3.3.3 Beberapa Asumsi Dasar Levi-Strauss
Strukturalisme merupakan aliran baru bagi studi antropologi. Strukturalisme bertolak dari studi linguistic ilmu bahasa, berbeda dengan pendekatan yang ada
dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Strukturalisme Levi-Strauss memiliki sejumlah asumsi dasar. Berikut asumsi-asumsi dasar yang ada dalam aliran ini.
Pertama dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya, dongeng, upacara-upacara, system kekerabatan dan
perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan lain sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa Lane dalam Ahimsa-Putra,
2006:66 atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan symbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. oleh karena itu, terdapat ketertaatan order
serta keterulangan regularities pada berbagai fenomena tersebut. Kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia
terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang „normal‟ yaitu kemampuan untuk structuring, atau
menstruktur, menyususn suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar inherent capacity ini
terdesain sedemikian rupa sehingga macam kemungkinan penstrukturan tersebut tidak lantas menjadi tanpa batas Lane dalam Ahimsa-Putra, 2006:67. Adanya
kemampuan ini membuat manusia dapat seolah- olah „melihat‟ struktur dibalik
berbagai macam gejala. Ketiga, mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu
istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme
berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Jadi, sinkroninyalah yang menentukan, bukan diakronisnya Lane dalam Ahimsa- Putra, 2006:68.
Keempat, relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan binary oposition yang paling tidak mempunyai
dua pengertian. Pertama oposisi binair yang bersifat eksklusif seperti misalnya pada „p‟ dan „-p‟ bukan „p‟. Oposisi semacam ini ada misalnya pada kategori seperti:
menikah dengan tidak menikah. Pengertian yang kedua adalah oposisi binair yang tidak ekslusif, yang kita temukan dalam bernagai macam kebudayaan, seperti
misalnya oposisi-oposisi: air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari-rembulan, dan sebagainya. Logika oposisi-oposisi ini memang tidak ekslusif, namun dalam konteks-
konteks yang khusus, mereka yang menggunakannya menganggapnya eksklusif. Sebagaimana terlihat pada mitos-mitos yang dianalisis Levi-Strauss Lane dalam
Ahimsa-Putra, 2006: 69.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik suatu garis pemahaman bahwa dalam diri seorang manusia terdapat suatu kemampuan untuk memahami dan
menstruktur gejala kebudayaan yang ada dalam masyarakat, khususnya mitos. Dengan demikian, mitos dapat dikatakan sebagai suatu hasil dari kebudayaan yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Kemampuan manusia menstruktur mengakibatkan mitos yang berkembang di masyarakat tersebut dapat diturunkan dari
generasi yang satu ke generasi yang lain melalui adanya suatu proses. Proses tersebut melalui penurunan dan penyebaran yang dilakukan secara lisan dengan menggunakan
alat yang disebut bahasa.
3.4 Mitos