. Transgenic indica rice breeding line IR-58 expressing a
synthetic cryIAb gene from Bacillus thuringiensis provides effective insect pest control. BioTechnol 14:171-176.
Xiang Y, WKR Wong, MC Ma. 2000. Agrobacterium-mediated transformation of Brassica campestris ssp. Parachinensis with synthetic Bacillus
thuringiensis cryIAb and cryIAc genes. Plant Cell Report 19:251-256. Yang J et al. 1999. Genetic transformation of Cymbidium orchid by particle
bombardment. Plant Cell Reports 1812:978-984.
BAB III KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG
GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER
LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP IN VITRO
Abstrak
Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Tanaman padi transgenik adalah salah satu cara
alternatif untuk mengendalikan hama ini. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S.
incertulas penelitian tahap in vitro dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April
2008-Juli 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi padi
Rojolele transgenik: galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang
mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang
mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman
padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua protoxin dalam galur padi Rojolele
transgenik mempunyai keefektifan yang tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Ada perbedaan
keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
mempunyai keefektifan tertinggi 94 dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi 89 dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi 78.
Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi 74.5 dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi 73.5 mempunyai keefektifan sedang, sementara
protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai keefektifan terendah 69.5 dalam mematikan larva
S. incertulas. Galur DTcry Azygous keefektifannya sama dengan varietas padi bukan transgenik 45. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-
420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S.
incertulas dari mulai instar-1 sampai instar-4. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun
keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva.
Kata kunci: keefektifan, padi transgenik, S. incertulas
54
Abstract
Rice stemborer is one of the major pests on rice plant in Indonesia. Transgenic rice plant is an alternative to control this pest. To study the
effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, in vitro test was conducted at laboratory of Molecular Biology, Research Centre
for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from April 2008–July 2009. Completely randomize design with 10 treatments and 20
replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa,
3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous line is a
segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice varieties i.e., Rojolele, Cilosari,
and Ciherang. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice lines were highly effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae compared
to non transgenic rice varieties. There were differences of effectiveness and activity among protoxin in transgenic Rojolele rice lines. Based on the
effectiveness and activity, protoxin in T9-6.11-420 line was the highest 94 followed by 4.2.4-21-8-16-4 line 89 and 3R7-8-15-2-7 line 78. Protoxin in
transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line 74.5 and 3R9-8-28-26-2 line 73.5 were categorized as moderat and DTcry-13 line was the lowest 69.5.
DTcry Azygous line was as effective as non transgenic rice varieties 45. Protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line and 4.2.4-21-8-16-4 line
had longest effectiveness range that were effective in increasing the mortality of first to fourth instar S. incertulas larvae. Protoxin in transgenic Rojolele rice
lines were effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae, but its effectiveness declined gradually along the development of larvae growth.
Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas
Pendahuluan
Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama
penggerek batang padi menempati peringkat pertama yaitu seluas 112 950 ha. Peringkat ke-2 adalah hama tikus seluas 103 786 ha dan peringkat ke-3 adalah
hama wereng coklat seluas 28 421 ha DIRJENTAN PANGAN 2007. Penggerek batang padi dapat menyerang semua stadium pertumbuhan
tanaman padi Alam et al. 1998. Pada stadium vegetatif serangan menyebabkan kematian anakan tiller muda yang disebut sundep deadhearts, dan pada
stadium generatif serangan menyebabkan malai tampak putih dan hampa yang disebut beluk whiteheads Bandong Litsinger 2005.
55 Perakitan varietas padi tahan hama selama ini masih bertumpu pada
metode konvensional yang mengandalkan persilangan antar tetua terseleksi. Dengan metode tersebut telah berhasil dirakit cukup banyak varietas tahan wereng
coklat Satoto et al. 2003. Namun untuk penggerek batang padi belum ada varietas padi yang memberikan tingkat ketahanan terhadap hama yang cukup Wu
et al. 1997; Bandong Litsinger 2005.
Transformasi genetika tanaman merupakan alternatif yang diharapkan
dapat membantu memecahkan masalah yang sulit diatasi oleh teknik pemuliaan konvensional. Teknik transformasi genetika ini mempunyai keuntungan antara
lain mampu mentransfer karakter baru dari plasma nutfah yang lebih luas, gen baru langsung ke kultivar target tanpa melalui banyak generasi persilangan, dan
gen tertentu dapat ditransfer tanpa menyertakan banyak gen lain yang tidak dikehendaki Conner 1997.
Transformasi genetika tanaman padi untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry Ghareyazie et al.
1997; Datta et al. 1998; Breitler et al. 2000, gen potato proteinase inhibitor II Duan et al. 1996, dan gen CpTi cowpea trypsin inhibitor Xu et al. 1996.
Tanaman padi transgenik yang ditransformasi dengan gen cry terbukti terlindungi dari serangan hama padi dari ordo lepidoptera. Ghareyazie et al.
1997 melaporkan padi aromatik Tarom Molaii yang ditransformasi dengan gen cryIAb sintetik menunjukkan tahan terhadap penggerek batang padi. Datta et al.
1998 melaporkan 81 tanaman transgenik kultivar CBII, IR64, dan padi tipe baru IRRI yang ditransformasi dengan gen cryIAb mampu mematikan larva penggerek
batang padi kuning S. incertulas sebesar 100. Breitler et al. 2000 melaporkan gen cryIB sintetik mampu melindungi padi Mediterranean cvs. Senia dan Ariete
dari serangan penggerek batang padi bergaris instar 2 sampai instar 4. Introduksi gen potato proteinase inhibitor II dan gen CpTi cowpea trypsin
inhibitor pada tanaman padi juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap hama padi. Pada bioassay untuk ketahanan serangga dengan menggunakan
tanaman padi transgenik generasi ke-5 dengan gen potato proteinase inhibitor II menunjukkan tanaman padi transgenik meningkatkan ketahanan terhadap hama
utama padi S. inferens Duan et al. 1996. Mochizuki et al. 1999 melaporkan
56 tanaman transgenik yang mengekspresikan trypsin inhibitor terlindungi dari
serangan hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis. Di Indonesia, transformasi genetika untuk ketahanan terhadap penggerek
batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry pada padi varietas Rojolele dengan teknik penembakan Slamet-Loedin et al. 1998 dan melalui
Agrobacterium cryIAb Rachmat 2006. Selain itu, untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang mempunyai ketahanan panjang tidak mudah
patah, telah dilakukan transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga dan transformasi gen cryIB
dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi Rahmawati 2004.
Keberhasilan perakitan varietas tahan hama melalui transformasi genetika, pada tahap akhir ditentukan oleh keefektifannya terhadap hama sasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama sasaran yaitu hama penggerek batang padi kuning
S. incertulas pada tahap in vitro.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April 2008-Juli 2009.
Bahan dan Alat Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggerek batang
padi kuning S. incertulas. Imago S. incertulas diambil dari pertanaman padi di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago S.
incertulas dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur. Kelompok
telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung gelas untuk dipelihara sampai menetas menjadi larva instar-1. Larva instar-1 ini
kemudian dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang sampai mencapai instar-2, instar-3, instar-4, dan instar-5. Untuk mendapatkan larva dengan berbagai
57 stadia tersebut, infestasi larva instar-1 pada tanaman padi varietas Ciherang
dilakukan setiap minggu. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele
transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang
mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang
mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman
padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik
yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA
diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7
fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9-
6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium].
Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer
isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5,
5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65
o
C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok.
Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl
isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan
disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering
58 anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM
EDTA. Sampel DNA disimpan di -20
o
C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5
mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H
2
O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa
mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk
memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg
3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95
o
C 3 menit; 95
o
C 1 menit, 60
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 35 siklus; 72
o
C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95
o
C 3 menit, 95
o
C 1 menit, 62
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan
ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari
stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan
difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl
[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss
forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H
2
O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’
cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95
o
C 3 menit 1 siklus, 95
o
C 1 menit, 55
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8
dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE.
Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base,
59 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil
elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.
Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang
berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur
4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl trans
galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H =
varietas Rojolele, I = varietas Cilosari, dan J = varietas Ciherang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang
dikemukakan oleh Nayak et al. 1997. Tahap-tahap pengujian adalah sebagai berikut: batang padi yang masih muda dengan daerah ruas dipotong sepanjang 7
cm. Selanjutnya potongan batang padi tersebut ditempatkan pada cawan petri atau cup plastik, ujung batang padi tersebut dibalut dengan kapas basah untuk
menjaga kelembaban. Sepuluh ekor larva S. incertulas masing-masing instar ke- 1, 2, 3, 4, dan 5 ditempatkan pada setiap cawan petri atau cup plastik. Selanjutnya
cawan petri atau cup plastik diinkubasi pada tempat gelap pada suhu 28
o
C dan kelembaban relatif 70. Pengamatan dilakukan dengan membelah batang padi
pada 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah infestasi JSI untuk melihat tingkat mortalitas larva Tamayo et al. 2000.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA, perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada
taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990.
60
Hasil
Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat terlihat dari tingkat mortalitasnya. Mortalitas larva
S. incertulas yang makan pada tanaman padi Rojolele transgenik maupun pada tanaman padi bukan transgenik sudah terlihat pada pengamatan 3 jam setelah
infestasi, dan mortalitasnya meningkat seiring dengan lamanya pemaparan Gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4, 3.5.
Mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele transgenik terlihat sangat tinggi. Pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas tertinggi
terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat mortalitas sebesar 94. Namun demikian, tingkat
mortalitas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi yang menyebabkan mortalitas
sebesar 89 Gambar 3.1.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
3 jam 6 jam
12 jam 24 jam
48 jam 72 jam
Waktu pengamatan jam M
o rt
al it
as
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T 9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
Gambar 3.1 Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan
Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi terhadap larva
instar-1 S. incertulas. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi menyebabkan mortalitas sebesar 78, namun tidak berbeda dengan galur 4.2.3-
61 28-15-2-7 fusi 74.5, galur 3R9-8-28-26-2 mpi 73.5, dan galur DTcry-13
cryIAb melalui Agrobacterium 69.5. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat
mortalitasnya adalah 42-45 Gambar 3.1. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele
transgenik masih terlihat cukup tinggi, walaupun mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan larva instar-1. Pada pengamatan 72 jam setelah
infestasi, mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik
P=0.0001. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas tertinggi terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
dengan tingkat mortalitas sebesar 90. Namun demikian, tingkat mortalitas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda
dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi yang menyebabkan mortalitas masing-masing sebesar 88 dan 82 Gambar 3.2.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
3 jam 6 jam
12 jam 24 jam
48 jam 72 jam
Waktu pengamatan jam M
o rta
lita s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
Gambar 3.2 Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan
Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 4.2.3-
28-15-2-7 fusi terhadap larva instar-2 S. incertulas. Padi Rojolele transgenik
62 galur 3R7-8-15-2-7 mpi menyebabkan mortalitas sebesar 77.5, tidak berbeda
dengan galur 3R9-8-28-26-2 mpi 75.5. Mortalitas larva instar-2 S. incertulas terendah terlihat pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui
Agrobacterium yang menyebabkan mortalitas sebesar 59. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan
mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 42-44.5 Gambar 3.2. Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat mulai menurun terhadap
larva instar-3 S. incertulas. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.0001. Namun antar galur padi Rojolele transgenik dan antar varietas padi bukan transgenik tidak
terlihat adanya perbedaan mortalitas. Tingkat mortalitas pada galur padi Rojolele transgenik berkisar 52.5-68.5, sementara tingkat mortalitas pada varietas padi
bukan transgenik berkisar 40.5-43.5 Gambar 3.3.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
3 jam 6 jam
12 jam 24 jam
48 jam 72 jam
Waktu pengamatan jam M
o rta
lita s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
Gambar 3.3 Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan
Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat sangat menurun terhadap larva instar-4 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan,
kecuali pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik tidak berbeda dibandingkan dengan varietas
63 padi bukan transgenik P=0.0211; P=0.7867; P=0.9316; P=0.8397; P=0.4025
Gambar 3.4. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S.
incertulas yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik hanya terlihat pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4
fusi dan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan P=0.0001. Tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi
sebesar 61.5 dan tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan sebesar 61. Hal ini menunjukkan
bahwa galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama efektifnya terhadap larva instar-4 S. incertulas. Mortalitas
larva instar-4 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, galur 3R7-8-15-2-7 mpi, dan galur DTcry-13
cryIAb melalui Agrobacterium terlihat tidak berbeda jika dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry
Azygous tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 34.5-38.5 Gambar 3.4.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
3 jam 6 jam
12 jam 24 jam
48 jam 72 jam
Waktu pengamatan jam M
o rt
a li
ta s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
Gambar 3.4 Persentase mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan
64 Semua padi Rojolele transgenik terlihat tidak efektif terhadap larva instar-
5 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan, mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik tidak
berbeda dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.5276; P=0.0010; P=0.1976; P=0.2058; P=0.5774; P=0.1418 Gambar 3.5.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
3 jam 6 jam
12 jam 24 jam
48 jam 72 jam
Waktu pengamatan jam M
o rta
lita s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
Gambar 3.5 Persentase mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada berbagai perlakuan dan waktu pengamatan
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian pada tahap in vitro ini terlihat bahwa terdapat perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik
terhadap hama S. incertulas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji mempunyai keefektifan yang lebih tinggi
dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Hal ini disebabkan oleh sumber ketahanan intrinsik yang berbeda
antara padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik. Sumber ketahanan intrinsik pada padi Rojolele transgenik adalah protoxin yang berasal dari gen
cryIAb, fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB. Gen cry adalah penyandi
δ-Endotoksin dari B. thuringiensis yang menghasilkan suatu kristal protein yang bersifat racun jika terhidrolisis dalam sistem pencernaan serangga
Dekeyser et al. 1990. Kristal ini di alam merupakan protoxin yang jika larut dalam sistem pencernaan serangga karena proses proteolisis akan diubah menjadi
65 polipeptida yang lebih pendek 27-149 kilo Dalton serta mempunyai sifat
insektisida. Toxin aktif ini berinteraksi dengan sel-sel epitel midgut serangga. Toxin Bt mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang kecil pada membran sel
epidermis sistem pencernaan serangga, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Sel yang terganggu tekanan osmosisnya menjadi bengkak
dan pecah, sehingga serangga mati Hofte Whiteley 1989; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mekanisme
ketahanan tanaman transgenik ini termasuk mekanisme ketahanan antibiosis. Menurut Panda dan Khush 1995 pengaruh antibiosis mengakibatkan
berkurangnya ukuran atau berat serangga, mengurangi proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, dan kematian larva serta pradewasa.
Sumber ketahanan intrinsik pada padi bukan transgenik umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik tanaman yang mempengaruhi
perilaku atau metabolisme serangga Kogan 1982. Karakteristik biokimia dapat berupa senyawa kimia primer yang tidak terdapat secara seimbang, senyawa yang
bekerja sebagai hormon serangga, dan metabolit sekunder senyawa sekunder Reese 1979 seperti phenol, steroid, dan terpenoid yang pada kadar tertentu tahan
terhadap serangan serangga tertentu. Senyawa sekunder dapat bersifat racun baik secara langsung atau setelah dihidrolisis di dalam sistem pencernaan serangga
Speight et al. 1999. Karakteristik biofisik tanaman dapat berupa sifat-sifat morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan, peletakan
telur, dan pergerakan serangga secara normal Kogan 1982, misalnya adanya rambut-rambut pada permukaan daun yang disebut trichome dan glandular
trichome, duri, daun yang licin atau mengkilat, dan adanya lapisan lilin Speight et al. 1999.
Pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele transgenik. Keefektifan tertinggi
terlihat pada protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-
15-2-7 mpi. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai keefektifan sedang, dan protoxin
dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium
66 mempunyai keefektifan terendah. Galur DTcry Azygous mempunyai keefektifan
yang sama dengan padi bukan transgenik. Selain itu, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan
galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang karena kedua galur tersebut efektif mematikan larva S. incertulas dari mulai instar-1
sampai instar-4. Selain perbedaan keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele
transgenik, pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan daya kerja masing-masing protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik yang diuji.
Hal ini dapat terlihat dari kemampuan protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik tersebut menyebabkan mortalitas 50 pada setiap stadium larva.
Mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi
tercapai pada 12 jam setelah infestasi. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3- 28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi
tercapai pada 24 jam setelah infestasi. Mortalitas 50 pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium lebih lambat yaitu
tercapai pada 48 jam setelah infestasi Gambar 3.1. Pada larva instar-2 dan instar-3 S. incertulas, mortalitas 50 pada semua
galur padi Rojolele transgenik yang diuji lebih lambat jika dibandingkan dengan larva instar-1 S. incertulas Gambar 3.2 dan 3.3. Pada larva instar-4 S. incertulas,
mortalitas 50 hanya tercapai pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi pada 72 jam
setelah infestasi Gambar 3.4. Pada larva instar-5 S. incertulas, mortalitas 50 tidak tercapai pada semua galur padi Rojolele transgenik Gambar 3.5.
Berdasarkan analisis daya kerja ini dapat dikatakan bahwa protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
mempunyai daya kerja yang paling cepat dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi. Protoxin dalam
padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai daya kerja sedang, sementara protoxin dalam padi Rojolele
67 transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai daya
kerja yang paling lambat dalam mematikan larva S. incertulas. Perbedaan keefektifan dan daya kerja ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kontrol ekspresi gen dan tingkat toksisitas dari aktivitas insektisida pada gen yang digunakan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
mengandung gen cryIAb dan jumlah gen yang diintroduksikan adalah tunggal. Promoter yang digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive.
Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur
tanaman Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Dengan demikian larva S. incertulas akan terpapar terus menerus oleh tanaman transgenik sepanjang umur
serangga tersebut. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida sangat tinggi. Menurut Wu et al. 1997 dan Datta et al. 1998 gen cryIAb mempunyai
aktivitas insektisida yang tinggi dan mampu menekan perkembangan larva S. incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100 pada 4 hari setelah
infestasi. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai
keefektifan dan daya kerja yang hampir sama dengan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mengandung dua gen
cry yaitu cryIB-cryIAa yang mempunyai binding site berbeda. Promoter yang digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive. Tanaman
transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman Datta et al.
1998; Fontes et al. 2002. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai keefektifan
yang tinggi dan daya kerja yang cepat setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi. Galur 3R7-8-15-2-7 mpi
mengandung gen mpi::cryIB dan jumlah gen yang diintroduksikannya adalah tunggal yaitu gen cryIB. Promoter yang digunakan adalah promoter maize
proteinase inhibitor yang bersifat inducible. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya hanya akan terekspresi apabila ada gigitan
serangga. Selain itu gen cryIB mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi.
68 Menurut Breitler et al. 2000 cryIB mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi
dan mampu menekan perkembangan larva penggerek batang padi bergaris C. suppressalis instar-2 dengan tingkat mortalitas mencapai 90-100 pada 7 hari
setelah infestasi. Untuk padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 3R9-8-
28-26-2 mpi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium yang mempunyai keefektifan dan daya kerja lebih rendah dibandingkan dengan galur
T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi kemungkinan disebabkan gennya kurang
terekspresi Satoto 2003. Untuk galur DTcry Azygous yang mempunyai keefektifan sama dengan varietas padi bukan transgenik disebabkan galur ini
adalah segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null.
Pada pengujian tahap in vitro ini ada fenomena bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun
keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva Gambar 3.6. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kuantitas makanan
yang dikonsumsi dan efisiensi penggunaan makanan antara larva instar awal dan larva instar lanjut. Larva instar awal dapat mengkonsumsi jaringan tanaman
sampai 6 kali berat badannya per hari, selain itu lebih efisien dalam penggunaan makanannya. Fenomena ini terkait pula dengan tingkat enzim detoksifikasi yang
diduga masih rendah. Larva instar lanjut per hari hanya makan sekitar berat badannya sendiri dan kurang efisien dalam penggunaan makanannya. Hal ini
terkait dengan adanya tingkat enzim detoksifikasi yang lebih tinggi Schoonhoven et al. 1998. Dengan kondisi demikian maka pada larva instar awal lebih banyak
protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya melalui banyaknya makanan yang dimakan. Selain itu toxin yang sudah masuk dalam tubuh larva instar awal tidak
bisa dikeluarkan dari tubuhnya karena enzim detoksifikasinya diduga masih rendah. Sebagai akibatnya larva instar awal adalah yang paling terpengaruh oleh
toxin tersebut. Sebaliknya pada larva instar lanjut karena makannya sedikit, maka protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya pun sedikit.
69
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rt al
it as
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rta lita
s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
a b
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rt a
li ta
s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rt al
it as
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
c d
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rta lita
s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Instar-5 Stadia perkembangan
M o
rta lita
s
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Cilosari Ciherang
e f
Gambar 3.6 Persentase mortalitas larva instar 1-5 S. incertulas pada berbagai
perlakuan dan waktu pengamatan: a 3 jam, b 6 jam, c 12 jam, d 24 jam, e 48 jam, f 72 jam
70 Selain itu larva instar lanjut mampu mengeluarkan toxin dari tubuhnya karena
tingkat enzim detoksifikasinya tinggi. Menurut Matsumura 1975 proses detoksifikasi senyawa aktif berlangsung dalam 2 tahap yaitu primer dan sekunder.
Tahap primer melalui reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis serta proses-proses enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar. Tahap sekunder
melalui konjugasi yang menghasilkan konjugat-konjugat yang dapat diekskresikan keluar tubuh. Dengan demikian larva instar lanjut kurang terpengaruh oleh toxin.
a
6 mm 8 mm
b Gambar 3.7 Gejala larva S. incertulas yang makan pada: a tanaman padi
transgenik, b tanaman padi bukan transgenik
Kesimpulan
1. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik mempunyai keefektifan yang tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan
varietas padi bukan transgenik. 2. Ada perbedaan keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele
transgenik. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai keefektifan tertinggi 94
dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi 89 dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi 78. Protoxin dalam padi Rojolele
71 transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi 74.5 dan galur 3R9-8-28-26-2
mpi 73.5 mempunyai keefektifan sedang, sementara protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium
mempunyai keefektifan terendah 69.5 dalam mematikan larva S. incertulas. Galur DTcry Azygous keefektifannya sama dengan varietas padi
bukan transgenik 45. 3. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S. incertulas dari
mulai instar-1 sampai instar-4. 4. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik efektif dalam
mematikan larva S. incertulas, namun keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva.
Daftar Pustaka
Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to
yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Bahagiawati. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi
serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow
stemborer, Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter Jour Pest Manag 511:37-43.
Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell
Reports 19:1195-1202. Conner AJ. 1997. Genetically engineered crops: environmental and food safety
issues. The Royal Society of New Zealand. Miscellaneous Series 39. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the
cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97:20-30.
Dekeyser, Inze RP, Van Montagu M. 1990. Transgenic Plants. In. Gustafson JP ed. Gene Manipulation in Plant Improvement II. New York: Plenum
Press. pp 237-250.
72 [DIRJENTAN PANGAN] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.2007. Informasi
Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata 5 Tahun 2000-2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Direktorat Perlindungan Tanaman.
Duan X et al. 1996. Transgenic rice plants harboring an introduced potato proteinase inhibitor II gene are insect resistant. Nature Biotechnology
14:494-498. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops
resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Ghareyazie et al. 1997. Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic
rice containing a synthetic cryIAb gene. Moleculer Breeding 3:401-414. Hofte H, HR Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus
thuringiensis. Microbiol Review 53:242-255. Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH
Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley Sons. pp 93-134.
Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is
this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785. Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York and London: Plenum
Press. 503 p. Mochizuki et al. 1999. Transgenic rice plants expressing a trypsin inhibitor are
resistant against rice stem borers, Chilo suppressalis. Entomol Exper Appl 93:173-178.
Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δ-
endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer Scirpophaga incertulas. Proc Natl Acad Sci USA 94:2111-2116.
Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p.
Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi Oryza sativa L. transgenik
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
73 Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan
penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang
pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.
Reese JC. 1979. Interaction of allelochemicals with nutrients in herbivore food. In Rosenthal GA, DH Janson Eds. Herbivores: Their Interaction with
Secondary Plant Metabolites. New York: Academic Press. pp 309-330. SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume
2. North Carolina: SAS Institute Inc. Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab
terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Satoto, I Slamet-Loedin, A Hartana, S Manuwoto, H Aswidinnoor. 2003. Ketahanan padi rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi
kuning dan wereng coklat. Jurnal Penelitian Pertanian 223:121-128. Schoonhoven LM, T Jermy, JJA van Loon. 1998. Plants as insect food: not the
ideal. In: Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. First edition. London: Chapman Hall. pp 83-120.
Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb
anti-insect proteins. Proceedings of the 4
th
Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208.
Speight MR, MD Hunter, AD Watt. 1999. Ecology of Insects: Concepts and Applications. London: Blackwell Science Ltd. 350 p.
Tamayo MC, M Rufat, JM Bravo, BS Segundo. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and
characterization of its activity toward digestive proteinases of Spodoptera littoralis larvae. Planta 211:62-71.
Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP
TM
marker. Theor Appl Genet 100:118-126.
Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem
borer. Plant Cell Reports 17:129-132.
74 Xu D et al. 1996. Constitutive expression of a cowpea trypsin inhibitor gene,
CpTi, in transgenic rice plants confers resistance to two major rice insect pest. Molecular Breeding 2:167-173.
BAB IV KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG
GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER
LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP IN PLANTA
Abstrak
Upaya untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan panjang tidak mudah patah dilakukan dengan 2 pendekatan
yaitu transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga dan transformasi gen cryIB dibawah kendali
promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap
penggerek batang padi kuning S. incertulas, penelitian tahap in planta dilakukan di Rumah Kaca Khusus Padi Transgenik Biosafety Containment, Pusat
Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April–September 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK
dengan 10 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung
fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb
melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur
DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam semua galur padi Rojolele transgenik, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif
dalam menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi
bukan transgenik. Ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai
ketahanan pada skala 1. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Padi
Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan masing-masing
pada skala 7 dan 9.
Kata kunci: keefektifan, nilai ketahanan, padi transgenik, S. incertulas
76
Abstract
Transformation two cry genes cryIB-cryIAa and transformation with the cry1B gene under the control of wound-inducible maize proteinase inhibitor gene
mpi promoter were two approaches used to get resistant rice to the rice stemborer which had durable resistance. To study the effectiveness of transgenic
Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, in planta test was conducted at greenhouse of Molecular Biology, Research Centre for
Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from April– September 2008. Randomize complete block design with 10 treatments and 10
replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa,
3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous line is a
segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice varieties i.e., Rojolele, Cilosari,
and Ciherang. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice lines, except DTcry-13 line cryIAb gene by Agrobacterium, were effective to suppress
damage, had inhibition effect on the growth of S. incertulas, and had high resistance compared to non transgenic rice varieties. There were differences on
resistance value among transgenic Rojolele rice lines. Based on the resistance value, transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb gene by particle
bombardment was the highest 0 scale followed by 4.2.4-21-8-16-4 line and 3R7-8-15-2-7 line, these lines were categorized as high resistance 1 scale.
Transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line and 3R9-8-28-26-2 line were categorized as moderat resistance 3 scale. Transgenic Rojolele rice DTcry-13
line cryIAb gene by Agrobacterium and DTcry Azygous lines were susceptible 7 and 9 scale.
Key words: effectiveness, resistance value, transgenic rice, S. incertulas
Pendahuluan
Dengan berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka pintu untuk merakit tanaman tahan hama dengan rekayasa genetika. Teknologi ini
mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan teknologi konvensional, yaitu 1 memperluas pengadaan sumber gen ketahanan karena
dengan teknologi ini kita dapat menggunakan gen tahan dari berbagai sumber, tidak hanya dari tanaman dalam satu spesies tetapi juga dari tanaman yang
berbeda spesies, genus atau famili, dari bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain, 2 dapat memindahkan gen spesifik ke lokasi yang spesifik pula di tanaman, 3
dapat menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksi ke tanaman dalam setiap generasi tanaman, 4 dapat mengintroduksi beberapa gen
77 tertentu dalam satu event transformasi sehingga dapat memperpendek waktu
perakitan tanaman multiple resistant, dan 5 perilaku gen yang diintroduksi di dalam lingkungan tertentu dapat diikuti dan dipelajari, seperti kemampuan gen
tersebut di dalam tanaman tertentu untuk pindah ke tanaman lain yang berbeda spesiesnya outcrossing, dan dampak negatif dari gen tersebut di dalam tanaman
tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan target Bahagiawati 2001. Namun seperti halnya hasil pemuliaan konvensional, ketahanan tanaman
transgenik dapat dipatahkan. Ho et al. 2006 melaporkan beberapa populasi serangga telah berkembang tahan terhadap gen cry tunggal.
Ketahanan hama terhadap Bt-toxin dapat terjadi pada dua fase, yaitu pada proses aktivasi protoxin menjadi toxin dan pada proses melekatnya binding Bt-
toxin yang aktif di sel receptor di epitel pada dinding sistem pencernaan serangga. Berkurangnya afinitas Bt-toxin pada receptor di epitel sel dinding sistem
pencernaan serangga dilaporkan menjadi penyebab ketahanan Plutella xylostella dan Spodoptera exigua. Mekanisme ketahanan serangga Heliothis virescens
terhadap Bt-toxin bukan karena berkurangnya afinitas Bt-toxin pada receptor di epitel sel dinding sistem pencernaan serangga. Ketahanan terjadi karena dijumpai
enzim proteinase yang memproses protoxin lebih lama untuk menjadi toxin dan setelah toxin terbentuk terjadi proses degradasi toxin lebih cepat Bahagiawati
2001. Untuk managemen ketahanan, Cohen 2000 menganjurkan untuk
menggunakan strategi “high-dose” dan refugia, serta menganjurkan untuk mengembangkan tanaman dengan dua toxin Bt, karena kultivar dengan dua toxin
memerlukan refugia paling kecil dan memungkinkan untuk dilepas di lapangan. Penggunaan gen multiple-toxin dengan cara kerja yang berbeda juga dianjurkan
sehingga cross-resistance tidak mungkin terjadi, yaitu dengan menggunakan dua gen cry untuk toxin yang berbeda receptor atau kombinasi gen cry yang semuanya
berbeda dan tidak berkaitan gen toxinnya Ho et al. 2006. Keefektifan fusi hibrid gen cry1Ab-cryIAc pada padi transgenik indica
telah berhasil diuji pada kondisi rumah kaca Wu et al. 1997; Datta et al. 1998, dan hasilnya menunjukkan mampu melindungi serangan penggerek batang padi
kuning. Padi transgenik Bt-IR72 dengan fusi gen ini menunjukkan konsisten
78 tahan melawan empat serangga lepidoptera, termasuk penggerek batang padi
kuning lebih dari 3 generasi di bawah kondisi serangan secara buatan dan alami Ye et al. 2001. Ho et al. 2006 melaporkan fusi dua gen cry cryIAb-IB pada
kultivar padi transgenik elit Vietnam mampu mematikan 100 larva instar-1 penggerek batang padi kuning dalam 1 minggu setelah infestasi.
Upaya untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan panjang tidak mudah patah telah dilakukan dengan 2
pendekatan yaitu: 1 transformasi dua gen cry cryIB-cryIAa yang berbeda binding site dalam sistem pencernaan larva serangga, dan 2 transformasi gen
cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor mpi. Dari hasil penelitian pada tahun 2003 dan 2004
pada generasi pertama dan kedua, telah diperoleh 2 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa dan 4 galur padi transgenik
cv. Rojolele mengandung gen mpi-cryIB Rahmawati 2004. Namun demikian, keefektifan galur-galur tersebut terhadap penggerek batang padi kuning S.
incertulas belum teruji pada tahap in planta. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama
penggerek batang padi kuning S. incertulas pada tahap in planta.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Khusus Padi Transgenik Biosafety Containment, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan
April–September 2008.
Bahan dan Alat
Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggerek batang padi kuning S. incertulas. Imago S. incertulas diambil dari pertanaman padi di
Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago S. incertulas dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur. Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung gelas
79 untuk dipelihara sampai menetas menjadi larva instar-1. Larva instar-1 ini yang
digunakan untuk pengujian. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele
transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang
mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang
mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman
padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik
yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA
diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7
fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8- 15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9-
6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium].
Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer
isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5,
5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65
o
C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok. Kemudian sampel
disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan
dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12
000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan.
80 DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA.
Sampel DNA disimpan di -20
o
C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5
mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H
2
O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa
mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk
memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg
3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95
o
C 3 menit; 95
o
C 1 menit, 60
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 35 siklus; 72
o
C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95
o
C 3 menit, 95
o
C 1 menit, 62
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai dengan
ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal dari stok
5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto
dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl
[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss
forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H
2
O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’
cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95
o
C 3 menit 1 siklus, 95
o
C 1 menit, 55
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8
dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE.
Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base,
81 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil
elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.
Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang
berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 10 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans
galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl
trans galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H =
varietas Rojolele, I = varietas Cilosari, dan J = varietas Ciherang. Uji ketahanan terhadap serangga dilakukan dengan menggunakan metode
seperti yang dikemukakan oleh Heinrich et al. 1985. Tahap-tahap uji ketahanan adalah sebagai berikut: bibit padi berumur 21 hari di tanam di dalam pot sebanyak
1 bibit per pot. Masing-masing galur dan varietas padi ditanam 10 pot dan 1 pot dianggap 1 ulangan. Pot tersebut kemudian diatur dalam tata letak yang
mengikuti rancangan acak kelompok. Tanaman padi dikurung dalam kurungan plastik milar segera setelah tanam untuk menghindari serangga lain di area
pengujian. Pada umur 45 hari setelah sebar, tanaman padi diberi larva instar-1 S. incertulas dengan kepadatan 3 larva per 1 anakan. Larva ditempatkan di dekat
aurikel daun termuda dan pot ditutup atau dikurung dengan kurungan plastik milar untuk mencegah perpindahan larva antar pot. Persentase sundep untuk masing-
masing galur dihitung pada 2 dan 4 minggu setelah infestasi larva menggunakan formula berikut:
Jumlah sundep pada galur yang diamati Serangan sundep = ---------------------------------------------------- X 100
Jumlah anakan dari galur yang sama
82 Persentase sundep tersebut dikonversikan ke dalam nilai D sebagai berikut:
sundep dari galur yang diuji D = ------------------------------------------------------- X 100
sundep dari varietas pembanding rentan Nilai D ditransformasikan ke dalam skala 0-9 0 = 0; 1 = 1-20; 3 = 21-
40; 5 = 41-60; 7 = 61-80; 9 = 81-100. Tanaman tahan adalah tanaman yang mempunyai nilai D 0, 1, 3, atau 5, sedangkan tanaman rentan mempunyai
nilai D 7 atau 9. Pada 4 minggu setelah infestasi MSI, tanaman padi yang diuji pada satu
ulangan yang sama sebanyak 1 tanaman per ulangan dibedah untuk mengetahui perkembangan larva. Variabel yang diukur adalah bobot basah pupa.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada
taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990.
Hasil
Kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama terhadap tanaman tergantung pada ukuran populasi serangga dan kemampuan tanaman untuk
menangkal kerusakan Kogan 1982. Tanaman padi Rojolele transgenik terbukti mempunyai kemampuan untuk menangkal kerusakan yang disebabkan oleh hama
penggerek batang padi kuning S. incertulas. Hal ini dapat terlihat dari hasil pengujian pada tahap in planta pada 2 dan 4 minggu setelah infestasi.
Pada 2 minggu setelah infestasi, intensitas serangan S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji nyata lebih rendah dibandingkan
dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele dan Ciherang, serta galur DTcry Azygous P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik, intensitas serangan S.
incertulas terendah terlihat pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0 dan tertinggi pada
galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dengan tingkat intensitas serangan sebesar 23.33. Selain itu, intensitas serangan S. incertulas pada galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi,
galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium
83 terlihat tidak berbeda jika dibandingkan dengan galur 3R9-8-28-26-2 mpi, galur
3R7-8-15-2-7 mpi, dan varietas Cilosari Tabel 4.1. Pada padi bukan transgenik, intensitas serangan S. incertulas terendah
terlihat pada varietas Cilosari dengan tingkat intensitas serangan sebesar 45.83 dan tertinggi pada varietas Rojolele dengan tingkat intensitas serangan sebesar
80. Antar varietas Rojolele, Ciherang, dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 2 minggu setelah infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada berbagai perlakuan
Perlakuan Rata-rata intensitas serangan
Nilai D Skala
Ketahanan ± SE
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 20.00 ± 8.17 cde
25.81 3
T Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
23.33 ± 7.93 cd 30.10
3 T
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 15.00 ± 7.64 de
19.35 1
T Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
15.00 ± 7.64 de 19.35
1 T
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.00 ± 0.00 e
0.00 T
DTcry Azygous 60.83 ± 9.47 ab
78.49 7
R Rjl trans DTcry-13 cryIAb
22.50 ± 6.58 cd 29.03
3 T
Rojolele 80.00 ± 8.17 a
103.23 9
R Cilosari
45.83 ± 11.33 bc 59.14
5 T
Ciherang 77.50 ± 7.03 a
100.00 9
R Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan
tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. T = Tahan, R = Rentan
Pada 4 minggu setelah infestasi, intensitas serangan S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji, kecuali galur DTcry-13 cryIAb
melalui Agrobacterium, nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik P=0.0001. Intensitas serangan S. incertulas terendah terlihat
pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0. Namun demikian,
intensitas serangan S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur
3R7-8-15-2-7 mpi, dan nyata berbeda jika dibandingkan dengan galur 4.2.3-28- 15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi. Pada varietas padi bukan transgenik
84 tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas, tingkat intensitas
serangannya adalah 49.33-65.67 Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada 4 minggu setelah
infestasi dan nilai ketahanan tanaman padi pada berbagai perlakuan
Perlakuan Rata-rata intensitas serangan
Nilai D Skala
Ketahanan ± SE
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 18.33 ± 7.64 b
28.58 3
T Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
6.67 ± 4.44 bc 10.40
1 T
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 20.00 ± 10.18 b
31.19 3
T Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
11.67 ± 6.11 bc 18.20
1 T
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.00 ± 0.00 c
0.00 T
DTcry Azygous 60.33 ± 5.05 a
94.07 9
R Rjl trans DTcry-13 cryIAb
45.83 ± 7.58 a 71.46
7 R
Rojolele 65.67 ± 7.76 a
102.40 9
R Cilosari
49.33 ± 11.49 a 76.92
7 R
Ciherang 64.13 ± 6.91 a
100.00 9
R Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan
tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5. T = Tahan, R = Rentan
Secara umum penentuan galur padi tahan penggerek batang padi berdasarkan nilai rata-rata bukan merupakan cara yang baik Heinrich et al. 1985,
persentase serangan tersebut sebaiknya dikonversikan ke dalam nilai D yang kemudian dimasukkan dalam skala 0-9. Berdasarkan nilai D tersebut, pada
pengamatan 2 minggu setelah infestasi terlihat bahwa semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji masuk dalam kategori tahan. Antar galur padi Rojolele
transgenik menunjukkan adanya perbedaan nilai ketahanan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan nilai ketahanannya pada skala 0 dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi dan 3R7-8-15-2-7 mpi nilai ketahanannya pada skala 1. Padi Rojolele transgenik
galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium nilai ketahanannya pada skala 3. Padi bukan
transgenik varietas Rojolele, Ciherang, dan galur DTcry Azygous masuk dalam kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 7 dan 9. Sebaliknya padi bukan
85 transgenik varietas Cilosari masuk dalam kategori tahan dengan nilai ketahanan
pada skala 5 Tabel 4.1. Pada pengamatan 4 minggu setelah infestasi, kecuali padi Rojolele
transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, terlihat adanya perubahan nilai ketahanan baik pada galur padi Rojolele transgenik
maupun varietas padi bukan transgenik. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21- 8-16-4 fusi nilai ketahanannya berubah dari skala 3 menjadi skala 1, dan galur
3R9-8-28-26-2 mpi nilai ketahanannya berubah dari skala 1 menjadi skala 3. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan
padi bukan transgenik varietas Cilosari berubah dari kategori tahan menjadi rentan dengan nilai ketahanan sama yaitu pada skala 7 Tabel 4.2.
Tanaman padi Rojolele transgenik selain mempunyai kemampuan untuk menangkal kerusakan juga mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan hama S. incertulas. Hal ini terbukti pada semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji tidak ada satu pun S. incertulas yang mencapai stadium
pupa. Sebaliknya pada semua tanaman padi bukan transgenik, S. incertulas mampu mencapai stadium pupa dengan bobot pupa berkisar 0.01–0.02 gram
Tabel 4.3 dan Gambar 4.1. Tabel 4.3 Rata-rata bobot pupa S. incertulas pada 4 minggu setelah infestasi pada
berbagai perlakuan Perlakuan
Rata-rata bobot pupa ± SE gram Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi
- c Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
- c Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi
- c Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
- c Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb
- c DTcry Azygous
0.02 ± 0.01 ab Rjl trans DTcry-13 cryIAb
- c Rojolele
0.02 ± 0.01 a Cilosari
0.01 ± 0.01 bc Ciherang
0.02 ± 0.01 ab
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5.
86
8 mm
Gambar 4.1 Pupa S. incertulas pada tanaman padi bukan transgenik
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian pada tahap in planta ini menunjukkan bahwa semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik yang diuji, kecuali galur
DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif dalam menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai
nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Hal ini disebabkan oleh sumber ketahanan intrinsik yang berbeda antara padi
Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik. Sumber ketahanan intrinsik pada padi Rojolele transgenik adalah protoxin yang berasal dari gen cryIAb, fusi dua
gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB. Sumber ketahanan intrinsik pada padi bukan transgenik umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan
karakteristik biofisik tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga Kogan 1982.
Selain itu, pada pengujian tahap in planta ini terlihat ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Menurut Schuler 2000 tingkat
ketahanan tanaman terhadap hama target tergantung pada tingkat ekspresi dari transgen, sifat toksisitas dari protein yang disandi oleh transgen, dan kerentanan
serangga hama target. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0, hal ini
disebabkan galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini,
gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang
umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur
87 T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai toksisitas yang
sangat tinggi. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 94.
Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 1. Hal ini disebabkan galur 4.2.4-
21-8-16-4 fusi mengandung dua gen cry yaitu cryIB-cryIAa yang mempunyai binding site berbeda dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman
transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan
demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi
mempunyai toksisitas yang tinggi setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang
menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur 4.2.4-21-8- 16-4 fusi tercapai dalam waktu 24 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah
infestasi mortalitasnya mencapai 89. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi mengandung gen cryIB
dengan promoter maize proteinase inhibitor yang bersifat inducible. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya hanya akan terekspresi
apabila ada gigitan serangga. Selain itu, galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai toksisitas yang tinggi setelah galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan dan galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada
galur 3R7-8-15-2-7 mpi tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 78.
Selain faktor kontrol ekspresi gen dan toksisitas yang menyebabkan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, galur
4.2.4-21-8-16-4 fusi dan galur 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai ketahanan tinggi, faktor jumlah salinan gen copy number juga turut berperan. Padi Rojolele
transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur 3R7-
88 8-15-2-7 mpi mempunyai jumlah salinan gen copy number cukup banyak
Tabel 4.4. Dengan jumlah salinan gen copy number yang banyak tersebut kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih tinggi. Jumlah salinan gen copy
number pada beberapa kasus berkorelasi dengan ekspresi gen, meskipun tidak selalu demikian, posisi insersi gen pada genom sangat menentukan tingkat
ekspresinya. Tabel 4.4 Jumlah salinan gen copy number pada berbagai perlakuan
Perlakuan Jumlah salinan gen
copy number Sumber
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 2
Rachmat et al. 2007 Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
1 Rachmat et al. 2007
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 6 Rachmat
et al. 2007 Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 6
Rachmat et al. 2007
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 5 Novalina
2000 Rjl trans DTcry-13 cryIAb 1
Rachmat 2006
Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28- 26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Hal ini diduga disebabkan
gennya kurang terekspresi karena situs insersi gen kurang tepat dalam genom tanaman. Menurut Satoto 2003 ekspresi transgen yang dicerminkan oleh tingkat
ketahanan diduga ditentukan oleh situs insersi transgen dalam genom tanaman. Selain itu, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai
toksisitas moderat. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur 4.2.3-28-15-
2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi tercapai dalam waktu 24 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya masing-masing mencapai
74.5 dan 73.5. Padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium
masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 7. Hal ini disebabkan jumlah salinan gen copy number yang sedikit Tabel 4.4 dan diduga situs insersi
gen kurang tepat dalam genom tanaman. Dengan jumlah salinan gen copy number yang sedikit kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih rendah dan
89 situs insersi gen yang kurang tepat dapat menyebabkan gen kurang terekspresi.
Selain itu, galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium mempunyai toksisitas yang rendah. Hal ini terbukti pada pengujian tahap in vitro yang menunjukkan
mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium tercapai dalam waktu 48 jam setelah infestasi dan pada 72 jam
setelah infestasi mortalitasnya hanya mencapai 69.5. Selain itu diduga hal ini disebabkan oleh generasi galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium ini
masih generasi awal yaitu generasi ke-2. Menurut Meyer 1995 uji ketahanan galur padi transgenik pada generasi awal mempunyai kelemahan yaitu pada
umumnya pada tanaman transgenik generasi 2-3 masih terdapat keragaman antar tanaman yang sangat besar.
Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium sama
mengandung gen cryIAb, namun kedua galur tersebut mempunyai nilai ketahanan yang berbeda. Galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0, sementara galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan
pada skala 7. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh faktor jumlah salinan gen copy number yang berbeda Tabel 4.4, posisi insersi gen dalam genom tanaman
dan tingkat toksisitas yang berbeda. Perbedaan jumlah salinan gen copy number pada kedua galur tersebut disebabkan oleh perbedaan teknik transformasi. Galur
T9-6.11-420 teknik transformasinya melalui penembakan dan galur DTcry-13 melalui Agrobacterium. Teknik transformasi genetika melalui penembakan pada
umumnya menghasilkan tanaman transgenik dengan salinan transgen ganda yang sangat banyak Vain et al. 2002, sementara teknik transformasi genetika melalui
Agrobacterium pada umumnya menghasilkan tanaman transgenik dengan salinan transgen yang relatif sedikit Maftuchah 2003.
Galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan pada skala 9. Hal ini disebabkan galur DTcry Azygous adalah segregan yang
mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null. Dengan demikian sumber ketahanan intrinsik pada galur DTcry Azygous ini bukan
90 protoxin, tetapi sama dengan padi bukan transgenik yaitu berasal dari karakteristik
biokimia dan karakteristik biofisik tanaman Kogan 1982.
Kesimpulan
1. Protoxin dalam semua galur padi Rojolele transgenik, kecuali galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lebih efektif dalam menangkal kerusakan
dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas serta mempunyai nilai ketahanan yang tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik.
2. Ada perbedaan nilai ketahanan antar galur padi Rojolele transgenik. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan 3R7-8-15-2-7 mpi mempunyai nilai
ketahanan pada skala 1. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi mempunyai nilai ketahanan pada skala 3. Padi
Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium dan galur DTcry Azygous masuk kategori rentan dengan nilai ketahanan masing-
masing pada skala 7 dan 9.
Daftar Pustaka
Bahagiawati. 2001. Manajemen resistensi serangga hama pada pertanaman tanaman transgenik Bt. Buletin AgroBio 41:1-8.
Cohen MB. 2000. Bt rice: practical steps to sustainable use. International Rice Research Notes 252:4-10.
Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect
pest. Theor Appl Genet 97:20-30. Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops
resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513. Heinrich EA, FG Medrano, HR Rapusas. 1985. Genetic Evaluation for Insect
Resistance in Rice. Los Banos, Philippines: Intl Rice Res Inst. p 356. Ho NH et al. 2006. Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against
yellow stem borer in transgenic elite vietnamese rice Oryza sativa L. cultivars. Crop Sci 46:781-789.
91 Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH
Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley Sons. pp 93-134.
Maftuchah. 2003. Transformasi genetik padi indica dengan gen cryIAb dan cryIB menggunakan Agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap
hama penggerek batang kuning Scirpophaga incertulas Walker [disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Meyer P. 1995. Understanding and controlling transgene expression. TibTech 13:332-337.
Novalina. 2000. Analisis pewarisan dan pengujian efektivitas gen cryIAb pada padi transgenik Oryza sativa L untuk ketahanan terhadap penggerek
batang padi kuning Scirpophaga incertulas [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi Oryza sativa L. transgenik
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmat et al. S. 2007. Aplikasi teknologi DNA untuk ketahanan terhadap hama
penggerek batang padi serta uji keamanan lingkungan [laporan teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. hal.67-73.
Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi Oryza sativa L
untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.
SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc.
Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi
rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Schuler TH. 2000. The impact of insect resistant GM crops on populations of natural enemies. Antenna 24:59-65.
Vain P, VA James, B Worland, JW Snape. 2002. Transgene behaviour across two generations in a large random population of transgenic rice plants
produced by particle bombardment. Theor Appl Genet 105:878-889.
92 Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium
based on amplified fragment length polymorphism AFLP
TM
marker. Theor Appl Genet 100:118-126.
Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem
borer. Plant Cell Reports 17:129-132. Ye GY, J Tu, C Hu, K Datta, SK Datta. 2001. Transgenic IR72 with fused Bt
gene cry1Abcry1Ac from Bacillus thuringiensis is resistant against four lepidoptera species under field condition. Plant Biotechnol 18:125-
133.
BAB V KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG
GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER
LEPIDOPTERA: PYRALIDAE PADA TAHAP LAPANGAN TERBATAS
Abstrak
Penggerek batang padi kuning S. incertulas hidup dan makan di dalam batang padi. Hal ini menyebabkan hama S. incertulas sulit untuk dikendalikan
sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil. Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani untuk mengendalikan hama S. incertulas.
Untuk mengurangi penggunaan insektisida telah dikembangkan tanaman padi transgenik
yang tahan S. incertulas.
Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas,
penelitian tahap lapangan terbatas dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada
November 2007–April 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan
meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida,
Cilosari, dan Ciherang. Ukuran plot yang digunakan adalah 9 m x 5 m, dan jarak antar plot 0.5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam padi
Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif
sundep maupun pada stadium generatif beluk. Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan
perlakuan tanpa insektisida. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan sama dengan perlakuan
insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele. Kata kunci: keefektifan, padi transgenik, S. incertulas
94
Abstract
The rice yellow stemborer S. incertulas lives and feeds inside the stems of rice plant. This behavior causes S. incertulas difficult to control and resulted in
failures of harvest and yield loss. At present, most of farmers depend the rice stemborer control on insecticide. To reduce insecticide use, development of
transgenic rice plant
that are resistant to S. incertulas that effort a promising opportunity.
To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, a limited field test was conducted at Pusakanegara
Research Station - Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from November 2007-April 2008. Randomize complete block design with 5 treatments
and 5 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice T9- 6.11-420 line cryIAb by particle bombardment, Rojolele non insecticide,
Rojolele with insecticide, Cilosari, and Ciherang varieties. The plot size was 9 m x 5 m, and the distance between plot was 0.5 m. The result showed that
protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment effective to suppress S. incertulas infestation at the vegetative and
the generative stages. At the vegetative stage, protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment could suppress S. incertulas
infestation deadhearts about 3-4 fold and at the generative stage whiteheads about 5-57 fold compared to non insecticide treatment. Protoxin in transgenic
Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment was as effective as insecticide treatment with active ingredient were carbofuran and dimehipo.
The yield of transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment was the lowest, i.e. it was only17 than Rojolele.
Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas
Pendahuluan
Di Indonesia terdapat enam spesies penggerek batang padi Hattori Siwi 1986. Dari keenam spesies penggerek batang padi tersebut, penggerek batang
padi kuning Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae adalah yang paling dominan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Lombok
Manwan et al. 1990; Hendarsih et al. 2002. Larva penggerek batang padi kuning S. incertulas makan bagian dalam
batang padi. Pada saat menetas, larva instar-1 S. incertulas segera menyebar mencari anakan tanaman padi dan segera masuk ke dalam batang tanaman padi,
yang normalnya satu larva menginfestasi satu anakan. Hal tersebut menyebabkan larva S. incertulas terlindungi dari musuh alami dan insektisida Bandong
Litsinger 2005, sehingga hama S. incerulas ini sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil.
95 Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani dalam mengendalikan
hama S. incertulas. Kondisi tersebut sangat beresiko karena penggunaan insektisida yang terus menerus berdampak negatif terhadap lingkungan seperti
hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, berpengaruh negatif terhadap organisma non target, dan residu insektisida Metcalf 1982;
Sutanto 2002. Untuk mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama
penggerek batang padi, pada saat ini telah dikembangkan tanaman padi transgenik dengan menggunakan gen Bt baik dengan gen cry tunggal ataupun dua gen cry
Ho et al. 2006. Hasil penelitian National Center for Food and Agricultural Policy
NCFAP pada tanaman kapas menunjukkan pemanfaatan kapas Bt mampu menekan penggunaan insektisida. Data dari enam sentra produksi kapas
mengindikasikan terjadinya pengurangan penggunaan insektisida untuk bollwormbudworm, dan pink bollworm sekitar 2 juta lbs pada tahun 1998 dan
2.7 juta lbs pada tahun 1999. Jumlah aplikasi insektisida juga menurun sekitar 8.7 juta pada tahun 1998 dan 15 juta pada tahun 1999, atau 13 dan 22 dari total
jumlah aplikasi insektisida pada tahun 1995 Berenbaum et al. 2002. Penggunaan kapas Bt di Arizona untuk pink bollworm pada tahun 1997
mengurangi 5.4 aplikasi insektisida dan petani dapat menghemat 80 per hektar William dalam Berenbaum et al. 2002.
Di India, penggunaan kapas Bt efektif mengendalikan bollworms Manjunath 2005 dan dapat mengurangi 70 aplikasi insektisida, serta
menghemat biaya insektisida sekitar US30 per hektar. Pengurangan aplikasi pestisida pada pertanaman kapas Bt dilaporkan juga di Cina, dan proporsi
penggunaan pestisida berkurang dari 22 sampai 4.7 Christou et al. 2006. Dengan tujuan untuk mengendalikan serangan hama padi dari ordo
lepidoptera, terutama hama penggerek batang padi kuning S. incertulas, penggerek batang padi bergaris C. suppressalis, dan penggulung daun
Cnaphalocrocis medinalis beberapa laboratorium di dunia saat ini telah mentransformasi padi dengan gen Bt, dan mengevaluasinya di rumah kaca dan
96 lapangan, tetapi belum ada varietas padi Bt yang dilepas ke petani Berenbaum et
al. 2002. Gen cryIAb Bt telah berhasil ditransformasi ke varietas Rojolele
Javanica melalui teknik penembakan Slamet-Loedin et al. 1998. Berdasarkan pengujian sampai dengan generasi kelima, telah terbukti bahwa gen cryIAb Bt
tetap diwariskan pada turunannya dan telah teridentifikasi galur-galur potensial tahan S. incertulas Satoto 2003. Namun demikian, keefektifan galur tersebut
belum teruji pada tahap lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik yang mengandung gen cryIAb
terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas di lapangan terbatas.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April
2008.
Bahan dan Alat
Materi penelitian yang digunakan terdiri dari tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik
penembakan dan tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang.
Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan
metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan
ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris- HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M
sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65
o
C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1
97 dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada
suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm,
selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang
dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20
o
C. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl
[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss
forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H
2
O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’
cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95
o
C 3 menit 1 siklus, 95
o
C 1 menit, 55
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8
dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE.
Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil
elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.
Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang
berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele
transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang.
Bibit galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan berumur 36 hari
98 setelah sebar HSS, varietas Rojolele berumur 27 HSS, dan Cilosari serta
Ciherang berumur 13 HSS ditanam pada petak percobaan berukuran 9 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan jarak antar plot 0.5 m. Pada saat tanam,
dilakukan pemupukan dengan 40 kg Nha dan 40 kg P
2
O
5
ha, pada 25 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha, dan pada 50 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha.
Plot perlakuan varietas Rojolele yang diaplikasi insektisida diberi insektisida berbahan aktif karbofuran dan dimehipo. Insektisida berbahan aktif karbofuran
diaplikasikan pada periode pertumbuhan vegetatif dengan dosis 20 kgha dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali. Insektisida berbahan aktif dimehipo
diaplikasikan pada saat tanaman padi mencapai stadium generatif dengan dosis 2 lha konsentrasi 4 ccl dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali sampai 10
hari menjelang panen. Di sekeliling percobaan ditanam varietas Rojolele selebar 3 m sebagai isolasi terhadap varietas yang ditanam di sekitarnya.
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam sampai 10 hari menjelang panen. Variabel yang diamati adalah tingkat
serangan S. incertulas pada 72 rumpun sampel secara acak pada setiap plot perlakuan dan hasil panen dari setiap plot perlakuan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada
taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990.
Hasil
Penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat menyerang pada semua stadium pertumbuhan tanaman padi Alam et al. 1998. Serangan S. incertulas
pada stadium vegetatif dapat menimbulkan gejala sundep dan pada stadium generatif dapat menimbulkan gejala beluk. Pada pengujian lapangan terbatas ini
populasi hama S. incertulas di lokasi pengujian tinggi pada 2 dan 4 minggu setelah tanam dan sangat rendah sampai menjelang panen. Kondisi populasi S.
incertulas seperti ini berpengaruh pada besarnya tingkat intensitas serangan yang ditimbulkan.
Pada 2 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep cukup tinggi berkisar 0.46-10.63. Namun demikian, pada padi Rojolele
99 transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan belum terlihat
adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas sundep jika dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, varietas Rojolele dengan
insektisida, varietas Cilosari, dan varietas Ciherang. Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas sundep pada varietas Cilosari dan varietas Ciherang
terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida dan Rojolele dengan insektisida P=0.0193 Gambar 5.1.
Pada 4 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep meningkat pada semua varietas dan galur padi yang diuji. Intensitas serangan S.
incertulas sundep tertinggi terlihat pada varietas Rojolele tanpa insektisida dengan tingkat intensitas serangan sebesar 13.26 dan terendah terlihat pada
varietas Ciherang dengan tingkat intensitas serangan sebesar 2.61. Intensitas serangan S. incertulas sundep pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, tetapi tidak berbeda dengan varietas
Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang P=0.0168 Gambar 5.1. Pada 6 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep
menurun pada semua varietas dan galur padi yang diuji dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 1. Namun demikian masih terlihat adanya perbedaan
intensitas serangan S. incertulas antar varietas dan antar galur padi yang diuji. Intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele dengan insektisida
terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida dan Cilosari dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.09.
Namun demikian intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele dengan insektisida tersebut tidak berbeda dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-
420 cryIAb melalui teknik penembakan dan varietas Ciherang. Pada varietas Rojolele tanpa insektisida tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S.
incertulas sundep dengan varietas Cilosari P=0.0042. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas sundep dan keefektifannya sama dengan varietas Ciherang dan perlakuan dengan insektisida
Gambar 5.1.
100 Pada 8 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas sundep
rendah dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 2. Intensitas serangan S. incertulas sundep pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari.
Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas sundep pada varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi Rojolele transgenik galur
T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, dan Cilosari. Namun demikian intensitas serangan S. incertulas
sundep pada varietas Ciherang tersebut tidak berbeda dengan Rojolele dengan insektisida P=0.0295 Gambar 5.1.
ab a
a
b b
bc a
ab
bc c
b a b a
b ab abbca
c 2
4 6
8 10
12 14
R ata
-r ata
in te
n sita
s s e
ra n
g an
S
in c
ert u
la s
2 4
6 8
Waktu pengamatan MST
Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida
Rojolele dengan insektisida Cilosari
Ciherang
Gambar 5.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium vegetatif. MST–
Minggu setelah tanam.
Pada stadium generatif sampai menjelang panen, intensitas serangan S. incertulas beluk pada semua varietas dan galur padi yang diuji sangat rendah
dengan intensitas serangan kurang dari 2. Pada 10 minggu setelah tanam, belum terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas beluk pada
semua varietas dan galur padi yang diuji P=0.2869 Gambar 5.2.
101 Pada 12 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas beluk
pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele
tanpa insektisida dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.4. Namun demikian, intensitas serangan S. incertulas beluk pada padi Rojolele transgenik
galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tersebut tidak berbeda jika dibandingkan dengan varietas Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan
Ciherang P=0.0192 Gambar 5.2.
a a
a
a a
b a
b b b
c a
b b ab
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4 1.6
1.8 2
R ata
-r ata
in te
n sita
s s er
an g
an S
. in ce
rtu la
s
10 12
14 Waktu pengamatan MST
Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida
Rojolele dengan insektisida Cilosari
Ciherang
Gambar 5.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium generatif. MST–
Minggu setelah tanam.
Pada 14 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas beluk pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang.
Intensitas serangan S. incertulas beluk pada varietas Ciherang terlihat tidak berbeda dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan
102 insektisida, dan Cilosari. Intensitas serangan S. incertulas beluk pada varietas
Cilosari terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan Rojolele tanpa insektisida, tetapi tidak berbeda dengan Rojolele dengan insektisida P=0.0049
Gambar 5.2.
Hasil panen
Salah satu tujuan perakitan varietas unggul tahan hama adalah untuk mendapatkan varietas yang mampu menangkal kerusakan oleh hama sehingga
tanaman mampu berproduksi secara optimal. Dalam penelitian ini ada indikasi hasil yang bertolak belakang. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan terbukti mampu menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas. Tetapi dari sisi produksi, tanaman
padi Rojolele transgenik tersebut tidak mampu berproduksi secara optimal. Hal ini dapat terlihat dari hasil panen yang diperoleh pada saat pengujian.
Pada pengujian lapangan terbatas, hasil panen GKP maupun GKG padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan nyata
paling rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Hasil panen GKP dan GKG padi
Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan adalah 2.76 kg45 m
2
dan 2.18 kg45 m
2
atau setara dengan 0.61 tha dan 0.48 tha. Hasil panen tertinggi terlihat pada varietas Ciherang yang tidak berbeda
dengan Cilosari. Hasil panen GKP dan GKG varietas Ciherang adalah 32.19 kg45 m
2
dan 27.82 kg45 m
2
atau setara dengan 7.15 tha dan 6.18 tha, dan hasil panen GKP dan GKG varietas Cilosari adalah 32.14 kg45 m
2
dan 27.09 kg45 m
2
atau setara dengan 7.14 tha dan 6.02 tha. Sementara itu, hasil panen varietas Rojolele tanpa insektisida dan Rojolele dengan insektisida terlihat sedang dan
antar kedua varietas tersebut tidak terlihat adanya perbedaan hasil panen. Hasil panen GKP dan GKG varietas Rojolele dengan insektisida adalah 19.50 kg45
m
2
dan 15.81 kg45 m
2
atau setara dengan 4.33 tha dan 3.51 tha, dan hasil panen GKP dan GKG varietas Rojolele tanpa insektisida adalah 18.44 kg45 m
2
dan 15.24 kg45 m
2
atau setara dengan 4.09 tha dan 3.39 tha P=0.0001; P=0.0001 Gambar 5.3.
103
c b
b a
a
c b
b a
a
5 10
15 20
25 30
35
R a
ta -r
a ta
ha si
l pa ne
n kg
45 m 2
GKP GKG
Kondisi gabah
Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida
Rojolele dengan insektisida Cilosari
Ciherang
Gambar 5.3 Rata-rata hasil panen pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik. GKP- Gabah kering panen; GKG- Gabah kering giling
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian pada lapangan terbatas ini dapat dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif sundep maupun pada stadium generatif beluk. Pada stadium vegetatif, padi
Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali jika
dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Pada stadium generatif, padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan
mampu menekan serangan S. incertulas beluk lebih tinggi yaitu sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Selain itu terlihat
bahwa keefektifan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan ini sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif
karbofuran dan dimehipo. Tingginya keefektifan galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dalam menekan serangan S. incertulas ini disebabkan
104 galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dengan promoter yang bersifat
constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur
tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002. Selain itu, galur T9-6.11-
420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai jumlah salinan gen copy number cukup banyak yaitu 5 Novalina 2000. Dengan jumlah salinan gen
copy number yang banyak tersebut kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih tinggi. Jumlah salinan gen copy number pada beberapa kasus berkorelasi dengan
ekspresi gen, meskipun tidak selalu demikian. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida yang sangat tinggi dan mampu menekan perkembangan larva
S. incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100 pada 4 hari setelah infestasi Wu et al. 1997; Datta et al. 1998; Cheng et al. 1998. Hasil
pengujian pada tahap in vitro juga menunjukkan mortalitas 50 larva instar-1 S. incertulas pada galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tercapai
dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 94. Demikian pula pada pengujian tahap in planta
terbukti padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0.
Selain itu, pada pengujian lapangan terbatas ini ada indikasi bahwa varietas Cilosari dan Ciherang tahan terhadap serangan S. incertulas. Namun
demikian, ketahanan kedua varietas tersebut terlihat tidak konsisten. Adanya fenomena seperti ini di duga disebabkan varietas Cilosari dan Ciherang ini
mendapatkan ketahanan ekologi pseudoresistance yaitu sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik, tetapi sepenuhnya oleh faktor
lingkungan yang memungkinkan munculnya penampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama. Sifat ketahanan ini tidak tetap dan biasanya merupakan sifat
sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama Panda Khush 1995; Untung 2006 seperti varietas Cilosari dan
Ciherang. Berdasarkan hasil panen pada pengujian lapangan terbatas ini dapat
dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
105 penembakan hasilnya sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan
varietas Rojolele. Rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 cryIAb melalui teknik penembakan diduga antara lain disebabkan sebagian
besar energi tanaman dialokasikan untuk pertahanan. Keadaan ini sesuai dengan teori hubungan antara tingkat pertahanan dan hasil yang dikemukakan oleh Kogan
1986 bahwa jika pertahanan rendah, produktivitas mencapai maksimum dalam keadaan tidak ada hama. Tetapi ketika tanaman meningkatkan infestasi energinya
pada pertahanan, mereka mencapai suatu batas atas metabolic cost hargabiaya metabolisme, pada batas ini tidak ada reproduksi dan tanaman dengan gen untuk
ketahanan yang ekstrim dihilangkan. Selain itu, rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan ini
disebabkan adanya indikasi pengurangan hasil yield penalty yang dapat diakibatkan oleh variasi somaklonal akibat kultur jaringan atau pengaruh posisi
insersi gen pada genom tanaman. Dalam pengembangan tanaman transgenik secara komersial seharusnya dilakukan backcrossing dari galur tahan untuk
menghindari dampak dari variasi somaklonal akibat perlakuan kultur jaringan dan galur yang dihasilkan umumnya dalam jumlah besar sehingga seleksi fertilitas
dapat dilakukan pada tahap awal.
Kesimpulan
1. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada
stadium vegetatif sundep maupun pada stadium generatif beluk. 2. Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-
6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan mampu menekan serangan S. incertulas sundep sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75
kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. 3. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo.
106 4. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan sangat rendah, yaitu hanya 17 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele.
Daftar Pustaka
Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to
yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow
stemborer Scirpophaga incertulas Walker Lepidoptera: Pyralidae. Inter Jour Pest Manag 511:37-43.
Berenbaum MR, RT Carde, GE Robinson. 2002. Economic, ecological, food safety, and social consequences of the deployment of Bt transgenic plants.
Annu Rev Entomol 47:845-881. Cheng X, R Sardana, H Kaplan, I Altosar. 1998. Agrobacterium-transformed rice
plants expressing synthetic cryIAb and cryIAc genes are highly toxic to striped stem borer and yellow stem borer. PNAS 956:2767-2772.
Christou P, T Capell, A Kohli, JA Gatehouse, AMR Gatehouse. 2006. Recent developments and future prospects in insect pest control in transgenic
crops. TRENDS in Plant Science 116:302-308. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the
cryIAb gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97:20-30.
Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513.
Hattori I., SS Siwi. 1986. Rice stemborers in Indonesia. Tropical Agricultural Research Center. Tarc 201:25 – 26.
Hendarsih S, N Usyati, D Kertoseputro. 2002. Analisis perubahan status penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker di
kabupaten Subang, Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Purwokerto, 7 September 2002.
Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, PFI Komda Purwokerto, PEI Komda Purwokerto. 12 hlm.
Ho NH et al. 2006. Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against yellow stem borer in transgenic elite vietnamese rice Oryza sativa L.
cultivars. Crop Sci 46:781-789.
107 Kogan M. 1986. Plant defense strategies and host-plant resistance. In Kogan M,
editor. Ecological Theory and Integrated Pest Management Practice. New York: John Wiley Sons. pp 83-134.
Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits.
http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt ext=true
[5 Mei 2008]. Manwan I, E Soenarjo, MO Adnyana, T Soewito T, Sutrisno. 1990. Hasil
Pemahaman Secara Cepat Serangan Penggerek Padi di Jalur Pantura Jawa Barat MT 19891990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second
Edition. New York: John Wiley Sons. pp 217-277. Novalina. 2000. Analisis pewarisan dan pengujian efektivitas gen cryIAb pada
padi transgenik Oryza sativa L untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p.
SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc.
Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi
rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb
anti-insect proteins. Proceedings of the 4
th
Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208.
Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 218 hal. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 348 hal. Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium
based on amplified fragment length polymorphism AFLP
TM
marker. Theor Applied Genet 100:118-126.
108 Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica
rice plants expressing a modified cryIAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132.
BAB VI PERKEMBANGAN PRADEWASA DAN KEMAMPUAN
HIDUP PREDATOR Verania lineata THURNBERG COLEOPTERA: COCCINELLIDAE
PADA PADI TRANSGENIK
Abstrak
Penggunaan tanaman transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan. Namun demikian tanaman transgenik ini
masih diperdebatkan terutama mengenai potensi pengaruhnya terhadap lingkungan, diantaranya terhadap musuh alami. Untuk mempelajari
perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik, penelitian tahap laboratorium dilakukan di Laboratorium
Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan Januari-Oktober 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
rancangan acak lengkap RAL dengan 8 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-
8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang
mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen
cry null, dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yaitu varietas Rojolele.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antar galur padi Rojolele transgenik
yang diuji. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lama
perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan
dewasa predator V. lineata konsisten rendah. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi,
perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan pradewasa dan
kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Padi Rojolele transgenik galur
4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata.
Kata kunci: padi transgenik, predator V. lineata
110
Abstract
The use of transgenic crops in agricultural production system can provide several benefits. However, uses of transgenic crops has raised debate about their
potential impact on the environment, such as on natural enemies. To study the impact of transgenic to natural enemies, we conducted a study on larvae
development and survival of insect predator V. lineata in transgenic Rojolele rice. Laboratory test was conducted at laboratory of Molecular Biology, Research
Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from January-October 2009. Completely randomize design with 8 treatments and 30
replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28- 15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes cryIB-cryIAa,
3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry Azygous is a
segregate and does not contain cry gene null, DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice Rojolele variety. The result
showed that there were differences of larvae development and survival of insect predator V. lineata among transgenic Rojolele rice lines. In transgenic Rojolele
rice T9-6.11-420 line cryIAb gene by particle bombardment and DTcry-13 line cryIAb gene by Agrobacterium, life time, developmental stage, the number
eclosion of adult female, adult weight, and survival of preimaginal and adult of insect predator V. lineata were consistantly low. In transgenic Rojolele rice
4.2.3-28-15-2-7 line, 3R9-8-28-26-2 line, and 3R7-8-15-2-7 line had no consistant effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. DTcry
Azygous line had no effect on larvae development and survival of insect predator V. lineata. Whereas transgenic Rojolele rice 4.2.4-21-8-16-4 line had
one effect in decreasing of adult weight of insect predator V. lineata.
Key words: transgenic rice, predator V. lineata Pendahuluan
Penggunaan tanaman transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan, seperti mengurangi penggunaan insektisida
konvensional yang berspektrum luas, menekan hama target, meningkatkan hasil, mengurangi biaya produksi untuk meningkatkan keuntungan, dan meningkatkan
kesempatan untuk pengendalian biologi Naranjo et al. 2005. Namun demikian, tanaman transgenik ini masih diperdebatkan terutama mengenai potensi
pengaruhnya terhadap lingkungan. Isu yang sering menjadi bahan perdebatan adalah mengenai potensi pengaruhnya terhadap biodiversitas, terutama
pengaruhnya terhadap organisma bukan sasaran termasuk serangga herbivor bukan sasaran, musuh alami, dan mikrobiota tanah. Isu lainnya adalah serangga
yang berkembang menjadi tahan dan perpindahan gen yang diinsersikan dari tanaman ke tanaman liar atau gulma Fontes et al. 2002; Naranjo et al. 2005.
111 Agroekosistem terdiri dari interaksi tropik yang kompleks, dengan
tanaman sebagai basis jaring-jaring makanan ini. Banyak aspek fisiologi, ekologi dan perilaku organisma di dalam ekosistem ditentukan oleh interaksi dengan
organisma yang sama atau tingkat tropik yang lain Ferry et al. 2007. Musuh alami seperti predator dan parasitoid adalah regulator populasi
hama. Kemampuan hidup musuh alami tergantung pada suplai serangga inang hama, artinya berkurangnya jumlah inang hama yang makan pada tanaman
transgenik akan mempengaruhi kerapatan populasi musuh alami O’Callaghan 2005. Tanaman transgenik dapat mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara
yaitu: 1 langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; 2 makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan 3 melalui
pengurangan populasi inang Losey et al. 2004; O’Callaghan 2005. Menurut Dutton et al. 2003 dan Fontes et al. 2002, pengaruh tanaman transgenik
terhadap musuh alami dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung disebabkan oleh pengaruh toxin secara langsung terhadap
musuh alami. Pengaruh tidak langsung terjadi karena reduksi dari jumlah dan kualitas inang atau mangsa dan secara tidak sengaja introgresi gen menyebabkan
perubahan sifat fisik dan kimia tanaman, sehingga tanaman tidak menarik untuk dikunjungi musuh alami.
Coleoptera penting dalam penelitian agro-ekologi karena jumlah spesiesnya yang besar, distribusinya yang kosmopolitan, dan berperan sebagai
agen pengendali hayati. Coleoptera seperti kumbang coccinellid selain sebagai predator juga makan pollen tanaman dan nektar dari bunga. Kegunaannya sebagai
makanan alternatif yang penting untuk potensi reproduksi coccinellid dan untuk bertahan hidup ketika makanan utamanya jarang. Di dalam pertanian, kumbang
coleoptera ini penting karena sebagai spesies indikator kunci yang digunakan untuk memonitor perubahan ekologi atau lingkungan, termasuk biodiversitas
Ferry et al. 2007. Banyak studi agro-ekologi yang telah mencoba untuk menentukan
pengaruh tanaman transgenik terhadap predator dari ordo coleoptera maupun predator dari ordo lainnya. Namun hasilnya berbeda-beda dan tidak konsisten,
bergantung pada jenis predatornya. Pilcher et al. 1997 melaporkan tidak ada
112 pengaruh negatif dari pollen tanaman transgenik protein cryIAb terhadap
perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator Coleomegilla maculata DeGeer Coleoptera: Coccinellidae, Orius insidiosus Say Heteroptera:
Anthocoridae, dan Chrysoperla carnea Stephens Neuroptera: Chrysopidae. Demikian juga Ferry et al. 2007 melaporkan Bt cry3A tidak mempunyai
pengaruh negatif terhadap reproduksi dan aktivitas kumbang Harmonia axyridis Coleoptera: Coccinellidae dan kumbang Nebria brevicollis Coleoptera:
Carabidae. Hilbeck et al. 1998 mengamati mortalitas larva C. carnea yang memangsa Ostrinia nubilalis dan Spodoptera littoralis yang dipelihara pada
tanaman jagung Bt dan non-Bt. Mereka menemukan persentase mortalitas larva C. carnea yang memangsa O. nubilalis yang diperbanyak pada tanaman jagung Bt
lebih tinggi 62 daripada mortalitas larva predator pada jagung non-Bt 37. Hal serupa tidak terjadi pada C. carnea yang memangsa S. littoralis, baik pada
tanaman jagung Bt maupun jagung non-Bt. Dutton et al. 2002 melaporkan C. carnea yang makan Tetranychus urticae yang mengandung toxin cryIAb atau
yang makan Rhopalosiphum padi yang tidak mencerna toxin, tidak mempengaruhi kemampuan hidup, perkembangan, atau berat C. carnea. Sebaliknya secara nyata
meningkatkan mortalitas dan memperlambat perkembangan predator C. carnea ketika makan S. littoralis.
Studi untuk mempelajari pengaruh tanaman transgenik khususnya tanaman padi transgenik terhadap predator V. lineata belum pernah dilakukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat
Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan Januari - Oktober 2009.
Bahan dan Alat Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah predator V.
lineata dan wereng coklat. Imago predator V. lineata diambil dari pertanaman
113 padi yang sedang berbunga di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang-Jawa Barat.
Selanjutnya imago predator V. lineata dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang
sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru generasi ke-2. Telur yang dihasilkan dari imago predator V. lineata generasi ke-2 ini selanjutnya dibagi
dua, sebagian digunakan untuk perbanyakan dan sebagian lagi digunakan untuk pengujian.
Imago wereng coklat diambil dari pertanaman padi di Cibinong-Bogor. Selanjutnya imago wereng coklat dipelihara pada tanaman padi varietas Rojolele
di rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru generasi ke-2. Nimfa instar-
2 dari wereng coklat generasi ke-2 ini digunakan untuk pakan predator V. lineata dalam pengujian.
Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung
fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb
melalui teknik penembakan, galur DTcry Azygous yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry null, dan galur
DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi bukan transgenik yaitu varietas Rojolele.
Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan
metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman kontrol tidak ditransformasi [varietas Rojolele],
daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 3R9-8-28-26-2 mpi, dan galur 3R7-8-
15-2-7 mpi], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur T9- 6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan], serta daun tanaman padi Rojolele
transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium]. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan
nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer
114 isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M
NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1.
Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65
o
C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1 dan dikocok.
Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl
isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70 etanol dan
disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM
EDTA. Sampel DNA disimpan di -20
o
C. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5
mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ngµl primer, 0.05 µµl taq polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H
2
O]. Primer yang didesain untuk memperbanyak fragmen DNA 785 bp dari fusi dua gen cryIB-cryIAa
mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk
memperbanyak bagian 1.9 kb dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg
3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95
o
C 3 menit; 95
o
C 1 menit, 60
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 35 siklus; 72
o
C 10 menit. Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95
o
C 3 menit, 95
o
C 1 menit, 62
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8 dan diwarnai
dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE. Larutan buffer berasal
dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan
difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000. Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl
[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5
115 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss
forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H
2
O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’
cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95
o
C 3 menit 1 siklus, 95
o
C 1 menit, 55
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8
dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE.
Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil
elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.
Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang
berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan 8 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur
4.2.3-28-15-2-7 fusi, B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, C = Rjl trans galur 3R9-8-28-26-2 mpi, D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 mpi, E = Rjl trans
galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, F = galur DTcry Azygous, G = Rjl trans galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, H =
varietas Rojolele. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang
dikemukakan oleh Pilcher et al. 1997. Tahap-tahap pengujian adalah sebagai berikut: larva instar-1 predator V. lineata ditempatkan pada tabung gelas
berukuran 3 cm x 20 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut dimasukkan bunga padi pollen dan anther sesuai perlakuan, wereng coklat instar-2, madu, dan air
sebagai pakan predator. Banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan sebagai pakan disesuaikan dengan perkembangan predator. Untuk instar-1 dan 2
116 banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan sebanyak 0.01 gram.
Untuk instar-3, 4, dan imago banyaknya bunga padi pollen dan anther yang diberikan masing-masing adalah: 0.02 gram, 0.03 gram, dan 0.04 gram.
Banyaknya wereng coklat yang diberikan adalah 5 ekor untuk setiap perlakuan. Madu diberikan dalam bentuk kapas basah yang dicelupkan pada larutan madu
10, dan air diberikan dalam bentuk kapas basah yang dicelupkan dalam air. Pergantian pakan dilakukan setiap 2 hari sekali.
Pengamatan perkembangan predator V. lineata dilakukan setiap hari dari mulai instar-1 sampai imago mati. Variabel yang diamati meliputi: lama
perkembangan pada setiap stadia perkembangan, persentase individu yang gagal mencapai perkembangan, persentase individu yang berhasil mencapai
perkembangan, persentase imago jantan yang muncul, persentase imago betina yang muncul, berat imago total, berat imago jantan, berat imago betina,
kemampuan hidup pradewasa, dan kemampuan hidup dewasa. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam ANOVA dan
perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5 dengan menggunakan program SAS 1990.
Hasil Lama perkembangan predator V. lineata
Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan lama perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan antar galur
padi Rojolele transgenik yang diuji. Perbedaan ini mulai terlihat pada stadium perkembangan instar-2 sampai imago Tabel 6.1.
Lama perkembangan predator V. lineata dari mulai instar-3 sampai imago pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium terlihat konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele
P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8- 28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi lama perkembangan predator V. lineata
pada setiap stadium perkembangan terlihat tidak konsisten. Sebaliknya lama perkembangan predator V. lineata dari mulai instar-1 sampai imago kecuali pada
117 stadia pupa pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry
Azygous terlihat konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Tabel 6.1.
Predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan
Pada setiap stadium perkembangan terlihat bahwa predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium konsisten nyata lebih tinggi dibandingkan dengan padi bukan
transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi, predator V.
lineata yang gagal pada setiap stadium perkembangan terlihat tidak konsisten. Sebaliknya pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry
Azygous, predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele
Tabel 6.2.
Predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan
Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan keberhasilan predator V. lineata dalam mencapai setiap stadium perkembangan antar galur padi
Rojolele transgenik yang diuji. Perbedaan ini mulai terlihat pada stadium perkembangan instar-1 sampai imago Tabel 6.3.
Pada setiap stadium perkembangan terlihat bahwa predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-
420 cryIAb melalui teknik penembakan dan DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan
transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Keberhasilan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7
fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi terlihat tidak konsisten. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi dan DTcry Azygous,
predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Tabel 6.3.
118 Tabel 6.1 Rata-rata lama perkembangan predator V. lineata pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan
Perlakuan Rata-rata lama
perkembangan ± SE hari Instar-1
Instar-2 Instar-3 Instar-4
Pupa Imago Total Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi
2.00 ± 0.00 d 3.43 ± 0.35 de
2.53 ± 0.38 cd 3.80 ± 0.59 c
3.33 ± 0.67 b 23.37 ± 7.02 a
38.47 ± 7.85 bc Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
2.40 ± 0.09 bc 3.87 ± 0.13 abcd
2.83 ± 0.24 abc 6.70 ± 0.64 ab
2.73 ± 0.31 b 25.10 ± 5.58 a
43.63 ± 6.02 ab Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi
2.17 ± 0.07 cd 4.90 ± 0.19 a
2.20 ± 0.18 bcd 9.17 ± 1.41 ab
3.63 ± 1.15 bc 2.50 ± 0.82 b
24.57 ± 3.02 bc Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
2.30 ± 0.09 bc 3.67 ± 0.26 bcde
2.90 ± 0.36 bc 5.73 ± 0.87 bc
2.93 ± 0.57 bc 10.07 ± 2.89 a
27.60 ± 4.07 bc Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb
2.67 ± 0.12 a 3.27 ± 0.25 cde
1.93 ± 0.33 d 5.50 ± 1.12 c
1.37 ± 0.39 c 1.73 ± 0.59 b
16.47 ± 2.18 c DTcry Azygous
2.37 ± 0.09 bc 4.40 ± 0.15 ab
3.07 ± 0.22 ab 8.27 ± 0.82 ab
2.87 ± 0.35 b 20.53 ± 6.19 a
41.50 ± 6.74 ab Rjl trans DTcry-13 cryIAb
2.43 ± 0.09 ab 3.13 ± 0.29 e
1.73 ± 0.23 d 6.13 ± 1.51 c
1.43 ± 0.42 c 4.30 ± 2.92 b
19.17 ± 4.14 c Rojolele
2.17 ± 0.07 cd 3.87 ± 0.08 abc
3.43 ± 0.10 a 8.77 ± 0.44 a
5.50 ± 0.64 a 21.23 ± 6.07 a
44.97 ± 6.29 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5.
119 Tabel 6.2 Persentase individu predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia
perkembangan
Perlakuan Persentase individu yang gagal ± SE
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Pupa Imago
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 0.00 ± 0.00 a 33.33 ± 8.75 a
36.67 ± 8.95 ab 36.67 ± 8.95 bc 40.00 ± 9.09 c
40.00 ± 9.09 c Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
0.00 ± 0.00 a 3.33 ± 3.33 cd
3.33 ± 3.33 d 26.67 ± 8.21 bc 30.00 ± 8.51 c
30.00 ± 8.51 c Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi
0.00 ± 0.00 a 10.00 ± 5.57 bcd
16.67 ± 6.92 bcd 70.00 ± 8.51 a
73.33 ± 8.21 a 73.33 ± 8.21 a
Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi 0.00 ± 0.00 a
20.00 ± 7.43 abc 33.33 ± 8.75 abc
46.67 ± 9.26 ab 46.67 ± 9.26 bc
46.67 ± 9.26 bc Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb
0.00 ± 0.00 a 30.00 ± 8.51 a
50.00 ± 9.28 a 66.67 ± 8.75 a
70.00 ± 8.51 ab 70.00 ± 8.51 ab
DTcry Azygous 0.00 ± 0.00 a
3.33 ± 3.33 cd 13.33 ± 6.31 cd
20.00 ± 7.43 c 26.67 ± 8.21 c 26.67 ± 8.21 c
Rjl trans DTcry-13 cryIAb 0.00 ± 0.00 a
26.67 ± 8.21 ab 50.00 ± 9.28 a
70.00 ± 8.51 a 80.00 ± 7.43 a
80.00 ± 7.43 a Rojolele
0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 d
6.67 ± 4.63 d 16.67 ± 6.92 c 23.33 ± 7.85 c
23.33 ± 7.85 c Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5.
120 Tabel 6.3 Persentase individu predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan pada berbagai perlakuan dan stadia
perkembangan
Perlakuan Persentase individu yang berhasil ± SE
Instar-1 Instar-2
Instar-3 Instar-4
Pupa Imago
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 fusi 100.00 ± 0.00 a
66.67 ± 8.75 d 63.33 ± 8.95 cd
63.33 ± 8.95 ab 60.00 ± 9.09 a
60.00 ± 9.09 a Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 fusi
100.00 ± 0.00 a 96.67 ± 3.33 ab
96.67 ± 3.33 a 73.33 ± 8.21 ab
70.00 ± 8.51 a 70.00 ± 8.51 a
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi 100.00 ± 0.00 a
90.00 ± 5.57 abc 83.33 ± 6.92 abc
30.00 ± 8.51 c 26.67 ± 8.21 c
26.67 ± 8.21 c Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
100.00 ± 0.00 a 80.00 ± 7.43 bcd
66.67 ± 8.75 bcd 53.33 ± 9.26 bc
53.33 ± 9.26 ab 53.33 ± 9.26 ab
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 100.00 ± 0.00 a
70.00 ± 8.51 d 50.00 ± 9.28 d
33.33 ± 8.75 c 30.00 ± 8.51 bc
30.00 ± 8.51 bc DTcry Azygous
100.00 ± 0.00 a 96.67 ± 3.33 ab
86.67 ± 6.31 ab 80.00 ± 7.43 a
73.33 ± 8.21 a 73.33 ± 8.21 a
Rjl trans DTcry-13 cryIAb 100.00 ± 0.00 a
73.33 ± 8.21 cd 50.00 ± 9.28 d
30.00 ± 8.51 c 20.00 ± 7.43 c
20.00 ± 7.43 c Rojolele
100.00 ± 0.00 a 100.00 ± 0.00 a
93.33 ± 4.63 a 83.33 ± 6.92 a
76.67 ± 7.85 a 76.67 ± 7.85 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf nyata 5.
121
Imago predator V. lineata yang muncul
Persentase imago predator V. lineata jantan yang muncul pada semua padi Rojolele transgenik, kecuali pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13
cryIAb melalui Agrobacterium, terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0640. Sebaliknya persentase imago
predator V. lineata betina yang muncul terlihat berbeda antar padi Rojolele transgenik yang diuji P=0.0105. Pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13
cryIAb melalui Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi imago predator V. lineata betina
yang muncul terlihat nyata lebih rendah 10-13.33 dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele 40. Pada padi Rojolele transgenik galur
3R7-8-15-2-7 mpi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya perbedaan persentase imago predator
V. lineata betina yang muncul dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Tingkat kemunculan imago predator V. lineata betina adalah
26.67-43.33 Gambar 6.1.
ab ab
a ab
ab b
ab ab
ab b
ab a
b b
a a
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00
Im ag
o ya n
g m un
cul
Rj l t
ra ns
4.2.3-28- 15-2-7 F
us i
Rj l t
ran s
4. 2.
4- 21-
8-16- 4
Fu si
R jl t
ra ns
3 R
9- 8-28-
26-2 mp
i
Rj l tr
ans 3R7-8-
15-2- 7
m pi
R jl
tra ns
T 9-
6.11- 420
cr yIA
b
D T c
ry A
zygous
Rj l t
ran s
D tcr
y- 13
cr yI
A b
R oj
ol el
e
Perlakuan
Betina Jantan
Gambar 6.1 Persentase imago predator V. lineata yang muncul pada berbagai perlakuan
122
Berat imago predator V. lineata
Semua galur padi Rojolele transgenik yang diuji berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata. Hal ini dapat terlihat pada berat total, berat
imago jantan, dan berat imago betina pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele
P=0.0001; P=0.0004; P=0.0002. Namun antar galur padi Rojolele transgenik tidak terlihat adanya perbedaan berat imago. Kisaran berat imago total, berat
imago jantan, dan berat imago betina pada padi Rojolele transgenik masing- masing adalah: 0.0018-0.0040 gram, 0.0002-0.0018 gram, dan 0.0009-0.0023
gram. Kisaran berat imago total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada galur DTcry Azygous dan padi bukan transgenik varietas Rojolele masing-
masing adalah: 0.0066-0.0088 gram, 0.0014-0.0042 gram, dan 0.0046-0.0051 gram Gambar 6.2 dan 6.3.
b b
b b
b a
b a
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi
0.0000 0.0010
0.0020 0.0030
0.0040 0.0050
0.0060 0.0070
0.0080 0.0090
Ra ta
-ra ta
be ra
t i m
ago gra m
Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi
Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb
DT cry Azygous Rjl trans Dtcry-13 cryIAb
Rojolele
Jantan dan betina Jenis kelamin
Gambar 6.2 Rata-rata berat imago predator V. lineata total jantan dan betina yang muncul pada berbagai perlakuan
123
b b
b b
b b
b a
b b b
b b
a
b a
0.0000 0.0010
0.0020 0.0030
0.0040 0.0050
0.0060
Ra ta
-ra ta
be ra
t i m
ago gra m
Jantan Betina
Jenis kelamin
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T 9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Gambar 6.3 Rata-rata berat imago predator V. lineata jantan dan betina yang muncul pada berbagai perlakuan
Kemampuan hidup predator V. lineata
Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan hidup predator V. lineata baik pada pradewasa maupun dewasa antar galur padi
Rojolele transgenik yang diuji Gambar 6.4. Pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui
Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi, kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V.
lineata terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele P=0.0001. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele
transgenik galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, dan galur 3R9-8-28-26-2 mpi berpengaruh
terhadap kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata. Pada padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 mpi, galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi, galur
4.2.3-28-15-2-7 fusi, dan galur DTcry Azygous tidak terlihat adanya
124 perbedaan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata
dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele Gambar 6.4.
a a
c ab
bc a
c a
a a
c ab
bc a
c a
10 20
30 40
50 60
70 80
K e
m a
m p
ua n
h idu
p
Pradewasa Dewasa
Stadia perkembangan
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 Fusi Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 Fusi
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 mpi Rjl trans 3R7-8-15-2-7 mpi
Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb DT cry Azygous
Rjl trans Dtcry-13 cryIAb Rojolele
Gambar 6.4 Persentase kemampuan hidup predator V. lineata pada berbagai perlakuan dan stadia perkembangan
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian ini terlihat bahwa perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata berbeda antar galur padi Rojolele
transgenik yang diuji. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui
Agrobacterium, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan
hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata terlihat konsisten lebih rendah. Perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi
Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2 mpi, dan 3R7-8- 15-2-7 mpi terlihat tidak konsisten. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan
pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata terlihat konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi bukan transgenik varietas Rojolele. Sebaliknya
padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh dalam pengurangan berat imago predator V. lineata.
125 Berdasarkan hasil seperti tersebut diatas dapat dikatakan bahwa tidak
semua padi Rojolele transgenik mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata. Selain itu pada padi
Rojolele transgenik yang menunjukkan adanya pengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga pengaruh tersebut
bukan disebabkan oleh toxin. Hal ini disebabkan adanya perbedaan spesifikasi kristal protein dari gen yang digunakan. Pada penelitian ini gen yang digunakan
adalah gen cryIAb, fusi dua gen cry cryIB-cryIAa, dan gen mpi::cryIB yang spesifik untuk lepidoptera, dan tidak spesifik untuk coleoptera Coccinellidae
seperti V. lineata. Faktor utama yang menentukan kisaran inang kristal protein adalah perbedaan pH di midgut larva yang mempengaruhi proses kelarutan
solubilization dan pengubahan kristal yang tidak aktif menjadi aktif, serta keberadaan lokasi penempelan binding site yang spesifik dari protoxin di dalam
sistem pencernaan serangga Lereclus et al. 1993; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006. pH di midgut coleoptera coccinellidae adalah 6
pada larva dan 5.5 pada imago Walker et al. 1998, sementara pH di midgut lepidoptera adalah 8-10 Nation 2002. Enzim protease di midgut coleoptera
terutama adalah cysteine dan aspartic protease, sementara pada lepidoptera adalah serine protease Evans 2002. Dengan kondisi midgut pada coleoptera
Coccinellidae yang bersifat asam dan enzim protease yang berbeda maka protoxin tidak larut dan tidak berubah menjadi toxin aktif Manjunath 2005.
Selain itu pada coleoptera Coccinellidae seperti V. lineata tidak ada lokasi penempelan yang spesifik receptor dari protoxin tersebut.
Adanya pengaruh padi Rojolele transgenik terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, gen untuk protein B. thuringiensis dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman. Karena modifikasi ini
mempengaruhi tingkat ekspresi B. thuringiensis dan cara pengiriman pada tanaman, maka ada potensi tanaman transgenik B. thuringiensis untuk
mempengaruhi serangga non lepidoptera. Selain itu karena modifikasi protein ini, mungkin predator tidak mau makan pada pollen yang mengandung protein B.
thuringiensis karena kecocokan pollen sebagai sumber makanan telah berubah
126 Pilcher et al. 1997. Alasan bahwa gen untuk protein B. thuringiensis
dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman, karena jika urutan gen lengkap yang mengkode protoxin diklon dan disisipkan ke dalam
tanaman maka aras ekspresi protoxin yang dihasilkan sangat rendah sekitar 0.0001 ngmg protein total sehingga menjadi tidak efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap tanaman. Oleh karena itu yang kemudian dilakukan adalah mengklon dan mengekspresikan sebagian gen protoxin yaitu hanya bagian ujung-
N protein yang mengandung urutan toxin yang aktif. Molekul toxin yang dihasilkan di dalam tanaman transgenik dapat mencapai aras 0.01 protein total
sehingga meningkatkan ketahanan terhadap serangga hama. Ekspresi protein toxin B. thuringiensis di dalam tanaman transgenik diketahui masih lebih rendah
dibanding dengan aras ekspresi protein rekombinan yang lain. Hal ini diketahui disebabkan oleh 2 hal yaitu: 1 faktor penggunaan kodon yang berbeda antara
bakteri dengan tanaman karena genom bakteri banyak mengandung nukleotida A+T sedangkan tanaman mempunyai kandungan G+C yang tinggi sehingga
translasi mRNA menjadi tidak efisien, dan 2 kandungan A+T yang tinggi pada bakteri menghasilkan mRNA yang tidak lengkap sehingga tidak dapat ditranslasi
menjadi protein yang fungsional. Oleh karena itu kemudian dilakukan rekayasa terhadap urutan gen toxin Bt dengan cara membuat gen sintetik yang mengkode
protein yang sama tetapi dengan pola penggunaan kodon yang sesuai untuk tanaman. Hasil ekspresi gen sintetik semacam ini dapat mencapai 0.3 protein
total jika diekspresikan pada tanaman transgenik Yuwono 2006. Kedua, diduga terkait dengan hilangnya susunan makanan yang diperlukan
di dalam pollen seperti asam amino. Menurut Geng et al. 2006 pollen mengandung nutrisi dengan berat molekul kecil meliputi asam amino, sementara
nektar mengandung karbohidrat dengan konsentrasi tinggi yang dapat menyediakan energi. Pollen dan nektar dapat menyediakan diet yang komplit
untuk keberhasilan pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi sebagian besar serangga.
Ketiga, insersi gen baru ke dalam tanaman melalui rekayasa genetik dapat merubah kualitas nutrisi tanaman Dutton et al. 2002. Menurut O’Callaghan et
al. 2005 dan Riudavets et al. 2006 menyatakan manipulasi genetik dapat
127 menyebabkan perubahan dalam karakteristik tanaman, seperti C:N rasio,
kandungan lignin, kandungan nitrogen, dan kandungan karbohidrat.
Kesimpulan
1. Ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antar galur padi Rojolele transgenik yang diuji.
2. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan dan galur DTcry-13 cryIAb melalui Agrobacterium, lama
perkembangan, keberhasilan dalam mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan
dewasa predator V. lineata konsisten rendah. 3. Pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 fusi, 3R9-8-28-26-2
mpi, dan 3R7-8-15-2-7 mpi, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten.
4. Pada galur DTcry Azygous, perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan padi
bukan transgenik varietas Rojolele. 5. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 fusi hanya berpengaruh
dalam pengurangan berat imago predator V. lineata.
Daftar Pustaka
Bahagiawati.. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 12:76-84.
Dutton A, H. Klein, J Romeis, F Bigler. 2002. Uptake of Bt-toxin by herbivores feeding on transgenic maize and consequences for the predator
Chrysoperla carnea. Ecol Entomol 27:441-447. Dutton A, J Romeis, F Bigler. 2003. Assessing the risks of insect resistant
transgenic plants on entomophagous arthropods: Bt-maize expressing cry1Ab as a case study. BioControl 48:611-636.
Evans HF. 2002. Environmental impact of Bt exudates from roots of genetically modified plants [final report]. Forest Research Alice Holt Lodge
Wrecclesham Farnham, Surrey GU104LH. pp 1-130.
128 Ferry N, EA Mulligan, MEN Majerus, AMR Gatehouse. 2007. Bitrophic and
tritrophic effects of Bt Cry3A transgenic potato on beneficial, non target, beetles. Transgenic Res 16:795-812.
Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 314:497-513.
Geng JH, ZR Shen, K Song, L Zheng. 2006. Effect of pollen of regular cotton and transgenic Bt+CpTI cotton on the survival and reproduction of the
parasitoid wasp Trichogramma chilonis Hymenoptera: Trichogrammatidae in the laboratory. Environ Entomol 356:1661-1668.
Hilbeck A, M Baumgartner, PM Fried, F Bigler. 1998. Effects of transgenic Bacillus thuringiensis corn-fed prey on mortality and development time of
immature Chrysoperla carnea Neuroptera: Chrysopidae. Environ Entomol 272:480-487.
Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides:
theory and practices. John Willey and Sons. Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic
insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. pp 156-159.
Manjunath TM. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits.
http:www.americanscientist.orgtemplateAssetDetailassetid14323?fullt ext=true
[5 Mei 2008]. Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene
pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 510:781-785.
Naranjo SE. 2005. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the abundance of nontarget arthropod natural enemies. Environ
Entomol 345:1193-1210. Nation JL. 2002. Digestion in: Insect Physiology and Biochemistry. United States
of Amerika: CRC Press LLC. pp 27-63. O’Callaghan M, TR Glare, EPJ Burgess, LA Malone. 2005. Effects of plants
genetically modified for insect resistance on nontarget organisms. Annu Rev Entomol 50:271-292.
Pilcher CD, JJ Obrycki, ME Rice, LC Lewis. 1997. Preimaginal development, survival, and field abundance of insect predators on transgenic Bacillus
thuringiensis corn. Environ Entomol 262:446-454.
129 Riudavets J, R Gabarra, MJ Pons, J Messeguer. 2006. Effect of transgenic Bt rice
on the survival of three nontarget stored product insect pests. Environ Entomol 355:1432-1438.
SAS Institute. 1990. SASSTAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. North Carolina: SAS Institute Inc.
Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism AFLP
TM
marker. Theor Appl Genet 100:118-126.
Walker AJ et al. 1998. Characterisation of the midgut digestive proteinase activity of the two-spot ladybird Adalia bipunctata L and its sensitivity to
proteinase inhibitors. Insect Biochem Molec Biol 283:173-180. Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 284 hal.
BAB VII POPULASI SERANGGA NONTARGET PADA PERTANAMAN
PADI TRANSGENIK
Abstrak
Kemajuan dalam bidang biologi molekuler dan biokimia pada dua dekade yang lalu telah memberikan peluang berkembangnya teknologi rekayasa genetika.
Beberapa spesies tanaman, termasuk padi, telah dimodifikasi dengan metode rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen dari berbagai subspesies
B. thuringiensis yang mengkode kristal protein cry δ-endotoxin. Protein cry
ini efektif melindungi tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama. Namun dibalik efektifnya tanaman transgenik terhadap hama target, ada
sejumlah pertanyaan mengenai ekologi dan lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tanaman transgenik, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap
serangga nontarget. Untuk mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik, penelitian tahap lapangan terbatas dilakukan
di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-
6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan metode yang digunakan pada penelitian ini belum bisa diambil kesimpulan mengenai pengaruh protoxin dalam padi
Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan terhadap serangga hama nontarget dan musuh alami di lapangan.
Kata kunci: padi transgenik, hama nontarget, musuh alami
131
Abstract
The progress in plant molecular biology and biochemistry in the last two decades have allowed development of modern genetic engineering technology.
Several crops, including rice crop, have been modified with genetic engineering methods to express genes from various subspecies of Bacillus thuringiensis
Berliner Bt that encode crystalline cry proteins δ-endotoxin. These cry
proteins confer effective protection to the crop plants from damage by certain phytophagous insect pests. However, there also are a number of ecological and
environmental questions associated with use of transgenic crops, one of the most prominent being effects on nontarget insect. To study nontarget impact of
transgenic Rojolele rice, a limited field test was conducted at Pusakanegara Research Station - Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from
November 2007-April 2008. Randomize complete block design with 5 treatments and 5 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice T9-
6.11-420 line cryIAb by particle bombardment, Rojolele non insecticide, Rojolele with insecticide, Cilosari, and Ciherang varieties. The result showed
that based on method in this research, effect of protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line cryIAb by particle bombardment on nontarget pests and
natural enemies in the field can not be concluded.
Key words: transgenic rice, nontarget pest, natural enemies
Pendahuluan
Kemajuan dalam bidang biologi molekuler dan biokimia pada dua dekade yang lalu telah memberikan peluang berkembangnya teknologi rekayasa genetika.
Beberapa spesies tanaman, termasuk padi, telah dimodifikasi dengan metode rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen dari berbagai subspesies B.
thuringiensis yang mengkode kristal protein cry δ-endotoxin. Protein cry ini
efektif melindungi tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama Reed et al. 2001; Head et al. 2001. Namun dibalik efektifnya tanaman
transgenik terhadap hama target, ada sejumlah pertanyaan mengenai ekologi dan lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tanaman transgenik, salah satunya
adalah pengaruhnya terhadap serangga nontarget Geng et al. 2006. Gen Bt yang diekspresikan pada tanaman pada umumnya spesifik
digunakan untuk mengendalikan serangga hama target, tetapi pada tanaman banyak juga serangga hama lain yang bukan target Bt toxin. Serangga hama
nontarget ini makan pada tanaman yang sama dan meskipun mereka tidak dipengaruhi oleh Bt toxin-nya sendiri, mereka dapat sebagai perantara terpaparnya
serangga karnivora musuh alami terhadap toxin Ferry et al. 2007. Serangga
132 hama nontarget dan musuh alami mungkin dipengaruhi secara langsung oleh
pengaruh lethal dan sublethal dari tanaman Bt, sementara musuh alami mungkin juga dipengaruhi secara tidak langsung melalui perantaraan inang atau mangsa
Bokonon-Ganta et al. 2003 . Sejumlah studi lapangan telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
tanaman Bt terhadap serangga nontarget terutama pada tanaman kapas, jagung, dan kentang. Naranjo 2005 melaporkan dalam studi jangka panjang, pengaruh
negatif kapas Bt terhadap arthropoda nontarget terutama musuh alami adalah kecil dan adanya penurunan sedikit dalam kerapatan beberapa taxa predator
menunjukkan tidak berkaitan dengan perubahan yang berarti pada fungsi komunitas musuh alami. Head et al. 2005 melaporkan kapas Bt tidak
berpengaruh buruk terhadap populasi arthropoda nontarget. Dively 2005 melaporkan biodiversitas dan tingkat komunitas tidak dipengaruhi oleh ekspresi
VIP3A dan protein cryIAb. Kerapatan beberapa taxa nontarget yang terpapar pada jagung hibrida Bt menunjukkan tidak berbeda dibandingkan dengan kontrol
isogenik. Daly dan Buntin 2005 dan Pilcher et al. 2005 melaporkan jagung transgenik Bt tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap populasi fitofag
nontarget atau arthropoda predator pada agroekosistem jagung. Bokonon-Ganta et al. 2003 melaporkan Spodoptera frugiperda J.E. Smith Lepidoptera:
Noctuidae yaitu hama nontarget dipengaruhi oleh kultivar jagung Bt. Reed et al. 2001 melaporkan kentang transgenik Bt tidak mempengaruhi kelimpahan
predator atau hama sekunder kentang. Tanaman padi Bt belum dilepas ke petani, tetapi pengujian tahap lapangan
telah dilakukan di Cina sejak tahun 1998. Namun demikian masih sedikit publikasi hasil penelitian mengenai pengaruh padi Bt terhadap nontarget Chen et
al. 2006. Chen et al. 2006 dan Bernal et al. 2002 melaporkan padi Bt tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap nontarget wereng dan musuh alaminya,
khususnya predator C. lividipennis. Sebaliknya Bai et al. 2006 melaporkan serangga nontarget N. lugens dan predatornya Propylea japonica Thunberg
Coleoptera: Coccinellidae terpapar toxin cryIAb dari padi transgenik cryIAb, tetapi perkembangan predatornya tidak dipengaruhi oleh toxin melalui interaksi
tritropik.
133 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi serangga nontarget
pada pertanaman padi transgenik.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April
2008.
Bahan dan Alat
Materi penelitian yang digunakan terdiri dari tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik
penembakan dan tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang.
Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan
metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. 2000. Total DNA diekstraksi dari daun tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan
ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris- HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2 bv CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M
sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5 bv sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65
o
C sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol 24:1
dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan
ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus 12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500
µl 70 etanol dan disentrifus 12 000 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE 10 mM Tris-HCl
pH 8.0, dan 1 mM EDTA. Sampel DNA disimpan di -20
o
C.
134 Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl
[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl
2
, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µµl taq polymerase, 2.5 ngµl primer forward cry, 2.5 ngµl primer reverse cry, 2.5 ngµl primer goss
forward, 2.5 ngµl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H
2
O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’
cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95
o
C 3 menit 1 siklus, 95
o
C 1 menit, 55
o
C 1 menit, 72
o
C 1 menit 40 siklus; 72
o
C 10 menit 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8
dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA TBE.
Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil
elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.
Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang
berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele
transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, Cilosari, dan Ciherang.
Bibit galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan berumur 36 hari setelah sebar HSS, varietas Rojolele berumur 27 HSS, dan Cilosari serta
Ciherang berumur 13 HSS ditanam pada petak percobaan berukuran 9 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan jarak antar plot 0.5 m. Pada saat tanam,
dilakukan pemupukan dengan 40 kg Nha dan 40 kg P
2
O
5
ha, pada 25 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha, dan pada 50 hari setelah tanam dengan 40 kg Nha.
Plot perlakuan varietas Rojolele yang diaplikasi insektisida diberi insektisida berbahan aktif karbofuran dan dimehipo. Insektisida berbahan aktif karbofuran
135 diaplikasikan pada periode pertumbuhan vegetatif dengan dosis 20 kgha dan
interval pemberian setiap 2 minggu sekali. Insektisida berbahan aktif dimehipo diaplikasikan pada saat tanaman padi mencapai stadium generatif dengan dosis 2
lha konsentrasi 4 ccl dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali sampai 10 hari menjelang panen. Di sekeliling percobaan ditanam varietas Rojolele selebar
3 m sebagai isolasi terhadap varietas yang ditanam di sekitarnya. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah
tanam sampai 10 hari menjelang panen. Variabel yang diamati meliputi populasi serangga hama nontarget dan musuh alami yaitu predator pada 72 rumpun sampel
secara acak untuk setiap plot perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis repeated measure proc
mixed dan analisis ragam ANOVA dengan menggunakan program SAS. Perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji Tukey dan dengan uji wilayah
berganda Duncan taraf nyata 5.
Hasil Hama Nontarget
Pada saat penelitian terlihat bahwa populasi serangga hama target S. incertulas tinggi pada 2 dan 4 minggu setelah tanam dan sangat rendah pada
pengamatan berikutnya sampai menjelang panen. Tidak berbeda dengan populasi serangga hama target, serangga hama nontarget dan musuh alami populasinya
juga rendah Tabel 7.1 dan 7.2. Serangga hama nontarget yang ditemukan pada saat penelitian meliputi
hama putih palsu Cnaphalocrocis medinalis Guenee Lepidoptera: Pyralidae, ulat grayak Mythimna separata Walker Lepidoptera: Noctuidae, ganjur
Orseolia oryzae Wood-Mason Diptera: Cecidomyiidae, wereng hijau Nephotettix virescens Distant Hemiptera: Cicadellidae, kepinding tanah
Scotinophara coarctata Fabricus Hemiptera: Pentatomidae, dan walang sangit Leptocorisa oratorius Fabricius Hemiptera: Alydidae dengan populasi yang
sangat rendah. Hal ini menyebabkan tidak terlihat adanya perbedaan antar perlakuan terhadap serangga hama nontarget tersebut Tabel 7.1.
136 Serangga hama nontarget yang populasinya cukup tinggi adalah hama
wereng punggung putih Sogatella furcifera Horv. Hemiptera: Delphacidae dan wereng coklat Nilaparvata lugens Stal Hemiptera: Delphacidae. Berdasarkan
hasil analisis menunjukkan bahwa populasi S. furcifera dan N. lugens terlihat nyata dipengaruhi oleh varietas padi P.0001; P.0001, waktu pengamatan
P.0001; P.0001, dan interaksi antara varietas padi dan waktu pengamatan P.0001; P.0001 Tabel 7.1. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan, populasi S. furcifera terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, namun tidak
berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele dengan insektisida dan Cilosari. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb
melalui teknik penembakan terlihat menekan populasi S. furcifera di lapangan. Pada varietas Ciherang, populasi S. furcifera terlihat nyata paling rendah
dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Populasi S. furcifera tertinggi terlihat pada varietas Rojolele tanpa insektisida pada
pengamatan 10 minggu setelah tanam Tabel 7.1 dan Gambar 7.1a. Populasi N. lugens pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Ciherang.
Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi N. lugens di lapangan. Pada
varietas Cilosari, populasi N. lugens terlihat nyata paling tinggi dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Populasi N. lugens tertinggi
terlihat pada varietas Cilosari pada pengamatan 12 minggu setelah tanam Tabel 7.1 dan Gambar 7.1b.
137 Tabel 7.1 Rata-rata jumlah individu hama nontarget pada berbagai varietas padi dan waktu pengamatan
Perlakuan Rata-rata jumlah individu hama nontarget72 rumpun
C. medinalis ± SE M.separata ± SE O. oryzae ± SE S. furcifera ± SE N.
lugens ± SE N. virescens± SE S. coarctata ± SE L. oratorius ± SE
Varietas padi
- Rjl trans T9-6.11-420 cryIAb 0.89 ± 0.15 a
0.20 ± 0.19 b 0.05 ± 0.07 a 69.86 ± 4.54 b
19.06 ± 2.61 bc 0.30 ± 0.20 a
2.56 ± 0.61 ab 1.67 ± 0.44 a
- Rojolele tanpa insektisida 0.59 ± 0.15 a
0.40 ± 0.19 b 0.09 ± 0.07 a
88.29 ± 4.54 a 18.57 ± 2.61 bc
0.20 ± 0.20 a 1.16 ± 0.61 ab
0.93 ± 0.44 a - Rojolele dengan insektisida
0.89 ± 0.15 a 0.55 ± 0.19 b
0.03 ± 0.07 a 74.46 ± 4.54 ab 21.74 ± 2.61 b
0.30 ± 0.20 a 0.92 ± 0.61 b
0.53 ± 0.44 a - Cilosari
0.56 ± 0.15 a 0.80 ± 0.19 ab
0.06 ± 0.07 a 72.49 ± 4.54 ab 39.89 ± 2.61 a
0.30 ± 0.20 a 3.32 ± 0.61 a
1.40 ± 0.44 a - Ciherang
0.47 ± 0.15 a 1.35 ± 0.19 a
0.14 ± 0.07 a 25.03 ± 4.54 c 10.63 ± 2.61 c
0.10 ± 0.20 a 2.24 ± 0.61 ab
1.33 ± 0.44 a
Waktu pengamatan MST
- 2 0.66 ± 0.12 a
0.00 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a
2.20 ± 5.37 c 0.24 ± 3.08 c 0.00 ± 0.12 a 0.04 ± 0.61 b
0.00 ± 0.34 b - 4
0.66 ± 0.12 a 0.00 ± 0.17 b
0.00 ± 0.03 a 2.20 ± 5.37 c 0.24 ± 3.08 c 0.00 ± 0.12 a
0.04 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b
- 6 0.00 ± 0.12 a
0.00 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a
102.24 ± 5.37 b 10.48 ± 3.08 bc 0.00 ± 0.12 a
0.00 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b
- 8 0.00 ± 0.12 a
0.08 ± 0.17 b 0.07 ± 0.03 a
98.08 ± 5.37 b 10.68 ± 3.08 bc 0.00 ± 0.12 a
0.00 ± 0.61 b 0.00 ± 0.34 b
- 10 0.73 ± 0.12 a
0.16 ± 0.17 b 0.00 ± 0.03 a
246.48 ± 5.37 a 23.36 ± 3.08 b
0.32 ± 0.12 a 1.20 ± 0.61 b
0.76 ± 0.34 b - 12
0.00 ± 0.12 a 1.44 ± 0.17 a
0.00 ± 0.03 a 9.52 ± 5.37 c 104.80 ± 3.08 a
0.00 ± 0.12 a 0.84 ± 0.61 b
0.68 ± 0.34 b - 14
0.00 ± 0.12 a 0.96 ± 0.17 a
0.00 ± 0.03 a 1.44 ± 5.37 c 4.04 ± 3.08 c
0.16 ± 0.12 a 8.08 ± 0.61 a
2.08 ± 0.34 a
Varietas padiMST
0.5997 0.0038 -
.0001 .0001 0.6856 0.0121 0.0005
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf nyata 5. MST-Minggu setelah tanam
138
50 100
150 200
250 300
350 400
2 4 6
8 10 12
14 Waktu pengamatan MST
Ra ta
-ra ta
j u
m la
h i
ndi vi
du S .
furc if
er a
72 rum
pun Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb
Rojolele tanpa insektisida Rojolele dengan insektisida
Cilosari Ciherang
a
50 100
150 200
250
2 4 6 8 10 12 14
Waktu pengamatan MST
R ata-
rata ju
mlah i
n d
iv id
u N
. lu g
en s7
2 r
u mp
u n
Rjl trans T9-6.11-420 CryIAb Rojolele tanpa insektisida
Rojolele dengan insektisida Cilosari
Ciherang
b Gambar 7.1 Populasi serangga hama nontarget pada berbagai varietas padi dan
waktu pengamatan: a S. furcifera, b N. lugens. MST-Minggu setelah tanam
139
Musuh Alami
Musuh alami yang ditemukan pada saat penelitian dari kelompok predator adalah laba-laba Lycosa pseudoannulata Boesenberg dan StrandAraneae:
Lycosidae, Paederus fuscipes Curt. Coleoptera: Staphylinidae, Verania lineata Thurnberg Coleoptera: Coccinellidae, Cyrtorhinus lividipennis Reuter
Hemiptera: Miridae dan Ophionea nigrofasciata Schmidt-Goebel Coleoptera: Carabidae Tabel 7.2.
Predator yang populasinya cukup tinggi adalah L. pseudoannulata, P. fuscipes, V. lineata, dan C. lividipennis. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa populasi P. fuscipes, V. lineata, dan C. lividipennis terlihat nyata dipengaruhi oleh varietas padi P=0.0012; P=0.0043; P.0001, waktu
pengamatan P.0001; P.0001; P.0001, dan interaksi antara varietas padi dan waktu pengamatan P=0.0015; P.0001; P.0001. Untuk L. pseudoannulata
hanya terlihat nyata dipengaruhi oleh waktu pengamatan P.0001, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh varietas padi P=0.1795 dan interaksi antara varietas padi
dan waktu pengamatan P=0.9256 Tabel 7.2. Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan, populasi P. fuscipes terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari.
Sebaliknya pada varietas Ciherang, populasi P. fuscipes terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan
insektisida, dan Cilosari. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan tidak menekan populasi
P. fuscipes, namun sebaliknya untuk varietas Ciherang Tabel 7.2. Populasi V. lineata pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420
cryIAb melalui teknik penembakan terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari,
namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan tidak menekan populasi V. lineata. Populasi V. lineata tertinggi terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan pada pengamatan 14 minggu setelah tanam Tabel 7.2.
140 Pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik
penembakan, populasi C. lividipennis terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan
varietas Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari. Sebaliknya pada varietas Ciherang, populasi C. lividipennis terlihat nyata lebih
rendah dibandingkan dengan semua galur dan varietas padi yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui
teknik penembakan tidak menekan populasi C. lividipennis, namun sebaliknya untuk varietas Ciherang. Populasi C. lividipennis tertinggi terlihat pada varietas
Cilosari pada pengamatan 12 minggu setelah tanam Tabel 7.2. Melihat hasil analisis berdasarkan jumlah individu dari masing-masing
spesies seperti tersebut diatas dengan kondisi populasi serangga yang rendah, maka hasil penelitian menjadi tidak konklusif karena tidak terlihat adanya
perbedaan antar perlakuan. Ada beberapa prinsip dasar untuk melihat perbedaan antar perlakuan yaitu jumlah populasi harus tinggi dan adanya kepastian bahwa
populasi yang dijumpai tersebut benar-benar karena dampak perlakuan, artinya ada isolasi. Oleh karena itu dicoba dilakukan analisis dengan mengelompokkan
berdasarkan fungsinya yaitu sebagai kelompok hama nontarget dan musuh alami.
Kelompok Hama Nontarget
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kelompok serangga hama nontarget pada 2 dan 4 minggu setelah tanam MST tidak terlihat
adanya perbedaan antar perlakuan P=0.1354; P= 0.7016 Gambar 7.2. Pada 6, 8, dan 10 MST, populasi kelompok serangga hama nontarget pada
varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, varietas
Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan Cilosari P=0.0005; P= .0001; P=.0001. Populasi kelompok serangga hama nontarget
pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 cryIAb melalui teknik penembakan, Rojolele tanpa insektisida, Rojolele dengan insektisida, dan
Cilosari terlihat tidak berbeda Gambar 7.2.
141 Tabel 7.2 Rata-rata jumlah individu musuh alami pada berbagai varietas padi dan waktu pengamatan
Perlakuan Rata-rata jumlah
individu musuh alami72 rumpun L. pseudoannulata ± SE P.
fuscipes ± SE V. lineata ± SE
C. lividipennis ± SE O. nigrofasciata ± SE Varietas padi