Potensi Budidaya Jati

Potensi Budidaya Jati
Edy Batara Mulya Siregar
Fakultas Pertanian
Program Studi Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

A. Latar Belakang
Jati (Tectona grandis Linn F.) sampai sekarang masih menjadi komoditas mewah
yang banyak diminati masyarakat walaupun harga jualnya mahal. Kebutuhan kayu jati
olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5
juta m3/tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8 juta m3/tahun (Leksono, 2001). Dengan
demikian terdapat kekurangan pasokan kayu jatisebesar 1,7 juta m3/tahun. Kekurangan
pasokan kayu jati yang demikian besar tentunya memberikan peluang, sehingga budidaya
jati akaan cukup cerah di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Secara umum, pengembangan jati sampai dekade tahun 70-an masih bersifat
konvensional. Pengembangan budidaya jati masih mengandalkan teknik perbanyakan
secara generatif, yaitu perbanyakan tanaman berasal dari biji atau benih pohon induk
yang terpilih. Pengembangan tanaman jati secara konvensional (generatif) memiliki
kendala, yaitu tanaman baru dapat berproduksi sekitar 40-60 tahun.
Untuk mengatasi kendala budidaya jati, para ahli telah melakukan pendekatanpendekatan yang tujuannya adalah untuk mendapatkan tanaman jati unggul dan dapat
dipanen dengan umur yang relatif lebih pendek. Sejak dekade tahun 90-an telah mulai

dipelajari pola pengembangan tanaman secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan
dan kultur tunas. Pohon jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif
dan berdaur pendek (kurang lebih 15 tahun). Walaupun secara kualitas kayu jati yang
dihasilkan belum tentu lebih baik dibandingkan kayu jati hasil budidaya secara
konvensional, namun usaha budidaya jati yang berdaur pendek perlu dikaji lagi sehingga
dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya.
Untuk lebih mengoptimalkan penggunaan lahan, para pengembang bukan hanya
mencoba membudidayakan jati berdaur pendek, tetapi juga membudidayakan tanaman
jati dengan pola tumpangsari dengan tanaman sawit, coklat, dan kopi. Produksi kayu jati
yang dihasilkan dari tanaman yang berdaur pendek sampai saat sekarang belum dapat
disajikan, karena pengembangannya baru dilakukan 5-6 tahun terakhir.
Sejalan dengan peningkatan akan kebutuhan kayu jati, diharapkan juga diikuti
dengan pengembangan budidaya jati dan pembangunan hutan tanaman jati. Untuk itu
diperlukan bibit jati yang berkualitas dan berkarekter unggul, serta mempunyai daur
panen yang lebih pendek. Pola penanaman jati juga mulai dikembangkan, terutama
dalam efektifitas penggunaan lahan dan pola penanaman monokultur maupun
tumpangsari dengan kombinasi tanaman perkebunan yang bernilai ekonomis. Budidaya
jati dengan pola agroforestry juga dikembangkan.

1

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

B. Sejarah Pengembangan Tanaman Jati di Indonesia
Sejak abad ke-9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah
dikenal sebagai pohon yang memilki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Jati
digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang
tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun
(Suryana, 2001).
Tanaman Jati secara alamiah banyak dijumpai di negara-negara Asia Selatan dan
Asia Tenggara, yaitu Burma, Thailand, Laos, Kamboja dan Indonesia. Pada abad ke-19
jati juga mulai dibudidayakan di Amerika tropik seperti Trinidad dan Nicaragua.
Belakangan jati juga mulai dibudidayakan di Nigeria dan beberapa negara Afrika tropik
lainnya (Simon, 2000).
Keberhasilan permudaan sejak akhir abad ke-19 telah dap[at mengembangkan luas
kawasan hutan jati di pulau Jawa. Menurut data Penyusun Sejarah Kehutanan Indonesia,
pada akhir abad ke-19 luas hutan jati di pulau Jawa seluruhnya diperkirakan berkisar
650.000 ha. Luas hutan jati terus bertambah menjadi 785.000 ha pada tahun 1929. Sejak
tahun 1985 luas hbutan jati di pulau Jawa seluruhnya sudah mencapai 1.069.712 ha
(Simon, 2000).
Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia sampai sekarang awalnya berasal dari India

(Dephut RI, 1986). Tanaman jati mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. F yang
secara historis naman tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) dan berarti tumbuhan
yang mempunyai kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak
nama daerah, seperti según (Bengali), tekku (Bombay), kyun (Burma), sagach (Gujarat),
sagub, sagwan (Hindi), jadi, saguan, tega, tiayagadamara (Kannad). Tanaman jati
dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teck atau teakbaun, sedangkan di Inggris
dikenal dengan nama teak (Suryana, 2001).
Hutan jati yang sebagian besar terdapat di pulau Jawa, pengelolaannya telah lama
dilakukan oleh PT. Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta ha yang terdiri
dari 54 KPH (Kesatuan Pemangku Hutan). Kawasan hutan yang PT. Perhutani terdiri
dari hutan produksi seluas 1,9 juta ha dan hutan lindung seluas 700 ribu ha. Luas hutan
jati yang dikelola oleh PT. Perhutani adalah seluas 1 juta ha (Asosiasi Meubel Indonesia,
2001).
Produksi hutan jati yang dikelola PT. Perhutani rata-rata 800 ribu m3/tahun.
Sebagian besar produksi hutan jati (85%) dijual dalam bentuk log, sedangkan sisanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri milik PT. Perhutani dan
Industri Mitra Kerja Sama Pengelolaan Mitra (Mitra KSP) Perhutani dengan swasta
(Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).
Pada Tabel 2 disajikan data distribusi produksi jati PT. Perhutani sampai tahun
2000. Berdasarkan data pada Tabel 2, pada tahun 2000 PT. Perhutani sebagai pemasok

utama kayu jati di Indonesia hanya mengeluarkan kayu dalam bentuk log untuk
kebutuhan industri sebanyak 726.654 m3. Masih ada kekurangan pasokan, karena
kebutuhan bahan baku kayu jati untuk industri furniture terhadap sekitar 1500
perusahaan pada tahun 2000 adalah 2 juta m3 (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).

2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Persebaran Hutan Tanaman Jati di Jawa yang Dikelola oleh PT. Perhutani
pada Tahun 1989.
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Propinsi
DKI Jakarta
Jawa Barat

Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Total

Luas Daratan
(ha)
59.000
4.620.600
3.420.600
316.900
4.782.580
13.209.300

Lahan Hutan (ha)
Jati
Total
0
1.000
170.570

968.100
304.562
655.681
16.000
18.000
578.580
1.364.441
1.069.712
3.007.222

Hutan/Total
Daratan (%)
1,76
20.90
19,20
5,70
28,50
22,80

Sumber : Asosiasi Meubel Indonesia, 2001


Tabel 2. Distribusi Produksi Kayu Jati PT. Perhutani sampai Tahun 2000

No.

1.
2.
3.

Tahun
Produksi
1998
1999
2000

Pengguna Log Jati (m3)
Perhutani
Industri Swasta
Industri
Mitra KSP

Perhutani
707.569
84.279
36.682
567.716
79.883
46.219
726.654
59.676
38.540

Total
828.530
639.818
824.870

Sumber :(Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).

Adanya peningkatan eksport furniture berbahan baku kayu jati pada tiga tahun
terakhir mengakibatkan semakin besarnya permintaan kayu jati. Perlu diketahui bahwa,

sebagian besar industri furniture yang berorientasi eksport menggunakan kayu jati
sebagai bahan bakunya. Pasokan kayu jati di Indonesia hanya berasal dari pasokan PT.
Perhutani dan dari hutan rakyat. Sulitnya mendapatkan bahan kayu jati dapat berdampak
buruk bagi perkembangan industri furniture di Indonesia. Hal ini perlu diperhatikan
secara serius, karena industri furniture memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pendapatan devisa negara, yaitu sebesar 1,45 milyar US$ pada tahun 2000 dari total
devisa 8 milyar US$ untuk seluruh produk kehutanan (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001).
C.

Karakteristik Tanaman Jati
Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dan
nama spesies Tectona grandis Linn. F.
Selain Tectona grandis, famili Verbenaceae
juga memiliki spesies lain yang seperti jati di Indonesia, yaitu Tectona hamiltoniana
Wall, tumbuh di daerah kering Myanmar dan Tectona philippinensis Benth & Hooker
yang tumbuh di hutan Batangas dan Mindoro (puilau Iling) Filipina. T. grandis
merupakan jati yang mempunyai kualitas kayu yang paling baik dibandingkan dua jenis
Tectona lainnya (Suryana, 2001).
Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mecapai sekitar 30-45
m. Batang yang bebas cabang dapat mencap[ai antara 15-20 m bila dilakukan proses

pemangkasan. Pohon jati yang tumbuh baik diameter batangnya dapat mencapai 220 cm.
3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Kulit kayu jati berwarna kecoklatan atau abu-abu dan sifatnya mudat terkelupas. Pangkal
batang berakar papan pendek dan dapat bercabang. Daun jati berbentuk opposite (bentuk
jangtung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm dan lebar 1540 cm, permukaan daunnya berbulu. Daun muda pohon jati berwarna hijau kecoklatan,
sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan.
Walaupun tanaman jati yang tumbuh di alam dapat mencapaiu diameter batang
220 m, namun umumnya jati dengan diameter 50 cm sudah ditebang karena tingginya
permintaan terhadap kayu jati. Bentuk batang pohon jati tidak teratur serta mempunyai
alur. Warna kayu teras (bagian tengah) coklat muda, coklat merah tua, atau merah coklat,
sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih atau kelabu
kekuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat kayu jati lurus dan
agak terpadu. Permukaan kayu jati licin dan agak berminyak serta memiliki gambaran
yang indah.
Kambiun kayu jati memilki sel-sel yang menghasilkan perpanjangan vertikal dan
horizontal, dimulai dengan berkembangnya inti sel berbentuk oval secara memanjang,
kemudian akan membelah menjadi 2 sel dan demikian seterusnya. Pada sekitar bulan
Juli-September (musim kemarau), tanaman akan mengalami gugur daun dan pada saat itu

kambiun akan tumbuh lebih sempit dari pertumbuhan musim penghujan. Pada bulan
Januari-April (musim penghujan), daun akan tumbuh, sehingga pertumbuhan kambiun
normal kembali. Perbedaan pertumbuhan tersebut akan membuat suatu pola yang indah
bila batang jati dipotong melintang. Pola pertumbuhan kayu yang indah tersebut dikenal
juga dengan istilah lingkaran tahun.
Sifat fisik kayu adalah sebagai berikut : kayu jati memiliki berat jenis antara 0,620,75 dan memiliki kelas kuat II-III dengan nilai keteguhan patah antara 800-1200 kg/cm3
(Syafii, 2000 dalam Sipon et al., 2001). Daya resistensi yang tinggi kayu jati terhadap
serangan jamur dan rayap disebabkan karena adanya zat ekstraktif tectoquinon atau 2metil antraqinon. Selain itu, kayu jati juga masih menagndung komponen lain, seperti tri
poliprena, phenil naphthalene, antraquinon dan komponen lain yang belum terdeteksi
(Sipon et al., 2001).
Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5%, lignin 29,9%, pentosan 14,4%, abu
1,4%, dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5,081 kal/gr (Suryana, 2001). Keawetan kayu
sesuai hasil uji terhadap rayap dan jamur tergolong kelas II. Dengan demikian, kayu jati
dapat terserang rayap dengan kapasitas rendah pada kondisi kayu yang dipengaruhi oleh
umur pohon, semakin tua kayu jati semakin sulit terserang rayap.
D. Sistem Penanaman Jati dengan Konsep Agroforestry di Indonesia
Pola pengembangan tanaman dalam bentuk hutan tanaman dengan produk berupa
kayu merupakan program penting untuk dilaksanakan sebagai upaya menurunkan tingkat
ketergantungan pemenuhan kebutuhan kayu dari hutan alam. Ketergantungan terhadap
produksi kayu hutan alam tidak dapat dipertahankan lagi, karena produksi dari hutan
alam terus mengalami penurunan.
Pengembangan tanaman jati terus harus dilaksanakan, karena nilai kayu yang
secara ekonomis bernilai tinggi dan permintaannya dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Pola pengembangan hutan tanaman jati awalnya dilakukan secara
monokultur. Pemilihan pola penanaman secara monokultur biasanya didasarkan kepada
pertimbangan teknis, modal usaha, dan tenaga kerja. Konsep pengembangan pohon
4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

dengan pola agroforestry pada 20 tahun belakang mulai dilirik dan dikembangkan,
terutama dalam pemanfaatan lahan (land use).
Konsep dasar sistem agroforestry adalah menanam tanaman selingan di antara
tanaman pokok, pada lajur tersendiri sebelum atau sesudah penanaman tanaman pokok
selama pertumbuhannya tidak mempengaruhi atau dipengaruhi tanaman pokok
(Pamulardi, 1991). Tanaman selingan yang digunakan harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain :
1. Berumur lebih pendek dari tanaman pokok
2. Tidak menjadi pesaing tanaman pokok terhadap pemenuhan kebutuhan hidup
3. Mampu menciptakan keadaan yang menguntungkan pertumbuhan tanaman
pokok
4. Mampu memperbaiki kesuburan tanah dan sifat fisik tanah, dan
5. Teknologi budidayanya tidak merangsang penciptaan lingkungan yang
merugikan pertumbuhan tanaman pokok.
Pada kegiatan praktek agroforestry, tidak hanya berusaha memenuhi persyaratan
yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu
secara ekonomis menguntungkan untuk dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman bahwa
konsep agroforestry dengan menggunakan tanaman pangan di hutan tanaman jati
menunjukkan bahwa teknologim itu memerlukan biaya besar dan pengelolaan yang lebih
intensif. Pada umumnya, kawasaan hutan memiliki tanah yang dikategorikan kurang
subur, sehingga memerlukan input pertanian yang lebih besar, seperti pupuk untuk
mendukung produksi tanaman pangan. Untuk itu, pertimbangan dan pengkajian teknik
budidaya harus dilaksanakan, sehingga konsep agroforestry dapat ekonomis mengingat
harga input pertanian yang terus meningkat.
Kegiatan agroforestry merupakan kegiatan intensif yang memerlukan banyak tenaga
kerja di satuan-satuan Huaatan Tanaman Industri (HTI). Apabila tenaga kerja yang
berpengalaman menangani teknik budidaya tumpang sari tidak tersedia, maka kegiatan
agroforestry sulit untuk dilaksanakan dan sangat berpeluang gagal. Untuk itu, pemilihan
teknologi pertanian yang tepat harus dilaksanakan sebelum kegiatan agroforestry
dilakukan.
Konsep pokok sistem tanaman campuran ini adalah menanam tanaman beberapa
jenis tanaman secara bersama-sama pada suatu lahan, sehingga terbentuk suatu sistem
pertanaman dengan keragaman jenis yang tinggi. Sistem tanaman campuran ini memang
memberi kemungkinan bagi terciptanya suatu sitem HTI yang mantap. Namun demikian,
arah konsep ini bukan hanya menciptakan suatu ekosistem yang mantap, tetapi juga harus
tetap produktif dan ekonomis. Suatu ekosistem yang mantap biasanya harus didukung
oleh setiap komponennya sehingga membentuk suatu kesatuan fungsi yang mengarah ke
pembangunan ekosistem tersebut.
Komposisi hutan tanaman campuran ini dapat terdiri dari satu atau lebih tanaman
HTI pilihan, yang didukung oleh tanaman lain bukan tanaman HTI, atau hanya terdiri
dari tanaman HTI dengan urutan kepentiungan tertentu. Perakitan komposisi hutan
campuran ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti bentuk lajur dengan lebar
tertentu ataau berupa blok-blok (perlu disesuaikan dengan keadaan lapangan). Harus
diingat pula bahwa satuan kawasan HTI sangatlah luas, sehingga memungkinkan adanya

5
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

keragaman mutu tanah atau lahan. Dengan demikian, pemilihan tanaman campuran
beserta teknologinya juga dapat beragam pada suatu kawasan HTI yang luas.
Kendala utama pada penerapan sistem tanaman campuran dalam HTI adaalah
bahwa sampai saat ini sebagian besar tanaman HTI belum diketahui pola kebutuhan
haranya. Pengetahuan terhadap aspek pola kebutuhan hara menjadi penting untuk
menghindari terjadi persaingan antar tanaman. Aspek lain yang penting adalah bahwa
keragaman tanaman, dan ini berarti juga menuntut pengelolaan yang beragaam pula.
E. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jati
Sebelum pengembangan tanaman jati dilaksanakan pada skala yang luas, perlu
direncanakan secara baik dan dapat dimulai dengan pengamatan-pengamatan.
Pengamatan antara lain meliputi letak lahan (topografi), kondisi ekologis, iklim dan
kondisi kesuburan lahan (struktur dan tekstur). Hal ini diperlukan untuk persyaratan
tumbuh optimal tanaman jati. Hal-hal yang perlu dicatat adalah paramter iklim dan
lahan, serta secara teknis letak lokasi yang erat hubungannya dengan kondisi topografi,
kualitas lahan, serta kesesuaian tempat tumbuh (Suryana, 2001).
Pengamatan kesesuaian tempat tumbuh dapat dilakukan dengan mempelajari
pendekatan kondisi endemik asal usul tempat tumbuh tanaman jati. Untuk tanaman jati
jenis Tectona grandis dapat dipelari dari letak kondisi lahan pertumbuhan jati seperti di
India. Pemilihan lahan pengembangan dapat pula dengan memperhatikan tingkat
keberhasilan tumbuh serta kualitas produk kayu yang dihasilkan di daerah
pengembangan. Sebagai contoh adalah tanaman jati tumbuh dengan baik dan
menghasilkan kayu yang cukup berkualitas di pulau Jawa, Kengean, Muna, Bali, dan
Sumbawa. Untuk pengembangan di luar daerah tersebut, idealnya harus didasarkan atas
hasil kesesuaian (provenance) tempat tumbuh dengan memperhatikan parameter standar
ekologis (Purwowidodo, 1991).
Secara umum tanaman jati idealnya ditanam di areal dengan topografi yang relatif
datar (hutan dataran rendah) atau memiliki kemiringan lerang < 20%, selain itu tanaman
jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/thn, optimum 1000 –
1500 mm/thn dan maksimum 2500 mm/thn. Walaupun demikian, tanaman jati masih
dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3750 mm/thn (Purwowidodo, 1991). Suhu
udara yang dibutuhkan tanaman jati untuk tumbuh dengan baik minimum adalah 13-17
0
C dan masimum 39-43 0C. Pada suhu yang optimal, yaitu 32-42 0C, tanaman jati akan
menghasilkan kualitas kayu yang baik. Kondisi kelembaban lingkungan tanaman jati
yang optimal sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif.
Di daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl, jati tidak dapat berkembang dengan
baik, karena rata-rata suhu tahunannya lebih rendah. Umumnya daerah tersebut akan
lebih didominasi oleh jenis-jenis yang tidak menggugurkan daun (non-decidous species)
yang merupakan pesaing bagi pertumbuhan jati.
Curah hujan secara fisik dan fisologis berpengaruh terhadap sifat gugurnya daun
dan kualitas produk kayu (Suryana, 2001). Di daerah dengan musim kemarau panjang,
tanaman jati akan menggugurkan daunya dan biasanya lingkaran tahun yang terbentuk
lebih artistik. Kayu jati memiliki teras yang lebih kuat sehingga dikelompokkan dalam
jenis kayu mewah (fanci wood) atau kelas I. Jati seperti ini banyak ditemukan di daerah
Jawa Tengah (Cepu dan Jepara) dan Jawa Timur (Bondowoso dan Situbondo). Pada
daerah yang sering turun hujan atau curah hujannya tinggi (> 1500 mm/thn), tanaman jati
6
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

tidak menggugurkan daaun dan lingkaran tahunnya kurang menarik sehingga produk
kayunya tergolong kelas II-III, misalnya tanaman jati yang ditanam di Sukabumi, Jawa
Barat (curah hujan > 2500 mm/thn).
Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari
formasi batu kapur, granit, gneis, mica, schist, batu pasir, kuarsa, endapan, shale, dan
lempung. Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi
lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai dengan sifat
fisiologisnya dan untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati mermerlukan kondisi
solumn lahan yang dalam dan kemasaman tanah (pH) optimum sekitar 6.0. Namun pada
kasus tertentu, dijumpai pertanaman jati yang tumbuh baik pada pH rendah (4-5).
Tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah, maka
pada lahan yang berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan
pertumbuhan tanaman jati yang baik. Ini terjadi karena akar tanaman jati lebih mudah
menyerap unsur hara pada kondisi tersebut (Purwowidodo, 1991).
Kondisi kesuburan laha juga akan berpengaruh terhadap perilaku fisiologis
tanaman dan ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh (tinggi dan diameter). Unsur
kimia pokok (macro element) yang penting dalam mendukung pertumbuhan jati adalah
kalsium (Ca), posfor (P), kalium (K), dan nitrogen (N) (Purwowidodo, 1991).
Pada lahan hutan jati alam, kapasitas bahan organik (humus) yang tersedia antara 1.875.5% berada di permukaan dan 0.17-1.90% berada sekitar 100 cm berada di bawah
permukaan (Purwowidodo, 1991). Rendahnya nilai kapasitas bahan organik pada lahan
jati akan menurunkan tingkat kecepatan tanaman dalam membentuk perakaran. Terdapat
hubungan antara kapasitas hara makro dengan tingkat kecepatan pembentukan akar yang
berdampak positif terhadap pertumbuha riap tanaman jati. Tanaman yang berkembang
pada lahan dengan kandungan unsur hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg) yang optimal
akan membentuk sistem perakaran yang baik, sehingga proses penyerapan hara semakin
cepat dan kemampuan pohon untuk menghasilkan kayu yang baik akan semakin tinggi
(Purwowidodo, 1991).
Bila kita perhatikan beberapa aspek persyaratan tumbuh yang sesuai untuk
tanaman jati, maka terdapat daerah-daerah yang kemungkinan sesuai untuk
pengembangan hutan jati di luar pulau Jawa. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah
wilayah Timu Sumatera, Sulawesu Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali Timur, dan Nusa Tenggara.
F. Kesimpulan
1.
Untuk mengatasi kendala budidaya jati, para ahli telah melakukan pendekatanpendekatan yang tujuannya adalah untuk mendapatkan tanaman jati unggul dan
dapat dipanen dengan umur yang relatif lebih pendek.
2.
Adanya peningkatan eksport furniture berbahan baku kayu jati pada tiga tahun
terakhir mengakibatkan semakin besarnya permintaan kayu jati.
3.
Sebelum pengembangan tanaman jati dilaksanakan pada skala yang luas, perlu
direncanakan secara baik dan dapat dimulai dengan pengamatan, antara lain
meliputi letak lahan (topografi), kondisi ekologis, iklim dan kondisi kesuburan
lahan (struktur dan tekstur). Hal ini diperlukan untuk persyaratan tumbuh optimal
tanaman jati.

7
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

G. Referensi
Asosiasi Meubel Indonesia. 2001. Pemasaran Kayu Jati pada Industri Meubel dan
Kerajinan. Tidak Diterbitkan.
Leksono, B. 2001. Pentingnya Benih Unggul dalam Program Penanaman Jati dan
Strategi Pencapaiannya. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Yogyakarta.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Usaha Nasional. Surabaya.
Pamulardi, B. 1993. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Rajawali
Press. Jakarta.
Purwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB Press.
Bogor.
Simon, H.
2000.
Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi
Pemecahannya. Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Yogyakarta.
Sipon, dkk. 2001. Penelusuran Sifat Dasar Kayu Jati sebagai Dasar Pertimbangan
Rehabilitasi Hutan di Kalimantan Timur. Hasil Penelitian. Tidak Diterbitkan.
Suryana, Y. 2001. Budidaya Jati. Swadaya. Bogor.

8
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara