meneragkan bahwa karena negara Indonesia adalah negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang juga berbentuk
negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat
administratif belaka, semuanya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan
perwakilan daerah, karena daerah pun pemerintah akan bersendikan permusyawaratan.
2
Otonomi daerah sebagaimana kita ketahui merupakan wewenang daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita lihat otonomi daerah merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas, seperti bagaimana kewenangan
pemerintah pusat dalam mengatur suatu daerah karena dalam otonomi daerah, setiap daerah memiliki hak untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk membahas tentang otonomi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan sejarah pemerintah daerah di Indonesia? 2. Bagaimana kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat dalam
otonomi daerah? 3. Apa saja prinsip-prinsip yang terdapat dalam penyelenggaraan otonomi
daerah? 4. Asas-asas apa saja yang ada dalam penyelenggaraan otonomi daerah?
5. Bagaimana prospek mendatang dalam menyelenggarakan otonomi daerah?
2C. S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia, Hukum Adminitrasi Daerah 1903-2001, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 2
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Daerah di Indonesia
Sejarah perkembangan Pemerintahan Daerah di Indonesia pada masa penjajahan secara umum dapat dikategorikan dalam tiga fase, yakni masa
penjajahan Belanda dengan dua fase, dan satu fase sisanya dalam masa penjajahan Jepang. Tujuh fase lainnya berada dalam masa pasca kemerdekaan, yang terbagi
atas empat fase dalam masa orde lama, satu fase pada masa orde baru, dan dua fase terakhir dalam masa reformasi.
Fase pertama, berawal dari dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903 yang juga disebut ‘desentralisasi lama’ dalam masa penjajahan Belanda. Faktor
pendorong dikeluarkannya UU ini adalah semakin beratnya beban Pemerintah Belanda dalam menjalankan etik politik karena penyelenggaraan pemerintahan
secara sentralistis atas daerah yang sangat luas dan beraneka ragam kondisinya Koesoeatmadja, 1978. Ciri utama kebijakan ini adalah terbukanya kemungkinan
pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai keuangan sendiri yang diurus oleh sebuah raad. Daerah ini disebut sebagai locale resort.
Sementara itu dewannya disebut locale raad yang terdiri atas Gewestelijke raad, Platselijke raad, dan Gementeraad. Bagi daerah yang dianggap memenuhi syarat
maka bersamaan dengan ordonantie pembentukannya maka dipisahkanlah sejumlah uang dari setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada daerah
tersebut serta dibentuklah raad-nya. Pada umumnya, jabatan ketua raad dipegang oleh pejabat pusat yang menjadi kepala administratif. Para anggota locale raad
sebagian diangkat karena jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi dipilih, kecuali gemente-raad yang sejak tahun 1917 semua anggotanya sudah
dipilih. Sampai tahun 1925 masa keanggotaannya ditetapkan 6 tahun, namun sesudahnya menjadi 4 tahun. Locale raad berwenang menetapkan local
verordeningen mengenai kepentingan yang menyangkut kepentingan daerahnya
4
sepanjang belum diatur dalam perundang-undangan pusat. Pengawasan terhadap daerah dilakukan oleh Gouverneur-General Hindia Belanda dengan cara daerah
wajib meminta pengesahan bagi keputusannya dan hak menunda sekaligus membatalkan keputusan daerah serta hak untuk mengatur hal-hal yang dilalaikan
oleh locale raad.
3
Fase kedua sesudah Perang Dunia I ditandai dengan munculnya ketidakpuasan atas penyelenggaraan desentralisasi lama tersebut karena dianggap
terlalu sedikit dan terbatas maka keuangan dan kewenangan diserahkan kepada daerah. Masyarakat golongan Bumi-Putera dan Eropa menyuarakan
ketidakpuasan tersebut. Akhirnya dikeluarkanlah pembaharuan dalam bentuk Wet op de Bestuurshervorming pada tahun 1922. Ciri kebijakan ini adalah pemberian
hak otonomi yang lebih luas dan tegas kepada daerah otonom yang memungkinkan pembentukan daerah otonom yang lebih luas dari “Gewest” lama
karisidenan dengan nama “Provincie” provinsi, dan dapat dibentuk daerah otonom yang tingkatannya lebih rendah yakni regentschap kabupaten dan
staadsgemeente kotapraja. Susunan pemerintah daerah pada umumnya terdiri dari tiga organ, yakni raad dewan, college menjalankan pemerintahan sehari-
hari, dan kepala daerah gouverneur, regent, burgemeester yang merupakan kepala daerah administratif.
4
Fase ketiga terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia 1942- 1945. Jepang menerapkan pemerintahan militer dengan membagi wilayah
Indonesia menjadi tiga bagian, yakni pemerintahan militer angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura, serta berkedudukan di
Bukittinggi untuk wilayah Sumatera, serta pemerintahan militer angkatan laut berkedudukan di Makassar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Irian Barat. Pada masa penjajahan Jepang, kedudukan provinsi dihapus dan diganti dengan Syuu setingkat karesidenan sebagai daerah tingkat
teratas dan terpenting dalam pemerintahan daerah. Syuu membawahi Ken dan Si dalam wilayahnya. Selain itu dibentuk Tokubetu Si yang mempunyai kedudukan
3 M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, hlm. 130.
4 Ibid., hlm. 131
5
setingkat Syuu. Raad dan college dihapuskan dan wewenangnya sekaligus dijalankan oleh kepala daerah Kentyoo dan Setyoo sehingga membentuk sistem
pemerintahan tunggal. Pelaksanaan pengawasan terhadap daerah otonom dilakukan oleh Gunseikan Panglima Besar Militer Jepang.
5
Fase keempat terjadi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia dengan dikeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1945 sebagai pelaksanaan atas pasal 18 UUD
1945. Pada prinsipnya, UU ini bertujuan untuk mengadakan penyeragaman di dalam pemerintah daerah seluruh Indonesia dan penyederhanaan jenjang
pemerintahan sampai maksimum tiga tingkatan, yakni provinsi, kabupaten kota besar, dan kota kecil. Tujuan lainnya adalah menghapuskan dualisme
pemerintahan karena kepala daerah juga memiliki pemerintahan sendiri seperti pada masa penjajahan Belanda dan mengembalikannya kepada kedaulatan rakyat.
Tujuan berikutnya adalah untuk memberikan hak otonomi dan medebewind kepada badan pemerintahan daerah yang disusun secara demokratis.
6
Fase kelima adalah masa berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1948 yang dianggap sebagai peraturan pelaksana Pasal 18 UUD 1945 yang bisa berlaku
efektif. Ada tiga tingkatan daerah otonom yakni provinsi, kabupaten atau kota besar, dan desa atu kota kecil. Pemerintah daerah terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Daerah otonom memiliki dua fungsi yakni mengatur dan mengurus otonominya. Maksud dari UU ini secara
umum adalah untuk mengadakan penyeragaman pemerintahan daerah seluruh Indonesia, penghapusan sistem “sluitpost” menutup kekurangan anggaran
pemerintah daerah yang seluruhnya dibebankan kepada pemerintah pusat, dan kepala daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD serta berhak menangguhkan
pelaksanaan keputusan DPRD dan DPD.
7
Fase keenam terjadi setelah diberlakukanya UU Nomor 1 Tahun 1957 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 dan 132 UUDS 1950. Ada tiga
tingkatan daerah otonom, yakni Daerah Tingkat I provinsi, termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II kabupatenkota besar, Daerah Tingkat III
5 Ibid., hlm. 131-132. 6 Ibid., hlm. 132.
7 Ibid., hlm. 133
6
desakota kecil. Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD. Perubahan penting dalam UU ini adalah dihapuskannya dualisme pemerintahan daerah
dengan ketentuan kepala daerah hanya menjalankan tugas-tugas yang menjadi urusn daerah otonomnya dengan tugas pengawasan yang selama ini diembannya
diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.
8
Fase ketujuh adalah diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 1965 yang dipicu oleh lemahnya posisi Kepala Daerah dalam UU Nomor 11957, terutama
berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959. Dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1965 merupakan pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, dengan
tetap ada tiga tingkatan daerah otonom namun berubah menjadi provinsikotaraya, kabupatenkotamadya, dan kecamatankotapraja. Pemerintah daerah terdiri atas
kepala daerah dan DPRD yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri serta memegang kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan daerah.
DPRD menetapkan peraturan daerah yang harus ditandatangani oleh kepala daerah. Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan dengan pemerintah daerah, mengadakan pengawasan atas
jalannya pemerintah daerah, dan menjalankan perintah pemerintah pusat. Sebagai alat Pemerintah Daerah, ia memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintah daerah di bidang ekonomi dan medebewind.
9
Fase kedelapan dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang diganti oleh Orde Baru. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No. 181965
relatif baru diberlakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong Orde Baru mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1974, yakni sejak awal ia menyusun strategi
untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas politik dengan formula setengah resmi dalam strategi pembangunan berupa para
ahli ekonomi sebagai pembuat kebijakan, ABRI sebagai stabilisator, dan birokrat sipil sebagai pelaksana. UU Nomor 51974 ini mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
8 Ibid., hlm. 133-134 9 Ibid., hlm. 134-135
7
medebewind untuk mencapai prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, bukan lagi otonomi nyata yang seluas-luasnya. Daerah otonom lalu
disederhanakan menjadi dua tingkatan, yakni Daerah Tingkat I setingkat provinsi dan Daerah Tingkat II setingkat kabupatenkotamadya.
10
Fase kesembilan pemerintahan daerah di Indonesia terjadi dalam era reformasi yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan terjadi
beberapa perubahan mendasar yang terkandung dalam UU ini. Penyerahan urusan yang semula mempergunakan prinsip ultra vires doctrine berubah menjadi
general competence. Selain itu, UU ini lebih memberdayakan DPRD dengan tiga fungsi, yakni pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Kepala daerah kini
tidak lagi berfungsi ganda sebagai alat pemerintah pusat melainkan hanya sebagai perangkat pemerintah daerah, ia dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD
dalam tiga jenis pertanggung jawaban setiap taun anggaran, mengenai hal tertentu atas permintaan DPRD dan pada masa akhir jabatan. Kini DPRD memiliki hak
untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Perbedaannya dalam fase pemerintahan daerah ini adalah berubahnya jenis bantuan keuangan
pemerintah pusat dari bentuk spesific grant menjadi block grant.
11
Fase kesepuluh melihat beberapa kelemahan yang terjadi dalam fase kesembilan, untuk itu UU Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya disempurnakan
menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan penting yang terkandung dalam kebijakan baru ini menyangkut semangat memasukkan kembali
pertimbangan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang partisipatif. Perubahan penting lainnya adalah penentuan kepala daerah yang
dilakukan melalui cara pemilihan langsung oleh masyarakat tidak lagi melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Selain itu, pembagian urusan kepada provinsi
kini lebih dipertegas daripada yang diatur dalam UU sebelumnya.
12
B. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah