75
4.1.6. Kondisi Sosio Kultural
Masyarakat di Wilayah Pesisir Teluk Lasongko memiliki pengetahuan tradisionil berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perairan. Pengetahuan
tersebut dikenal dengan istilah “kantanu” dan “meombo” yang bermakna semua masyarakat dilarang untuk mengambil hasil laut selama tiga hari. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada organisme perairan untuk bertelur atau berkembang biak.
Apabila pantangan tersebut dilanggar, selain mendapat sanksi sosial diyakini juga akan mendapat kutukan dari “sangia” atau penguasa laut. Sanksi
sosial dapat berupa pengucilan, pengusiran sampai dengan di “labu” atau dibenamkan di laut setelah melalui keputusan lembaga adat setempat yang dikenal
dengan lembaga “kaowa” , Berkenaan dengan itu upacara – upacara sakral seperti “kafelanto” dan
“katanomi”, yang berarti pemberian makan kepada penguasa laut dan darat dengan harapan bahwa selama masyarakat melakukan aktifitas pemanfaatan
sumberdaya baik di darat maupun di laut tidak mendapat gangguan yang cukup berarti merupakan tradisi yang terus menerus dilakukan, agar masyarakat
terhindar dari sangksi tersebut di atas. Kearifan lokal seperti ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sudah mulai ditinggalkan, padahal sistem nilai dari indogenous people merupakan nilai – nilai yang diadopsi kembali untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan dimana pendekatan sosialnya adalah anthropocentric dimana manusia serta sistem nilainya dijadikan dasar filosofisnya.
4.1.7. Kondisi Kesejahteraan Aspek kesejahteraan merupakan pertanyaan yang terus menerus disasar
seiring dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir yang bekerja pada sektor perikanan memberikan sumbangan yang cukup besar tetapi tingkat
kesejahteraannya masih tergolong miskin.
76
Berkenaan dengan itu, kondisi kesejahteraan masyarakat dari empat belas desa pantai dalam dua kecamatan yang tinggal di wilayah pesisir dan mencari
nafkah pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko menunjukkan tingkat yang memilukan dimana jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera Tahap I sebagai
indikator masyarakat miskin masih cukup besar yaitu 77 yang terdiri atas Keluarga Pra Sejahtera sebesar 44 dan Keluarga Sejahtera Tahap I sebesar 33
dari dua kecamatan Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Visualisasi secara spesifik disajikan pada Gambar 19.
Kecamatan Mawasangka Timur
Pra Sejahtera
32 Sejahtera
Tahap I 47
Sejahtera Tahap II
19 Sejahtera
Tahap III 2
Kecamatan Lakudo
Pra Sejahtera
47 Sejahtera
Tahap I 30
Sejahtera Tahap II
20 Sejahtera
Tahap III 3
Gambar 19. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan, Diolah 2006
4.2. Keadaan Umum Perikanan Laut Daerah Penelitian 4.2.1. Nelayan
Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko WPTL adalah nelayan domisili yang terdiri atas
nelayan asli dan nelayan pendatang. Nelayan asli merupakan penduduk setempat yang telah turun temurun berprofesi sebagai nelayan atau karena kondisi tertentu
beralih menjadi nelayan. Adapun nelayan pendatang umumnya berasal dari
77
sentra- sentra perikanan seperti Mawasangka, Kota Bau-Bau, Dobo dan Bugis yang kemudian menetap dan berdomisili di Wilayah Perairan Teluk Lasongko.
Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah nelayan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko berfluktuatif dengan kecenderungan yang
semakin menurun. Jumlah nelayan terbanyak terjadi pada tahun 2000 yaitu sebanyak 1.943 orang dan ter rendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebanyak
1.721.orang. Penurunan terbanyak terjadi antara tahun 2001 sampai dengan 2002 sebanyak 112 orang sedangkan peningkatan terbanyak terjadi antara tahun 1998
sampai dengan 1999 yaitu sebanyak 185 orang. Perkembangan jumlah nelayan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan trend perkembangan jumlah
nelayan secara visuil dapat dilihat pada Gambar 20.
500 1000
1500 2000
2500
1995 1997 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun Ju
m la
h o
r a
n g
Mawasangka Timur Lakudo
WPTL
Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Nelayan, Diolah 2006 Berdasarkan informasi yang dihimpun dari responden dan informan kunci
pejabat yang kompeten di tingkat kecamatan dan kabupaten diperoleh penjelasan bahwa peningkatan terbanyak terjadi karena penduduk asli yang
merantau sebagai tenaga kerja di Kepulauan Maluku melakukan eksodus kembali ke daerah asal akibat kerusuhan Ambon yang terjadi pada pertengahan tahun
1998. Sedangkan penurunan terbanyak terjadi akibat terjadinya eksodus
78
penduduk asli menjadi tenaga kerja di perantauan, baik sebagai Tenaga Kerja Indonesia TKI ke Malaysia dan Singapura, maupun sebagai Tenaga Kerja
Domestik ke Wilayah Barat yaitu Pulau Sumatera dan Kalimantan utamanya Balikpapan dan Nunukan serta ke Bagian Timur yaitu Kepulauan Maluku
utamanya Ambon dan Pulau Papua utamanya Timika, Fak - Fak dan Jayapura.
4.2.2. Armada Penangkapan Ikan